Jika engkau bertanya akan kebaikan Tuhan terhadap hambaNya, Maka mungkin inilah jawabannya. Jika engkau bertanya akan keadilan Tuhan terhadap hambaNya, Maka mungkin inilah wujud keadilan itu.
By : Caca
***
“Ca, mikirin apa, sih?” tanya Christie–Adik dari ibunya Caca yang beragama Kristen.
Caca tersadar dari lamunannya, "Nggak mikirin apa-apa kok, Te," jawab Caca, berbohong.
Christie mengangguk pelan, "Kalau ada masalah, ceritalah. Setidaknya, kalau kamu tidak bisa cerita pada manusia, ceritakan pada Tuhan. Dia adalah pendengar dan pemberi yang terbaik."
Christie tersenyum tipis, mengelus lembut kepala Caca yang sudah ia anggap putrinya sendiri. Dia pun berlanjut pergi, meninggalkan Caca, seorang diri di teras rumah, saat senja di hari itu.
Caca menghela nafas kasar dan bergumam dalam kalbunya, "Andai aku bisa menikah dengan Haikal, pasti ibu dan ayah nggak akan seperti ini." Matanya menatap jalanan depan rumah, tanpa berkedip.
Meski sudah dua tahun lebih, dia berpisah dengan Haikal, namun kecewa dan sakit hatinya tak kunjung usai. Membekas dan sesekali masih terasa perih. Kadangkala, Caca berpikir 'akankah dia bisa kembali bersama lagi seperti dulu,' saat keheningan datang menyapanya.
Caca kini sudah tidak lagi bekerja menjadi seorang pendidik. Dia mengundurkan diri sejak masih menjalin hubungan dengan Haikal–satu tahun sebelum dia berpisah dengan Haikal. Profesi barunya saat ini adalah seorang entrepreneur muda, di bidang fashion muslimah.
Profesi tersebut sempat dia jalani bersama dengan Haikal, hanya beberapa bulan saja. Saat mereka berpisah, usaha Caca menjadi sedikit terganggu, sebab ada banyaknya serangan fitnah yang menyerangnya, tanpa dia ketahui–siapa otak dibalik semua kerusuhan yang terjadi.
"Assalamualaikum …" Salam dari seorang wanita berkulit putih dengan mata sipit.
"Waalaikumussalam, tumben kesini nggak bilang-bilang dulu, Da. Ada apa?" tanya Caca.
"Gak papa, lagi mendadak gabut aja, sih. Keluar yuk," ujar Sahida.
"Boleh-boleh … kebetulan, aku juga lagi sumpek. Jenuh di rumah," jawab Caca.
"Tunggu ya, aku ganti baju dulu …" Caca bergegas masuk rumah untuk bersiap-siap. Sementara Sahida, masih menunggu Caca di teras rumah.
Dia duduk seorang diri, sambil berselfie ria. Tak lama, wanita paruh baya muncul, menyapa Sahida yang membuat Sahida kaget dan ponselnya hampir jatuh.
"Masuk dulu, Nak …" ujar wanita itu.
"Eh, iya, Bu … saya disini saja, cari angin," ujar Sahida.
"Ibu buatkan minum ya, Nak …" Wanita paruh baya itu tersenyum dan berjalan, kembali masuk ke rumah.
"Tidak perlu repot-repot, Bu! Saya mau keluar sama Caca!" teriak Sahida. Wanita itu menjawab ucapan Sahida dengan teriakan juga, sebab dia sambil berjalan ke arah dapur.
Sahida bergumam dalam hatinya, "Kok bisa, ya … Caca hidup seperti ini. Jarang keluar rumah, juga terlalu banyak musibah yang dia alami, tapi gak pernah stres dan masih bisa tersenyum."
"Da, ayo, aku udah siap," ujar Caca yang tiba-tiba sudah berada di belakang Sahida.
