Di dalam sebuah restoran kelas atas terlihat ramai dengan pengunjung membuat semua meja penuh. Mereka duduk berdua dan bertiga mengenakan pakaian mahal dan berkelas.
Yang paling menarik perhatian adalah seorang pria yang hanya duduk sendirian. Dia mengenakan kemeja hitam dengan satu kancing yang terbuka di bagian atas dan kedua lengan kemejanya dilipat memperlihatkan lengan yang sangat kuat dan penuh otot. Dia duduk dalam posisi tegak dan lurus, terlihat dingin dan pantang. Aura penindasan yang kuat tidak membiarkan orang mendekat terpancar dari dirinya.
Pria itu sangat tampan dengan kulit putih, rambut hitam berpotongan pendek, alis pedang, mata seperti elang, hidung tinggi dan lurus, bibir tipis, dan rahang yang kokoh.
Pelanggan wanita sesekali akan melirik ke arah pria itu membuat pasangan pria mereka merasa tidak senang.
Pria itu membuka buku menu, matanya terus tertuju pada berbagai hidangan yang ditampilkan saat tiba-tiba suara keras menarik pendengarannya membuatnya menoleh secara refleks.
"Plakkk!"
Di lihatnya seorang pelayan sedang bertengkar dengan pelanggan pria. Pelayan itu menatap pria itu dengan marah dan ketakutan. Tangannya yang baru saja menampar pria itu gemetar tanpa henti entah karena kesakitan atau apa.
"Pelayan sialan! Beraninya lo nampar gue?!" teriak pria yang baru saja mendapatkan lima jari berdiri dari kursi melayangkan tangannya menampar balik pelayan itu penuh amarah.
“Plakkk!”
“Akhhh!”
“Bukkk!”
Sekali lagi suara tamparan terdengar diiringi oleh suara teriakan kesakitan dari pelayan dan suara jatuh yang terdam. Pria itu menampar pelayan dengan sangat keras hingga membuatnya jatuh terduduk ke lantai, bibirnya berdarah, dan pipinya yang putih langsung merah menampakkan bekas tangan besar.
Pelayan itu memegangi pipinya kesakitan, air mata langsung mengalir dari matanya. Dia ingin meminta maaf bahkan memohon ampun pada pelanggan pria itu. Tapi, tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu, ditambah pipinya yang sangat sakit dia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya bisa menatap pelanggan pria di depannya dengan mata merah berlinang air mata dan ketakutan yang dalam. Dia takut, sangat takut pria itu akan menamparnya lagi atau melakukan hal bejat lainnya.
Bukan tanpa alasan pelayan itu menampar pelanggan pria pertama kali. Itu karena pria itu memasukkan tangannya ke dalam roknya dan menyentuh pahanya saat teman pria itu sedang memesan hidangan dan dia sedang mencatatnya.
Pelanggan pria itu berjongkok dan memegang dagu pelayan yang duduk di lantai mengangkatnya hingga membuat mata keduanya sejajar. Tubuh pelayan itu bergetar ketakutan.
“Lo udah ancurin mood gue. Lo cuma pelayan di sini. Gue bisa ngelakuin apa aja ke lo, bahkan pemilik restoran ini nggak akan belain lo.” Ucap pria itu dengan suara rendah. Tangannya melepaskan dagu pelayan beralih mengelus lehernya yang halus.
Pelayan itu sangat ketakutan mencoba mengelak menjauhkan lehernya dari tangan pria itu. Dia bahkan menggerakkan tubuhnya menggunakan kakinya sebagai pendorong mundur ke belakang. Dia ingin berdiri, namun tubuhnya terasa lemas dan terus bergetar.
Dia melihat sekeliling mencoba mencari pertolongan, tapi yang di lihatnya hanya mata menonton pertunjukan dari para tamu. Para pelayan yang bekerja bersamanya hanya menatapnya ketakutan, kasihan, dan menundukkan kepala menatap lantai. Matanya meredup putus asa, tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari tangan pria itu sekarang.
Hatinya dingin melihat ketidakpedulian mereka untuk membantunya.
