NovelToon NovelToon

Tujuh Senjata Kuno

Dunia Tak Dikenal

Erlangga bepergian bersama teman-teman kuliahnya ke daerah perbukitan yang sering

digunakan sebagai tempat berkemah. Teman-temannya berkemah untuk merayakan

semester genap yang sudah usai. Di siang itu mereka berkumpul, berniat untuk

mengelilingi area perbukitan yang hijau dipenuhi pohon, ditumbuhi semak belukar

dan banyak tumbuhan hijau lain. Jamur-jamur di batang pohon memberi warna yang

kontras, burung-burung mencari makan berkicau, dan sayup-sayup terdengar suara

bising nya jantung hutan. Erlangga dan kelima orang temannya pun mulai

menyusuri area perbukitan, angin sejuk pagi menerpa wajah mereka yang sedikit

lelah dan tenggorokan yang sedikit sakit akibat bernyanyi semalam suntuk di

depan api unggun dengan gitar. Lagu-lagu dengan lirik paling remeh, sampai lagu

dengan lirik yang dalam mereka nyanyikan semua.

Erlangga berjalan paling belakang, teman-teman di depannya mulai membicarakan keindahan

pemandangan di atas bukit yang sebentar lagi akan mereka lihat. Mereka mulai

berbicara tentang danau yang bisa mereka lihat dari puncak bukit, perumahan

warga yang cukup jauh dari bumi perkemahan, dan juga perkebunan dan persawahan.

Erlangga tidak terlalu memperdulikan mereka, entah sejak kapan dia justru lebih

fokus pada area lobang besar yang menjadi genangan air. Untuk apa lobang

seukuran sumur ini dibuat? Jika bertujuan digunakan untuk membakar sampah,

bukannya di sebelah sana pun ada?

Teman-temannya semakin asyik mengobrol, sementara Erlangga masih asyik memikirkan fungsi

lobang yang digenangi air, bahkan sekarang dia menghampirinya. “Jika

dilihat-lihat, ini seperti sumur. Apa sedalam sumur? Kalau begitu bisa

berbahaya, orang bisa tercebur jika tidak ada pembatas sumur.” Erlangga

bergumam sendirian tak ada yang memperdulikan nya. Kelima temannya sudah hampir

sampai di atas bukit. Dari dulu Erlangga sering dibilang selalu memperhatikan

banyak hal, sampai yang paling remeh temeh, mengkhawatirkan banyak hal dan

mengkhawatirkan banyak orang. Erlangga terlalu peduli pada anak kucing yang

mengeong mencari ibunya, terlalu peduli pada semut hitam yang lewat ditembok

dan bertanya bagaimana semut begitu rukun? Itu yang selalu ia pikirkan,

bahkan dia berempati pada tokoh fiksi, kartun ataupun novel.

Erlangga menjongkok dan tiba-tiba seperti ada yang menariknya dari dalam genangan air

dan seolah tangan dengan cengkraman yang sangat kuat muncul dari genangan air,

lalu dia pun tercebur ke dalam sumur atau genangan air yang dalam. Erlangga

merasa tubuhnya kaku, semua kemampuan renangnya lumpuh, tubuhnya tidak bisa digerakkan

dan nafasnya mulai sesak. Dia merasakan tubuhnya semakin tenggelam,

meninggalkan sinar permukaan sumur, semakin masuk ke dalam dasar sumur yang

gelap. Dia semakin merasa sesak, tidak bisa meronta, tubuhnya bahkan tidak

merespon perintah otaknya.

Kemudian, sinar putih menelan tubuhnya dari bawah, pandangannya pun mulai memutih, kabur

dan dia sekarang tidak bisa melihat apapun kecuali putih di mana-mana. Tidak

ada apapun, siapapun, hanya putih di setiap sudut jika apa yang ia lihat

sekarang mempunyai sudut. Kemudian yang terjadi adalah pandangnya semakin

redup… redup…. Lalu menghitam semuanya. Kini semuanya gelap, seperti memejamkan

mata saat mati lampu di malam hari. Matanya tak menangkap secercah cahaya

apapun.

Tiba-tiba seberkas cahaya muncul dan melebar. Erlangga mengedipkan matanya, mengucek nya

dan dia tatap sekeliling dengan lebih baik lagi. Hutan? Hutan yang lebat,

kicauan burung terdengar, teriknya matahari menembus sela-sela pohon. “Siapa

kau?” Erlangga bangkit dan berputar, dia menemukan sumber suara itu. Seorang

pemuda, yang mungkin dua tiga tahun lebih tua darinya mengacungkan sebilah

pedang ke arahnya dengan tatapan curiga. “Aku tanya lagi, siapa kau?” suaranya

begitu tegas dan berat, garis wajahnya tegas dengan kulit sawo matang, sedikit

gelap daripada kulit Erlangga. Dilihat dari tubuhnya yang mengkilap karena

keringat itu membuktikan banyak latihan yang ia jalani, juga beberapa luka

sayatan di tubuhnya.

Erlangga hanya diam, dia masih sangat terkejut. Pertama, dia jatuh ke dalam sumur dan

mengira akan mati. Kedua, di mana ini? Ketiga, kenapa dia ditodong dengan

sebilah pedang yang siap menghunusnya kapanpun? “A- aku juga bingung” hanya itu

yang bisa diucapkan Erlangga. “Jika dilihat, baju mu terlihat aneh. Mungkin kau

dari jauh, dari mana kau?” tanpa mengalihkan todongan nya pemuda itu

menginterogasi Erlangga dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuat

Erlangga bingung. Bahkan, dia ada di tengah hutan ini saja sudah membingungkan. Apa yang dia maksud baju mu terlihat aneh? Bukankah dia yang

berbaju aneh? Jika dilihat lagi, dia bahkan tidak memakai baju, hanya celana

hitam panjang yang ia kenakan.

