Di sebuah rumah sakit kota terbaring tubuh kurus nyonya Rahayu Hanggara, alat-alat medis penopang kehidupannya telah dilepas. Sejak satu jam yang lalu Ibunda Dewa telah menghembuskan nafasnya, setelah sebelumnya menyaksikan akad nikah antara Lintang dengan putra semata wayangnya. Ia tersenyum dalam tidur panjangnya, hilang sudah kesakitan yang selama ini menderanya. Hampir selama lima tahun terakhir, nyonya Rahayu menderita TBC menahun. Tubuhnya yang dulu berisi berangsur-angsur mengecil, hingga hanya tersisa tulang.
Lintang tergugu di depan jenasah ibu angkatnya, airmatanya telah mengering seiring kepergian wanita yang telah merawatnya sejak kecil. Tubuhnya tersentak, ketika sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya. "Maaf nona, ibu anda harus segera di mandikan" seorang suster menyapa Lintang, yang masih duduk sambil memandangi wajah pucat itu.
"Silahkan sus, saya akan membereskan barang-barang ibu terlebih dahulu" jawab Lintang, beranjak dari tempat duduknya. Segera saja, ia memasukkan baju-baju dan semua barang-barang untuk di bawa pulang. Sedangkan Dewa entah berada dimana, karena setelah akad selesai dan melihat ibunya berpulang laki-laki itu menghilang.
Ah rasanya sesak sekali, pernikahan yang seharusnya menyatukan dua hati yang saling mencintai harus dilakukan karena terpaksa. Tidak ada cinta di dalamnya, yang ada hanya kebencian yang merasuki jiwa Dewa. Sementara di sini Lintang adalah seorang yang paling di rugikan, karena terikat pada lelaki yang bukan merupakan impiannya. Namun demi balas budi, walau hancur ia harus menerimanya.
Setelah semua proses di rumah sakit selesai, Lintang baru bertemu Dewa di depan meja informasi. Berjalan gontai dengan wajah menatap lantai keramik sepanjang koridor, lagi-lagi airmatanya mengalir tanpa henti. "Cukup, jangan lagi ada airmata" bisik Dewa, menyentak lamunan gadis bergaun biru itu.
"Maaf" ucapnya, sembari mengusap pipi dengan jemari yang gemetar.
"Dasar cengeng, doakan saja agar ibu tenang. Dengan menangis tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada malah akan memberatkan jenasah" suara Dewa semakin meninggi, demi melihat Lintang berderai air mata. Gadis lugu yang kini menjadi istrinya, terlihat menunduk menyembunyikan tangisnya. "Aku tidak menginginkan pernikahan ini, dan berharap agar kau juga jangan berharap terlalu banyak. Aku tidak akan pernah mengakui mu sebagai istri, tetapi apabila di depan umum kita adalah suami istri" Dewa bertutur panjang lebar, agar dimengerti oleh Lintang. "Bagaimana, kamu sudah mengerti apa yang ku inginkan?" tanyanya, meminta agar gadis itu menyetujui keinginan Dewa.
Lintang hanya diam, ekspresi wajahnya terlihat muram. Apa yang menjadi tujuan Dewa menikahinya? Yaitu hanya untuk sekedar menyenangkan hati nyonya Rahayu, dan harta warisan yang ditinggalkannya. Manusia memang selalu silau akan kekayaan, segala daya dan upaya mereka mempertahankan harta, tidak ubahnya seperti orang kehilangan akal. Hidup bukan melulu tentang harta, ada yang lebih penting dari itu kebaikan serta rasa syukur atas nikmat dari-Nya.
"Jawab! jangan hanya diam" geram Dewa, menghardik Lintang. "Kamu punya mulut, kan?"tanyanya lagi.
"I...ya tentu seperti yang kakak inginkan" tergagap Lintang, menjawab pertanyaan tersebut.
"Baguslah! Ingat, kita hanya orang asing yang di persatuan oleh takdir." Setelah mengatakan itu, Dewa bergegas pergi meninggalkan Lintang yang kesulitan membawa tas berisi pakaian milik almarhum ibunya.
