NovelToon NovelToon

Terjerat Cinta Wanita Malam

Bab 1 Pria Itu Awal Takdirku

“Puaskan aku,” ucap seorang pria berusia tiga puluh tahun itu.

Matanya tidak lepas menatap lekat seorang wanita yang kini berdiri tepat di hadapannya dengan penuh rasa takut. Tubuhnya gemetar dengan jantung yang berdetak tidak karuan. Ini bukan pertama kalinya Ayana melayani seorang lelaki hidung belang. Namun, pria yang saat ini menjadi pelanggannya terlihat sangat mendominasi.

“Aku tidak sudi membayarmu jika aku tidak merasa puas,” ancamnya lagi yang semakin membuat Ayana menundukkan wajahnya.

Tidak, ia tidak boleh pulang tanpa uang sepeser pun. Besuk anaknya harus menjalani pengobatan karena sakit yang dideritanya sejak usia empat tahun itu.

“Baik, Pak,” kata Ayana masih dengan menyembunyikan wajah ayunya.

Arsyanendra Biantara, pria itu duduk sambil menyandarkan kepalanya di kepala ranjang. Mata bulatnya menatap penuh gairah pada wanita yang kini melepaskan pakaiannya satu per satu. Layaknya seekor singa yang lapar akan mangsanya, Arsya siap menerkam tubuh polos Ayana saat ini.

Kulit putih dengan tinggi seratus enam puluh tiga sentimeter itu benar-benar menggoda. Tubuh yang menawan dengan dua bukit kembar yang bulat sempurna sungguh luar biasa.

Pelan namun pasti, Ayana merangkak ke atas tempat tidur dengan tubuh polos yang menggoda. Menggigit bibir bawahnya menciptakan kesan sensualitas yang semakin menambah gairah pria yang saat ini menatapnya dengan lapar. Malam ini Ayana harus menjadi pihak yang agresif demi sejumlah uang yang sangat ia butuhkan.

Duduk di atas tubuh Arsya dengan jilatan di leher jenjang milik lelaki itu mampu membuat sang empunya pun mendesah pelan. Ayana menciptakan karya seni indahnya di sana, tidak hanya satu melainkan ada beberapa yang tergambar dengan jelas di leher milik Arsya.

Arsya menyunggingkan senyum menawannya, ia benar-benar dimanjakan dengan semua sentuhan wanita yang saat ini berusaha mendominasi tubuh kekarnya. “Lakukan lagi, aku suka,” gumam Arsya dengan suara rendahnya.

Ayana pun tidak mampu untuk menolak, wanita pemilik bibir tipis itu melakukan apa yang menjadi keinginan tamunya malam ini. Rambut Ayana yang digerai dengan indah itu begitu harum hingga menusuk indra penciuman Arsya. Pria itu menghirup dengan rakus aroma wangi Ayana yang sungguh memabukkan.

Menggunakan tangannya yang kekar, Arsya memindahkan tubuh mungil Ayana dengan sekali hentak. Mata Ayana melebar bersamaan dengan tangan Arsya yang sudah meraba punggung mulus Ayana. “Jika hanya seperti ini aku tidak mungkin bisa terpuaskan,” racau Arsya yang sebenarnya mencoba menahan gairah yang sudah memuncak.

“Ma-maaf,” cicitnya takut.

“Bukankah pelacur adalah pekerjaanmu? Bukankah ini bukan yang pertama untukmu? Harusnya kamu lebih mahir, bukan?” sindir Arsya yang tanpa sengaja telah melukai hati kecil Ayana.

Ayana mengatupkan bibirnya rapat, wanita itu mencoba menahan isakan yang keluar dari bibir tipisnya. Sungguh, ini bukan kemauannya. Takdir yang begitu jahat membuat Ayana terjun dalam dunia prostitusi.

Melihat wajah Ayana yang begitu sendu membuat Arsya menghentikan kegiatannya. Pria itu menjauhkan tubuhnya dari tubuh polos Ayana. Arsya mengamati wajah ayu yang sudah basah oleh bulir bening yang mengalir di kedua pipi Ayana.

“Pakai bajumu!” perintah Arsya yang kini beranjak dari ranjang. Pria itu merasa frustasi karena gairah yang sedari tadi ia tahan kini tidak bisa ia salurkan.