“Apa kau salah satu dari orang-orang yang sering tersesat di hutan?” Erlangga

berpikir-pikir, menimbang jawaban yang lebih baik. Dia tentu tidak ingin

jawabannya berujung pada kepalanya dipenggal oleh orang yang bahkan tidak dia

tahu namanya.

“Tunggu, aku masih bingung. Aku bersama teman-teman ku. Lalu aku terjatuh dan tenggelam

ke dalam sumur, tak sadarkan diri dan lalu aku bangun di tempat yang tak aku

kenali. Biasanya orang setelah kecelakaan akan bangun di rumah sakit, rumah

warga setempat atau yang paling buruk: akhirat. Apa ini akhirat?” Tanpa sadar

Erlangga justru berbicara tidak jelas yang membuat pemuda di hadapannya

terlihat bingung namun tidak melepaskan kewaspadaan nya pada Erlangga. Obrolan

mereka tidak nyambung, saling membingungkan satu sama lain.

Namun pemuda yang menodong pedang itu tak kalah bingungnya dengan Erlangga “Kita

harus berhenti di bagian akhirat, karena aku belum pernah ke sana. Dengar,

aku pun merasa bingung. Aku sedang berlatih pedang lalu tiba-tiba suara seperti

benda jatuh dari ketinggian dan menghantam tanah mengagetkan ku” berlatih

pedang? Pikir Erlangga.

“Aku? Jatuh dari ketinggian?” Si pemuda yang menodong itu mengangguk datar tanpa

ekspresi. Melihat wajah panik dan bingung Erlangga, pemuda itu menarik kembali

bilah pedangnya dan kembali menyarungkan di wadah yang terikat dengan pinggang

nya. Mungkin ada baiknya aku bawa ke desa saja begitu yang dipikir sang

pemuda berpedang urusan ini begitu membingungkan ku.

“Mungkin sebaiknya kau ikut aku pulang” ucap pemuda itu, mengambil baju nya yang dia

taruh sembarang di dekat batu besar pendek, lalu mengenakannya. Dia mengenakan

baju tanpa lengan, dan depannya dibiarkan terbuka tidak ia kancing, lebih

seperti rompi dari kain yang bercorak indah, sehingga menunjukan perut dan

dadanya yang bidang. “Ma-mau ke mana kita?” ucap Erlangga ragu. Erlangga mulai

berpikir jika dunia yang sekarang dia pijak, bukanlah dunia yang sama sekali dengan

dunia yang dia kenal. “Kita akan ke Dukun, dia adalah orang pintar dan bijak di

desa kami. Dia mungkin bisa menjelaskan apa yang terjadi pada dirimu”

Erlangga merasa benar-benar ada di dunia lain. Desa tempat pemuda asing ini terasa sama

asing nya bagi Erlangga. Bangunan-bangunan nampak kuno, beberapa bahkan tidak

beratap genteng, melainkan jerami atau daun kering yang disusun untuk

melindungi pemilik rumah dari sengatan matahari dan hujan. Tak jarang Erlangga

menemukan rumah yang seutuhnya kayu bukan tembok beton. Rumah-rumah ini seperti

ada di lukisan-lukisan yang sering ia temui di museum-museum sejarah.

Begitu masuk desa, Erlangga sontak jadi perhatian warga desa. Karena pakaian yang dia

kenakan amat mencolok jika dibandingkan dengan pakaian warga desa ini. Ia

mengenakan kemeja lengan panjang berwarna ungu yang dia biarkan terbuka

sehingga memperlihatkan kaos putih polos nya, serta celana hitam slim sesuai

ukuran nya. Itu adalah pakaian normal seorang pemuda yang Erlangga tahu, namun

di sini dia merasa dirinya aneh. Penduduk di sini kebanyakan laki-laki nya

tidak memakai baju, dibiarkan bertelanjang dada, memperlihatkan tubuh mereka

yang sering terpapar matahari, tua, muda, sampai anak-anak. Pakaian perempuan

lebih baik daripada laki-laki, setidaknya mereka menutup dadanya dan lebih

banyak Erlangga temukan wanita mengenakan baju bagus dengan motif yang cantik.

Jarang sekali Erlangga melihat laki-laki yang mengenakan pakaian yang menutupi

dada nya. Bahkan pemuda asing yang membawanya pun hanya mengenakan rompi kain

bercorak.

Rumah seseorang yang disebut dukun ini yang cukup lain dari rumah-rumah yang Erlangga

temui seperjalanan tadi. Rumah ini kelihatan luas, bertembok beton, beratap

genting, banyak hiasan-hiasan dan rumah ini dikelilingi tembok pagar. Begitu

masuk melewati entahlah mungkin sejenis gapura, mereka disambut dengan banyak

tanaman mulai dari bunga-bunga, pohon rindang beserta burung yang bertengger di

dahan nya.

Mereka disambut oleh seseorang usia paruh baya bertelanjang dada, mengenakan celana cokelat

tua panjang dan dari pinggang sampai lututnya dibalut kain bercorak seperti

pakaian lelaki pada umumnya di desa ini, namun pakaiannya kotor, ia juga

mengenakan ikat kepala dengan corak kain yang sama. Pemuda asing yang membawa

Erlangga berkata ingin menemui Dukun, dan mereka langsung dipersilahkan masuk.

