BRAKK!!
Sebuah mobil dan sepeda motor terlibat kecelakaan. Suara benturan kendaraan besi itu memekakkan telinga. Orang-orang berhambur untuk melihat.
Seorang pemuda bergelinjangan, berteriak memegangi matanya. "Sakitt!! Sakitt!"teriaknya penuh kesakitan.
Orang-orang memanggil ambulance dan polisi. Ada yang mengecek mobil yang masih diam di tempatnya. Kaca mobil yang hitam membuat orang-orang kesulitan untuk melihat isi mobil. Ada yang mencoba mengetuk, ada yang mengitari mobil, mencegahnya kabur.
Sekian menit menunggu, ambulance datang. Pemuda yang kini tergolek tak berdaya itu diangkut dan dibawa ke rumah sakit. Lalu polisi datang untuk mengamankan sepeda motor milik pemuda itu lalu memeriksa mobil yang pengemudinya masih belum keluar.
Sedang di dalam mobil Mercedes Benz itu, pengemudinya yang seorang perempuan masih terkejut dan takut. Kilas balik kecelakaan terlintas dan semuanya begitu cepat. Dirinya tak berani keluar dari mobil, takut diamuk massa. Tak berani pula untuk kabur. Rasionalnya masih berfungsi.
"Mohon keluar." Polisi mengetuk kaca jendela mobil. Dengan takut, perempuan itu keluar. Ia menunduk.
"Perempuan rupanya!"
"Pakaiannya ketat sekali. Wanita malam sepertinya!"
"Bau alkohol. Nggak bener nih perempuan! Pakaian ketat, bau alkohol, kerja atau apa, mbak?"
"Benar-benar. Sepertinya mengejar jam terbang. Bawa mobilnya kencang sekali sampai tidak melihat lampu hijau sudah menjadi merah!" Ada yang menimpali.
Perempuan itu meremas tangannya. Sangat takut. Dirinya bisa masuk penjara jika korban yang ditabrak tadi tewas. Tidak, bukan hanya karena itu.
"S-saya nggak sengaja, Pak," aduhnya dengan wajah pucat.
"Di sana ada CCTV, Pak. Bisa dilihat jelas siapa yang salah. Korbannya parah tadi, matanya yang kena. Mbaknya harus tanggung jawab sama korban." Seorang Bapak berujar seraya menunjuk letak CCTV.
"Baik, Pak. Terima kasih atas informasinya." Polisi mengangguk.
"Coba cek SIM-nya, Pak. Mana tahu tidak punya SIM, kan bisa menambah panjang pasal untuknya," cetus salah seorang yang merupakan saksi dari kecelakaan itu. Makin pucat wajah perempuan itu.
Tentu jawaban itu disambut dengan koor orang-orang, mengecek perempuan itu. "SIM dan identitas Anda?" Untunglah sudah ada polisi. Setidaknya aman dari amukan massa meskipun tidak secara verbal.
Perempuan itu segera memberikan yang diminta. "Ayara Dahayu? Silahkan ikut kami ke kantor."
"Saya nggak sengaja, Pak. Jangan bawa saya," pinta Ayara memelas. Dirinya dilanda kecemasan yang sangat besar.
"Bisa dibicarakan di kantor, ayo!"
Ayara pasrah. Ayara Dahayu, pergi bersama polisi sedang mobilnya dibawa oleh salah seorang personel yang ikut.
*
*
*
Sial sekali nasib Ayara malam ini. Dirinya memang dari bar dan sedang dalam perjalanan pulang, tak sabar tiba di kamarnya yang hangat malah tercampak ke ruang tahanan yang dingin. Pakaiannya yang lumayan terbuka membuat udara dingin leluasa bermain dengan kulit terbukanya.
Ayara meringkuk. Memeluk tubuhnya, berharap bisa sedikit menghangatkan.
"Yara!"
"Mama! Papa!" Dirinya berdiri. Menyambut tangan kedua orang tuanya dari dalam sel. Air mata yang sedari tadi ia tahan pecah. "Tolongin Yara. Yara nggak mau dipenjara, Ma, Pa."
Mama Ayara menangis sedang sang ayah menatap nanar sang putri. Ada kekecewaan di hatinya. Apalagi aroma alkohol yang masih terbawa. "Kamu mabuk, Ayara Dahayu?" Ayara terkejut. Rasa takut menyergap dirinya. Susah payah ia menelan ludah, tak berani mengangkat kepala.
"Benar, Yara?" Sang Mama ikut menimpali. Menyelidiki putrinya.
"Ya Allah, Nak!! Kenapa kamu jadi seperti ini?!" Mama Ayara histeris saat melihat pakaian Ayara. Seakan baru sadar. Kini, orang tua Ayara bukan kasihan pada anaknya malah marah, marah dan malu.