Ayana menggelengkan kepalanya, dengan cepat tangan mungil Ayana mencengkram tangan Arsya. Masih dengan mata yang dipenuhi bulir bening, Ayana berucap, “Saya akan berusaha. Berikan saya kesempatan sekali lagi. Saya butuh uang itu, Pak!” sergah Ayana sebelum Arsya meninggalkan dirinya.

Mendengar kalimat yang sarat akan keputusasaan dari Ayana membuat Arsya mengernyitkan dahinya. Arsya bukan hanya kali ini membayar seorang wanita untuk memuaskan hasratnya. Namun, menatap sepasang mata yang penuh kesungguhan itu membuat Arsya seakan tenggelam di sana.

“Kenapa?” tanya Arsya kembali menatap lekat wanita yang ada di depannya.

Ayana mengerjapkan matanya untuk mengurangi pandangan kabur karena air mata yang menumpuk di sudut matanya. “Aku harus membawa anakku ke rumah sakit besuk,” jawab Ayana dengan terisak.

Pria dengan tinggi seratus tujuh puluh tujuh sentimeter itu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan membuangnya di atas ranjang. “Apa itu cukup?” ujar Arsya singkat.

Iris mata dengan warna coklat itu kini memancarkan kebahagiaan. Pada akhirnya Ayana memiliki uang untuk membawa El ke rumah sakit.

“Tapi saya belum melakukan tugas saya,” tutur Ayana seraya mengambil uang yang berserakan di atas ranjang.

“Tidak perlu.” Arsya meninggalkan Ayana sendirian dengan tangis yang masih dapat ia dengar saat keluar dari kamar yang seharusnya menjadi tempat mereka untuk melampiaskan hasrat.

***

Angin malam berhembus sangat kencang, membuat siapa pun yang berada di tengah malam ini dapat bergidik karena kedinginan. Ayana menaikkan selimut tebal yang membungkus tubuh El hingga perpotongan leher.

“Ibu,” panggil El saat pria cilik itu sedikit terganggu dengan pergerakan yang dilakukan oleh ibunya.

“ Iya, Sayang,” jawab Ayana seraya membelai rambut pendek El.

“Ibu kapan pulang?” tanya El mengerjapkan matanya berusaha menatap jelas sang ibu.

“Baru saja. El kembalilah tidur, besuk, kan, harus ke rumah sakit,” saran Ayana yang mendapatkan anggukan dari anak yang masih berusia lima tahun itu.

“Hm.” Gumaman dari El membawa anak itu kembali dalam mimpi indahnya.

Angin kembali berdesir dengan lembut menyapa kulit mulus Ayana. Dingin yang ia rasakan membuat wanita itu harus mengeratkan jaket yang masih terpasang di tubuh indahnya. Menantikan kepulangan sang suami di depan televisi sembari melihat berita yang politik yang jelas tidak ia mengerti.

Meski suara televisi mendominasi ruangan di mana Ayana berada, tetapi bayang-bayang pria yang menjadi tamunya malam ini masih teringat jelas dalam benak Ayana. Kulit tan dan juga mata tajamnya yang mampu mengintimidasi tidak bisa hilang dari pikiran Ayana.

Ayana tidak peduli jika pria itu tidak ingin bermain dengannya, sungguh ia malah merasa lega. Tanpa membuang tenaga ia bisa mendapatkan uang lebih banyak dari malam sebelumnya.

Suara pintu yang terbuka membuat Ayana menolehkan wajahnya. Mendapati sang suami yang baru saja memasuki rumah dengan wajah lesu. Radhitya berjalan dengan lemas dan duduk di samping istrinya, Ayana. “Hah ... lelah sekali,” keluh Radhitya seraya menyandarkan kepalanya sofa.

Ayana yang melihat wajah lelah Radhitya pun memijat bahu kekar suaminya dengan lembut. “Sudah makan?” tanya Ayana.

“Sudah. El mana?” Radhitya bertanya dengan memejamkan matanya berharap lelah yang ia rasa segera hilang.

“Sudah tidur,” jawab Ayana singkat.

Radhitya merubah posisinya menjadi duduk, menatap istri cantiknya dengan penuh rasa cinta. Tangan kanannya kemudian mengeluarkan sebuah dompet dari saku celana. Radhitya menghitung beberapa lembar uang sebelum akhirnya pria itu menyerahkan pada Ayana. “Mas hari ini hanya dapat segitu. Mas tahu ini kurang untuk biaya pengobatan El besuk,” sesal Radhitya.

Ayana menerima uang itu dengan senyum yang terpancar dari bibir tipisnya. Manis, sungguh manis.

