NovelToon NovelToon

Pacar Kontrak Seumur Hidup

PERTEMUAN KONYOL

Seorang gadis berambut pendek sebahu tengah merapikan rambutnya yang dia ikat satu. Sambil mengecek kembali penampilannya di depan cermin, Teresa menampilkan senyum ramahnya. Bersiap untuk menyambut pengunjung toko, tempat dia bekerja.

Memasuki penghujung tahun memang membuat mall tampak lebih padat pengunjung. Bertepatan dengan hari libur, juga banyaknya event sale yang diadakan oleh hampir seluruh toko. Tidak ketinggalan juga dengan toko pakaian wanita yang tengah Teresa jaga.

Lalu-lalang pengunjung di toko tidak membuat Teresa lengah, meski punggungnya telah berteriak nyeri karena sudah hampir setengah hari dia berdiri tanpa bersandar. Dia tetap semangat untuk melayani setiap pengunjung yang datang.

Teresa berjalan mengitari toko, guna memantau pengunjung yang ingin berbelanja. Dari kejauhan, mata Teresa memicing tajam. Begitu dia melihat salah seorang ibu-ibu memasukkan beberapa one set bikini ke dalam tasnya dengan terburu-buru.

“PENCURI!!! teriak Teresa dengan mengambil ancang-ancang untuk menangkap pencuri itu.

Para pengunjung yang mendengar teriakan Teresa sontak berhamburan untuk mengamankan diri. Hal itu membuat dirinya sedikit kesulitan untuk mengejar ibu pencuri itu yang telah berhasil keluar dari toko. Beruntung para satpam penjaga sigap untuk segera mengamankan pengunjung dan juga membantu Teresa mengejar si pencuri.

Teresa memacu kakinya untuk berlari sekencang mungkin. Memakai rok bukan alasan untuk menghambatnya dalam berlari. Bahkan, dia mengabaikan teriakan orang-orang sekitarnya yang menyuruhnya untuk berhenti.

“Aku tuh lagi ngejar pencuri, kok malah di suruh berhenti sih!” batinnya. Hingga suara pecahan ember dan tubuhnya yang limbung membuat dia memejamkan matanya dengan rapat.

BRAK!!

Cukup lama Teresa berada di posisi telungkup. Mencoba merasakan sakit, tapi tidak ada tanda-tanda sakit itu muncul di badannya. Dia mencerna akan kejadian itu dengan mengerjap-ngerjapkan matanya. Teresa mencoba menggerakkan badannya yang seolah tidak berada di atas lantai yang basah dan dingin. Kemudian dia membelalakkan matanya dengan napas yang tercekat. Dia tersadar jika saat ini dirinya menindih tubuh seseorang. Lebih mengejutkannya lagi, bibirnya kini saling menempel dengan bibir orang itu.

“Ciuman pertama gue!!!” pekiknya dalam hati.

Teresa dengan terburu-buru menjauhkan tubuhnya. Dia berdiri, dengan tertunduk malu. Tidak lupa dia mengulurkan tangannya untuk membantu orang itu berdiri. Dirinya tidak berani menatap orang yang dia tabrak, yang ternyata seorang pria. Meskipun suara pekikan para pengunjung mall di sekitarnya membuat dia penasaran. Dia tetap menundukkan wajahnya.

“Ekhem!”

Teresa semakin menciut takut begitu mendengar suara deheman dalam pria itu. “Maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” ucap Teresa gugup.

Teresa meringis ngeri, karena telah membuat pakaian pria itu kotor dan juga basah. Mati aku kalau dia minta ganti rugi.

Pria itu menatap datar Teresa yang sedari tadi menunduk ketakutan. Dia menelisik tubuh gadis di hadapannya itu, dan tersenyum samar begitu melihat nametag yang gadis itu kenakan di dada sebelah kirinya.

“Hmm. Sampai bertemu lagi!” jawab pria asing itu kemudian berlalu pergi berjalan meninggalkannya.

Mendengar langkah kaki yang semakin menjauhinya membuat Teresa memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya. Dia melihat punggung lebar pria asing itu dengan raut wajah yang bingung. Apa maksudnya coba?

***

Gagal menangkap si pencuri yang membawa kabur barang dagangan. Membuat Teresa harus menghadap atasannya. Saat ini dia telah berada di ruangan Sinta, sang manager. Dia tidak berani bicara sepatah kata pun sejak dia masuk ruangan ini.