Mungkin pemuda ini sudah sering kemari. “Dukun adalah kepala desa kami, beliau

dikenal akan kepintaran, kebijaksanaan dan ajian-ajian nya yang berkaitan

dengan jiwa dan beliau sangat menekuni ilmu jiwa, kesadaran dan eksistensi

manusia” tunggu ajian? Apa itu ajian? Erlangga semakin yakin jika ini

bukanlah dunia yang selama ini dia kenal. Dan bisakah aku sebut Tuan atau

Puan Dukun ini Psikolog? Erlangga merasa geli dengan apa yang dia pikirkan.

Setelah itu mereka menemui seseorang yang disebut Dukun, mereka duduk berhadapan dengan

seorang tua yang dipanggil Dukun di ruang tamu. Lalu pemuda asing ini

menjelaskan dari awal bagaimana dia menemukan Erlangga. Erlangga sendiri hanya

mengangguk dan “Aku juga tidak tahu” dan seorang tua yang dipanggil Dukun hanya

mengangguk-angguk sesekali menarik-narik janggut putihnya yang panjang

menjuntai.

“Kamu tahu Jaka dan…” dia menatap Erlangga, Erlangga pun buru-buru mengenalkan nama

“ya, nak Erlangga. Kalian tahu? Dunia kami, dunia mu, dunia kita” sekali lagi

melirik Erlangga dengan terus memainkan janggutnya “…berjalan tidak sesederhana

yang kalian pikir. Dunia ini berjalan begitu rumit, banyak misteri, banyak

rahasia yang menunggu untuk dipecahkan. Salah satunya kehadiran nak Erlangga di

dunia ini. Nah, aku hendak bertanya, apa nak Erlangga tahu apa itu Tanah

Archis?” Tanah Archis? Lagi-lagi sesuatu yang baru Erlangga dengar,

Erlangga hanya menggeleng “Semua orang harusnya tahu Tanah Archis, nah itu

petunjuk pertama” Pemuda yang bernama Jaka itu hanya terdiam menyaksikan, masih

menerka-nerka apa yang dimaksud Tuan Dukun.

“Kalau begitu bagaimana dengan ini” Tuan Dukun menggosok-gosokan kedua tangannya,

Erlangga bingung apa yang orang tua ini lakukan dan sebelum Erlangga selesai

dengan rasa bingungnya, dia langsung dibuat terkejut bukan main. Sesuatu yang

sama sekali tidak pernah ia lihat seumur ia hidup dan punya ingatan. Dari

gosokan tangan Dukun keluar kesiur angin lembut lalu perlahan membentuk wujud

makhluk kecil menyerupai manusia, memiliki dua tangan, kepala dan dua kaki. Dia

tak ubahnya seperti manusia yang terbuat dari angin setinggi buah kelapa. Dia

mulai berjalan di lantai, melambaikan tangan (Erlangga keheranan dan ikut

membalas melambaikan tangan) dan melompat-lompat. “Keterkejutan mu sudah

membuktikan satu hal nak” dia menatap kembali Erlangga yang bingung.

“Hal apa?” ucap Jaka yang sedari tadi memperhatikan, itu adalah salah satu ajian

yang dimiliki oleh Tuan Dukun. Beliau mampu menciptakan makhluk walaupun tak

hidup, namun makhluk yang ia ciptakan seperti memiliki jiwa yang hidup. Tapi

biar begitu, ajian yang Tuan Dukun gunakan banyak memiliki batasan.

“Dia bukan dari dunia kita, dia dari dunia lain. Barangkali ajian adalah sesuatu yang

aneh”

“Bagaimana kau melakukan sihir itu?” sambil menuding manusia angin kecil itu, yang

sepertinya tidak suka dituding. Erlangga mengabaikan fakta jika dia dari dunia

lain, lebih fokus pada manusia angin kecil yang kembali menuding dirinya dan

sekarang dia berkacak pinggang menantang.

“Sihir?” Dukun terkekeh “Bukan nak, ini adalah ajian, jurus, teknik, atau apapun

namanya. Setiap tempat di dunia ini dinamai berbeda-beda” di luar dugaan

manusia angin kecil itu melompat tinggi sekali dan dia mulai berlari-lari di

udara, seakan udara adalah sesuatu yang dapat dipijak. “Aku harus membuatnya

diam” Dukun membuka telapak tangannya lalu manusia angin kecil itu seperti

tersedot yang nampaknya tidak sangat dia sukai. Manusia angin kecil itu seperti

masuk dalam tubuh Dukun melalui kedua telapak tangannya.

Erlangga jadi pusing, pertama dia jatuh ke dalam sumur yang dalam, tersadar di hutan

dengan senjata yang mengarah kepadanya, kemudian dia mengetahui fakta dia

terdampar di dunia lain dengan banyak istilah dan nama-nama yang membuatnya

semakin bingung. “Lalu bagaimana cara ku bisa pulang?” ucapnya dengan panik. Di

pikirannya mulai kalut. Bagaimana dengan orangtuanya? Pasti mereka sangat

khawatir, dan yang lebih penting bagaimana dengan paket yang dia pesan? Dua

hari lagi paket itu sampai dengan sistem COD, bagaimana dia akan membayarnya

jika dia masih tetap di sini? Bagaiman jika dia dituntut? Dan semua bagaimana terlintas dalam pikir Erlangga.