“Terima kasih, Mas. Aku masih ada pelanggan beberapa,” ujar Ayana yang kemudian menyimpan uang pemberian Radhitya di sakunya.

Meski rasanya tidak mungkin jika Ayana memiliki uang simpanan, tetapi Radhitya enggan untuk bertanya dari mana ia mendapatkan uang itu. Elvano dapat berobat saja sudah cukup baginya.

Bab 2 Incaran Yang Tidak Bisa Lepas

Pagi ini rasanya berbeda dari pagi kemarin. Entahlah, mungkin akan memasuki musim penghujan jadi cuaca sedikit lebih dingin. Meski langit begitu terang dan awan putih bergerak bersamanya, tetapi angin juga sedikit kuat.

Ayana merenggangkan otot-otot tubuhnya setelah bangun dari tidur cantiknya. Malam ini wanita cantik itu merasa tidurnya jauh lebih baik dari malam sebelumnya. Menolehkan wajahnya ke samping dan mendapati sang suami yang masih memejamkan matanya, Ayana pun menyibak sedikit anak rambut Radhitya.

“Mas, maafkan aku yang tidak jujur padamu,” tutur Ayana. Kini tangan wanita itu membelai pipi kasar milik Radhitya. Terlihat sedikit kerutan di wajah suaminya itu yang membuat Ayana semakin merasa bersalah.

“Aku menodai pernikahan kita,” lanjutnya yang semakin mengiris hati Ayana.

Ah, jika saja takdir tidak begitu kejam padanya, Ayana tidak akan melakukan hal bodoh yang dapat merusak rumah tangga yang telah ia bina dengan Radhitya.

Merasakan adanya sebuah sentuhan di wajahnya membuat Radhitya mengerjapkan sepasang mata indahnya. Mendapati sang istri yang menatapnya membuat Radhitya bersuara, “Ada apa?” tanya Radhitya dengan suara beratnya.

Ayana menggelengkan kepalanya seraya tersenyum manis dan menjawab, “Tidak ada apa-apa.” Setelah menjawab pertanyaan dari Radhitya, Ayana pun beranjak dari ranjang dan menuju kamar sang putra, Elvano.

Ayana yang akan masuk ke kamar El pun dikejutkan dengan El yang sudah berada di depan pintu. Pria cilik yang baru saja menginjak usia lima tahun itu kini sudah rapi dengan kaos bergambar beruang. Ayana tersenyum dan menyejajarkan tingginya dengan sang anak. Mengusap kepala El dengan begitu lembut dan berkata, “Kamu sudah siap?”

El menganggukkan kepalanya bersemangat, “Kan, mau ke rumah pak dokter biar cepat sembuh,” jawab El dengan senyum yang tidak luntur dari bibirnya.

Mendengar penuturan dari El membuat Ayana merasa miris. Ia tidak tega dengan sang anak yang berjuang dengan rasa sakit yang ia derita ini. Andai Ayana dapat meminta, ia sudah pasti akan meminta pada Tuhan jika dirinya sajalah yang mengalami sakit bukanlah sang anak.

Ya, seperti arti namanya anak yang kuat dan hadiah dari Tuhan. El tidak pernah merasa mengeluh sedikit pun dengan rasa sakit yang ia rasakan.

“Ibu mandi dulu nanti kita berangkat setelah mengantar ayah kerja, ya.” Ayana pun meninggalkan El dan segera bersiap untuk mengantar El ke rumah sakit.

***

“Ayah doakan El sehat, ya,” pinta El dengan menjabat tangan ayahnya dan tidak lupa mencium punggung tangan Radhitya.

“Pasti,” jawab Radhitya seraya mengusap puncak kepala El.

“Hati-hati, ya, Mas,” bisik Ayana tepat setelah ia berada di depan suaminya.

“Cepat berangkat, keburu banyak yang parkir di sini nanti ramai,” sahut Radhitya memberikan helm yang tadinya ia pakai pada Ayana.

Radhitya hanya seorang juru parkir di mall besar di kota. Pria itu terkadang merasa bersalah dengan sang istri yang hidup serba kekurangan karena menikah dengan dirinya. Apalagi setiap dua kali dalam seminggu ia harus bisa menyisihkan setidaknya lima ratus ribu untuk pengobatan sang anak.

Motor yang hanya satu itu pun mereka gunakan secara bergantian. Ayana akan mengantarkan Radhitya bekerja sebelum ia pergi ke rumah sakit bersama anaknya. Ayana memakai helm-nya kemudian segera berangkat ke rumah sakit bersama dengan El.