Sinta bukanlah atasan yang kejam. Malahan, dia termasuk atasan yang sangat jarang memarahi anak buahnya. Dia hanya sesekali menegur untuk memperbaiki kinerja anak buahnya. Namun, yang kali ini sepertinya merupakan hal yang fatal baginya.

Sinta menghela napas membuat Teresa mencuri pandang takut-takut ke arahnya. “Teresa!”

“Iya, Buk.”

“Bagaimana bisa kamu kecolongan seperti tadi?! Baru kali ini kinerja kamu mengecewakan saya, Tere!” seru Sinta dengan memijit pelipisnya.

“Maaf, Buk. Saya sudah sebisa mungkin untuk mengejarnya tadi,” sesal Teresa.

Lagi-lagi Sinta menghela napas mendengar penuturan Teresa. “Ya sudah. Mau bagaimana lagi?! Kamu juga sudah paham, kan. Dengan peraturan toko dan konsekuensinya?”

Teresa mau tidak mau harus menanggung kerugian itu, yang memang sudah menjadi konsekuensinya. “Paham, Buk. Ibu bisa memotong gaji saya bulan ini,” sahutnya dengan lesu.

“Ya sudah sana! Kamu boleh pergi! Lain kali kerja yang bener. Biar gak terjadi hal kayak gini lagi,” titah Sinta yang di angguki paham oleh Teresa.

Teresa keluar dari ruangan sang manager dengan lemas. Dia pun duduk di salah satu kursi tunggu untuk para pengunjung. Mendapat sanksi atas kelalaiannya membuat Teresa mau tidak mau harus lebih berhemat dalam bulan ini.

Sebagai salah seorang teman yang dekat dengan Teresa. Fira begitu mengerti dengan kesulitan yang di alami oleh temannya itu. Menjadi tulang punggung keluarganya sejak kematian sang ayah dan membayar pengobatan sang ibu bukanlah hal mudah. Akan tetapi Teresa hampir tidak mengeluh. Bahkan Fira harus memancingnya terlebih dulu agar dia mau bercerita.

“Tere!” tegur Fira.

Teresa yang sedang termenung, tersentak kaget mendapat tepukan di punggungnya. Dia mengubah mimik wajahnya dengan senyuman begitu dia melihat Fira lah yang mengagetkannya.

“Bagaimana?” tanya Fira yang kini beralih duduk di samping Teresa.

“Sesuai peraturan yang berlaku, he he,” jawab Teresa menyengir.

“Sabar, yaa. Nanti aku traktir makan malam deh. Sekalian titip buat ibu kamu.”

Mendengar hal itu sontak Teresa menolaknya. Dia sudah merasa banyak berhutang budi kepada Fira yang sering membantunya. Jadi dia tidak mau merepotkan Fira lagi.

“Aku ngambek kalo kamu nolak," ancam Fira dengan wajah yang memberengut seolah-olah marah.

Teresa memandangi ekspresi temannya itu. Kemudian menghela napas berat. “Gak usah, Fir. Beneran deh. Aku gak mau ngerepotin kamu terus.”

“Santai aja, Tere. Kamu kan sudah aku anggap kayak saudara sendiri,” jawab Fira tersenyum.

Teresa mendesah pasrah dengan sisi keras kepala temannya itu. Walau begitu dia tidak lupa untuk tersenyum berterima kasih atas kebaikan Fira.

***

Meskipun telah mendapat musibah dengan harus merelakan gajinya. Bukan berarti Teresa akan meratapi nasibnya. Kepribadiannya yang ceria dan positive sejak kecil. Membuat dia tidak berlarut dalam kesedihan terlalu lama.

Pagi ini, dia sudah menebarkan senyumannya kembali. Teresa memang sangat aktif dan rajin. Dia bahkan sudah memulai pekerjaannya di tengah teman yang lain masih berada di ruang ganti.

Teresa menata ulang pakaian-pakaian yang tidak tergantung rapi ulah pengunjung, menjadi seperti semula. Sesuai warna dan ukuran. Di temani dengan suara televisi yang menyala membuat seorang Teresa tidak begitu peduli dengan sekitar. Lagian juga masih terlalu pagi untuk mendapati seorang pengunjung yang datang, pikirnya. Jadi, Teresa melanjutkan acara menatanya dengan hikmat.