“Aku tidak terlalu mengerti, tapi aku turut bersedih” ucap Jaka, dia memegangi bahu

Erlangga. Erlangga mulai sedikit tenang “apa tidak ada cara untuk dia pulang?

Mungkin dia akan kesusahan di dunia yang tidak ia kenal”

“Jaka, kau tahu organisasi Gamankuna?” Jaka mengangguk “dan kau pasti tahu tujuh hari

lalu langit tiba-tiba gelap gulita” Jaka mengangguk sekali lagi.

“Lalu apa hubungannya dengan Erlangga?”

“Kamu tahu apa itu tujuh senjata kuno?” kali ini Jaka menggeleng “tak banyak orang

tahu, keberadaannya sudah seperti legenda, tidak diketahui kebenarannya. Namun

menurut cerita-cerita yang beredar, satu tanda jika ketujuh senjata kuno itu

digunakan, langit akan gelap gulita dan konon bisa melakukan apapun”

“Apapun?” Jaka mengulangi

“Apapun!” orang tua yang dipanggil Dukun itu menegaskan “dan ada kemungkinan mereka

membuka gerbang, portal, pintu atau apapun itu untuk mengambil sesuatu dari

dunia Erlangga. Dan sengaja atau tidak, Erlangga terbawa, itu teori ku” Dukun

terbatuk sesaat, lalu memainkan janggut putihnya “karena hal tidak masuk akal

seperti terdampar nya orang dari dunia lain, hanya bisa kita kaitkan dengan

tujuh senjata kuno”

“Tepatnya apa yang mereka ambil? Kenapa aku juga ikut terbawa? Aku hanya menengok

genangan air di pinggir hutan” Erlangga kembali resah.

“Aku juga tidak begitu paham nak, namun jika kau berniat untuk pulang, kau harus

menggunakan tujuh senjata kuno itu. Jelas itu tidak akan mudah, kau tidak tahu

seberapa kuat organisasi Gamankuna, kerajaan sudah beberapa kali untuk menumpas

organisasi itu, namun sampai sekarang keberadaan dan teror mereka terus

berlangsung” Erlangga menelan ludah mendengarnya, bagaimana dia bisa pulang

jika dia harus melawan organisasi ******* di dunia penuh sihir (bukankah

itu disebut ajian? Ah biarlah, aku pusing) ini? Erlangga dirundung panik

dan semua perasaan negatif, dia tidak bisa berpikir.

“Erlangga, untuk sekarang kau boleh tinggal di rumah ku. Kita lupakan sejenak masalah yang

menimpamu, baiknya kau segera istirahat” Jaka merasa iba melihat Erlangga, dia

memahami kesulitan yang dihadapi Erlangga. Terjebak di dunia lain, dan harus

berjuang agar bisa pulang, belum urusan di dunia nya yang membuat pikirannya

semakin pusing.

Sekolah Para Petarung (1)

Sudah satu minggu Erlangga terdampar di dunia yang tak ia kenal. Selama ini dia

tinggal di rumah Jaka, dan sangat beruntungnya Erlangga, orangtua Jaka menerima

Erlangga dengan baik. Mereka bilang Jaka selalu menginginkan adik laki-laki,

mengingat Jaka adalah anak tunggal mereka. Rumah keluarga Jaka cukup besar,

rumah ini berbentuk U dan dikelilingi pagar tembok. Jika dibandingkan dengan

rumah pada umumnya di desa ini, rumah Keluarga Jaka terlihat mewah. Setiap

harinya Erlangga melihat orang berlalu lalang di rumah ini. Jaka bilang itu

adalah para buruh tani. Jaka pernah bilang, jika orangtuanya adalah petani yang

memiliki lahan yang cukup luas sehingga memerlukan banyak pekerja. Tidak hanya

meliputi persawahan, tetapi juga perkebunan.

Sekarang identitas Erlangga adalah kerabat jauh keluarga Jaka. Dukun mengatakan kabar

Erlangga dari dunia lain itu ada baiknya dirahasiakan. Oleh karena itu Erlangga

pun harus berbaur, dia mengenakan pakaian yang menyerupai penduduk di desa ini.

Dia mengenakan baju hitam lengan pendek, dibalut rompi bermotif yang menyilang,

dia juga mengenakan kain bermotif yang sama dan menutupi pinggang dan lututnya

meski bagian bawah tubuhnya dia kenakan celana hitam panjang. Ayah Jaka

memberikan Erlangga ikat kepala tanpa motif berwarna hitam. Menurut mereka,

Erlangga sudah seperti pendekar dari kerajaan. Pakaian itu sangat cocok

untuknya.

Satu minggu di desa ini, Erlangga banyak mengetahui hal baru seperti,

kebiasaan-kebiasaan di warga desa ini, yang juga menjadi kebiasaan penduduk Kerajaan

Saengcha pada umumnya. Orang-orang di kerajaan Saengcha sangat menjunjung harga

diri, mereka berani bertaruh nyawa demi harga dirinya baik laki-laki maupun

perempuan. Pertarungan sering digunakan sebagai cara jika kedua belah pihak

tetap mengotot dan tidak ada yang mau mengalah, bahkan pertarungan sampai mati

sudah sering kali terjadi. Sudah menjadi watak yang turun temurun orang-orang

Kerajaan Saengcha untuk membela harga dirinya dengan taruhan nyawa.

Erlangga pernah mendengar satu kisah, dimana seseorang bertarung sampai mati hanya

karena seseorang memegang kepalanya. Bagi orang Saengcha, kepala adalah sama

berharganya dengan harga diri, perlu dijunjung setinggi-tingginya. Oleh karena

itu, memegang kepala seseorang tanpa izin dianggap penghinaan bagi orang-orang

di Kerajaan Saenghca pada umumnya.