Mereka berdua pergi mengelilingi kota sambil berpikir 'akan kemanakah mereka' hari itu. Hingga pada akhirnya, Caca mengajak Sahida untuk ke cafe temannya, sekaligus mengenalkan Sahida dengan temannya. Jarak cafe dengan jalanan yang saat ini mereka lintasi, sudah cukup dekat. Hanya perlu waktu tiga menit saja untuk bisa sampai pada lokasi tujuan.
***
"Hai, Bestie! Lagi rame banget, nih. Mau dibantuin nggak?" tanya Caca, dengan suara cukup keras, yang membuat Saras terkejut.
"Astaga … ini anak, selalu ya! Dari dulu nggak pernah bikin gue nggak jantungan. Elo itu kenapa sih, sebenernya? selalu …aja, bikin orang itu naik darah. Nggak bisa apa, ngomong itu yang santai, terus kalau kesini itu janjian dulu gitu?" gerutu Saras.
"Ya sorry … aku niatnya ke sini tuh, secara dadakan gitu. Ya … karena aku gabut di rumah, terus kebetulan ada Sahida yang datang ke rumah untuk ngajakin aku keluar. Ya udah aku ngikut aja," ujar Caca.
"Anehnya, kita sama-sama nggak punya tujuan mau ke mana. Jadi ya … aku pikir lebih baik aku numpang gabut di sini aja, deh. Boleh kan? boleh dong …" Caca memainkan alisnya, menggoda Saras yang sedang kesal.
Sahida terkekeh, sambil menabrakkan lengan tangannya ke lengan Caca. Saras hanya menghela nafas dan menyuruh Caca beserta Sahida menunggu di ruang studio miliknya. Akan tetapi, Caca menolaknya. Dia lebih memilih untuk menjadi tamu cafe dan duduk di ruangan cafe, sambil menikmati semilir angin yang sejuk.
Pyar! Segelas es kopi terjatuh dan membasahi sepatu Caca. Dia mendecik karena kesal. Dengan sigap, pria muda berbadan atletis itu meminta maaf pada Caca karena tidak sengaja mengotori sepatu Caca dengan es kopi. Pria itu pun panik dan mengambil sebuah tisu untuk membersihkan sepatu Caca yang terkena kopi.
"Argh. Sudah. Biar aku bersihkan sendiri! Kalau jalan itu lihat-lihat dong!" ujar Caca.
"Kalau begini, aku nggak bisa salat Dzuhur di jalan, nanti." Caca mengerutkan dahinya sembari terus mengomel dan memarahi pria muda itu.
Pria muda itu pun terus meminta maaf kepada Caca. Dia tiba-tiba menyuruh Caca untuk menunggunya di cafe karena dia akan kembali lagi. Dia berlari keluar dari Cafe. Tidak lama kemudian, dia kembali ke cafe sambil membawa sepasang stocking atau kaos kaki coklat dan rok panjang yang masih baru dan memberikannya ke Caca.
"Hah, buat apa?" tanya Caca.
"Buat ganti nanti kalau mau salat, Mbak. Rok nya itu, 'kan juga kena najis," ujar pria itu.
"Masih baru kok, bukan bekas. Beli di toko sebelah, tadi." Dia tersenyum memandang Caca.
"Nggak usah. Aku bisa salat di rumah, nanti. Telat sedikit nggak apa-apa," jawab Caca.
"Jangan, Mbak. Ini sudah kewajiban saya, karena saya yang salah. Lagi pula, menunda salat itu tidak baik. Selagi kita masih bisa tepat waktu, kenapa memilih untuk menunda?" Dia menyodorkan kresek hitam itu pada Caca, lalu meminta maaf dan kembali memesan minuman.
Bibir Caca masih tampak cemberut dan panjang melebihi hidungnya yang minimalis. Tapi walau begitu, menurut Saras dia masih tetap terlihat manis dan imut. Berulangkali Sahida dan Saras meledek Caca dan menyuruhnya untuk berhenti manyun. Tetapi gadis jutek itu tidak peduli dengan ucapan mereka.