“Berita panas hari ini, datang dari seorang CEO Max Group, Jevon Maxwell. Kali ini dia mematahkan gosip yang sudah beredar lama. Video dengan berdurasi kurang dari 15 detik itu menampilkan dirinya tengah berciuman panas bersama seorang perempuan asing di area publik. Hal itu secara tidak langsung mengklarifikasi bahwa dirinya normal, tidak seperti yang di kabarkan sebelumnya”

“Teresa!!” seru Fira membuat si empunya nama terlonjak kaget. Tidak sampai di situ, dirinya kembali terlonjak, begitu Fira dengan tidak sabar menyeret Teresa ke tengah-tengah toko.

Fira memutar kepala Teresa untuk mendongak melihat ke layar televisi di atasnya. Teresa mengernyit bingung melihat video yang menampilkan orang yang sedang tumpang tindih berciuman di area umum.

“Apa sih, Fir?” tanyanya kesal.

Namun ,kini dia terdiam membeku, dengan membelalakkan mata dan mulut yang menganga. Dia tak menyangka ada orang iseng yang memvideo dirinya kemarin. Sampai berani menyebarkan di media sosial.

Teresa juga menyesali kebodohannya karena dia baru menyadari orang yang dia tabrak adalah seorang CEO Max Group, Jevon Maxwel, pria tampan yang kejam. Begitulah julukannya. Ya Tuhan tolong hambamu ini.

Banyak pandang mata yang kini tengah menatapnya. Seolah membenarkan jika dirinya adalah orang yang sama dengan yang berada di dalam video memalukan itu.

“Itu bener Teresa, kan?!” celetuk salah satu teman kerjanya.

“Kok lo bisa main sama orang kelas kakap, Tere?” tanya salah satu temannya lagi.

“Gak nyangka, ya. Teresa mainnya sama kelas atas. Gak sesuai dengan wajahnya yang terlihat lugu itu.”

“Mana mungkin seorang CEO memiliki hubungan dengan orang miskin. Kalau iya mungkin ada suatu hal. Seperti ... jual diri?” ucap salah seorang pengunjung dan masih ada banyak lagi komentar-komentar negative lainnya.

Teresa hanya bisa terdiam, bingung bagaimana harus menjelaskannya. Karena berita itu terlalu di lebih-lebihkan. Kejadian yang sebenarnya tidak segila yang wartawan itu jabarkan.

Ingin rasanya Teresa berteriak dan memaki mereka yang masih terus mengatainya. Jika itu hanya sebuah insiden. Namun dia tidak punya kekuatan untuk melakukan itu. Dirinya hanya orang kecil yang di pandang sebelah mata. Bukan orang yang berkuasa yang bisa membungkam siapa saja dengan mudahnya.

Emosi Teresa yang akan meledak kembali tenang ketika dirinya merasa ada elusan di lengannya. Dia menoleh ke arah Fira. Dengan menggelengkan kepalanya.

Bagaikan tengah bertelepati Fira menganggukkan kepalanya, guna menenangkan temannya. “Aku lebih percaya ke kamu. Pasti itu cuma kesalahpahaman, kan?!” bisik Fira yang di iyakan oleh Teresa.

***

Di dalam restoran yang berdinding kaca. Seseorang tengah menikmati tontonan yang menarik baginya. Tepat di depan matanya. Dia tersenyum tipis memandangi seorang gadis yang tengah berbincang bersama temannya dengan raut lelah.

Seorang itu menyesap americano miliknya kemudian kembali melihat toko pakaian wanita, tempat gadis itu berada dengan menyeringai. “Its show time, gadis kecil!”

Pemecatan Teresa

Fira keluar dari ruangan ganti, menatap heran Teresa yang memakai pakaian aneh. Ia tampak seperti buronan, dengan cardigan, topi dan masker serba hitam yang menutupi hampir seluruh wajahnya.

“Kamu kenapa?” Tanya Fira penasaran begitu Teresa masuk ke toko.

Teresa menghela nafas lelah. Membuka segala perintilan aneh yang melekat di tubuhnya. Hingga kembali menjadi Teresa biasanya. “Gara-gara video itu banyak orang-orang yang memandang aku sinis. Malah semakin terang-terangan ngatain aku," jelasnya mencuatkan bibir.

Fira merasa kasihan kepada temannya itu. Karena dia juga tahu sendiri. Tidak sedikit orang yang mengatai Teresa. Bahkan, sebagian teman kerjanya juga melakukan hal yang sama. Dia tidak habis pikir. Bagaimana bisa mereka seperti itu, sedangkan Teresa sangat baik ke mereka.

“Kenapa juga tak ada konfirmasi dari si Jevon, Jevon itu. Apa ini tidak mengganggunya?” gerutu Teresa kesal.

