"Ayah dan bunda tetap mau kamu dijodohkan, tidak ada penolakan Al!” bentak Wijaya dengan penuh penekanan.
"Al gak mau dijodohin yah! Sekarang bukan zamannya jodoh-jodohan, setiap orang punya hak untuk memilih! " kata Aleeya sambil melempar bantal kesana-kemari.
"Al benci ayah bunda! Ayah bunda udah berubah, gak sayang sama Al! " teriaknya sekali lagi.
Kamar nuansa pink biru itu seketika berubah layaknya kapal pecah, foto-foto boyband Korea yang bergantungan di dinding jatuh berserakan,
“Prakkk”
“Bughh”
“Duaarr”
Termasuk foto besar yang menampakkan wajah bahagia Aleeya beserta keluarga Wijaya ketika berlibur di Amerika musim dingin tahun lalu. Wangi parfum mawar yang semerbak tak terasa, yang ada hanya suara isak tangis yang memilukan. Kali ini dunia Aleeya benar-benar hancur dibuatnya.
Di balik pintu kayu jati itu berdiri ayah dan bunda Aleeya, saling menatap satu sama lain, Membiarkan tatapan itu mengartikan isyarat dan kekecewaan yang mendalam. Merasakan kebingungan Masing-masing. Mereka bukanlah orang tua yang egois, layaknya cerita novel remaja yang tega menjodohkan anaknya untuk kepentingan pribadi, bisnis dan semacamnya. Yang mereka inginkan layaknya orang tua pada umumnya, kebahagiaan anak semata wayangnya itu. Mereka ingin Aleeya berubah, tidak manja dan sudah waktunya menata hidupnya. Mereka ingin Aleeya mandiri. Hingga terdengar suara bunda dan tak berapa lama kemudian mereka pergi dari depan pintu kayu jati itu.
“Mungkin dunia Al benar-benar hancur kali ini yah, bunda yakin Al mau, cuma dia butuh waktu untuk sendiri”
Di kamar Aleeya
Di dalam kamar yang besar dan luas seorang gadis cantik bermata indah bak rembulan, kulit putih dan pipi yang merah terduduk di lantai sambil memegang ujung seprai tempat tidurnya, menyandarkan kepala yang terasa berat itu. Mencoba menahan sisa-sisa isakan tangis yang sempat menemaninya, kemudian mengusap perlahan air mata yang sudah kering di pipinya, mengingat-ingat entah sudah berapa lama ia menangis.
Hening.
Hampa.
Sendirian.
Aleeya bukan tipe anak yang melawan orang tua, tapi kali ini hati dan pikirannya tidak bisa bersatu. Pikirannya bercabang entah kemana-mana, tidak percaya dengan apa yang telah terjadi, tidak percaya ayah dan bunda tega mengatakan itu padanya. Aleeya merasa bahwa pernikahan tanpa cinta adalah hampa, sia-sia. Pernikahan bukanlah hanya dua pasang insan terikat janji suci di depan Tuhan dan menghubungkan dua keluarga. Pernikahan tidak sesederhana itu, setidaknya itulah pendapat Aleeya. Aleeya ingin menikah dengan lelaki yang dia cintai dan lelaki itu juga mencintainya, maka barulah itu yang dinamakan cinta sehidup semati. Cinta sejati, menua bersama dan bahagia selamanya. Bukan sekarang. Bukan perjodohan. Aleeya tidak pernah berpikir akan mengalami hal ini. Aleeya benar-benar menyesalkan hidupnya.
"Aku gak mau dijodohkan, gak akan pernah! Bahkan ayah dan bunda gak bisa memaksa ku! Gak akan! Aarrgghhh! " jerit Aleeya frustasi, ia kembali meluapkan kesedihannya.
Kecewa.
Marah.
Aleeya Aamira Wijaya, putri semata wayang pemilik Wijaya Company, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan pertambangan. Perusahaan yang disegani banyak pihak bukan hanya karena sukses dalam bisnis, perusahaan ini adalah milik seorang Wijaya, pemilik dari salah satu stasiun TV terkenal dan disegani karena beraninya dalam bersuara politik. Aleeya, Gadis berusia 19 tahun itu adalah seorang mahasiswi tingkat 1 Universitas Persada Internasional (UPI) jurusan Business Management. Terlahir dari keluarga kaya dan harta benda yang berlimpah serta orang tua yang sangat menyayanginya, menjadikan Aleeya sebagai gadis manja dan keras kepala. Semua yang diinginkannya harus terpenuhi termasuk kepada ayah bundanya. Terlahir sebagai putri semata wayang keluaga wijaya menjadikan Wijaya dan istrinya selalu menuruti keinginannya, mereka tidak tega jika putri semata wayangnya itu bersedih apalagi menangis. Mereka berusaha untuk memenuhi segala keinginannya.