Tanpa Ayana sadari, sedari tadi sepasang mata telah memperhatikan wanita itu dengan saksama. Seringai nampak terlihat jelas di bibir penuh seorang Arsya. Ya, pria itu tidak pernah melewatkan pemandangan indah yang baru saja ia lihat.

Namun, entah mengapa ada rasa sesak kala wanita yang ia temui semalam begitu dekat dengan pria yang bekerja sebagai juru parkir di mall miliknya.

Tidak ingin terlalu memikirkan apa yang baru saja ia lihat, Arsya pun segera mengetikkan sesuatu di ponsel pintarnya. Senyum kemenangan pun menyertai ponsel yang baru saja ia masukkan kembali ke saku celananya.

Sedangkan di tempat lain, Ayana yang begitu khawatir dengan kondisi sang anak pun terlihat gugup. Tangan mungil miliknya tidak berhenti menggenggam tangan kecil milik El.

“Bu, tenanglah. Ini bukan yang pertama bagiku. Aku pasti selalu sehat,” ujar El mencoba menenangkan ibunya.

Ayana tidak henti merasa bangga pada anaknya ini. Di usia yang masih kecil ia sudah diberi cobaan yang berat, tetapi El tidak merasa lengah sedikit pun. El malah menjadi anak yang tegar dan kuat.

***

Langit jingga yang terkembang di atas kepala tampak indah dengan susunan awan yang membiaskan warna orange. Semilir angin berhembus yang menerbangan rambut lurus milik Ayana. Tak terasa matahari mulai menghilang kini cahaya mulai temaram.

Sore ini Ayana menjemput Radhitya. Namun, sebelum ia menjemput suaminya, Ayana lebih dulu mengantarkan pulang El. Cuaca yang dingin tidak baik untuk kesehatannya.

Ayana melihat Radhitya yang sedang menunggunya dari kejauhan. Lelaki itu nampak sumringah tatkala melihat sang istri yang berjalan ke arahnya. Begitu pula dengan Ayana, wanita cantik berkulit putih itu juga memperlihatkan senyum indahnya.

“Ayo,” ajak Radhitya yang sudah menggenggam tangan Ayana begitu erat. Tentu saja interaksi Ayana dengan Radhitya ini mengundang iri semua orang yang melihatnya. Ayana pun menganggukkan kepalanya dan tidak lupa Radhitya juga berpamitan dengan teman juru parkir yang lain.

Entah sebuah kebetulan atau takdir yang ingin menertawakannya, dari balik kaca jendela mobil seorang pria kini mengepalkan tangannya. Nafasnya berderu tidak karuan karena sesak yang ia rasa begitu menyakitkan.

Wanita itu belum membalas pesannya tapi kini malah tertawa bersama pria lain, berani sekali dia. Tunggu dulu, memang siapa dirinya? Ia hanya seorang pelanggan dari wanita yang bekerja sebagai p*l*cur.

Akan tetapi bukankah wanita itu semalam mengatakan jika ia membutuhkan uang untuk pengobatan anaknya? Lalu apakah itu suaminya atau pelanggan yang lain? Tetapi mengapa mereka sangat intim sekali?

Berbagai pertanyaan muncul di kepala Arsya. Pria itu tidak dapat berpikir dengan jernih. Harusnya ia tidak peduli, tetapi mengapa wanita itu selalu memenuhi pikirannya. Apa karena iris hazelnya yang mampu menenggelamkan ia hingga sulit bagi Arsya untuk abai terhadapnya?

“Aku tidak akan membiarkan kamu lolos lagi lain kali. Aku akan mencicipi seluruh tubuhmu dan menjadikan kamu milikku malam ini,” gumam Arsya dengan lirih.

Arsya menekan nomor telepon dan menghubungi salah satu orang kepercayaannya untuk mencari tahu tentang wanita yang saat ini menjadi incarannya itu. Bagai mendapatkan mangsa yang empuk, Arsya benar-benar tidak akan melepaskannya kali ini.

Di bawah langit gelap dengan penerangan lampu jalanan kota yang terang, Ayana memeluk pinggang suaminya dengan erat. Tidak ada rasa jijik saat keringat Radhitya menyapa indera penciumannya. Prianya, suaminya telah bekerja keras untuk dirinya dan El. Bodohnya ia yang malah menodai pernikahan mereka.

Bab 3 "Siapa itu Arsya?"