Berita tentang skandal video itu sudah berlalu seminggu yang lalu. Akan tetapi, berita itu tak kunjung mereda, malah semakin naik. Semengerikan itu pengaruh seorang Jevon Maxwell.

“Udah. Jangan terlalu di pikirkan. Toh nanti gosipnya akan menghilang dengan sendirinya,” ucap Fira mencoba menenangkan Teresa. Padahal dia sendiri juga tidak tahu pasti. Berita itu akan segera meredam atau tidak.

Mendengar ucapan temannya, Teresa tersenyum. “Makasih, ya, Fir.”

“Yaudah ayo balik kerja. Nanti malah di omelin sama Bu Sinta,” ajak Fira yang diangguki Teresa.

Mereka berdua pun kembali bersemangat untuk memulai kerjanya di toko itu. Teresa kembali ke jati dirinya, yang ceria dan rajin. Melupakan sejenak masalah yang tengah mengujinya. Karena mencari uang adalah prioritas keduanya setelah kesehatan ibunya.

***

Di dalam ruangan gedung bertingkat. Revan yang baru saja kembali dari rumah orang tuanya, membuka pintu ruangan itu dengan kasar.

Brak!

Sang pemilik ruangan yang tengah menikmati segelas kopinya mengangkat alisnya tinggi. Melihat sekretarisnya masuk dengan tidak sopan. Akan tetapi, dia hanya diam menunggu. Kiranya hal apa yang membuat Revan, sang sekretaris melakukan tindakan seperti ini.

“Gila lo, Jev!” seru Revan menuding muka bosnya.

“Apa?”

“Gue tau ini semua ulah, lo, kan? Soal video!” sahut Revan.

Jevon membenarkan posisi duduknya sedikit menegap. Ketika dia sudah mulai mengerti arah pembicaraan Revan. “Gue seperti mendapatkan kesenangan yang selama ini hilang, Van.” Jevon terkekeh menatap Revan yang berdiri di depannya.

“Dia gak ada salah apa-apa sama lo, Jev! Jangan membawa orang lain masuk ke hidup lo yang rumit itu,” protes Revan meradang.

“Tenang, Revan. Gue hanya bermain-main sebentar. Tidak membunuhnya.” Jevon menyahut dengan nada tenang kemudian tersenyum.

Revan mendelik, menggeleng kecil tidak habis pikir dengan jalan pikiran Jevon, yang sialnya sahabat kecilnya sendiri. “Kalo sampek hal itu terjadi. Gue sendiri yang nyeret lo ke rumah sakit jiwa!”

Jevon tertawa mendengarnya. “Lo terlalu serius, Bro. Itu akan ngebuat lo cepat tua,” ucap Jevon bercanda.

“Dan tingkah lo yang ngebuat gue menua dengan cepat,” balas Revan pedas.

“Mau bertaruh?” tanya Jevon yang kini sudah memasang wajah datarnya. Tidak lupa seringai kejamnya.

Revan mengerang frustrasi mengusap wajahnya kasar. “Ya Tuhan, Jevon!!! Apa lagi?!” pekik pria itu dengan wajah lelah.

Wajah Jevon kini berubah dingin dan datar. Dia memainkan jarinya memutar dia atas gelas kopi yang dia nikmati. “Tidak akan lama, seekor tikus akan terperangkap,” ucapnya ambigu. Kemudian dia kembali melihat Revan, “Bagaimana menurutmu?”

Revan menghela nafas panjang. “Jangan terlalu lama bermain-main. Kalau elo tidak ingin masuk ke perangkap lo sendiri! Dan gue berharap itu tidak terjadi,” pesannya kepada Jevon sebelum dia keluar dari ruangan sahabat sekaligus bosnya itu.

***

Melihat tayangan televisi bahkan hampir di seluruh sosial media berisi tentang skandal ciuman anaknya. Membuat Siska, mama dari Jevon Maxwell menggeram marah. Dia yang berada di ruang tengah di kediaman Maxwell itu bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap.

Siska akan turun tangan sendiri mengenai berita yang tak kunjung di konfirmasi oleh anaknya itu. Dirinya menghubungi semua kenalannya untuk segera meredam berita yang tengah beredar dan juga menghapus seluruh video yang sudah tersebar.

Tidak sampai di situ, kini Siska sudah berada di salah satu restoran elit di daerah Jakarta Pusat. Untuk menemui salah satu koleganya.

“Selamat siang, Bu Siska,” sapa Sinta. Manager toko pakaian tempat Teresa bekerja.