Hancur
Setelah kejadian tadi siang, Wijaya dan istrinya tidak bisa tenang, mereka khawatir dengan keadaan anak semata wayang mereka, Aleeya. Duduk termenung diatas ranjang sang penguasa rumah, saling bertatapan membiarkan waktu terus mengitari momen kebersamaan dua insan itu. Sudah lama, sejak menikah dan merasakan bahwa waktu telah mencuri masa-masa keemasan itu. Memfokuskan diri untuk terus membesarkan Aleeya, buah hati keluarga Wijaya. Tak sadar waktu berjalan dengan cepat, mengantarkan dua insan yang tak lagi muda. Saling pandang, saling melihat wajah yang mulai menua, tampak kerutan di sekitaran ujung mata. Sudah lama sekali mereka kehilangan waktu berdua, berbagi cinta dan kasih untuk Aleeya sang putri kecil ayah dan bundanya. Wijaya dan istrinya mengenang masa-masa itu dalam diam, menatap lurus ke dalam mata sang pujaan, kemudian berbalik sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Drrrrrtttttt… Drrrrrtttt… Drrrrrtttt”
Wijaya mengangkat handphone yang terletak diatas meja, melihat nama yang tertera kemudian menjawab
“Baiklah kami akan kesana”.
“Siapa yah?” tanya bunda.
“Kita harus pergi sekarang, keluarga Sanjaya ingin bertemu” kata Wijaya menatap wajah istrinya.
“Al gimana? kita ajak saja yah? bunda gak tega ninggalin Al di rumah setelah kejadian tadi” kata nyonya Wijaya menggambarkan kekhawatiran di wajahnya.
“Ya bun, kita ajak Al” jawab Wijaya akhirnya.
“Al, Al buka pintunya sayang, bunda sama ayah mau ketemu keluarga Sanjaya, kamu ikut gak Al?” kata bunda dibalik pintu dengan penuh kasih sayang, siapa pun tahu bunda Aleeya sangat menyayangi putri satu-satunya itu.
Hening.
Diam.
“Sepertinya Al sudah tidur bun, kita biarkan saja Al istirahat, kita berdua saja yang pergi” kata Wijaya merangkul pundak istrinya, disusul anggukan nyonya Wijaya. Tampak raut kekecewaan di wajah cantiknya.
Terdengar suara pintu rumah ditutup, kemudian suara mobil yang mulai bergerak maju.
Sementara di balik pintu jati itu, seorang gadis menahan tangisnya. Betapa ia merindukan ayah dan bundanya, saat-saat bahagia bersama mereka. Namun egonya melarangnya, membiarkan rasa sakit itu bersarang dihatinya. Dia mencoba meyakinkan diri, tidak lama lagi, ia hanya harus bertahan sampai ayah dan bundanya membatalkan perjodohan itu dan menuruti kemauannya. Tidak lama lagi. Hanya satu hal yang tidak gadis itu ketahui. Waktu tidak bisa berputar, dan kebanyakan manusia menyesal karena baru menyadarinya.
Di mobil
Diperjalanan menuju rumah Sanjaya, Wijaya dan istrinya hanya termenung di bangku belakang mobil. Masih tergiang-ngiang masalah yang tak kunjung usai. Hingga Akhirnya…
“Pak Budi, awas!!!” Teriak nyonya Wijaya.
Budi, supir pribadi keluarga Wijaya yang melihat ada orang yang melintas di depan mobil mereka sontak membanting stir. Namun keberuntungan tidak berpihak kepada mereka, mobil malah hilang kendali dan akhirnya menabrak sebatang pohon besar dipinggir jalan. kejadian itu cepat sekali, tak ada yang menduga
“Drrrrttt…Drrrrttt…Drrrrttt”
"Halo… Iya benar ini rumah pak Wijaya, saya pembantunya … Apa??? " telpon rumah terjatuh.