"Ca, cowok tadi itu ganteng, loh. Kamu gak pengen kenalan?" tanya Saras–menggodanya.
"Iya, Ca. Apalagi pas senyum. Aduh ..., meleleh coklat di mulut. Manis bange ...t" sahut Saras.
Caca hanya menirukan ucapan Saras dengan tanpa suara. Dia benar-benar merasa sebal, apalagi yang berulah adalah seorang pria. Sejak dia putus dari Haikal, dia sangat benci dengan pria bahkan dia tak lagi mau percaya.
"Ca, kemarin itu gue lihat Haikal lagi jalan sama cewek, tapi bukan cewek yang elo kasih lihat fotonya ke gue," ujar Saras.
"Terus …, mau kamu apain?" tanya Caca dengan wajah sensi.
"Lagi pula, udah nggak ada urusan apa-apa lagi sama aku. Ngapain, masih ceritain dia ke aku?" tanya Caca lagi. Saras melirik Sahida yang sedang duduk di sampingnya. Sahida pun sama, namun dia hanya tersenyum.
Sahida sangat paham dengan watak Caca yang sulit untuk melupakan kesalahan orang lain. Dia akan terus ingat, semua kesalahan-kesalahan itu sampai kapan pun. Dia juga tipe orang yang tak segan untuk mengungkit kesalahan orang lain di masa lalu, jika menurutnya sudah keterlaluan.
Sebab itu, Sahida dan Saras memilih untuk diam dan mengalihkan pembicaraan. Tanpa sengaja, Sahida mendapati seorang pria yang menjatuhkan gelas es kopi tadi, melihat Caca tanpa berkedip.
"Sstt … Caca …" Sahida berbisik sambil menyenggol tangan kiri Caca.
"Apa, sih. Nggak jelas deh," gerutu Caca.
"Cowok yang nabrak kamu tadi, sekarang lihatin kamu terus, Ca …" kata Sahida.
Caca mendecak risih. Dia menilai respon Sahida berlebihan dan menjijikkan. Berulang kali dia menegur Sahida, agar tidak membalas pandangan pria itu. Namun Sahida mengabaikan omongan Caca.
"Ras, aku sekalian mau minta solusi, nih …" Caca menunjukkan beberapa poster pameran yang dia dapatkan dari media sosial ke Saras.
"Elo mau ikutan?" tanya Saras.
Caca mengangguk, "Iya, pengennya sih, begitu."
"Bagus, Ca … gue setuju dan bakal support elo. Semoga elo bisa sukses nantinya, setelah mengikuti acara ini," jawab Saras.
Tiba-tiba, seorang pria mendatangi meja Caca. Dia menanyakan nama Caca, alias meminta kenalan. Tetapi Caca hanya meresponnya datar. Baginya, tidak lagi ada daya tarik dalam diri pria. Mereka hanya sebatas ingin tahu dan penasaran saja, setelah itu pergi tinggalkan luka, saat mereka sudah tahu semua kelebihan dan kekurangan wanita yang membuatnya penasaran.
Alih-alih menjawab pertanyaannya. Menerima uluran tangannya untuk berjabat tangan saja, Caca enggan melakukannya. Sahida yang sedang duduk di samping Caca saat itu, merasa sangat sungkan dan iba–melihat sang pria yang diabaikan oleh sahabatnya.
"Ah, Hai … kenalkan, namaku Sahida–sahabatnya Caca." Dia yang menerima uluran tangan pria itu, sembari meringis–menahan malu.
Pria itu sedikit bingung dan bengong, "Hai, Sahida. Saya Raditya, salam kenal ya," ujarnya.
"Oke, sama-sama. Maaf ya, Dit. Dia namanya Caca dan yang itu Saras …" Sahida menunjuk Caca, lalu menunjuk Saras.