Siska tersenyum ramah menyambut kedatangan koleganya. “Selamat siang, Sinta.” Kemudian dia mempersilahkan Sinta untuk duduk di hadapannya dan memesan makanan.

Setelah menikmati makan siang yang terasa mencekam. Sinta menghirup napas dalam, menenangkan diri. “Kiranya ada hal apa, ya? Sampai Bu Siska repot-repot untuk menemui saya secara langsung?” tanyanya.

Siska yang tengah menikmati teh hijaunya tersenyum. Menatap Sinta. “Anda sangat terburu-buru ternyata, ya?”

Mendapat balasan seperti itu membuat Sinta gelagapan. “Bu ... bukan seperti, Bu. Hanya saja—“

“Tidak apa-apa. Saya juga akan langsung berbicara poinnya saja,” sela Siska. Dia menatap Sinta serius. Hingga orang yang di tatap merasa gugup.

“Apakah toko tempat kamu bekerja kekurangan saham?” tanyanya.

Sinta menggeleng kecil. “Suntikan saham dari ibu sangat membantu untuk menaikkan kualitas toko. Kenapa ya, Bu?”

Lagi-lagi Siska tersenyum. “Apakah kiranya ada sedikit wewenang untuk saya atas toko itu?”

Sinta tersentak kecil. Sedikit takut akan nasib toko yang dia jaga. Dia sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan menimpanya. Namun, kekehan kecil dari Siska membuat Sinta kembali tersadar.

“Saya tidak akan meminta toko untuk menjadi milik saya. Saya hanya ingin satu orang saja ... keluar dari toko itu,” jelas Siska.

Sinta menganga kecil. Kemudian mengatupkan bibirnya. “Si ... apa?”

“Teresa Pratista!”

Satu nama yang terucap dari mulut Siska membuat Sinta kembali ternganga, terkejut. Namun, dengan cepat dia mengembalikan ekspresi normalnya. Karena setidaknya dia mulai paham. Hal apa yang membuat nyonya besar Maxwell ini mau turun langsung seperti sekarang.

Sangat di sayangkan dia harus mengeluarkan pegawai yang kinerjanya baik. Demi menjamin toko yang ia jaga gulung tikar.

***

Sedang asyiknya melayani pengunjung yang untungnya tidak julid dan rewel. Teresa malah mendapat panggilan dari Sinta. Katanya penting membuat dia mau tidak mau segera menghampirinya. Meninggalkan pelanggannya kepada Fira.

“Permisi. Ada hal apa ya, Bu?” tanya Teresa ketika dia sudah berdiri di hadapan Sinta.

“Duduklah! Ada yang ingin saya sampaikan ke kamu,” ucap Sinta.

Teresa duduk dan mencoba berpikir hal apa kiranya yang membuat sang manager memanggilnya. Jika tidak ada kesalahan tidak mungkin dia di panggil. Akan tetapi, dia tidak merasa melakukannya. Terakhir perihal bikini yang di curi orang itu.

“Ekhem.” Sinta berdeham mengalihkan atensi Teresa. “Jadi begini, Tere. Kamu sudah pasti tahu bukan. Perihal berita yang menjadi topik nomor satu sekarang,” ucap Sinta.

Teresa tercenung mendengarnya. “I ... iya, Buk,” jawabnya tergagap.

Sinta menghela napas. “Karena berita itu berkaitan sama kamu. Membuat toko ini di nilai buruk oleh banyak orang. Bahkan penjualan semakin menurun.” Sinta sejenak menatap Teresa yang tampak cemas. “Sangat di sayangkan. Demi mempertahankan kualitas toko. Saya dengan terpaksa harus mengeluarkan kamu,” putusnya mutlak.

Teresa sontak terkerjut. Tidak ada sebulan hidupnya kembali di uji. “Maksud Bu Sinta apa?” tanyanya. Kemudian Teresa menggeleng kecil. “Sa-ya di pecat?” tanyanya lagi dengan lemah yang di angguki oleh Sinta.

“Maaf, Tere. Ini sudah keputusan dari pihak atasan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkap Sinta tak ingin dibantah.

Teresa mengangguk kecil seolah tidak apa-apa. Dia menghapus air matanya yang tadi sempat terjatuh. “Baiklah, Bu. Kalau begitu saya pamit undur diri,” pamitnya dan keluar dari ruangan yang membuatnya sesak itu.