"Tut…tut…tut… sambungan telpon terputus.
Wajah bi Sumi berubah pucat, tangannya gemetar, air matanya mengalir deras. Bagaimana ia harus memberitahu non Aleeya?
“Bi, bi… Ayah bunda udah pulang bi?” tanya Aleeya kepada bi Sumi ketika ia melihat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tidak biasanya seperti ini.
“Non, non yang sabar ya” tangis bi Sumi pecah.
"Kenapa sih bi? Bibi kenapa? Kok nangis gitu? tanya Aleeya penasaran.
“Nyonya… tuan non… hiks… hiks… nyonya dan tuan kecelakaan dan polisi bilang tidak ada satupun yang selamat termasuk pak Budi” kata bi Sumi terisak-isak.
Tubuh Aleeya gemetar, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ini tidak mungkin!
“Non yang sabar ya” kata bi sumi memeluk Aleeya.
Aleeya menangis, terisak-isak. Kemudian tak sadarkan diri.
.
.
.
MENGGAPAIMU
Seluruh kerabat dan kolega bisnis Wijaya Company hadir di rumah duka, berbondong-bondong menyatakan turut berbelasungkawa. Papan karangan bunga tanda duka terpampang rapi di depan rumah, berjejer nama-nama milyuner terkenal dalam ukuran besar. Ada yang benar-benar datang dan menangis tanda kesedihan, ada juga yang hanya datang sebagai tanda formalitas. Begitulah kerasnya hidup bahkan perasaan mati dibuatnya. Hanya sebagian orang yang mengerti makna hidup yang sebenarnya, kemudian menjalaninya dan memasrahkannya kepada Tuhan.
“Sabar ya nak Aleeya, Allah punya rencana sendiri dibalik semua ini, yang tabah ya nak” kata Sanjaya salah satu kolega bisnis Wijaya, sekaligus calon mertuanya.
“Jangan pernah merasa sendiri, ada kami nak” sambung istri Sanjaya kemudian merangkul pundak Aleeya, ia dapat merasakan getaran kesedihan pada tubuh gadis itu.
"Soal perjodohan, kita akan membahasnya setelah… " belum sempat Sanjaya melanjutkan kalimatnya.
“Saya bersedia om, saya bersedia dijodohkan dengan anak om” kata Aleeya cepat, masih terlihat jelas dari wajahnya bahwa Aleeya belum baik-baik saja.
“Tidak usah terburu-buru nak, kami bisa menunggumu” kata istri Sanjaya ketika melihat bahwa Aleeya menyetujuinya hanya karena sedang tertekan.
“Tidak tante, saya bersedia dan saya ingin pernikahan ini segera dilaksanakan” pinta Aleeya dengan sedikit memohon.
Baik Sanjaya maupun istrinya saling bertatapan, apakah ini keputusan yang tepat mengadakan pernikahan ketika masih dalam keadaan duka? Namun beberapa detik kemudian mereka mengiyakan.
“Baiklah nak Aleeya, jika nak Aleeya benar-benar menginginkannya kami akan mempersiapkan pernikahan ini secepat mungkin” jawab Sanjaya akhirnya.
"Bunda ayah… Al akan menikah, maafkan Al baru sekarang bisa mengabulkannya. Hiks…hiks kenapa penyesalan selalu datang di akhir! " sesal Aleeya pada dirinya.
First Night
Seharusnya malam ini adalah malam yang paling tak terlupakan bagi sepasang suami istri baru, Aleeya dan Faiz menikah hari ini tepat seminggu setelah kepergian Wijaya dan Istrinya. Pernikahan yang dilakukan secara sederhana dan hanya dihadiri oleh beberapa orang.
Di kamar mewah rumah keluarga Sanjaya, Aleeya dan Faiz keduanya tak saling sapa, tak ada perkataan indah, tak ada senyum tawa, tak ada cinta, tak ada kasih sayang. Semuanya hambar, tak ada yang menginginkan pernikahan ini.
"Hey Kamu! " panggil Faiz mengejutkan lamunan Aleeya.
“Diantara kita berdua tidak ada yang menginginkan pernikahan ini, jadi lebih baik kita saling menjaga. Pernikahan ini gak akan bertahan lama!” kata Faiz sambil menyulutkan emosinya.