"Inilah alasanku menentang dirinya kuliah di luar negeri. Jadi liar, jadi perempuan badung! Bahkan berbohong dan menipu orang tuanya!!"maki Papa Ayara.
"Lihat akibat kelakuanmu! Nyawa orang taruhannya! Materi yang hancur dan malu yang kau lemparkan pada kami, Ayara! Kenapa seperti ini, hah?! Apa kami kurang mendidikmu?! Atau begini kau dididik di sana, hah?!" Sang Mama diam. Ia masih menenangkan dirinya sendiri. Lalu, polisi datang untuk meredam keributan itu.
Ayara menangis di sudut ruangan. Salah, dia bersalah! Pada orang tuanya dan pada korbannya tadi. "Kecewa Mama, Nak! Kami yang kami banggakan malah seperti ini!"
"Maafin Ayara, Ma, Pa. Ayara janji akan berubah. Ini yang terakhir, Ayara janji, Ma, Pa. Tolongin Ayara, Ayara takut …."
"Ayara nggak mau di penjara, Ma, Pa. Ayara … akan lakukan apapun asalkan Mama sama Papa tolongin Ayara."
Ayara tidak membela diri. Ia terus memohon.
"Kena batunya baru kau ingat kami, hah?!"
Papa Ayara masih emosi. Kekecewaan begitu besar. Hingga air matanya pun jatuh.
"Maaf. Maaf."
Hanya isak itu yang keluar dari bibir Ayara.
"Kita lihat dulu kondisi korbannya." Mama Ayara bersuara. Dan mereka berdua pergi. Ayara kembali sendirian. Meratapi nasibnya.
*
*
*
"Keluarga Nalendra Widiyanto." Dokter memanggil. Lalu, beberapa orang tergopoh menghampiri. Wajah cemas begitu besar.
"Pasien sudah selesai dioperasi dan akan dipindahkan ke ruang rawat."
"Kondisinya bagaimana, Dok?"
"Alhamdulillah, tanda vitalnya stabil. Sedang untuk kondisi matanya, kita harus menunggu pasien sadar."
Setidaknya itu melegakan. Mereka mengucapkan terima kasih lalu mengekor menuju ruang rawat yang telah diambil.
Nalendra Widiyanto, itulah nama pemuda yang ditabrak oleh Ayara tadi. Fisik yang paling parah adalah matanya. Lainnya tidak masalah.
Ada dua orang paruh bayah dan sepasang muda mudi. Mata mereka sembab.
Tengah malam bukannya tidur nyenyak malah jantungan mendengar kabar kecelakaan salah satu anaknya. "Kemungkinan mata Nalen buta." Pria yang paling tua berujar. Suaranya pelan nyaris lirih.
"Aku memang tidak setuju ia menjadi pelukis. Namun, bukan kebutaannya yang aku harapkan." Pria tua itu luruh.
"Ini takdir, Pa! Bukan ingin kita Nalen seperti ini."
"Sebaiknya kita tidak berpikiran buruk dulu. Semoga Nalendra baik-baik saja." Istrinya menenangkan. Meskipun tampaknya kemungkinan besar tidak bisa.
"Nalan, Nalin, doakan Kakak kalian agar lekas sadar, ya?"
"Iya, Ma. Mama sama Papa jangan terlalu sedih. Kak Nalen bakal baik-baik aja kok, kita harus percaya!"ucap Nalin, bungsu di keluarga itu.
"Tentu. Sekarang kita berdoa untuk Kak Nalen," sahut sang Mama.
*
*
*
"Kamarnya VVIP, Pa. Apakah kita berurusan dengan orang besar?" Mama Ayara sangat resah. Mereka berdiam diri di depan ruang rawat Nalendra.
"Jangan terlalu tegang, Ma." Meskipun Papa Ayara lebih tegang. Mereka memang orang besar namun di atas langit masih ada langit, bukan? Semoga saja bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
Papa Ayara mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Terdengar sahutan dari dalam ruang rawat.
"Widi?" Ayah Ayara terkejut saat mengetahui siapa yang membuka pintu kamar rawat pasien korban yang ditabrak Ayara tadi.
"Galuh? Ratih?" Pak Widi sama terkejutnya. Begitu juga dengan Mama Ayara. Mereka mematung sebelum akhirnya tersenyum canggung kecuali mimik Mama Ayara yang langsung masam.
"Sepertinya kita salah kamar, Pa," ujar Ratih pada suaminya. Galuh menyadari ketidaksukaan sang istri pada Galuh, hanya saja mereka harus memastikannya.