“Semester baru sebentar lagi mulai, kau mau ikut dengan ku untuk bersekolah?” sekolah?

Itu mengejutkan Erlangga, dia pikir pendidikan di kerajaan belum semaju itu. “Kau

pasti berpikir jika di dunia ini belum ada sekolah, dilihat dari cerita mu

tentang dunia mu, dunia mu sepertinya berabad-abad lebih maju ketimbang dunia

ku” Jaka ikut duduk di bagian teras rumah, tadi Erlangga mendengar dia habis

pulang Latihan di hutan apa tiap waktu yang ada dalam otaknya adalah

latihan? Erlangga pernah sesekali melihat latihan Jaka. Mengayunkan pedang,

melatih fisik tubuh, meditasi dan sebagainya.

“Ah ya, aku kira di jaman sekarang di dunia mu belum ada sekolah” Erlangga

menggaruk rambutnya yang tak gatal, dia merasa tidak enak “bukan maksudku untuk

merendahkan, tapi aku sedikit terkejut” Jaka hanya tersenyum mendengarnya. Bagi

Jaka, Erlangga sudah seperti adiknya sendiri. Dia sejak kecil selalu meminta

adik laki-laki, namun sampai dia menginjak dua puluh tahun, dia tak kunjung

mendapatkannya. “Memangnya sekolah di kerajaan ini seperti apa? Jika aku ikut

bersekolah denganmu aku khawatir akan menjadi murid paling bodoh di sana”

“Sekolah ku adalah sekolah bela diri, sekolah calon pendekar. Di sana kami diajari

banyak hal mengenai pertarungan, khususnya pertarungan dengan senjata. Jika kau

memutuskan untuk kembali ke dunia mu dan bertualang mencari ketujuh senjata

kuno yang disebutkan Dukun, kau harus menjadi kuat” Erlangga menimbang, tidak

ada yang salah apa yang disampaikan Jaka, jika dia ingin kembali ke dunianya,

dia harus menjadi cukup kuat untuk bertualang sendirian. Tidak mungkin ia akan

terus bergantung pada Jaka dan orangtuanya.

“Aku rasa kau benar” Erlangga melempar pandangnya pada pelataran luas rumah Jaka,

hanya beberapa tanaman mangga di atas rumput, juga jalan menuju pintu masuk

kawasan rumah yang terbuat dari bata yang di susun rapi dan hanya selebar satu

setengah meter. Dan tiba-tiba saja perut Erlangga berbunyi.

Jaka tersenyum tipis “Kau lapar? Kalau begitu mari kita makan”

***

Dengan biaya orang tua Jaka yang tak ada habis kebaikannya, Erlangga pun masuk sebagai

murid baru di sekolah pedang terbaik dan satu-satunya di Kota Manggayu.

Letaknya berada di pinggir Kota Manggayu, dekat hutan lebat dan liar, masih

terdapat banyak monster di sana. Oleh karena itu siswa dilarang keras untuk

memasuki hutan, apalagi di malam hari tanpa pengawasan Master Guru. Sekolah

pedang ini begitu luas, diapit dua danau besar, tepat di depan adalah sawah

yang terbentang luas dan tepat di belakang adalah hutan lebat. Sekolah pedang

dikelilingi pagar tembok yang menjulang setinggi sepuluh meter dengan penjagaan

yang ketat. Di dalamnya begitu luas dan megah. Terdapat kolam air yang di

dalamnya hidup banyak jenis ikan, kolam seluas sepuluh meter itu sering

dijadikan sebagai rekreasi para siswa ketika sore hari. Dekat dari kolam air

terdapat bangunan yang megah, digunakan sebagai aula dan beberapa bangunan lain

seperti asrama putri dan putra yang terpisah cukup jauh, joglo, ruang kesenian,

tempat pandai besi, ruangan para master ruang bertanding dan banyak lagi.

Erlangga merasa kampusnya menjadi sempit jika dibandingkan dengan sekolah pedang ternama

ini. Walaupun dinamai sekolah pedang, dalam sekolah beladiri ini tidak saja

hanya mempelajari tentang bertarung menggunakan pedang. Namun ada

jurusan-jurusan yang dapat dipilih oleh siswa. Jurusan yang terdapat dalam

sekolah pedang ini diantaranya: jurusan pedang, jurusan tombak, jurusan panah

dan jurusan pengrajin senjata.

“Dalam jurusan pedang, ada banyak aliran di dalamnya, diantaranya adalah pedang dengan

tameng, pedang dua, pedang besar, pedang pendek yang memiliki keunggulan

masing-masing. Kau harus memilih salah satu, mana yang akan kau fokuskan. Jika

kau memilih pedang dengan perisai, kau akan sama dengan ku” Jaka meninju pelan

bahu Erlangga, seminggu sebelum masuk sekolah pedang “namun kau harus memiliki

tubuh yang kuat, karena pengguna pedang dengan perisai harus bisa menahan

serangan lawan dengan perisai, dan pastikan kau menahan nya dengan kokoh”

“Aku bahkan belum setuju akan masuk jurusan pedang”

“Kau ingin masuk jurusan panah? tombak? Jangan bilang kau akan masuk jurusan

pengrajin senjata?”

“Memangnya kenapa jika aku masuk jurusan pengrajin senjata?”