Ayana yang baru sampai di rumah pun mendudukkan dirinya di sofa sembari menunggu sang suami membersihkan diri. El telah menjemput mimpi indahnya dalam tidur.

Getar ponsel yang terdengar dari tas Ayana pun membuat wanita itu mengambilnya. Ah, jika diingat wanita itu seharian ini belum membuka ponselnya.

Ayana mengernyitkan dahinya saat nomor yang tidak ia ketahui mengirim pesan padanya. ‘Temui aku malam ini di hotel semalam.’ Begitu tulisnya.

Menolehkan kepalanya untuk melihat keadaan sekitar. Ia takut jika saja Radhitya tiba-tiba saja datang dan melihat pesan singkat di ponsel miliknya.

‘Baik. Beri saya waktu tiga puluh menit lagi,’ balas Ayana dan kemudian menghapus pesan dari nomor tersebut.

Tentu saja Ayana tidak ingin hal yang buruk terjadi di rumah tangganya. Ayana melakukan hal menjijikkan dengan menjadi seorang p*l*cur karena keadaan yang memaksa.

Apa yang harus Ayana katakan untuk sebuah alasan pada suaminya? Sudah terlalu banyak ia membohongi Radhitya dengan segala cara sejak dirinya menekuni profesi terlarang ini.

“Sudah malam kenapa belum tidur?” Suara Radhitya tiba-tiba saja terdengar dari belakang. Tentu saja hal tersebut sukses membuat Ayana terkejut.

“Sebentar lagi, Mas, belum ngantuk,” ujar Ayana berusaha menahan gugup.

Radhitya mengusap kepala basahnya dengan sebuah handuk. Pria itu lekas mendudukkan dirinya di samping sang istri.

Menggigit bibir bawahnya menyalurkan rasa gugup yang mendera, Ayana berusaha mencari alasan pada Radhitya lagi malam ini.

“Mas , aku hari ini izin mau ke tempat mbak Romlah. Beliau dapat pesanan catering banyak dan aku disuruh bantuin,” bohong Ayana berharap Radhitya akan percaya.

Tentu saja tidak ada kecurigaan sedikit pun dari Radhitya. Pria itu menganggukkan kepalanya dan berkata, “Perlu Mas antar?”

“Enggak perlu, Mas. Ayana bisa sendiri,” tolak Ayana.

Radhitya selama ini berpikir jika uang simpanan istrinya adalah dari membantu tetangga yang kemudian dikasih upah. Andai Radhitya tahu dari mana sebenarnya uang itu berasal.

***

Mengendarai motornya di tengah malam tidak membuat Ayana merasa takut. Gelapnya jalanan sudah menjadi teman Ayana sejak ia menekuni dunia malam seperti ini.

Ayana yang sedikit terlambat pun harus buru-buru untuk memasuki hotel tempat ia dan Arsya bertemu. Sudah lima menit dari waktu yang dijanjikan dan Ayana merutuki atas keterlambatannya.

Sebuah pintu yang sudah pasti tidak asing bagi Ayana, wanita itu memasukkan beberapa angka sandi agar pintu bisa ia buka. Tentu saja sang pemilik kamar hotel telah memberitahukan sandinya.

Pelan namun pasti, Ayana melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Penerangan yang minim membuat Ayana sedikit kesulitan menemukan sang pemilik kamar.

“Pak,” panggil Ayana yang tidak mendapatkan jawaban sama sekali.

Ayana tetap melanjutkan langkahnya, hingga sesosok bayangan dapat ia lihat. “Maaf saya terlambat,” sesal Ayana yang masih tidak mendapatkan tanggapan.

Meski tidak dapat ia lihat karena penerangan yang minim, tetapi Ayana dapat merasakan orang tersebut berjalan ke arahnya.

“Ya, dan kamu harus dihukum,” ancamnya. Entah sejak kapan orang tersebut sudah berada di samping Ayana dengan membisikkan ancaman yang baru saja ia katakan.

Jantung Ayana seakan berhenti berdetak, tubuhnya merasa panas. Bisikan seduktif di telinganya membuat Ayana tidak dapat bergerak sedikit pun.

Arsya, pria itu masih betah dengan ruangan gelapnya. Tanpa berniat untuk menyalakan lampu yang ada di sekelilingnya.

Tangan kekar Arsya kini sudah berada di atas perut rata milik Ayana. Ya, meski Ayana telah melahirkan seorang putra, tetapi perut wanita itu masihlah sangat bagus.