"Kalian … mengapa di sini?"tanya Galuh mengernyit. Kecelakaan putranya tidak dipublikasikan. Apakah suatu kebetulan? Dia berpikir seperti itu.
"Kami ada urusan, Galuh. Mohon maaf sebelumnya, apakah benar kamar ini kamar korban kecelakaan tadi malam? Namanya Nalendra Widiyanto?"tanya Widi memastikan. Ratih mencembik, ia melihat ke arah lain.
Galuh tersenyum tipis, ada kepedihan di matanya, "apakah kalian lupa? Nalendra Widiyanto itu putraku," sahutnya pelan. Sontak, mata Widi membulat. Dan Ratih ia tampak kembali terkejut. Ingatan demi ingatan hadir lalu keduanya meringis.
"Mungkin karena terlalu lama loss kontak."
Galuh tersenyum kecut. Ternyata begitu berefek. "Ayo masuk. Nalen di dalam, belum sadar."
Mereka masuk. "Ya Allah, Nalen!!" Ratih langsung menghambur melihat kondisi Nalen. Meskipun tidak banyak alat yang menempel di tubuhnya, mata yang tertutup kain putih itu sangat mengkhawatirkannya. Air mata Ratih jatuh.
Widi terdiam.
Benaknya berkata, mengapa seperti ini? Takdir ingin membawa kemana dengan mempertemukan mereka kembali?
"Nalen, sadar, Nalen. Ini Tante Ratih," lirih Ratih. Ia begitu larut sampai tak menyadari tatapan lekat dari istri Widi, Bianca. Dahinya berkerut-kerut, mengingat siapa wanita yang memeluk sedih putra sulungnya.
"Sebenarnya ada apa, ini? Kalian siapa?" Bianca akhirnya bertanya. Widi menghela nafas pelan.
"Mereka sahabat lamaku," jawab Widi. "Lalu mereka ke sini untuk -"
"Begini, Widi." Galuh menginterupsi, kecuali Ratih, Widi dan Bianca menatap Galuh. "Yang terlibat kecelakaan dengan putramu adalah putriku, Ayara Dahayu," ujar Galuh memberitahu.
Ternganga.
Tadinya mau ingin melampiaskan emosi jika bertemu dengan penabrak putra sulungnya. Tapi, rupanya putri sahabat lamanya. Widi … tidak mau menambah konflik masa lalu. Dia memejamkan matanya, menetralkan perasaan untuk mencari jalan tengah.
Galuh menceritakan kronologi kecelakaan yang ia dapatkan dari informasi polisi, lengkap dengan rekaman CCTV. Kecelakaan tadi malam, murni kesalahan putri mereka yang mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata, belum lagi dalam kondisi mabuk. Putrinya itu akan terjerat pasal berlapis.
"Jadi, Anda orang tua pelaku?!" Bianca kini berdiri di samping suaminya. "Mau apa kemari? Mengajak damai?!"kesal Bianca. Dirinya tidak terima, putra kesayangannya terbaring di sana dengan kondisi tak pasti. Jika yang dikhawatirkan benar-benar terjadi, bagaimana masa depan Nalendra? Nalendra belum menikah. Juga belum kekasih, setahunya. Siapa yang mau menikah dengan pria buta?!
"Saya tidak mau damai. Saya akan menuntut putri Anda!!"ucap Bianca tegas.
"Kau akan melakukannya, Widi?" Galuh bertanya pada Widi. Meskipun kesalahan putrinya fatal, dirinya kecewa, ia tak rela putri tunggal kesayangannya mendekam di penjara untuk waktu yang lama.
Widi dilema. Kelebatan masa lalu hadir silih berganti.
"Tentu saja! Gara-gara kecerobohan anak Anda, putra kami terbaring di sana. Matanya terluka, kemungkinan besar - " Tak sanggup Bianca melanjutkan.
"Kemungkinan …." Terbata. "Putraku akan buta," cicitnya sedih.
"Jika dia buta, bagaimana dengan masa depannya?!"seru Bianca. Widi merangkul istrinya.
"Kami akan bertanggung jawab." Ratih berbicara. Ia menyeka air matanya.
"Kalau begitu, biarkan putri kalian mendekam di penjara!"sahut Bianca.
Ratih menggeleng. Ia kembali ke sisi Galuh. Lalu menatap sang suami, meminta sebuah persetujuan. Galuh yang sudah soulmate tingkat tinggi dengan isterinya mengangguk menyetujui. Lalu, Ratih kembali menatap Bianca.
"Jika putriku masuk penjara, apakah akan menyelesaikan masalah masa depan Nalendra jika dia buta? Memang, bisa mendapatkan donor. Namun, bukankah itu butuh waktu yang sangat lama? Apakah Nalendra mampu menunggu?" Tenang, Ratih sudah menguasai medan pembicaraan. Terlebih ia memiliki kartu As agar Widi setuju. Ya, hanya Widi, tidak perlu pertimbangan Bianca.