"Caca ini masih trauma dengan pria. Jadi …, maaf ya kalau dia dingin sikapnya dan mengabaikan kamu," imbuhnya.
"Oh, iya … nggak masalah, santai saja. Saya yang minta maaf karena membuat suasana jadi nggak nyaman. Kalau saya boleh tahu, apakah ada kontak WA atau IG? Mbak Sahida, mungkin. Ya … hanya buat menambah teman saja, lah." Raditya tersenyum.
Sesekali dia masih mencuri pandang ke arah Caca yang sedang sibuk menyedot es nya sambil memainkan HP. Sahida memberikan kartu namanya kepada Raditya.
Perbincangan mereka tidaklah lama, sebab Raditya sudah harus kembali pulang. Saat Raditya dan teman-temannya sudah pergi, Caca mulai aktif berpidato–mengkritik tindakan Sahida yang menurutnya sangat gampangan.
Dia pun tak segan-segan memperingatkan Sahida, agar dia tidak lancang memberikan kontak apapun milik Caca kepada Raditya. Caca sangat hafal dengan tingkah dan kebiasaan kedua sahabatnya itu kalau sudah berurusan dengan cinta. Baginya, mereka seakan tidak peduli dengan hak-hak Caca sebagai manusia, saat mereka sudah kerasukan percintaan.
"Astaga, aku gak akan se rese itu, Ca … aku udah gak mau tahu lagi tentang asmaramu. Aku capek, Ca." Sahida mendecih kesal.
"Bagus, deh." Caca membuang muka.
Adzan Ashar berkumandang. Seperti biasa, Caca segera berdiri dan beranjak pergi ke mushola dekat dengan cafe. Dia tidak salat sendiri, melainkan ditemani oleh Sahida. Pemandangan yang menyebalkan, Caca temui lagi di mushola.
Apa lagi kalau bukan penampakan Raditya yang sedang berwudhu dan terlihat dari halaman mushola. Lagi-lagi Caca mendecih dengan helaan nafas kasar. Dia sempat berputar balik, ingin kembali ke cafe dan salat di rumah Saras. Tetapi langkahnya dihalangi oleh Sahida.
"Ca, istighfar, Ca. Ingat, tujuan kita di mushola itu untuk salat bukan untuk hal lain. Jangan hanya karena ada Raditya, lalu kamu mengurungkan niatmu untuk jamaah." Sahida menatap Caca dengan wajah serius yang sangat jarang dia keluarkan.
Caca mendecih sekali lagi, "Iya, iya." Dengan wajah murung, dia masuk ke tempat wudhu wanita. Raditya sempat melihatnya dan tersenyum. Tetapi Caca hanya melihat sepintas saja dan mengabaikannya.
Usai jamaah, Caca hendak duduk di kursi yang tersedia di halaman mushola untuk menunggu Sahida keluar. Namun hal menyebalkan baginya, datang lagi. Raditya tak sengaja menabraknya yang sudah berjalan dengan hati-hati. Akibatnya, Caca hampir terjatuh dan kakinya terkilir.
"Aw. Aduh ..." Dia memegang kakinya yang terkilir.
"Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja. Aduh, kakinya sakit ya, Mbak?" Raditya kebingungan harus berbuat apa.
Caca mendongak–melihat lelaki yang menabraknya. Alisnya mengerut dan darahnya mulai naik ke ubun-bun.
"Kamu lagi! Kenapa sih, harus ketemu orang semenyebalkan kamu terus!" teriak Caca.
"Ya mana saya tahu, Mbak. Jodoh kali," ucapnya.
"Jodoh jodoh, palamu. Sakit, nih. Tanggung jawab dong, jangan diem aja!" teriak Caca lagi.
Raditya menawarkan Caca untuk dibawa ke Puskesmas terdekat agar mendapatkan obat dan penanganan medis. Tetapi Caca menolak, jika harus berboncengan dengan Raditya.