“Bukankah aku sudah memberitahu tempat dan jamnya?” bisik Arsya meraba perut Ayana yang sukses membuat wanita itu melenguh.

“Ada hal yang harus saya lakukan lebih dulu, Pak,” sahut Ayana tidak ingin disalahkan atas keterlambatannya.

“Apa? Bercinta dengan suamimu lebih dulu?” Ayana melebarkan matanya kala suara berat Arsya yang sedikit mengancam itu terdengar di telinganya.

Dari mana Arsya tahu? Ia tidak pernah mengutarakan pada tamunya siapa ia sebenarnya.

“Jangan terkejut. Aku tahu semua tentangmu,” ujar Arsya menjilat daun telinga Ayana.

Berada di dekat Arsya benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantung Ayana. Pria itu bagai bom waktu untuk wanita yang kini telah berusia dua puluh tujuh tahun itu.

“Malam ini aku tidak akan melepaskan kamu. Aku akan memasuki hingga kamu menjeritkan namaku,” kata Arsya dengan bangga dan penuh keyakinan.

Arsya membalikkan tubuh mungil Ayana dan kini mereka saling berhadapan. Tangan yang tadinya berada di perut Ayana kini telah berganti di pinggang ramping wanita itu.

Mengecup leher jenjang Ayana, Arsya semakin panas oleh lenguhan merdu dari bibir wanita yang saat ini di bawah kungkungannya.

Tangan nakal Arsya semakin berani mengusap tubuh Ayana dari balik kaos yang ia kenakan. “Aku tidak tahan,” ucap Arsya yang kemudian secara beringas melepaskan seluruh pakaian yang ia kenakan.

Malam ini akan menjadi malam yang panas dan juga panjang untuk Arsya dan juga Ayana. Mereka akan melepaskan gairah yang sempat tertunda kemarin. Malam ini juga akan mengubah segalanya tentang kehidupan mereka berdua.

***

Pagi ini Ayana merasa sangat lelah. Tubuhnya seperti habis lari berpuluh-puluh meter jaraknya. Permainan Arsya semalam mampu membuatnya lemas.

Pelanggannya yang satu itu benar-benar luar biasa. Bagaimana dirinya yang merasa lelah, tetapi Arsya masih begitu kuat dalam permainan malam itu.

Seakan memberikan tanda kepemilikan, Arsya membuat karya seni indah di beberapa tubuh Ayana. Wanita itu awalnya menolak dan merasa kalut, ia takut jika Radhitya melihat dan mempertanyakan tanda itu. Beruntung tanda merah itu Arsya buat di tempat yang tertutup.

Ayana turun dari ranjang dan sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara. Ia tidak ingin membuat suaminya bangun, ia pasti lelah.

Sebuah laci yang berada di dekat ranjang pun menjadi tujuan utama Ayana pagi ini. Dompet kecil berwarna abu-abu menjadi saksi bisu permainan panas Ayana dan Arsya.

Membuka tas itu dan mengeluarkan sejumlah uang yang ia dapat semalam, banyak, sangat banyak. Menyimpan uang itu di suatu tempat yang hanya dirinya yang tahu.

Ayana beranjak meninggalkan kamar, tetapi sebelum itu Ayana mengisi daya pada ponsel miliknya.

Sepeninggalan Ayana, Radhitya mengerjapkan matanya menandakan sang empunya telah bangun. Getar ponsel milik istrinya yang berada di atas meja membuat Radhitya menolehkan kepalanya.

Radhitya takut jika saja itu telepon yang penting, pria itu beranjak dari posisinya. Dadanya terasa nyeri, aliran darahnya terasa berhenti. Sebuah notifikasi pesan yang membuat amarah Radhitya memuncak.

***

“Ibu, nanti aku boleh pergi main?” tanya El setelah menelan makan paginya.

Ayana tidak pernah melarang anaknya melakukan hal yang ia sukai. Selagi El merasa nyaman dan itu tidak mengganggu kesehatannya Ayana pasti memperbolehkan.

“Tentu saja,” jawab Ayana mengelus puncak kepala El.

Melihat sang suami yang sedari tadi hanya diam saja membuat Ayana menatap Radhitya dengan aneh. Wajah yang serius dan mata yang memancarkan amarah itu sungguh membuat Ayana takut.

“Mas, ke-kenapa tidak sarapan? Sebentar lagi bukannya berangkat kerja?” tanya Ayana dengan gugup.

“Siapa itu Arsya?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!