Gadis itu keluar dari ruangan sang manajer dengan langkah gontai dan duduk kursi tunggu dengan wajah tertunduk lemas. Pikirannya berkecamuk akan hidup yang akan dia jalani kedepan. Pekerjaan satu-satunya yang dia punya untuk menopang hidup, kini sudah tak bisa lagi dia andalkan. Dirinya dipecat, hanya karena masalah yang dia sendiri juga tak ingin melakukannya.

Teresa merasa dunianya sudah sangat gelap dan buntu. Dia tidak tahu di mana dia harus mencari pekerjaan baru. Dengan bermodalkan ijazah SMA dan tidak memiliki bakat apa pun.

Rasanya dia ingin berteriak sekencangnya guna melampiaskan rasa yang memebelenggu di hatinya. Ingin rasanya dia bunuh diri. Namun, dia masih teringat akan ibunya yang harus rutin cuci darah, setidakya seminggu sekali dan ibunya tidak memiliki siapa pun selain dirinya. Belum lagi kamar kos yang harus dia bayar. Tabungan yang di milikinya juga tidak seberapa, bahkan sepertinya tidak akan cukup untuk makan selama satu bulan ke depan.

Teresa berkemas dan tak ada satu pun karyawan toko yang mengucpkan kalimat penenang atau setidaknya perpisahan. Semunya hanya menatap prihatin ke gadis itu dan tak sedikit pula yang masih berbisik buruk tentangnya. Teresa merasa hidup sangat kejam padanya. Bahkan, Fira yang selama kni dekat dengannya tidak berani mendekat. Akan tetapi, Teresa tahu, jika sahabatnya itu bukan tidak ingin mendekat, karena sudah sebuah aturan dari sang manajer untuk tetap bekerja di posisi masing-masing.

Teresa keluar dari toko dengan ransel di pundak kanannya menatap toko tempat dia bekerja 2 tahun terakhir ini sekali lagi. Kemudian dia menghela napas dan pergi dari toko itu. Tanpa sadar air matanya menetes. Tuhan kenapa harus aku?

***

“Ada apa?” suara di seberang menyahut.

“Bereskan orang-orang yang mengusik mainanku,” ucap Jevon memerintah. Kemudian menutup panggilannya sepihak.

Di memutar-mutar kursi yang di dudukinya. Lalu menghadap ke arah luar jendela kaca di ruangannya. Menatap gedung-gedung tinggi dan jalanan yang padat merayap dari atas gedung miliknya.

“Justru ini akan memudahkanku. Aku akan berterima kasih padamu, Mama!” gumamnya dengan senyuman mengerikan.

Tanda Tangan Kontrak

Pagi hari seperti biasa, Teresa akan bersiap untuk bekerja. Setelah membereskan dan memasak makanan untuk dirinya dan juga ibunya. Walau pun dia sudah di pecat. Sudah cukup dia meratapi nasib di hari pertama dia di pecat. Dia tidak akan membuat dirinya akan bermalas-malasan di rumah. Terlebih lagi ibunya tidak tahu mengenai dirinya yang di pecat. Alhasil dia melakukan aktivitas seperti biasa dan dia gunakan waktunya untuk mencari pekerjaan baru.

“Sudah mau berangkat, Nak?” Tanya Dina, ibu Teresa.

Teresa menoleh ke arah ibunya yang baru masuk ke dalam kamar kosnya. “Iya Bu. Ibu sudah jalan-jalan paginya?”

Dina tersenyum menghampiri sang anak. “Iya. Semoga lelah kamu jadi berkah, ya. Maafin Ibu yang hanya bisa menjadi beban kamu,” ucapnya lembut sengan mengelus surai anaknya.

Teresa menggeleng. “Ibu ngomong apa sih. Jangan ngomong ngaco gitu. Cukup doain Teresa saja. Biar segala urusan Teresa di permudah dan lancar. Ok!"

“Iya. Kalau itu sudah pasti, Nak.” Dina menjawab dengan lembut.

Setelah memasang sepatunya, Teresa bersalaman kepada Ibunya untuk pergi bekerja. Lebih tepatnya mencari pekerjaan. “Teresa berangkat. Assalamualaikum!”

“Iya hati-hati. Waalaikumsalam,” sahut Dina melihat Teresa yang sudah bergegas pergi.

Teresa menggerutu kesal setelah setengah hari berjalan, dia tidak kunjung mendapat pekerjaan. Di tambah pula selama beberapa hari ini dia mencari pekerjaan selalu saja mendapat persyaratan yang tidak masuk akal. Minimal tinggi badan, good looking, minimal pendidikan, kuat di bawah tekanan, minimal pengalaman dan minimal-minimal lainnya yang membuat dirinya menggerutu kesal.