"Apa maksud Anda? Apakah menurut Anda kami tidak mampu mencari donor mata untuk Nalendra?!"
"Ah, tentu saya paham, Nyonya Bianca. Namun, ini bukan masalah kekayaan namun waktu." Galuh membiarkan istrinya yang mengambil alih.
"Kami datang untuk menyelesaikan masalah ini dengan kekeluargaan. Kebetulan, entah takdir apa, rupanya bertemu dengan sahabat lama. Membuat saya mengingat masa lalu, janji-janji lalu kembali segar di ingatan saya. Jadi, putri saya akan bertanggung jawab dengan cara … menikah dengan Nalendra."
Mata Widi dan Bianca terbelalak. Bentuk tanggung jawab seperti apa itu?! "Anda sudah gila!! Saya tidak mau!" Bianca menolaknya keras.
"Janji adalah hutang, Widi. Harus dibayar dan kami sudah mengajukan. Jika kau menolaknya, berarti kau kembali mengkhianati sahabatku, ibu dari Nalendra!"tandas Ratih yang membuat Widi diam tak berkutik. Sedang Bianca menatap heran Widi. Seakan menuntut penjelasan.
"Janji apa, Pa?"
"Itu …."
"Papa akan membebaskan kamu dengan satu syarat!"ucap Galuh pada Ayara saat kembali bertandang ke kantor polisi. Ayara yang penampilannya sudah urakan, segera mengangguk.
"Katakan apa yang harus Yara lakukan, Pa. Yara akan lakukan apapun!" Ayara berkata dengan sungguh-sungguh, sangking putus asanya. Matanya memerah menahan tangis.
Ratih melirik suaminya yang menghela nafas sebelum mengatakan syaratnya. Ratih menggenggam jemari Galuh lalu menatap lekat putrinya, serius. "Kau harus berjanji. Apapun syaratnya, kau tidak akan menolaknya!"tegas Ratih. Ia sangat takut keras kepala putrinya.
"Janji! Yara janji! Yara akan jadi anak baik. Kuliah baik-baik, lulus lalu membantu Papa di perusahaan," jawab Ayara sungguh-sungguh.
"Kalau begitu kamu harus menikah dengan pemuda yang kamu tabrak tadi malam."
Deg!
Seakan jantungnya berhenti berdetak. Sebuah syarat yang tak pernah terbayang.
"M-menikah?"
*
*
*
Tak pernah terbayang oleh Nalendra jika ia akan terkena musibah kecelakaan. Malam tadi, ia sedang dalam perjalanan pulang dari studio lukis. Jelas terekam di benaknya bahwa lampu lalu lintas sudah berubah hijau di jalurnya dan BRAKKK!!
Dirinya terpental. Matanya terkena serpihan, membuatnya meraung sakit. Lalu … kesadarannya terenggut. Dan kini, Nalendra menyadari bahwa dirinya sudah sadar dan matanya ditutup dengan perban. Perih, sakit namun ketakutannya lebih besar dari pada itu.
Dirinya tak banyak mengeluarkan suara. Tak tahu hari malam atau siang.
Gelap!
Gelap!
Dan Gelap!
Lebih Gelap daripada saat malam hari dan listrik di rumah mati!
Nalendra meremas selimut. Gelombang keresahan semakin besar.
Aku buta?!
Tidak mungkin, mengapa aku bisa buta? Mengapa aku jadi buta?!
Bagaimana?!
BAGAIMANA CARAKU HIDUP JIKA MATAKU BUTA?!
Pekerjaannya mengandalkan penuh indra penghilatannya. Lantas, jika tidak bisa melihat, bukankah hatinya akan semakin terluka? Kembali ke rumah yang dirasanya neraka itu?! Padahal dirinya sudah sangat senang dengan kehidupannya, mengapa … MENGAPA KECELAKAAN HARUS MENIMPA DIRINYA?!
Apakah Tuhan tidak senang melihatnya bahagia?
Ataukah karena ia melawan Papanya?
Tapi, ia hanya mengikuti kata hatinya? Apakah salah? Sedang Papanya lalai terhadap dirinya?!
Nalendra menggigit bibirnya. Merasa matanya basah dan perih, sangat perih namun ia tidak mengeluarkan tangis.
“YA ALLAH!! MATA KAK NALEN BERDARAH, MAMA, PAPA!!”
Nalendra mendengar suara adik bungsunya, Nalan. Tak lama, terdengar suara panik orang tuanya. Dan lalu ada yang menyentuh area matanya, sepertinya dokter.