“Kau akan menghapal banyak jenis logam, batu, mineral dan semua hal tentang

pembuatan senjata. Kau juga akan belajar ilmu tentang reaksi antara materi satu

dengan materi yang lain, belajar ilmu fenomena fisik dunia ini, dan masih

banyak lagi. Kau yakin dengan hal itu?”

“Oy! Jangan kau kira di dunia ku, aku adalah anak bodoh yang tak bisa apa-apa”

Erlangga tersungut-sungut mendengar penjelasan panjang lebar mengenai jurusan

pengrajin senjata.

“Atau kau ingin masuk jurusan panah?” Jaka mengabaikan muka sebal Erlangga “Dengan

konsentrasi yang minim, kau tidak akan bertahan, percayalah padaku” Erlangga

tidak mau disebut begitu, dia membuktikan dengan meminjam anak panah dan busur

dari gudang rumah Jaka. Ia mencoba nya mengenai buah mangga yang diam tak

bergerak bergelantung tiga meter dari tanah. Susah payah Erlangga mengarahkan

konsentrasinya, namun begitu anak panah ia lepaskan, ia justru mengenai tembok

pagar yang keras dan justru merusak ujung anak panah.

“Lihat? Sudah aku katakan” ucap Jaka dengan nada mengejek.

“BERISIKKK!”

Karena itulah, saat masuk sekolah pedang, Erlangga langsung memilih jurusan pedang.

Namun dia masih belum memutuskan akan menggunakan aliran pedang yang mana. “Aku

rasa pedang ini cocok untuk mu Erlangga, pedang ini ringan dan tidak terlalu

berat. Tubuhmu tidak tegap dan berotot seperti Aku ataupun Jaka, kau akan kesulitan

apabila menggunakan pedang besar, ataupun aliran dua pedang yang membutuhkan

keahlian pedang dengan pembagian konsentrasi yang cukup. Namun ketajaman dari

pedang ini tidak boleh diremehkan. Aku tidak keberatan jika kau membawanya, kau

bisa merawatnya. Pedang ini bisa menjadi teman petualangan yang mungkin akan

kau jalani” menurut ayah Jaka, pedang ini sangat cocok untuk Erlangga yang

belum memutuskan aliran pedangnya. Tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu

pendek, tidak terlalu berat namun begitu tajam. Pedang itu berwarna hitam pekat

di bagian punggung nya namun bilah nya sangat mengkilap. Di bagian gagang

pedang terukir tulisan yang tak bisa Erlangga baca dan sarung pedang ini

memiliki ukiran kayu yang mengesankan. Sarung pedang itu berukir naga, harimau

dan elang. Pedang ini adalah pedang milik ayah Jaka waktu ia masih muda dulu,

saat dia masih suka bertualang menjelajah negeri-negeri jauh. Masa muda ayah Jaka

adalah pendekar pedang, bisa dilihat dari tubuhnya yang masih tegap dan kekar

seperti Jaka, namun raut wajahnya lebih matang dan tegas “Melihat mu memegang

pedang itu, aku jadi teringat masa mudaku” ucap ayah Jaka sehari sebelum

keberangkatan Jaka dan Erlangga ke sekolah pedang.

Sekolah Para Petarung (2)

“Ini bencana, aku tidak bisa mengikuti pelajaran” Erlangga mulai frustrasi, tak ada

pelajaran yang ia bisa ikuti. Baik sejarah pedang, teknik pedang, aliran

pedang, dan banyak pelajaran lain yang tak bisa ia ikuti. Jaka hanya tersenyum

melihat Erlangga dengan wajah kusut nya. Jaka tiga tingkat diatas Erlangga,

jadi dia adalah senior Erlangga. Mereka sering bertemu dan mengobrol

(Sebenarnya lebih banyak diisi oleh keluhan Erlangga tentang semua pelajaran

hari ini) ketika istirahat. Di bawah pohon rindang yang masih dalam lingkungan

sekolah, belakang aula dan dekat dengan pos jaga dan asrama putra.

“Aku rasa kau harus mulai belajar Erlangga. Perpustakaan di sini menyajikan buku

yang cukup lengkap. Kau bisa mulai dari awal tentang ilmu pedang mulai dari

sejarah dan sebagainya. Dan untuk tubuhmu yang masih belum terlatih, aku bisa

mengawasi latihan mu”

“Aku kira aku akan langsung bisa menyesuaikan begitu masuk, tapi ternyata tidak. Aku

sering ditertawakan karena membuat gerakan yang aneh dalam praktek menggunakan

pedang”

“Bukankah itu wajar? Orang yang belum lama memegang pedang seperti mu dan langsung mahir,

bukankah itu justru aneh? Kebanyakan siswa di sekolah ini sudah mendapatkan

sedikit bekal sebelum masuk sekolah pedang. Sedangkan kau benar-benar pemula

dalam bermain pedang, ingatlah apa tujuanmu” selanjutnya Jaka hanya menepuk

tiga kali “Aku harus menemui Master Guru Kliwon” ucapnya sambil berlalu

melambai tanpa menengok lagi.

Erlangga melihat Jaka pergi menjauh, kemudian Jaka ditelan oleh arus siswa yang berlalu

lalang di jam istirahat dengan segala obrolan mereka. Erlangga mengira dia

memang harus mulai belajar, dari awal. Jika niatnya kembali ke dunia nya, maka

jalan ini lah satu-satunya (yang dia tahu) yang dapat ia tempuh. Erlangga

bangkit penuh semangat dan berjalan ke arah perpustakaan.