Dia yang saat ini sedang duduk di taman kota dengan meminum es teh dengan sekali teguk. Menghembuskan nafas lega karena hausnya sudah teratasi. Kemudian Teresa memijat kakinya yang terasa pegal dan sedikit nyeri. Kenapa juga aku pendek? Jadi makin susah aja nyari kerjaan! Rutuknya dalam hati.

***

Teresa yang kembali berjalan kaki mencari pekerjaan. Saat ini berbinar senang. Ketika dia melewati toko bunga yang terdapat papan lowongan pekerjaan. Segera dia berbalik untuk memasuki toko itu.

“Permisi?” ucap Teresa yang sudah masuk ke dalam toko bunga itu. Sambil menunggu pemilik tokonya datang. Dia melihat-lihat berbagai bunga yang berada di sisi kanan kirinya.

Toko bunga itu kecil tapi memanjang. Jadi hanya ada satu meter space untuk jalan di tengah. Di belakang sana terdapat meja kasir dan dua kursi di depannya. Di samping kursi juga ada tangga kecil untuk menuju ruang atas yang sepertinya terdapat tanaman bunga.

“Eh iya ... Selamat datang di Florist. Ada yang bisa saya bantu?” Sambut seorang wanita cantik yang muncul tiba-tiba dari pintu belakang meja kasir, dengan apron yang melekat di badannya.

Teresa tersenyum. “Begini ... saya ingin bertanya. Soal papan lowongan kerja di depan. Apa ... masih berlaku?”

“Ah ... iya benar. Saya sedang mencari orang untuk membantu saya mengurus toko bunga ini,” jawabnya.

Teresa menjadi bersemangat. “Kalau begitu saya ingin mengajukan diri untuk bekerja di sini,” ucapnya dengan mengulurkan data dirinya.

Tak kunjung di sambut membuat Teresa tercenung bingung. Dia sedikit waswas begitu dia sadar sedang di tatap lekat oleh pemilik toko bunga itu.

“Wajah kamu tidak asing.”

Nafas Teresa tercekat saat pemilik toko itu berkata seperti itu. Dia takut tidak akan di terima bekerja di sini perihal video konyol yang tersebar luas itu.

“Kamu yang ada di berita itu, kan?” pekik wanita itu heboh. Sedangkan Teresa sudah pias.

“Kamu saya terima,” lanjut wanita pemilik toko bunga dengan senyum hangatnya. Membuat Teresa terkejut. Tidak percaya.

“Saya Alea. Nama kamu siapa?” tanya wanita itu semangat.

Teresa tersenyum lebar menyambut uluran tangan pemilik toko bunga itu yang bernama Alea. “Saya Teresa, Bu. Terima kasih karena sudah menerima saya.”

“Jangan panggil Bu. Saya tidak setua itu,” canda Alea.

“Ah baiklah, Kak,” jawab Teresa kikuk.

Mereka pun tersenyum dan memulai untuk berkenalan lebih lagi. Alea mengajarkan beberapa hal tentang merangkai bunga, memetik bunga, menanam bunga, merawat bunga. Bahkan, juga menanam benih bunga.

Teresa yang mendapat ilmu baru pun tersenyum dan bersemangat untuk mempelajari tentang bunga. Dia bersyukur karena meski gaji di sini tidak seberapa. Setidaknya, dia bisa untuk menyambung hidup.

Masalah kurang, nantinya Teresa akan mencari pekerjaan lagi di tempat lain. Agar bisa mencukupi kebutuhan pengobatan sang ibu.

***

“Ibu mau keliling dulu ya, Tere. Mungkin akan sedikit lama. Karena cuaca sedang hangat,” pamit Dina kepada sang anak.

Teresa yang tengah sibuk memasak hanya mengangguk mengiyakan. Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi. Masih ada sisa waktu yang cukup lama buat dirinya pergi bekerja. Dia akan menggunakan waktunya itu untuk mencari pekerjaan part time untuk mendapatkan uang lebih.

“Serius, Jev! Lo ngerecokin gue pagi-pagi hanya untuk datang ke tempat ini?”

“Iya, Revan!”

“Lo yang biasanya on time untuk ke kantor malah melipir ke tempat asing ini? Seorang Jevon melakukan hal konyol seperti ini?!”

“Berisik, Van!”