Radit semakin kebingungan menghadapi Caca. Hingga dia memutuskan untuk membeli sebuah obat berupa salep di apotek terdekat, lalu kembali lagi ke mushola itu untuk mengobati Caca.
Raditya berniat untuk menggosokkan salep itu ke kaki Caca yang terkilir, tetapi Caca menolaknya dan dia meminta untuk mengobati lukanya sendiri. Raditya dan Caca duduk berdampingan di sebuah kursi taman yang berada di halaman mushola.
Meski jarak duduk mereka sekitar satu meter, tetapi Caca merasa risih dan kesal. Tiba-tiba, Raditya memberanikan diri bertanya tentang alasan Caca trauma dengan pria–yang menjadikannya sedingin saat ini. Namun lagi-lagi, Caca tidak menjawab.
"Kalau saya boleh bilang, jangan terlalu larut dalam masa lalu. Sebab, sangat merugikanmu. Allah itu maha adil, bijaksana dan maha tahu. Sedangkan kita sebagai manusia tidak tahu apapun tentang peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Bisa jadi—" Perkataan itu terputus karena sengaja Caca timpali dengan perkataannya.
"Anda siapa, menggurui saya? Anda nggak kenal saya dan Anda nggak tahu apa-apa tentang saya. Lagi pula, saya nggak minta Anda untuk berpendapat, 'kan?" Caca menatapnya sadis, lalu pergi ke arah cafe. Raditya tersenyum dan menggelengkan kepala, lalu beristighfar lirih.
Tak lama kemudian, Sahida keluar dari mushola. Dia mencari-cari Caca, namun matanya tidak berhasil menemukan keberadaan Caca.
Raditya meneriaki Sahida dan memberi tahu kalau Caca sudah kembali ke cafe. Sahida mengucap terima kasih padanya, lalu segera menyusul Caca ke cafe. Tiba di cafe, Sahida masih tidak menemukan wajah Caca.
Tetapi dia berpikir 'mungkin Caca ada di dalam rumah Saras' sehingga dia tidak mencari Caca dan lebih memilih duduk santai, menikmati wifi gratis milik Saras. Pengunjung cafe saat itu sedang sangat ramai, sehingga Saras dan dua karyawannya sangat sibuk dan belum sempat menemani Sahida ngobrol. Sudah hampir setengah jam, Sahida duduk sendirian di kursi cafe.
Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk menanyakan keberadaan Caca kepada Saras. Mengejutkannya, Saras ternyata tidak tahu keberadaan Caca saat ini. Dia mengira, Caca masih bersama Sahida. Kepanikan mulai hadir, mengusik hati Sahida. Pikirannya mulai overthinking dan segera pergi, mencari Caca.
"Ya udah, kita nyari Caca berpencar ya, Da! Elo nyari di luar, gue nyari di dalam dulu. Kali aja ada di dalam, tapi gue nggak tahu," ujar Saras.
"Oke, deh. Aku cari sekarang!" teriak Sahida, sambil berlari keluar, mengambil motornya dan melajukannya dengan kecepatan yang cukup mengerikan.
"Aduh, Ca … kamu dimana, sih. Udah sore, pula. Bisa kena amukan singa, nih, kalau sampai Caca gak ketemu," ujar Sahida lirih.
Sahida mencarinya di jalanan kampung sekitar cafe, hingga berputar beberapa kali. Setelah satu jam lebih tidak menemukan Caca, dia memutuskan untuk kembali ke cafe dengan harapan Caca sudah ada di sana. Akan tetapi harapannya pupus. Saras belum menemukan Caca, meskipun dia juga sempat mencari keluar–keliling kampung.
"Da, coba elo minta tolong Raditya. Kali aja dia bisa bantu kita. Nggak mungkin 'kan, kita nyari Caca malam-malam hanya berdua aja," ujar Saras.