Baru kali ini Aleeya sadar, bukan dirinya saja yang tak menginginkan pernikahan ini. Tapi, bukankah sekarang Aleeya telah mengikhlaskan semuanya. Jadi apa ini? Suaminya juga tak menginginkannya?
“Jangan cuma diam saja! kamu dengarkan?”
kata Faiz menaikkan suaranya, baru kali ini dia membentak wanita.
“Iy… iya dengar kok” jawab Aleeya takut.
Aleeya tak menyangka sisi lain Faiz seperti ini, selama ini yang ia tahu Faiz tak sekasar ini. Faiz yang Aleeya kenal adalah Faiz yang baik, ramah, murah senyum pada siapa saja.
"Oo ya satu lagi, di depan mama papa kamu harus seperti istri yang baik! Dan jangan pernah ceritakan sama orang lain kalau kita sudah menikah! kata Faiz seraya mengambil selimut dari lemari kemudian menuju sofa yang berada diujung kamar.
Suaminya sendiri tak menginginkannya!
Jangan beri tahu siapa pun? Bagaimana Bahtera rumah tangga ini akan berjalan?
Hiks.
Hiks.
Hiks.
Aleeya menahan tangisnya di balik selimut, mencurahkan semua kesedihan dalam diam. Tak ada yang mengetahuinya, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Luka
Kehidupan Aleeya baru saja dimulai, tepat setelah 3 hari tinggal dirumah keluarga Sanjaya. Faiz memutuskan untuk membeli rumah disalah satu perumahan elit, awalnya ayah maupun ibu Faiz keberatan toh rumah mereka juga besar untuk apa harus pindah. Tapi Faiz punya berbagai alasan salah satunya agar mandiri dan Aleeya pasti segan jika tinggal serumah dengan mertuanya. Jujur saja Aleeya tidak keberatan tinggal di rumah keluarga Sanjaya, tapi ia takut untuk membantah. Maka berakhirlah Aleeya disini, tinggal berdua dengan Faiz, suaminya. Daripada terus-menerus dalam kesedihan dia bertekad untuk menaklukkan Faiz, bukankah dia adalah idola di kampus? dengan latar belakang keluarga Wijaya dan parasnya yang cantik, dia bertekad menaklukan suaminya itu. Terdengar aneh memang, namun inilah kenyataan, Aleeya harus melakukannya. Tidak dicoba mana tahu, ia mencoba menyemangati diri.
“Tuk… tuk… tuk”
terdengar suara langkah kaki dari lantai atas.
“Pagi kak!” sapa Aleeya kepada suaminya itu, tak lupa ia memberikan senyuman terbaik.
Diam.
Tidak ada jawaban.
“Tak masalah” tukas Aleeya dalam hati.“Kita coba lagi” sambungnya.
“Kak, aku buatin sarapan. Kakak sarapan dulu yuk!” ajak Aleeya. Kelihatan aneh dan memalukan, kali ini ia harus menjatuhkan sejatuh-jatuhnya egonya.
Diam.
Hening.
Faiz kemudian berlalu, menganggap tak ada siapa pun saat itu. Menutup pintu kemudian terdengar suara mobil melaju.
Senyum Aleeya luntur seketika, bagaimana tidak? Ia sudah bela-belain bangun pagi, membersihkan rumah, memasak. Tapi ini yang ia dapatkan.
Malu.
Marah.
Kesal.
Dengan mood yang masih tersisa, perlahan dilihatnya kembali sarapan yang telah dibuatnya. Nasi goreng, susu, roti, semua tertata rapi, sengaja ia tidak makan dari pagi menunggu suaminya itu. Ini pertama kali Aleeya melakukannya, selama ini dialah yang selalu dilayani. Dengan malas Aleeya memakan semua makanan itu sendirian, ia ingat bahwa jika dibiarkan begitu saja pasti tidak akan ada yang memakannya. Rumah ini hanya dihuni oleh mereka berdua. Setelah selesai Aleeya bergegas ke kampus, ia ingat ada mata kuliah hari ini.
...
“Alhamdulillah, selesai juga kuliah hari ini. Killer banget lagi tu dosen, bikin pusing aja” gerutu Aleeya.
Tak lama kemudian, Aleeya mendengar ada orang yang memanggilnya dari belakang.
"Al, Al! "
sontak Aleeya membalikkan pandangannya mencari tahu siapa yang memanggilnya.
Deg.