Ya Tuhan, terbuat dari apa hari lelaki yang kini menjadi suaminya? Ia sungguh heran, nyonya Rahayu yang begitu baik memiliki anak seperti itu. Tiba di parkiran Lintang mencari-cari mobil Dewa, berharap ia dapat tumpangan menuju rumah. Karena ambulans yang membawa jenazah sudah berangkat, hingga Lintang mau tidak mau harus menemukan suaminya. Tetapi Dewa seperti hilang ditelan bumi, tidak terlihat bayangannya sedikit pun. Tiba-tiba terlihat sebuah mobil Pajero sport, melintas di depannya. Bukankah itu kendaraan milik Dewa? Lintang hafal dengan plat nomornya, tapi mengapa Dewa pergi tanpa mengajaknya serta? Rupanya suaminya tidak sendiri, ada gadis berbaju hitam di samping kursi penumpang. Siapakah dia? Mungkinkah kekasihnya? Benaknya bertanya-tanya, tanpa ada jawaban.
Lintang mengeluarkan gawai dari saku celana panjangnya, lalu menelpon Dewa. Dering pertama sampai ke tiga belum ada jawaban, pada panggilan ke sekian baru diangkat. "Hallo...kakak dimana?" tanyanya cepat.
"Aku sudah dalam perjalanan pulang, kamu naik taksi online saja..."
"Tapi...kak..."
"Sudah jangan manja, aku tunggu di rumah!"
Lintang memandangi gawai yang diputus sepihak, hatinya sakit Dewa lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya.
Saat tengah kebingungan sendiri, Lintang di kejutkan dengan kehadiran cowok tampan berseragam putih. "Hai, masih menunggu jemputan?" tanyanya ramah.
"Enggak dok, saya lagi nunggu taksol" jawab Lintang pelan.
"Ikut saya aja, kita searah."
"Apa gak merepotkan dokter?"
"Untuk gadis secantik kamu, saya gak repot malah senang."
"Uh dasar, ternyata dokter bisa juga bercanda."
"Ayo cepat naik, penawaran saya hanya berlaku satu kali saja" kata sang dokter, dengan candaan ringan. Mercy hitam itu segera meluncur menembus jalanan yang mulai agak ramai, bersatu saling susul menyusul diantara keramaian.
Lintang duduk di kursi penumpang dengan gelisah, ia takut Dewa akan marah melihatnya bersama pria lain. Tetapi keadaan memaksanya untuk menerima kebaikan dokter Zian, karena ia khawatir terlambat sampai rumah.
...****************...
Begitu sampai didepan rumah minimalis berlantai dua dengan pagar hitam tinggi, suasana duka sudah nampak menyelimuti area sekitarnya. Sebuah perumahan elite yang masyarakatnya acuh satu sama lain, tetapi tampaknya tidak berlaku pada tetangga tempat tinggal nyonya Rahayu. Ia merupakan seorang pengusaha sukses di bidang garment, yang banyak memproduksi pakaian muslimah serta pernak-pernik mengenai busana muslim. Banyak kolega maupun rekan bisnis nyonya Rahayu merasa kehilangan seorang wanita tangguh, yang dapat bertahan di kerasnya persaingan dunia bisnis.
Lintang di sambut seraut wajah asing bergaun Hitam, yang berdiri di pintu masuk rumah. "Maaf, anda menghalangi jalan" ucapnya pelan.
"Silahkan masuk, hanya untuk saat ini. Lain kali, kau akan ku tendang ke jalanan seperti gembel" bisik gadis cantik bemulut pedas itu, sedikit menggeser posisi tubuhnya. Ia adalah Haruna Wijaya, seorang model yang baru-baru ini namanya mencuat karena skandal yang menimpanya. Ia di kabarkan menjalin hubungan dengan pria beristri pemilik pH terkenal, namun kabar itu rupanya hanyalah isapan jempol untuk mendongkrak popularitasnya. Kini namanya semakin berkibar semenjak terbongkarnya jalinan cintanya dengan Dewa Hanggara, anak pemilik pabrik garment serta beberapa butik ternama tanah air.