“Mas Nalen sudah sadar?” Dokter menyapa. Nalendra mengangguk pelan. “Mengapa nangis, Mas?”tanyanya perhatian.
“Saya … buta, Dok?”tanyanya terbata, pelan. Sontak, itu membuat tangis Bianca dan adik-adiknya pecah. Sedang Widi menatap lekat sang putra sulung.
Dokter tersenyum tipis, ia tidak bisa memberikan kepastian. “Mas Nalendra harus berdoa, yakin apapun yang terjadi nanti sudah kehendak-Nya. Sedih boleh. Namun, jangan memperparah kondisi Masnya, setuju?" Dokter memberikan sugesti.
Nalendra tersenyum nanar. Dalam hatinya berdoa, berharap meskipun hanya secuil, ada keajaiban.
Kini, dokter sudah membuka perban yang menutupi mata Nalendra, membersihkan air mata bercampur darah yang berada di sekitar matanya. Sesekali, Nalendra meringis. Matanya masih terpejam. Dokter memberi instruksi untuk membuka mata perlahan.
Gelap.
Pupuslah secuil harapan itu. "Gelap. Saya buta," ucap Nalendra hancur.
Bianca gegas mengusap lembut bahu putranya. Memberikan penguatan.
Dokter menghela nafas pelan. Takdir telah berbicara. "Jangan terlalu sedih, Mas Nalen. Saat ini, indra penglihatan Anda memang tidak berfungsi. Namun, bukan berarti selamanya seperti itu. Jika Mas bersedia, kami akan mencarikan donor mata yang cocok untuk Mas Nalen," ujar dokter menenangkan. Dirinya sudah tahu latar belakang Nalendra. Mereka mampu untuk itu.
"Ya, benar. Papa akan carikan donor untukmu," imbuh Widi. Nalendra tidak menjawabnya. Ia lalu beringsut, menarik selimut lalu memejamkan matanya. Nalendra sangat lelah.
*
*
*
“Makan dulu, Nalen. Mama suapin, ya?”bujuk Bianca Sejak sadar, selain minum, Nalendra tidak mengkonsumsi apapun. Berdiam diri tanpa mengatakan apapun. Kekhawatiran Bianca tak berkurang. Putranya yang biasa energik kini sangat murung.
“Nalen nggak lapar, Ma,” jawab Nalendra. Wajahnya menatap ke arah Bianca, mengandalkan pendengarannya. Sungguh, Nalendra tidak lapar lagi tak ada selera makan. Semangatnya menguar, pergi dari jiwanya.
“Tapi, kamu belum makan apapun sejak siang, Nak. Sekarang sudah malam. Ayo makanlah, barang sedikit agar kamu cepat sehat kembali. Jangan sengsarakan tubuhmu sendiri, Nalen,” bujuk Bianca lagi. Di tangannya ada nasi lengkap dengan lauknya, bukan makanan rumah sakit melainkan dari dapur rumah Nalendra.
“Ayo, Mama suapin. Buka mulutnya, Nalen,” ujar Bianca lagi, kini mengarahkan sendok ke dekat bibir Nalen, berharap Nalen mau membuka mulutnya.
“Mamamu pasti sedih jika kamu seperti ini, Nalen.”
Nalendra bergeming lalu ia mulai membuka mulutnya, menerima suap demi suap dari Bianca dan hanya mampu lima suap. Selesai makan dan berdiam diri beberapa menit, Nalendra membaringkan tubuhnya dibantu Bianca. Dengan sayang diselimutinya Nalen, lalu Bianca mengusap lembut wajah sang putra yang sangat mirip dengan suaminya. “Cepat sembuh, Nak. Jangan putus asa, kami bersama denganmu.”
*
*
*
“Siapa?” Nalendra bertanya waspada saat mendengar suara langkah kaki mendekati ranjangnya. Setahunya Bianca pamit pulang dan ini baru beberapa menit.
“Ini Papa, Nak.” Widi duduk di kursi dekat ranjang. Raut wajah Nalen langsung masam, ia memalingkan wajahnya.
“Sudah lebih baik?” Meski tak ada tanggapan, Widi tetap tersenyum. Ia tahu benar mengapa Nalendra tidak menyukai dirinya. Kesalahan masa lalu dan dirinya yang tak mendukung Nalendra hingga anaknya berontak fatal lalu meninggalkan rumah.
Widi menyentuh dadanya, nyeri ia rasakan. “Anda senang kan melihat kondisi saya. Ya, Anda pasti senang karena akhirnya saya … tidak akan bisa melukis lagi,” ucap Nalendra dingin, tak menghilangkan getir di hatinya. Sesak. Ia ingin mengamuk namun tak ada tenaga untuk itu.