Kak Tania?
Betapa terkejutnya Aleeya, bagaimana kalau Tania tahu bahwa ia telah menikah dengan pujaan hatinya? Apa yang harus Aleeya katakan?!
“Al, kok bengong sih?” tanya Tania penasaran.
“Hmm, gak apa-apa kok kak, hehe” cengir Aleeya menampilkan gigi putihnya.
Gak marah? Kak Tania belum tahu?
“Al aku cariin kamu lho beberapa hari ini, setelah kepergian orang tua kamu, kamu kemana sih? Kok gak ada kabar?” tanya Tania lagi.
“Ooo, itu kak…” Aleeya mencari-cari alasan.
“Oo aku tau kamu pasti lagi nenangin pikiran kan?” lanjut Tania.
“Ee… iya, itu tau” kata Aleeya cengengesan.
“Aku turut berbelasungkawa ya Al, jangan sedih lagi, inget ada aku , kakak kamu! Kamu udah aku anggap kayak adek kandung aku sendiri” papar Tania panjang lebar, tak lupa ia mencubit kecil hidung Aleeya.
“Hehe iya kak” jawab Aleeya. Jantungnya masih berdebar-debar, bersyukur kak Tania tidak mengetahui perihal pernikahannya.
“Al kamu masih inget kan sama Faiz? yang pernah aku ceritain ke kamu Al, cowok idaman aku” Kata Tania mengingatkan.
“Oo iya masih ingat kok kak, kenapa kak?” tanya Aleeya pura-pura penasaran. Dalam hatinya yang paling dalam rasa cemburu itu ada, tapi ia tak bisa menyalahkan Tania, bukankah dia yang telah merebut Faiz?
“Kamu ada waktu gak Al? Atau malem ini kamu nginep dirumah aku aja, gimana? Kayak biasa, lagian besok juga libur. Daripada kamu sendirian dirumah, aku mau curhat sama kamu! Mau ya Al?” pinta Tania.
Aleeya bingung, sejujurnya ia mau untuk menginap dirumah Tania. Sekaligus meluapkan segala kesedihannya, kecuali tentang suaminya, Faiz. Tapi apa tanggapan Faiz jika masih baru menikah saja Aleeya sudah berani menginap dirumah orang lain, Faiz pasti akan berpikir macam-macam.
“Gimana Al?” Tanya Tania tidak sabar.
“Kak, aku kebelet ke kamar mandi nih, bentar ya kak” kata Aleeya kemudian beranjak pergi menuju toilet.
“Duh gimana ni, hmm… chat kak Faiz aja deh, tapi takut. Aduh gimana ya?” kata Aleeya bicara pada dirinya sendiri.
“Chat aja deh” sambungnya.
~My LovelyLovely [Online]
assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh kak, Al izin nginep dirumah temen ya? Ada urusan sebentar kak.
Deg.
Deg.
“Online, udah ceklis dua, kok belum dibales sih” gerutu Aleeya.
~My LovelyLovely[Online]
Wa’alaikumussalam Wr Wb.
Terserah.
Deg.
Sakit.
Kali ini hati Aleeya sakit lagi, tak terasa satu tetes air membasahi pipinya.
“Ahhh… aku gak peduli!” cetus Aleeya kemudian keluar dari toilet.
“Kenapa Al? kok kayak habis nangis gitu” Tanya Tania ketika melihat mata Aleeya memerah.
“Al cuma teringat ayah dan bunda aja kok kak” kata Aleeya menyembunyikan.
“Cup… cup… cup… udah jangan sedih lagi Al, ada kakak disini” kata Tania sambil memeluk Aleeya.
Andai ada yang tahu seberapa luka hati Aleeya saat ini.
.
.
.