"Terimakasih, tetapi aku bukan lawan sepadan buat mu. Untuk bisa mengalahkan ku, kau harus bisa menguasai teknik menjadi seorang penjilat" balas Lintang telak, sambil membenturkan bahunya agar di beri jalan. Dengan menyibakkan rambut sepunggungnya, Lintang melenggang pergi meninggalkan gadis itu, dengan koper besar di tangannya.
"Tunggu saja pembalasan ku, dasar perempuan udik" ucapnya, berjalan sembari menghentak-hentakkan kaki jenjangnya.
"Sayang, kenapa marah-marah?" tanya Dewa, yang baru keluar dari kamarnya.
"Istri gila mu itu, mengancam ku" adunya pada sang kekasih. "Aku mau dia segera pergi dari sini, melihatnya membuat mata ku sakit."
"Sabar dulu, kita harus mendapatkan semua peninggalan Ibu ku" bujuk Dewa lembut, di peluknya tubuh Haruna erat lalu di tuntun agar memasuki kamar tidur. "Enggak akan lama lagi, Lintang akan pergi tanpa membawa uang sepeserpun."
"Benarkah? Sayang aku mau jika kita menikah nanti, kamu harus membawa ku keliling eropa untuk berbulan madu" tuturnya manja, tangannya melingkari leher Dewa dengan posesif.
Dewa sebagai pria dewasa, mendapat perlakuan manis dari Haruna merasa amat tersanjung. Bibirnya memagut bibir semanis ceri milik gadisnya, dengan gemas. Lalu mereka larut dalam indahnya dunia, mereguk manisnya dunia cinta. Ketika hampir terlena, Haruna segera menyadari keadaan. "Stop Yang, kita harus segera keluar. Tamu-tamu sudah berdatangan, jangan sampai ****** kecil itu mendapatkan simpati dari kolega bisnis Ibu mu" tutur Haruna, menahan dada bidang Dewa dengan ketua tangannya agar menjauh.
"Huft! Kenapa mesti berhenti, aku masih ingin bersama mu" Dewa memelas begitu keinginannya tidak terpenuhi, ia terduduk lesu di pinggir ranjang.
"Sayang please deh, ini bukan waktunya kita bersenang-senang. Ada pertarungan yang harus kamu menangkan, baru setelahnya mari kita berpesta merayakan keberhasilan" lembut suara Haruna, memasuki gendang telinga Dewa. Di usapnya punggung tegap sang kekasih, menyalurkan segenap rasa cinta.
Dewa menarik lengan Haruna perlahan, mencium telapak tangan gadisnya penuh perasaan. Ah Dewa selalu menyukai aroma wangi yang menguar dari tangan dan tubuh Haruna. "Baiklah, demi diri mu apa pun akan ku perjuangkan" janji seorang Dewa untuk wanitanya, yang telah di pacari selama dua tahun. Melalui banyak rintangan yang menghadang, penolakan dari Ibunya ditambah dengan omongan teman-temannya yang mengatakan bahwa Haruna adalah seorang gold digger.
"Makasih Yang, kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan untuk diri ku."
"Kalo gitu, beri aku sebuah kecupan untuk penambah semangat."
"Cup... Cup!" Haruna mencium pipi Dewa kiri kanan, kemudian mendorong tubuhnya agar segera keluar dari kamar. "Blaam!" pintu di tutup dengan keras lalu segera di kuncinya, Haruna ingin mengistirahatkan diri.
Sementara itu, Lintang tengah duduk di depan jenasah nyonya Rahayu bersama ibu-ibu sekitar kediamannya sambil melantunkan doa. Tangannya membuka-buka lembaran Al Qur'an, lalu membacanya dengan suara lirih. Sanak saudara mulai berdatangan, untuk mendoakan serta mengiringi nyonya Rahayu menuju peristirahatan terakhir.