Mendengar keributan di luar kamar kosnya membuat Teresa mengernyit bingung. Namun, coba dia abaikan. Mungkin tetangga sebelah, pikirnya. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya yang sedang bersiap untuk bekerja.

Tok! Tok!

Teresa kembali menatap bingung ke arah pintu yang di ketuk. Karena selama dia berada di kos ini. Dirinya tidak pernah dapat seorang tamu. Bahkan, sanak saudaranya pun enggan untuk berkunjung.

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu yang kembali terdengar membuat Teresa mau tidak mau untuk melihatnya. Dia membuka pintu dan membelalakkan matanya. Mulutnya refleks ternganga melihat seorang yang datang pagi-pagi ke tempat kosnya.

“Permisi,” sapa Revan berbasa-basi.

Teresa mengatupkan bibirnya ketika sapaan Revan mengembalikan kesadarannya. “I-iya. Cari siapa?” tanyanya.

Tanpa mau berlama-lama, Jevon mengulurkan sebuah map ke hadapan Teresa. Revan meringis kecil melihat tingkah bossy Jevon. Teresa mengernyit bingung. Tidak mengerti. Namun, tak urung mengambil map itu dan membukanya.

Kali ini matanya membola sempurna begitu membaca isi di dalam map yang merupakan kontrak kerja yang konyol.

Kontrak Kerja menjadi Kekasih Kontrak Jevon Maxwell

1. Bersikap layaknya seorang kekasih saat ada di depan publik

2. Bersedia di bawa ke mana saja, acara pertemuan kantor

3. Bersedia melakukan kontak fisik jika di perlukan. (Bergandeng tangan/menggenggam tangan satu sama lain)

4. Di larang membantah

5. Jangan terlalu dekat jika tidak ada hal penting

6. Selalu sedia kapan, dan di mana pun berada saat di panggil.

7. Bisa mengurus keperluan pribadi pihak pertama jika dibutuhkan

8. Di larang baper

9. Di larang dekat dengan lawan jenis/memiliki hubungan.

10. Pihak kedua yang melanggar akan di kenakan sanksi dengan membayar 4x gaji.

Berlaku hingga satu tahun ke depan.

Gaji: Rp. 50.000.000/bln

Bukan persyaratan kerjanya yang membuat Teresa terkejut. Melainkan nominal gajinya. Di dalam otaknya, dia sudah menghitung berapa jumlah uang yang akan dia dapatkan selama setahun menjadi kekasih kontrak orang kaya gabut di depannya ini. Karena tanpa alasan yang jelas. Tidak ada angin, hujan atau pun badai seorang Jevon Maxwell menawarkan kontrak konyol kepada dirinya dan secara langsung.

“Ini, beneran?” Teresa bertanya dengan menatap kedua pria di hadapannya.

Revan menghela nafas dalam, karena Jevon tak kunjung menjawab. Padahal dirinya sendiri yang membuat isi map itu tanpa campur tangan Revan.

“Benar. Itu gaji utama yang akan kamu dapat. Perihal kebutuhan lain yang sewaktu-waktu dibutuhkan akan di tanggung langsung oleh Pak Jevon,” jelasnya sok tahu.

Teresa mendelik kaget. “A ... apakah saya boleh bekerja di tempat lain?” tanyanya tergagap.

Revan tersenyum ramah. “Tentu. Asal kamu bisa mengatur waktunya. Di saat kamu di hubungi kamu harus siap sedia untuk datang.”

Dengan keadaannya yang sedang terimpit ekonomi. Membuat Teresa menerima tawaran Jevon tanpa berpikir panjang. Bahkan, dia langsung tanda tangan kontrak konyol itu.

Jevon yang sedari tadi menatap setiap ekspresi yang Teresa buat tanpa sadar tersenyum samar.

***

Seseorang terlihat tengah mengawasi tindak-tunduk Jevon dari kejauhan segera menghubungi bosnya.

“Bagaimana?” tanya seorang yang di seberang.

“Pagi ini, Pak Jevon berada di tempat kos kumuh bersama sekretarisnya. Sepertinya dia menemui gadis yang ada di video itu,” jelasnya.

“Tetap awasi setiap pergerakan Jevon. Jangan sampai terlewati sedikit pun!”

“Baik Bu Siska.”

Siska yang tengah berada di kediamannya memijit keningnya. Merasa pening dengan tingkah Jevon yang tidak dia mengerti. Aku harus memikirkan rencana berikutnya jika sewaktu-waktu Jevon semakin dekat dengan wanita miskin itu-batinnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!