Widi menggeleng keras, “bukan seperti ini, Nak.”
“Papa … lebih baik kamu tetap melukis daripada seperti ini.” Tergugu. Sayang Nalendra tidak peduli.
“Terlambat. Tak ada yang perlu ditangisi,” sinis Nalendra.
Widi menghela nafas. Niatnya datang hari ini adalah untuk menyampaikan pembicaraan dengan Galuh dan Ratih. “Apa kamu ingat sahabat Mamamu, Ratih dan Galuh?”tanya Widi.
Mendengar dua nama itu, Nalendra mengernyitkan dahinya. Atensinya kembali pada Widi. “Wajar jika kamu lupa, sudah belasan tahun tidak bertemu. Maaf baru membahas hal ini, kemarin pagi, mereka datang melihat kamu.” Widi menjeda ucapannya untuk melihat ekspresi Nalendra. Terheran, bingung dan ada rindu pada sorot matanya.
Ratih dan Galuh, nama yang belasan tahun tak ia dengar. Lama mereka tidak bertemu lagi. Dulu mereka sangat dekat. Belasan tahun lamanya, ingatan tentang keduanya segar di ingatan Nalendra. “Mereka datang? Mengapa?”
Tentu bukan suatu kebetulan semata. Sudah belasan tahun mereka loss kontak. Otak cerdas Nalendra langsung menganalisis. Widi menghela nafas, tentu putranya menangkap kejanggalan. “Yang menabrak kamu adalah putri mereka, Ayara Dahayu.”
Deg.
Nama yang juga sudah lama tak Nalendra dengar. Ayara Dahayu, kepingan ingatan masa lalu maju ke depan. Mengingat itu, Nalendra tak sanggup menahan air matanya. Gegas Widi menyekanya, takut luka di mata Nalendra tambah parah.
Belasan tahun tak bertemu ternyata dipertemukan seperti ini, takdir apa yang akan ia jalani? Jalan cerita seperti apa yang akan ia jalani?
Tadinya, Nalendra tak peduli dengan pengemudi yang menabraknya karena ia yakin Widi akan mengurusnya, entah dipenjara atau selesai dengan kekeluargaan, Nalendra lepas tangan untuk itu. Akan tetapi, sekarang sudah lain cerita. Tak mungkin ia memenjarakan teman masa kecilnya, anak dari sahabat dekat mamanya. “Lalu bagaimana?”
Widi tersenyum kecil. Syukurlah Nalendra menanggapi. Keluarga Galuh memang memiliki kesan tersendiri bagi Nalendra. “Mereka akan bertanggung jawab.”
“Mencarikan aku donor mata?”tanya Nalendra memastikan. Widi mengangguk meskipun Nalendra tidak tahu.
“Dan menikah dengan Ayara.” Bola mata Nalendra membulat seketika.
“Menikah?”tanyanya memastikan telinganya berfungsi dengan baik.
"Saudara Nalendra Widiyanto, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandungku, Ayara Dahayu dengan mas kawin 20 gram emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Galuh mengucapkan kalimat ijab.
"Saya terima nikah dan kawinnya Ayara Dahayu binti Galuh Permana dengan mas kawin tersebut tunai!" Nalendra membalasnya dengan kalimat Qabul dalam sekali tarikan nafas.
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
Doa dipanjatkan. Ayara diam-diam melirik Nalendra yang kini telah menjadi suaminya. Tak menyangka bahwa ia telah menikah dengan seorang pria buta. Nalendra tampak menengadah kedua tangannya lalu mengusap ke wajah begitu doa selesai. Egonya menolak. Namun, hatinya tak bisa berbohong. Ayara … senang.
Bianca menginterupsi Nalendra untuk mengulurkan tangannya. Dan Ratih menyuruh Ayara untuk menyambut uluran tangan itu. Nalendra sedikit menjengkit kala merasakan sesuatu yang hangat menyentuh punggung tangannya.
Tak lupa menandatangani buku nikah mereka. Meskipun terburu, mereka menikah secara resmi, dicatat di negara dan agama.
Bianca membimbing Nalendra untuk memakaikan cincin pada jari manis Ayara.
Ekspresi Ayara sedikit suram dan sedih melihat jari manis yang tersemat di jarinya.
Acara pernikahan itu dilangsungkan secara sederhana di kediaman Galuh dan keluarga. Satu minggu setelah kecelakaan itu terjadi.
Dalam acara, selalu saja ada yang berkomentar pedas dan julid. Acara pernikahan mereka pun tak terkecuali. Ada beberapa kerabat yang menggunjing mengapa Ayara yang cantik mau menikah dengan Nalendra yang buta. Ya meskipun tampan, namun tak bisa melihat, kan jadinya minus. Rasanya tak cocok bersanding.