Tampak Dewa menyongsong tamu-tamu juga keluarga besarnya, menyalami mereka juga memohon agar sang ibu di maafkan dari segala kesalahannya. Dari sekian banyak tamu, terlihat sosok gagah berjas hitam memasuki ruangan. Tuan Ahmad Hartono pengacara sekaligus penasehat keuangan ibunya datang dengan penuh wibawa.
"Dewa, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya to the point.
"Lebih baik kita ke ruang kerja ibu, di sana akan lebih privacy" ungkap Dewa, mengirimgi langkah kaki sang pengacara. Begitu sampai di depan pintu bercat coklat, ia segera membukanya serta mempersilahkan masuk. Mereka di sambut sebuah lukisan besar berbingkai keemasan, sepasang suami istri dengan anak balita laki-laki. Ketiganya tengah tersenyum bahagia, gambaran tentang keluarga harmonis impian semua orang.
"Silahkan duduk, Om" Dewa mempersilahkan tamunya, agar segera duduk pada sofa diruang kerja tersebut.
"Terimakasih!"
"Ada apa ya, Om? Saya jadi agak khawatir, dengan berita yang akan di sampaikan."
"Enggak perlu khawatir, Om hanya ingin mengingatkan sekali lagi. Pernikahan yang baru saja terjadi, Om harap kamu juga Lintang mematuhi segala aturannya. Karena sejatinya pernikahan itu bukan untuk main-main, tetapi sakral dan disaksikan oleh Yang maha kuasa."
"Gak ada maksud saya mempermainkan pernikahan, Om. Hanya rasanya aneh saja, saya yang biasanya menganggap Lintang seorang adik tiba-tiba harus merubah hubungan menjadi suami-istri. Jadi saya belum bisa memperlakukan Lintang sebagai istri, lalu bagaimana dengan nasib Haruna kekasih saya?"
"Putuskan saja!"
"Jangan!" suara bariton seorang pria, menginterupsi percakapan mereka.
...****************...
Dari balik pintu yang sedikit terkuak, Dewa serta pengacara Ahmad Hartono melihat kemunculan seraut wajah yang tak asing bagi mereka. "Om Edo" sapa Dewa, menyongsong kedatangan adik bungsu ibunya. "Apa kabar, Om?" tanyanya menyalami Edo,sambil mencium punggung tangan pamannya dengan takzim.
"Kabar Om baik, hanya Tania gak bisa melayat karena istrinya Andrew baru melahirkan" jawab Edo, menepuk-nepuk bahu Dewa pelan. "Om sekeluarga, turut berdukacita dengan meninggalnya ibu mu. Rasanya sedih sekali, kakak sekaligus sahabat terbaik yang Om punya sudah mendahului."
"iya Om. Aku juga menyesal, di hari-hari terakhir hidupnya gak ada buat beliau" ucap Dewa, dengan wajah tertunduk.
"Sudahlah, semua sudah terjadi. Cukup sedihnya jangan berlebihan, tokh beliau sudah selesai dengan tugasnya di dunia" Ahmad Hartono memberi petuah bijak, pada Dewa yang sedang berduka. Lalu pandangannya beralih menatap Edo, serta mengajak bersalaman. "Lama kita tidak berjumpa, ya" ucapnya mengalihkan suasana melankolis, yang tengah menyelimuti ruang kerja itu.
"Ya, sekitar dua atau tiga tahun lalu" jawab Edo, menerima jabat tangan Ahmad.
"Mari, silahkan duduk. Kita bicarakan sesuatu yang penting. Mungkin anda hanya mendengar sepenggal percakapan kami, sehingga bisa menimbulkan persepsi lain" tutur Ahmad, menunjuk dengan tangannya kearah seperangkat sofa yang terdapat di situ.
Mereka bertiga duduk saling berhadapan, kemudian Ahmad sebagai pengacara menerangkan tentang pembicaraan tadi. "Seperti yang anda tau, selama ini Dewa telah ditunangkan dengan Lintang. Tetapi Dewa sudah menolaknya, karena baginya Lintang adalah adiknya. Namun wasiat terakhir nyonya Rahayu, ingin Dewa segera menikahi Lintang sebagai syarat pengambilan hak waris. Dan itu sudah terjadi dihadapan beliau, sebelum menghembuskan nafasnya."