MENGGAPAIMU
Semalaman Aleeya mendengarkan cerita Tania tentang kisah cintanya dengan Faiz sejak awal bertemu tepatnya 3 tahun lalu, bercerita tentang bagaimana romantisnya Faiz meluluhkan hatinya. Untaian kata-kata indah yang menyejukkan, Buku-buku islami tentang wanita, nasihat-nasihat kecil bagaimana menjadi wanita yang mulia. Perlakuan istimewa, perhatian dengan tetap menjaga jarak satu sama lain. Cemburu? Jika ditanya tentu saja Aleeya cemburu, rasanya sungguh menyakitkan mendengarkan bagaimana Faiz memperlakukan wanitanya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bukan seperti ia saat ini, istri yang tidak diharapkan. Masih tergiang di kepala Aleeya cerita Tania tentang bagaimana Faiz mengikat janji untuk mempersunting Tania setelah wisuda nanti, berjanji untuk menjaga hati masing-masing. Aleeya merasakan ketakutan itu, berarti bahtera rumah tangga yang ingin ia pertahankan tidak akan bertahan lebih dari 6 bulan lagi, melihat Faiz sekarang telah duduk di semester akhir perkuliahan. Disaat ia mulai mencintai Faiz, mengikhlaskan hidupnya untuk pria itu, bersamaan dengan itu pula ia harus mulai melupakannya. Ia ingin bersama suaminya itu, semakin lama ia bersama Faiz, mendengar karakter Faiz dari Tania, semakin Aleeya yakin bahwa suami yang di pilihkan ayah bundanya adalah pria baik-baik hanya saja saat ini Faiz belum membuka hatinya untuk Aleeya. Faiz masih mencintai Tania.
“Assalamu’alaikum” sahut Aleeya membuka pintu rumah.
Tidak ada sahutan.
Tidak ada jawaban.
Pagi-pagi sekali Aleeya pamit dengan Tania, ia beralasan ingin segera pulang, ada urusan yang harus ia selesaikan terlebih dahulu. Beruntungnya Tania adalah seorang kakak yang pengertian, ia mempercayai Aleeya dengan sangat mudah, tak ada keraguan dalam diri Tania.
“Sepertinya kak Faiz masih tidur, aku buatin sarapan dulu ah” bisik Aleeya semangat.
Baru Aleeya ingin melangkahkan kakinya ke dapur, terlihat jelas seorang pria yang sedang duduk di sofa ruang tamu melipatkan kedua tangannya di dada, siapa lagi kalau bukan Faiz, suami Aleeya.
“Darimana kamu?” kata Faiz membuka pembicaraan.
“Semalam aku udah ngasih tahu kakak, kalau aku nginep dirumah teman” jawab Aleeya datar.
Aleeya belum berani menatap mata elang itu, mata yang menyiratkan ketajaman, yang dikelilingi alis mata yang hitam lebat. Sempurna.
“Saya tahu, tapi teman yang mana?!” kata Faiz, nada suaranya mulai naik.
Aleeya takut, benar-benar takut.
“Jawab!” kata Faiz lagi.
Tidak mungkin Aleeya bilang baru pulang dari rumah Tania, bisa-bisa Faiz akan melarangnya untuk berteman dengan Tania, kenapa? tentu saja ia tidak ingin Tania tahu hubungan antara ia dengan Aleeya.
“Hmm… itu kak teman kampus namanya Annisa, semalam ada tugas dari dosen dan harus selesai hari itu juga” jawab Aleeya asal kemudian menundukkan kembali kepalanya, ia tidak berani menatap wajah Faiz yang sudah memerah menahan amarah.
“Saya tidak suka kamu nginap-nginap dirumah orang, kalau ada tugas kerjakan dirumah! Seharusnya kamu tahu posisi kamu sekarang” kata Faiz kemudian berdiri hendak pergi.
Aleeya tidak Terima di pojokkan seperti itu, bukannya ia telah meminta izin semalam? dan dijawab dengan “Terserah” bukannya Faiz tidak peduli?
“Saya sudah meminta izin semalam dan sudah dibalas, bukankah kakak gak peduli? buat apa marah-marah sekarang? Dan soal posisi saya, bukankah kita sama-sama tidak menyukainya?” teriak Aleeya di sela-sela tangisnya.
“Kamu! kamu itu istri saya, sampai saat ini masih istri saya. Saya bertanggung jawab atas kamu! kamu boleh bebas, tapi nanti kalau kita sudah berpisah!” kata Faiz tak mau kalah.
Melihat perlakuan Faiz kepadanya, kembali berputar-putar di kepala Aleeya, Faiz yang lemah-lembut dengan Tania, Faiz yang selalu perhatian, Faiz yang baik. Pernahkah dia melakukan ini pada Tania? Hati Aleeya sakit. Sesak. Aleeya terluka. Aleeya lari ke kamar, membanting sekuat-kuatnya pintu kamar itu hingga nyaring terdengar.