Perpustakaan di sekolah pedang ini tidak jauh berbeda dengan perpustakaan di dunia Erlangga,

hanya saja terlihat lebih kuno. Suasana perpustakaan begitu tenang, kontras

dengan lorong-lorong penuh dengan obrolan siswa. Para siswa yang membaca atau

mengerjakan tugas duduk di bangku dengan meja panjang yang tersusun rapi.

Rak-rak buku dipenuhi buku-buku dengan berbagai judul, mulai dari ilmu alam,

ilmu sosial, ilmu kesehatan, batin, juga buku-buku bela diri mengenai seni

bermain pedang, panahan atau tombak dan buku umum lainnya. Erlangga mengambil

acak buku di perpustakaan. Buku itu terbuat dari kertas coklat, buku itu

disatukan menggunakan benang-benang dan dilapisi kulit entah itu sapi atau

domba, banyak dari buku di perpustakaan ini yang berbentuk seperti ini. Buku

yang Erlangga pegang adalah “Teknik Pedang Cepat” oleh seseorang bernama Kiroi.

Erlangga memutuskan mengambil beberapa buku lain selain buku yang ia pegang tadi

diantaranya “Berpedang Adalah Penyatuan Jiwa dan Raga” oleh Dharma, “Aliran

Dalam Berpedang” oleh Empu Wulad, “Sejarah Ilmu Beladiri Pedang” oleh Naratawam

dan “Pedang Adalah Pikiran” oleh Dharma. Tidak terasa, Erlangga sudah harus

kembali untuk mengikuti kelas berikutnya dengan Master Kliwon. Erlangga berniat

meminjam semua buku-buku itu dan buru-buru untuk masuk ke kelas. Saking

asyiknya dia membaca buku, seperti dia dibawa kabur dan ditelan oleh kata-kata

penulis, Erlangga tidak memperhatikan sekitar dan akhirnya dia ditabrak begitu

saja oleh seseorang dari belakang sehingga dia tersungkur bukan karena tubuhnya

seringan ranting kayu, tapi lebih karena dia terkejut dan semua bukunya

berhamburan ke lantai kayu perpustakaan “Pakai matamu!” ucap si penabrak dengan

dingin, lalu berlalu begitu saja, rambutnya panjang dan mengenakan ikat kepala

kain bermotif merak, tubuhnya tinggi tegap seperti Jaka namun lebih ramping

dari Jaka. Dia berjalan dengan angkuhnya menyusuri perpustakaan dan keluar dari

perpustakaan. Erlangga tidak memperpanjang itu dan lebih memilih memunguti

buku-buku yang berhamburan. Jaka pernah berpesan “Usahakan menghindari segala

permasalahan”.

“Pedang yang tidak dilapisi energi aji, atau ajian jauh lebih lemah dibandingkan pedang

yang dilapisi energi aji atau ajian” dan kelas Master Kliwon pun dimulai.

Erlangga memperhatikan dengan lebih baik, dia tidak ingin terus-terusan

merasakan beban yang begitu berat setiap kali dia memasuki pintu kelas. “Akan

aku contoh kan dengan pisau kecil ini” dia memperlihatkan pisau kecil yang

biasa digunakan untuk mengiris buah, siswa memperhatikan dengan seksama demo

yang sedang dilakukan Master Kliwon. Tubuh penuh otot itu dengan gesit

mempersiapkan demo nya di depan kelas “Aku akan coba mengiris batu ini dengan

pisau” ucapnya, garis wajahnya tegas, kulitnya sawo matang dengan rambut pendek

yang ia sisir rapi. Umurnya mungkin berkisar tiga puluh an. “Lihat? Pisau ini

tidak bisa mengiris batu… namun! Apa yang terjadi jika aku alirkan energi aji ku

pada pisau kecil ini?” suaranya berat memenuhi kelas yang sunyi memperhatikan.

Dari tangannya mengalir energi aji yang dia bicarakan, berwarna hijau gelap

berkobar layaknya api namun Master Kliwon tidak merasa kepanasan. Kemudian

energi aji mengalir dan membungkus pisau kecil seluruhnya. Semua siswa menahan

napas, penasaran apa yang terjadi selanjutnya “Perhatikan!” Master Kliwon

kemudian mengiris batu dengan mudahnya, seperti mengiris buah apel atau mangga.

Semua siswa terkesima, walaupun beberapa siswa mungkin sudah melihat praktek

energi aji, namun tetap saja praktek penggunaan energi aji selalu menarik

dilihat. “Energi aji bisa memperkuat senjata, serangan fisik seperti tinju dan

tendangan, dan beberapa ajian menggunakan energi aji sebagai pendukung kekuatan

tubuhnya. Entah itu bergerak lebih cepat, terbang, melesat dan lain sebagainya.

Kalian harus mempelajari energi aji, ajian yang sesuai dengan gaya bertarung

kalian, agar kesempatan kalian dalam memenangkan pertarungan meningkat. Ada

yang ingin bertanya?”

***

Begitulah kelas Master Kliwon berakhir dengan banyak daftar hal yang harus dilakukan

Erlangga. Pertama, dia sampai sekarang belum juga memutuskan akan menggunakan

aliran pedang yang mana dan seperti apa. Kedua, dia perlu belajar mengenai

energi aji lebih banyak lagi. Kelas Master Guru Kliwon tidak cukup untuknya,

dia membutuhkan penjabaran mengenai energi aji lebih banyak lagi. Begitulah

hari-hari Erlangga di sekolah pedang. Setiap menerima pelajaran, dia akan

selalu mengulangi pelajaran yang dia terima, memahami kembali dan membaca ulang

catatan-catatan yang ia buat selama mengikuti kelas. Dari situ dia belajar lagi

lebih dalam, Erlangga yakin yang disampaikan para Master nya hanyalah kulit nya

saja, Erlangga harus masuk sampai ke inti nya. Dia sekarang sudah menjadi

langganan perpustakaan. Kemudian, dia sering meminta Jaka untuk mengawasi dia

berlatih menggunakan pedang.