"Kenapa bisa begitu? Ini jaman modern bukan, bukannya jaman Siti Nurbaya. Bukankah namanya pemaksaan kehendak? Sudah tau Dewa memiliki kekasih, yang akan dinikahinya satu hari nanti" Edo sedikit meradang, mendengar keterangan Ahmad. "Makanya saya menolak, bila Dewa harus memutuskan hubungan dengan Haruna."
"Betul Om, di sini aku gak ada suara sama sekali. Ketika memutuskan untuk menikahkan kami, ibu dalam keadaan sakit. Jadi mungkin saja, fikiran beliau sudah tidak normal" ujar Dewa, menimpali perkataan Om Edo.
Ahmad tersenyum memandang ke duanya, ia terlihat tidak berpengaruh dengan opini mereka. "Boleh saja kalian berpendapat seperti itu, tetapi wasiat ini di buat ketika nyonya Rahayu dalam keadaan sehat walafiat."
"Oke, saya percaya. Tetapi heran juga dengan sikap kakak ku, begitu percaya dengan gadis kecil itu. Apa yang harusnya menjadi hak Dewa, mesti didapat dengan cara pernikahan? Benar-benar tidak adil buat mu, Dewa" Ahmad menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu keluar dari ruangan. "Saya permisi dulu!" Edo gegas beranjak dari kursinya, untuk mengurus semua keperluan pemakaman kakak tercintanya.
Sepeninggal Edo kembali ruangan menjadi hening, dua orang dewasa terduduk dengan fikirannya masing-masing.
"Iya Om, memang rasanya gak adil. Semua omongan Om Edo masuk akal, apakah aku akan selamanya terbelenggu dalam perjanjian konyol ini?" tanya Dewa, memecah kebisuan diantara mereka.
"Nanti akan tiba waktunya, semua akan terjawab. Ini ada buku harian ibu mu, yang akan Om berikan setelah seratus hari kematian beliau. Di buku ini, akan kamu jumpai hal-hal yang mungkin akan mengejutkan." Om Ahmad mengeluarkan sebuah buku harian bersampul warna hitam, kemudian memperlihatkan pada Dewa.
"Boleh aku memegangnya, Om?"
"Silahkan, hanya memegang" di sodorkan buku itu oleh Ahmad, disertai peringatan.
Di peluk erat buku harian peninggalan sang bunda, tercium wangi parfum kesukaan beliau semasa hidup. Ah, serasa masih ada kehadirannya. 'Ibu aku rindu, hangatnya peluk mu' bisik lirih Dewa, sambil mencium diary itu dan memeluknya di dada.
"Tok...tok...tok!" ketukan pintu terdengar mengalihkan atensi Dewa serta Ahmad.
"Masuk!" seru Dewa, menyerahkan kembali buku harian ibunya pada sang pengacara.
"Maaf, apakah saya mengganggu?"
****
Pemakaman telah selesai, para pelayat sudah pergi dengan meninggalkan duka yang mendalam bagi yang ditinggalkannya. Lintang terpekur menatap tanah basah, yang ditaburi bunga beraneka warna. Sambil memegang nisan, ia berdoa dan meminta pada Allah SWT kiranya mengampuni semua dosa-dosa nyonya Rahayu dan diterangkan jalan menuju surga-Nya.
Hujan turun rintik-rintik menambah kesan pilu, bagi seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari pemakaman. Tatapan sendunya, menyiratkan kedukaan yang teramat mendalam. Perlahan ia mendatangi tempat Lintang bersimpuh, lalu memegang pundak gadis muda itu. "Lintang, ayo kita pulang" ajaknya. "Hujan semakin deras, gak baik terus di sini sementara yang lain sudah kembali pulang" lanjutnya kembali.
"Tante siapa, ya?" Lintang bertanya sambil menatap wanita dewasa itu lekat, yang ikut berjongkok di sisinya.