Nalendra jelas-jelas mendengar. Namun, tak ada bantahan atau riak tersinggung dari Nalendra. Pria itu diam saja dengan ekspresi datar. Ayara jadi kesal sendiri. Dia pikir suaminya jadi lemah dan merasa rendah diri karena buta. Ayara tak suka dengan itu!
"Meskipun suamiku buta, dia lebih baik dari banyak pria di luar sana! Dia tidak memandang kecantikanku, tidak pula akan memandang wanita-wanita di luar sana! Lagipula, aku yang menikah bukan kalian atau anak kalian. Aku tidak merugikan kalian mengapa kalian yang sibuk mengomentari pernikahanku?!"
"Ya tidak begitu juga, Ayara. Kami hanya mengkhawatirkan kehidupan pernikahanmu kelak. Suamimu itu buta, bagaimana bisa mencari nafkah untukmu?"
"Memang kalian pikir aku tidak bisa mencari nafkah? Tolong jangan berpikiran sempit! Aku mampu untuk membiayai rumah tanggaku!"ketus Ayara.
"Memang kamu mampu. Tapi, kan tetap saja mencari nafkah adalah kewajiban suami. Jika istri yang mencari, apa gunanya suami? Modal tampan tidak akan bisa mengenyangkan perut, Ayara!" Tetap saja membandel. Ayara semakin kesal. Memang kalau sudah julid, tak ada yang benar di matanya. Pikirannya pun jadi sempit. Ya, meskipun terkadang beberapa hal adalah kebenaran.
Nalendra terkekeh mendengar keributan itu. Meskipun ia tidak bisa melihat, yakin bahwa mereka dilihat oleh orang tua dan tamu. "Kamu kenapa tertawa? Senang diejek mereka?"
Nalendra menggeleng. "Maaf sebelumnya. Memang saya buta. Tapi, saya mampu untuk membiayai kehidupan pernikahan saya. Kemudian, wajah saya yang dianggap tampan ini bisa kok mengenyangkan perut. Saya bisa jadi model. Lalu kata teman-teman sekolah saya dulu, suara saya bagus, bisa jadi penyanyi." Berkata dengan tenang. Menunjukkan kemampuan dirinya bukan latar belakang keluarganya. Padahal, jika ia tidak bekerja, keluarganya dengan suka rela membiayai dirinya, memenuhi kebutuhannya karena sebagian besar harta Widi akan jatuh pada Nalendra.
"Terimakasih kasih telah mengkhawatirkan kehidupan pernikahan kami," imbuh Nalendra kemudian. Tangannya meraba, mencari lalu menggenggam tangan Ayara.
"Kalian dengar ini!" Widi berseru.
"Nalendra adalah bagian dari keluarga Pranaja! Barang siapa yang berani mengejek dan menghina anak dan menantuku, kalian akan berharap dengan Pranaja!!"tegas Widi.
*
*
*
Acara pernikahan mereka telah selesai.
"Kamu yakin, Nak?" Bianca menyentuh lengan Nalendra. Nalendra mengangguk singkat.
"Mama nggak tenang kalau kamu tinggal berdua saja sama Ayara. Lebih baik tinggal sama Mama dan Papa saja, ya?"bujuk Bianca yang dibalas gelengan Nalendra.
"Ada Bibi di rumah. Nggak perlu khawatir. Kami akan baik-baik saja."
Bianca mengesah pelan. Putranya ini memang keras kepala. Widi tak mau ikut campur, takut malah semakin panas. Bianca lalu menatap menantunya, berharap dapat membujuk. Ayara tersenyum kikuk. Bujukan Bianca saja tidak digubris apalagi bujukan dirinya yang baru memasuki kehidupan Nalendra. Atensi Bianca berpindah pada Nalan dan Nalin. Kakak beradik itu juga menggeleng pasrah. Watak Nalendra keras, sekali final keputusan, sulit diganggu gugat.
"Ya sudah. Kalian hati-hati, ya? Sering-sering hubungi Mama, okay?" Pada akhirnya menyerah. Nalendra tidak menjawabnya.
"Iya, Ma." Ayara mewakilkan jawaban Nalendra. Sedikitnya, ia paham bahwa suaminya tidak begitu akur dengan keluarganya. Entah karena apa karena seingatnya dahulu, Nalendra sangat dekat dengan Widi.
Mungkin karena ada orang ketiga. Begitulah pikir Ayara.
"Kamu bisa bawa mobil?"tanya Nalendra pada sang istri.
Sedikit terkekeh, Ayara menjawabnya. "Kamu lupa ya? Kan aku nabrak kamu pakai mobil."
"Oh."
Suara mencembik. Tak ada perubahan ekspresi. Suaminya kaku ya?!