"Raditya 'kan belum hubungi aku, Ras. Mana aku tahu, nomornya dia." Sahida menghela nafas berat. Tubuhnya berkeringat dingin dan sedikit gemetar. Dia membayangkan amukan dari ibunya Caca, juga abang kandungnya yang seram. Tanpa dia sadari, air matanya jatuh di pipi dan membuat Saras menjadi keheranan.
"Kenapa, sih? Kok malah nangis?" Saras mendekati Sahida dan duduk di depannya.
"Aku takut kena marah ibunya, Ras. Aku bingung, harus ngomong apa ke mereka," jawab gadis pecinta warna pastel.
Dengan santai, Saras menyuruh Sahida untuk bicara apa adanya dengan kejadian ini, tanpa ditutup tutupi. Tetapi tidak mudah bagi Sahida untuk melakukannya.
***
Tin ...! Tin tin! Klakson motor itu terdengar sangat keras dengan sorot lampunya yang menyala sangat terang. Seorang gadis berbadan mungil tengah berdiri–berhenti di pinggir jalan sedikit–maju ke tengah, sembari memejamkan mata dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Brak! Suara benda terbentur. Gadis itu perlahan membuka matanya. Dia terkejut saat melihat di depannya sudah ada banyak orang berkerumun, menolong seorang pria bertubuh atletis yang sedang babak belur, tertimpa motornya.
Gadis mungil itu mendekati kerumunan itu dan berusaha melihat wajah pria yang kecelakaan. Matanya membulat dan dia segera mendekati pria itu–berusaha menolongnya dan membawa ke rumah sakit.
"Pak, Mas, tolongin dong ... Kita bawa ke rumah sakit, ya ... Saya kenal sama dia," ujar sang gadis.
Pria itu menoleh, "Caca ..." ucapnya lirih.
Caca hanya tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. Dia membawa Raditya ke rumah sakit, di bantu oleh orang-orang pengguna jalan. Raditya meminta agar di bawa ke Klinik Bhayangkara saja dan Caca hanya bisa menurutinya. Kali ini, Caca terpaksa lembut dengan Raditya.
Sesampainya di klinik, Caca hendak pergi–mengurus administrasi dan kembali pulang, karena Raditya sudah selesai di tangani dokter dan dia harus rawat inap hingga pulih. Namun langkah kakinya terhenti, saat Raditya memanggil namanya. Dia menoleh ke belakang, lalu kembali mendekati Raditya–berdiri di samping tempat tidur pasien.
"Kamu dari mana saja, kok jalan kaki?" tanya Raditya. Namun Caca tidak mau menjawabnya. Dia tetap berwajah murung dan malas melihat Raditya.
"Ca, untung saja saya tadi bisa banting setir, walaupun resikonya saya yang celaka. Tapi kalau tidak begitu, maka saya akan menabrakmu," ucap Raditya.
Caca terkejut mendengar pernyataan itu dan dia kini menatap wajah pria yang baginya menyebalkan dengan tatapan sendu. Ada perasaan bersalah di hatinya.
"Ja–jadi kamu—" Caca menunjuk Raditya tanpa menyelesaikan ucapannya.
"Ya, saya sudah klakson kamu berkali-kali hingga posisinya lumayan dekat. Tapi kamu tidak segera mundur. Jadi, tidak ada jalan lain, selain ini." Raditya tersenyum.
"Ma–maafin aku, ya ... Ini semua salahku dan gara-gara aku, kamu jadi kayak gini," ucap Caca. Dia lalu berpamitan pulang karena sudah malam. Raditya meminta Caca untuk menunggu sebentar. Dia menelepon temannya dan meminta tolong mengantar Caca pulang.
Namun Caca menolak dengan dalih ingin sendiri. Tetapi Raditya memaksanya agar mau nurut dengannya, dengan dalih demi keamanan Caca di jalan. Gadis itu menghela nafas dan pada akhinya mau menuruti keinginan Raditya.