Faiz mengepalkan tangannya, wajahnya merah padam. Kali ini hatinya juga sesak, ia memutuskan keluar untuk menenangkan pikirannya.
Faiz memberhentikan mobilnya di depan sebuah masjid, memasukinya dan memilih tempat duduk paling pojok, ia masih terbayang-bayang kejadian dirumah tadi.
Hatinya kelu.
Aneh.
Faiz belum pernah sekasar ini kepada wanita, siapapun itu, rasa benci kepada Aleeya tumbuh ketika ia dijodohkan orang tuanya dengan gadis itu. Ia tidak bisa menolak keinginan orang tuanya, dilain sisi hatinya memberontak, ia bingung kemana akan ia lampiaskan semuanya. Maka berakhirlah tadi pagi, ia lampiaskan semuanya pada Aleeya. Faiz adalah seorang yang pandai agama, ia telah banyak membaca buku tentang wanita, tentang pernikahan. Sudah lama ia mempelajari itu, walaupun ia bukan tamatan pesantren, tapi ia telah mengikuti rohis sejak SMP sampai SMA. Faiz tahu Aleeya telah meminta izin kepadanya, tapi satu hal yang ia tidak suka, Aleeya tidak mengerti posisinya sebagai istri. Apalagi mereka baru menikah, Aleeya tidak patuh kepada suami, setidaknya itulah yang berada dipikiran Faiz. Soal jawaban “terserah” Faiz bukanlah orang yang suka berdebat dari media, termasuk media komunikasi, baginya segala sesuatu yang penting seharusnya dibicarakan dengan duduk bersama. Dari pagi Faiz telah menenangkan pikirannya agar tidak bertindak gegabah, menyakiti atau bertindak kasar kepada Aleeya seperti hari-hari sebelumnya. Tapi saat dilihatnya wajah Aleeya memasuki rumah, kembali pikirannya mengenang perjodohan itu, tanpa sadar emosinya mendominasi dirinya, maka terjadilah pertengkaran tadi pagi. Sungguh ketika ia melihat Aleeya menangis hatinya kelu, tapi setelah melihat Aleeya berteriak di depannya, emosinya kembali terpancing. Ia tidak suka wanita yang membesarkan suaranya didepan lelaki, khususnya suaminya sendiri. Faiz bingung harus bagaimana, akhirnya ia putuskan untuk berdiri, berwudhu dan memasrahkan segalanya kepada Allah.
Festival islam kampus
Pagi ini Aleeya memutuskan untuk mengikuti Festival Islami yang diadakan organisasi keagamaan di kampusnya, organisasi yang memperkenalkan dirinya dengan kak Tania, kakak yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri. Sekaligus menenangkan pikirannya dari segala permasalahan yang ada dirumah, permasalahannya dengan Faiz.
“Assalamu’alaikum Al” sapa kak Tania.
“Wa’alaikumussalam kak” jawab Aleeya.
“Akhirnya kamu datang juga Al, yuk bantuin kita nyiapin Festival hari ini, 1 jam lagi bakalan dibuka ni” kata Tania semangat.
“Yuk kak, mau dong. Al semangat nih” kata Aleeya tak kalah semangat.
Al dan Tania di amanahkan untuk menjaga stand makanan dan minuman, di sela-sela kegiatan dan antrian yang panjang, galon air untuk membuat minuman habis dan biasanya anggota pria lah yang mengangkatkan galon itu, begitulah kesepakatannya. Tania menyuruh Aleeya untuk mencari anggota pria yang sedang kosong atau sedang tidak melakukan apa-apa agar membantu mengangkatkan galon yang berada cukup jauh dari stand mereka. Aleeya kebingungan, ia masih mahasiswa tingkat 1 belum mengenal banyak orang, apalagi organisasi ini berisikan anggota dari beberapa fakultas yang berbeda. Maka berakhirlah Aleeya dengan seorang pria yang ia kira-kira adalah kakak seniornya.
“Assalamu’alaikum, boleh bantu saya untuk mengangkat galon yang ada disana” kata Aleeya sambil menunjuk sebuah galon air. “Kemudian membawa galon itu ke stand saya” pinta Aleeya malu-malu.
“Wa’alaikumussalam, oo iya bisa… bisa, sebentar ya” kata pria itu.
Kemudian Aleeya mengarahkan pria itu agar meletakkan ke standnya.