“Aku sudah menguasai satu ajian” ucap Erlangga

“Dari mana kau belajar?” Jaka selalu tertarik melihat perkembangan Erlangga beberapa

minggu terakhir, Erlangga bukan lagi siswa yang merengek tidak bisa mengikuti

pelajaran seperti tiga bulan lalu. Mereka memutuskan berlatih di luar

lingkungan sekolah, di pohon rindang dengan akar dahan yang menjulur ke bawah

dekat danau.

“Aku awalnya belajar dari buku-buku, namun juga aku bertanya pada beberapa Master”

“Ajian seperti apa?”

“Ajian yang memungkinkan aku untuk menciptakan dan mengendalikan listrik, namun aku

masih terbatas pada kekuatan listrik yang dihasilkan dan bentuk yang aku buat.

Master Kliwon bilang, aku masih belum cukup mahir mengontrol energi aji yang

aku punya” kemudian Erlangga mengangkat tangannya, gemeretuk listrik terdengar.

“Aku harus sering berlatih”

“Mau kau apakan ajian listrik mu dalam pertarungan?”

“Aku ingin melapisi pedang ku dengan ajian listrik agar lebih kuat”

“Menarik, kau mau mencobanya sekarang?” Jaka mengangkat perisai nya yang terbuat dari

logam kokoh dan pedangnya yang lebih besar daripada pedang yang digunakan

Erlangga. “Aku akan menggunakan ajian api dalam latihan kali ini, bersiaplah!”

“Wah curang!”

Mereka bersiap-siap dan memasang kuda-kuda dan mengambil jarak sehingga kini mereka

berjauhan tiga batang tombak. “Majulah!” teriak Jaka. Tanpa disuruh lagi

Erlangga mencabut pedangnya dan langsung melapisi pedangnya dengan ajian

listrik, pedang nya mengeluarkan kilat listrik biru menyala yang jika digunakan

untuk menebas batu besar, dipastikan batu besar itu akan terbelah. “Aku maju!”

teriak Erlanggga. Erlangga menebas dari arah samping, namun terbaca dengan

mudah oleh Jaka yang langsung menangkis nya dengan perisai nya yang masih polos

belum dilapisi ajian ataupun energi aji. “Seperti biasa, pertahanan mu sulit

ditembus” Jaka tidak memperdulikan, dia bersiap untuk menyerang.

“Jangan alihkan fokus mu”

“Ap-“ Erlangga reflek menarik diri dan melompat dua batang tombak, perisai Jaka

terbakar api merah menyalah, Jaka menggunakan ajian apinya untuk melapisi

perisai. Lidah api menjilat-jilat di perisai nya, kini Jaka tak ubahnya dari

menggunakan perisai api yang panas. Jaka mengayunkan perisai nya dan terlempar

lah dua bola api yang langsung mengarah ke arah Erlangga. Reflek Erlangga masih

bagus, dia berguling menghindari bola api. Tidak cukup dua, Jaka terus

mengayunkan perisai nya dan bola-bola api terus terlempar mengarah ke mana pun

Erlangga menghindar “Kau mau membakar rerumputan di sini?!”

Erlangga lari sekuat tenaga, aliran listrik di pedangnya terus menyala-nyala seperti

hendak menyambar. Erlangga terus menghindar, melompat, berguling sambil terus

menderap ke arah Jaka. Bola-bola api itu bisa dihindari Erlangga dan dia sudah

sangat dekat dengan Jaka, Erlangga melompat dan mengayunkan pedangnya ke bawah

yang langsung disambut perisai Jaka. Maka listrik dan api pun beradu, yang

terjadi selanjutnya adalah ledakan yang membuat mereka sama-sama terpental dua

batang tombak.

Tak puas, mereka sama-sama bangkit. Dengan semangat yang membara mereka sama-sama

berderap maju saling menyambut dan mengerahkan serangan. Mereka berlatih

tanding seperti itu tidak kurang tidak lebih selama tiga puluh menit, dan

berakhir dengan pedang Erlangga yang terpental karena dia sepertinya sudah

kelelahan memegang pedang, tangannya terasa kebas dan berdenyut. Sebaliknya,

Jaka masih berdiri tegak, ia mengatur napas “Kau harus lebih banyak melatih

genggaman pedang mu”.

“Aduh duh, panas!” tangannya sempat terbakar oleh panasnya ajian api Jaka dan

sekarang dia merendamkan tangannya di tepi danau. “Kau bisa membakar semua yang

ada di sini, kau tahu”

“Jika tidak pernah ada sakit dalam tiap latihan mu, kau akan canggung dalam

pertarungan sungguhan”

“Canggung?”

“Kau sulit memperkirakan kekuatan mu, kekuatan lawanmu, insting mu akan lemah, indra

mu akan tumpul. Kau akan kesulitan mengukur bajumu sendiri”

“Mengukur baju? Jangan bicara yang macam-macam, aku tidak terlalu mengerti” Jaka hanya

tersenyum kecil, mengabaikan Erlangga yang masih sibuk mendinginkan luka

bakarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!