"Ini, bawa mobilku." Nalendra menyodorkan kunci mobil ke arah Ayara, berbekal pendengarannya untuk menentukan posisi Ayara.
"Jadi, minusmu hanya buta, ya?"celetuk Ayara lagi. Yang ia tangkap, tanpa bekingan keluarga, Nalendra sudah mapan. Sepeda motor milik Nalendra kemarin harganya mahal lalu mobilnya juga mewah. Sedikit meminimalisir penyesalannya.
Mereka lantas berpamitan. Nalan membantu Nalendra masuk ke dalam mobil. Nalendra menyebutkan alamat rumahnya. Lalu, maps di mobil akan memandu Ayara. Sepanjang perjalanan, Nalendra memejamkan matanya.
Sesekali Ayara melirik Nalendra. Ketampanan di masa kecil semakin menjadi kala semakin dewasa. Sesekali pula ia berdecak. Andai kata mereka tak loss kontak, mungkin Ayara setiap hari akan terpesona dan jatuh cinta pada Nalendra.
Sayang, Nalendra buta. Tak bisa melihat kecantikan Ayara. Sayang pula, pertemuan mereka terlambat.
Maka kita akan melihat siapa yang akan menang. Lagipula Ayara tak yakin jika orang setampan Nalendra tak punya pacar. Pasti mengantri, kan?
Memikirkan itu, suasana hati yang tadinya cukup baik tiba-tiba memburuk. Jika Nalendra punya pacar, artinya ia merebut bukan?
Ahhh … apa kata dunia jika Ayara yang cantik paripurna merebut pacar orang?! Dijadikan suami lagi?!
Merasakan aura tak nyaman dari Ayara, Nalendra membuka matanya. "What's up?"tanyanya serak.
"Eh? Mengapa bangun?" Ayara terkejut. Syukurlah Nalendra buta, jadi tak melihat ekspresinya yang sangat cepat berubah.
"Tidak nyaman."
Nalendra peka. "Jika ada yang mau dibahas, bahas di rumah saja. Sudah sampai mana sekarang?"
"Kurang tahu. Di maps tinggal 3 kilometer lagi baru sampai rumah," sahut Ayara.
"Oh." Nalendra hanya bisa menerka di mana sekarang. Lalu kembali memejamkan matanya.
Janji orang tua itu sakral, ya? Meskipun Mama Novi sudah tidak ada, kami juga sudah loss kontak belasan tahun, tetap dipertemukan dalam ikatan pernikahan. Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana sama Nalen. Bersikap sebagai istri atau bagaimana. Aku juga belum mengenal betul karakternya. Aku takut dia bermuka dua. Cinta aku juga masih sama Aaron.
Ya Tuhan, berikan aku petunjukmu. Aku memang badung tapi aku lebih takut padamu. Maafkan aku ya, Tuhan. Aku janji nggak akan nakal lagi.
Ayara pikir tak masalah ia mencoba masuk ke dalam bar. Mencoba minuman alkohol bersama circle SMA nya dulu. Toh, dia sudah dewasa dan punya kontrol diri. Sayang, kepercayaan dirinya dan pikiran tak sehatnya membawa naas mengantarkan dirinya mengarungi mahligai pernikahan.
Lalu mereka tiba di rumah Nalendra. Perumahan Bumi Asri, disitulah letak rumah Nalendra. Rumah berlantai dua dengan gaya minimalis, sangat cocok untuk anak muda atau pasangan yang baru menikah. Disambut oleh Bi Lina, pembantu rumah tangga di sini.
Obrolan singkat dan dilanjutkan dengan obrolan serius. Jantung Ayara berdetak lebih kencang saat Nalendra mengatakan hal yang berkaitan dengan kecemasannya hati.
"Aku punya pacar."
Atensi Ayara lekat menatap Nalendra, menanti kelanjutan kalimatnya. Namun, tak ada kalimat lanjutan. "Ayara?" Malah memanggil. Nalendra memastikan bahwa Ayara ada di dekatnya. Ayara yang menanti kelanjutan kalimat dan Nalendra yang menanti tanggapan Ayara.
"I-iya," gagap Ayara menyahut.
"Aku sudah menduganya. Cowok setampan dirimu mana mungkin tak punya pacar. Aku jadi semakin merasa bersalah," ucap Ayara, hatinya meradang, air mukanya tidak nyaman.
"Maaf," lanjut Ayara mencicit. Nalendra mengulas senyum tipis.
"Sudah takdir. Lagipula aku sudah putus dengan pacarku sebelum menikah denganmu."
Ayara menganga mendengarnya. Tenang dan santai, seolah putus bukan masalah besar bagi Nalendra.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!