***
Kring! HP Saras berdering. Dia segera mengambilnya. Saras mendecih dan wajahnya tampak kesal, setelah tahu kalau yang menelpon adalah Caca. Dia mengangkat telepon itu dan memaki Caca, tanpa henti. Tetapi Caca justru tertawa terbahak-bahak–membuat Saras semakin geram.
Sahida mengkode Saras, agar menyalakan tombol loudspeaker HP nya dan Saras pun melakukannya. Caca meminta maaf karena telah membuatnya dan Sahida khawatir. Dia saat ini sudah ada di rumah, sejak sepuluh menit yang lalu.
"Aku tadi niatnya jalan-jalan, refreshing. Eh, nggak taunya malah terpikat naik dokar. Habis itu aku turun dan mau telepon Sahida agar jemput aku di halte. Nggak tahunya aku mau ketabrak motor," ujar Caca.
"Apa!" teriak Sahida dan Saras.
"Terus kamu gimana, Ca? Baik-baik aja 'kan, Ca?" tanya Sahida dengan suara panik.
"Ya, aku baik-baik aja. Tadi yang mau nabrak aku kebetulan Raditya. Lalu dia banting stir dan akhirnya dia yang jatuh. Sekarang dia opname di Klinik Bhayangkara. Aku tadi pulang dari klinik di antar temannya Raditya, sampai rumah," jelas Caca.
"Astaga, Caca! Kamu kebangetan ya, jadi orang. Bisa gak sih, sehari …, aja, jadi orang waras?!" teriak Sahida.
"Tadi marah-marah mulu perkara Raditya. Sekarang main kabur gitu aja dan dengan santainya kamu bilang terpikat naik dokar. Membuat anak orang celaka, pula. Bener-bener, kamu ya, Ca …" ujar Sahida penuh dengan emosi. Kali ini kedua sahabatnya sangat marah dan Saras mematikan telepon dengan sepihak, tanpa ada kata penutup. Sahida pun berpamitan pulang dengan membawa helm Caca yang tertinggal di sepeda Sahida.
***
Aku nggak tahu, apa yang sedang terjadi pada diriku. Sejak aku berpisah dengan Haikal, aku menjadi manusia asing yang menyebalkan. Bahkan tak jarang pula diriku sendiri tak mengenalnya. Yang aku tahu saat ini hanyalah kesendirian, kehampaan dan kekecewaan.
Saat ini, aku hanya hidup berteman dengan prinsip. Jika aku berdoa dengan khusyuk dan Allah mengabulkan doa-doaku, pasti nanti akan terlihat tanda-tanda dimana alam akan segera menjawab dan melaksanakan perintah Tuhan, untuk menggenapi dan menyediakan sarana itu untukku.
Aku hanya tinggal menunggu dan memperhatikan sekeliling, waspada di setiap langkah, agar tidak satu pun pertanda yang luput dari mataku. Aku yakin, dengan izin-Nya, pasti tak akan ada kendala apapun. Kalaupun ada, semoga jalan keluar selalu datang beriringan. Amin.
by Caca
Kalimat-kalimat itu Caca tulis dalam buku hariannya. Layaknya anak yang masih belasan tahun, Caca sulit mengungkap kesedihannya. Dia tak ingin orang lain turut merasakan kesedihannya, terutama jika orang itu adalah orang tuanya.
Menulis adalah kebiasaan Caca sejak masih duduk di bangku SD. Sebagai sarana untuk mengungkapkan semua unek-unek yang ada di hatinya dan dia hanya bisa berharap, perasaannya bisa lebih tenang setelah dia menuangkannya pada buku hariannya.
Sesekali suara Raditya terdengar di telinganya, saat Raditya menasehatinya. Tetapi justru tanggapan menyebalkan yang pria itu dapatkan darinya. Caca menyesal dan merasa berdosa atas perlakuannya pada Raditya hari ini.