“Terima kasih banyak atas bantuannya” kata Aleeya tulus.
Mendengar suara aleeya, Tania buru-buru mendekat.
“Waahhh, Terima kasih banyak ya. Maaf adek saya ngerepotin” kata Tania kepada pria itu.
“Hehe iya gak apa-apa, saya senang membantu. Lagian saya juga kan panitia” jawab pria itu.
“Saya pergi dulu ya, masih ada hal yang harus saya kerjakan” sambungnya.
“Oo iya makasih sekali lagi” kata Aleeya sebelum pria itu berbalik dan menghilang di tengah-tengah kerumunan orang.
“Siapa tu Al? kamu kenal?” Tanya Tania.
“Gak kak, tadi aku cuma minta bantuan aja, namanya aja belum aku tanya” jawab Aleeya sambil membuat minuman.
“Dari tampangnya kayaknya sholeh tu Al, klo kakak lihat sih kalian cocok” kata Tania memancing, ia tahu adik kelasnya satu ini belum pernah dekat dengan pria. Entah karena Aleeya yang terlalu populer dan kaya, atau karena Aleeya memang belum siap untuk membuka hatinya.
“Hahaha, apaan sih kak” kekeh Aleeya.
“Mau jodohin aku ya” sambungnya masih diiringi tawa kecil.
“Kepedean” bisik Tania.
Sontak membuat wajah Aleeya cemberut.
Tania tertawa.
Tania datang dengan senyum merekah dibibirnya, membuat Aleeya heran sekaligus penasaran. Tanpa ba bi bu Tania menarik tangan Aleeya dan membawanya ke suatu tempat dibelakang stand.
“Mau kemana kak?” kata Aleeya.
“Ushhh, jangan banyak tanyak dulu” kata Tania.
Aleeya hanya pasrah dirinya ditarik-tarik seperti itu, ia sangat hafal gerak gerik kakak seniornya yang satu ini, pasti ada sesuatu yang menggembirakan hatinya.
“Assalamu’alaikum” sapa Tania pada dua orang pria.
Aleeya sangat malu, mengapa Tania membawanya ke tempat dua orang pria? Sejak dari jauh tadi Aleeya tidak berani mendongakkan kepalanya, ia sangat malu saat ini.
“Wa’alaikumussalam” jawab seorang pria.
Suara yang sangat Aleeya kenal, spontan Aleeya mendongakkan kepalanya. Pria itu adalah Faiz, suaminya.
“Jadi kedatangan kami kesini ingin berkenalan dengan pria baik yang telah membantu adik kelas saya ini” kata Tania sambil memperlihatkan senyuman indahnya.
Aleeya tahu, Tania pasti sangat bahagia di depan Faiz saat ini.
“Adik kelas saya ini namanya Aleeya Aamira Wijaya, jurusan Business Management, sekarang ini sih kalau dari tampangnya masih jomblo” kata Tania.
Aleeya hanya Menggeleng-geleng mendengar perkataan Tania, seperti biasa mempromosikan adek sendiri.
“Aleeya penasaran sama kamu, jadi saya bawa dia kesini untuk berkenalan” sambung Tania.
Sontak bola mata Aleeya membulat, betapa malunya ia saat ini. Bagaimana anggapan pria ini tentang dirinya. Memalukan. Ini kelewatan. Terlebih-lebih di depan Faiz, suaminya. Pasti Faiz berpikir macam-macam.
“Oo begitu, saya juga penasaran dengan gadis cantik di depan saya ini” kata pria itu.
Kali ini mata Aleeya benar-benar membulat tidak percaya, bagaimana mungkin seorang pria memuji seorang istri didepan suaminya sendiri. Walaupun kenyataannya hanya Aleeya dan Faiz lah yang tahu.
“Nama saya Devan Artha Anjasmara, jurusan Mechanical Engineering. Saya temannya Faiz, senang berkenalan dengan kamu” lanjutnya.
Aleeya hanya tersenyum kemudian pamit undur diri, ditariknya tangan Tania kuat-kuat.
“Kita pergi dulu ya, masih harus jaga stand. Assalamu’alaikum” kata Aleeya kemudian pergi.
“Wa’alaikumussalam” jawab mereka serempak.
Aleeya tak sadar ada seorang pria yang sedari tadi melihatnya dengan sinis.
.
.
.
MENGGAPAIMU
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!