"Saya Rosa, sahabat ibu Rahayu" jawabnya tersenyum simpul, kemudian menarik siku tangan Lintang.
Lintang mengikuti langkah wanita ayu itu, setelah sebelumnya mengecup nisan nyonya Rahayu singkat. Mereka berdua berjalan beriringan dengan payung hitam, melindungi kepala dari gerimis yang menerpa. Telah menunggu sebuah mobil mewah,yang terbuka bagian depannya begitu mereka tiba. "Pak Umar, sebelum pulang kita antar dulu Lintang" sapa Rosa pada sopirnya, yang terlihat membuka pintu bagian belakang.
"Baik nyonya."
Segera kendaraan beroda empat itu melaju, begitu sang tuan sudah masuk ke dalam kursi bagian penumpang.
"Tante, berapa lama tidak bersua dengan ibu? Karena semua teman beliau, pasti saya tau."
"Tante memang baru kembali dari Ausie, setelah lima tahu bermukim di sana. Kami putus kontak, karena waktu itu hape Tante hilang dalam perjalanan menuju bandara."
"Lalu Tante tau dari siapa, kalo ibu sudah berpulang?"
"Dari pengacara ibu mu, Ahmad Hartono..."
"Katanya sudah putus kontak, lalu bagaimana bisa dengan cepat datang ke pemakaman ibu?" tanya Lintang, memotong ucapan Tante Rosa.
"Sebenarnya Tante sudah seminggu ini, berada di Indonesia. Ingin menyambung tali silaturahmi dengan sahabat-sahabat yang lain, lalu menghubungi Ahmad dan mendapat kabar mengejutkan bahwa teman baik saya tengah di rawat di RS."
"Kapan Tante datang menjenguk ibu?"
"Tadi siang Tante berkunjung ke bangsal tempat ibu mu dirawat, tetapi terlambat. Rahayu sudah berpulang, tanpa sempat Tante minta maaf"ungkapnya penuh penyesalan.
Suasana dalam mobil menjadi hening, yang terdengar hanya suara-suara kendaraan yang berseliweran di jalan. Lintang maupun Tante Rosa, hanyut dalam pikiran masing-masing. Ketika Pak Umar memberitahu telah tiba di tempat tujuan, mereka baru tersadar.
"Maaf nyonya, kita sudah sampai" ucap Pak Umar pelan.
"Oh ya, makasih Pak Umar" Tante Rosa mengeluarkan gawainya, lalu meminta nomor WhatsApp Lintang. "Boleh Tante minta nomor Lintang, yang sewaktu-waktu bisa di hubungi? Barangkali kamu butuh bantuan, atau ingin curhat tentang segala hal?"
"Iya Tan, ini nomornya" Lintang menyebutkan nomor hpnya, dan segera di catat Tante Rosa. "Tante, gak mampir dulu?"
"Lain kali aja. Takutnya, anak Tante sudah pulang dari kerjaannya" tolaknya halus.
"Bye Tan, thanks buat tumpangannya."
"Sama-sama sayang."
Mobil melesat meninggalkan Lintang yang masih berdiri mematung, hingga kendaraan itu hilang di kejauhan. "Wah baru sehari ibu berpulang, sudah mendapat mangsa yang empuk nih!" suara sarkas itu terdengar di telinga Lintang. Haruna berdiri sambil berkacak pinggang.
"Jangan sirik aja bisanya, buktikan kebenarannya. Jangan menilai orang, dari ukuran baju yang kau pakai!" Telak balasan Lintang, untuk perempuan gatal itu.
"Kau mulai berani melawan!" jemari berkutek merah menyala itu menunjuk wajah Lintang marah.
"Aduh hati-hati Mbak, tuh kerutan udah muncul di kening juga pipi" Lintang menepis telunjuk yang masih teracung, lalu masuk tanpa menoleh lagi.
"What?! Hei tunggu, ******!"
"****** teriak ******, ngaca dong. Siapa di sini ****** yang sesungguhnya?" tanya Lintang membalik keadaan.
"Argh...Lintang!"
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!