"Aku memang bodoh dan ceroboh. Selalu bertindak tanpa berpikir terlebih dulu. Ya, penyesalan memang selalu di belakang. Seharusnya aku bisa kontrol emosiku. Kalau sudah begini, malu rasanya mukaku. Orang yang aku perlakukan buruk, justru tanpa dendam dia menolongku, selamatkan aku tanpa keegoisan," gumamnya dalam hati.
Dia menghela nafas berat, lalu merebahkan badannya ke ranjang. Dia berniat untuk istirahat lebih awal, hari ini. Tetapi matanya sulit untuk di tidurkan. Bayangan Raditya terus saja hadir di pelupuk matanya, apalagi suaranya saat menasehati, benar-benar membuat Caca merasa bersalah.
Caca mengambil HP nya dan berniat mengirim pesan WA ke Sahida untuk meminta nomor WA Raditya. Tapi lagi-lagi hatinya dipenuhi dengan rasa gengsi dan benci–yang membuat dia mengurungkan niatnya. Dia letakkan kembali HP nya di meja–samping ranjang tidurnya, lalu ia mematikan lampu kamarnya.
***
"Ca, bangun, Ca! Bantu aku foto produk, Ca!" teriak Sandi–abangnya.
Caca membuka matanya dengan perlahan-lahan, lalu menarik kedua tangannya ke atas. Dia lihat jam dinding yang ada di depannya dan matanya membulat, melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.
"Aaa! Tega banget sih! Nggak ada yang bangunin aku!" Caca berteriak histeris, sambil bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidurnya.
Caca sangat menyesal karena terlelap dalam tidurnya, sehingga dia tidak salat subuh. Usai mandi dan berganti pakaian, dengan wajah murung dia keluar dari kamarnya–menuju ke sebuah ruang–tempat di mana dia bisa menemukan banyak makanan lezat di dalam rumahnya.
"Habis makan, bantuin aku foto produk," kata Sandi, sekali lagi.
"Ogah. Kamu aja nggak pernah mau bangunkan aku, ngapain kamu minta tolong aku?" Caca menatap Sandi dengan sangat sinis.
"Ca, Sandi itu kakakmu. Masa sih, kamu perhitungan banget, sama kakakmu. Lagian biasanya 'kan, kamu juga bangun sendiri, pakai alarm. Kita berdua mana tahu kalau kamu tidak menyalakan alarm itu," sahut wanita paruh baya.
Caca mendecik dan terpaksa mau menolong kakaknya untuk foto produk. Tetapi dia tidak bisa lama-lama karena dia harus segera menemui Sahida di rumahnya, untuk mengambil helmnya yang ketinggalan kemarin.
Sandi tersenyum lebar sambil berterima kasih kepada Caca, lalu dia segera mempersiapkan peralatan yang akan digunakan untuk foto produk, sambil menunggu Caca selesai makan.
Tak lama, suara ketukan pintu rumah terdengar, diiringi dengan suara pria yang begitu keras, seperti seseorang yang akan menagih hutang. Suara tersebut membuat Caca merasa sangat risih dan terganggu, apalagi Sandi.
"Siapa sih, masih pagi sudah gedor-gedor pintu orang," gerutu Sandi dengan alisnya yang sudah mulai mengerut. Dia keluar–menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sandi tercengang dan mendadak gagap, karena yang datang adalah rombongan Polisi.
"Selamat Pagi. Apakah benar, ini rumah saudari Caca?" tanya seorang Polisi berperut buncit.
"Ya, benar. Ada apa ya, Pak?" tanya Sandi.
Mendengar namanya disebut-sebut, Caca pun memutuskan untuk keluar–menemui Sandi.
"Ada apa, ini?"
"Kami sedang melaksanakan tugas untuk melakukan penangkapan kepada saudari Caca." Polisi itu menunjukkan surat tugas yang ia miliki kepada Caca.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!