Tisya tersenyum sedih, namun hal itu membuat pipinya menjadi lebih menyakitkan.
Sebenarnya apa yang dia harapkan dari mereka?
Di saat Tisya kehilangan harapan untuk berjuang sepasang tangan tiba-tiba memegang bahunya memeluknya dari belakang dan membantunya berdiri. Tubuhnya menegang sesaat dan dia melirik orang yang membantunya berdiri.
Dia harus mengangkat kepalanya baru bisa melihat wajah seorang pria yang tegas dan dingin membuatnya terpesona hingga bersandar di dada bidang pria itu. Dia merasakan pria itu sedikit mundur, lalu melepaskan kedua tangannya dari bahunya perlahan membuatnya hampir terjatuh sebab kedua kakinya tidak bisa berdiri teguh.
Pria itu segera memegangnya kembali dan membiarkannya bersandar di dadanya. Dia bisa mencium aroma kayu pinus yang menenangkan dari tubuh pria itu. Jantungnya yang telah berdetak ketakutan kini berdetak sangat bersemangat.
Pelanggan pria melihat mangsanya telah di renggut oleh orang lain segera berdiri dan menatap pria berkemeja hitam yang tiba-tiba muncul membantu pelayan itu dengan kesal.
“Siapa lo? Gak usah ikut campur, ya. Mending lu lepasin pelayan itu dan pergi dari sini. Kalau lu mau jadi pahlawan kesiangan gue nggak masalah ngehajar lo dulu sebelum berurusan dengan pelayan itu!” seru pelanggan pria itu tidak senang menatap pria berkemeja hitam dengan mata mengejek.
Azhar Bimantara, pria berkemeja hitam yang telah menyaksikan keributan awalnya tidak berniat ikut campur karena tidak ingin mendapatkan masalah. Tapi, kelakuan pria itu benar-benar sudah menentang garis bawahnya. Dia tidak bisa hanya tinggal diam menyaksikan pria itu melecehkan dan melakukan kekerasan pada seorang wanita. Hati nuraninya akan merasa bersalah jika dia tidak membantu.
Azhar menatap pria itu sangat dingin seperti menatap benda mati. Orang seperti ini adalah sampah masyarakat yang seharusnya sudah lama dibasmi.
“Minta maaf padanya.” Suara magnetik dan dalam terdengar di telinganya membuat hatinya yang sudah dingin langsung menghangat. Ternyata masih ada orang baik di kota ini yang mau membantunya.
Matanya kembali memanas dan air mata mulai meluncur turun. Bukan seperti sebelumnya di mana dia menangis karena sedih, kesakitan, dan ketakutan, kali ini dia menangis karena haru, bahagia, dan lega.
Pelanggan pria itu tertawa geli seakan telah mendengar lelucon yang sangat lucu. Beraninya dia mengatakan padanya untuk meminta maaf kepada pelayan rendahan.
Puas tertawa pelanggan pria langsung marah melihat ejekan dan penghinaan dari mata pria di depannya. Tanpa aba-aba pelanggan pria langsung melangkah maju menyerang pria berkemeja hitam.
Melihat pria itu bergerak Azhar segera menarik pelayan itu ke belakangnya, kemudian menyambut serangan pria itu dan membantingnya ke lantai.
"Akhhh!" pria itu menjerit kesakitan.
Tisya yang berdiri tidak jauh melebarkan matanya ketakutan melihat perkelahian mereka.
Teman pelanggan pria tidak tinggal diam melihat temannya di kalahkan dia segera maju menyerang Azhar juga. Melawan penyerangan kedua Azhar langsung mematahkan tangan pria itu.
“Akhhh!” sekali lagi teriakan menyakitkan terdengar membuat para pelanggan ketakutan dan melarikan diri.
Ferdi yang baru saja tiba setelah mengisi bensin sangat terkejut melihat komandannya bertarung di restoran. Azhar yang melihat bawahannya segera memanggilnya untuk mengurus pria itu.
"Ferdi, bawa mereka ke kantor polisi."
"Siap, Dan!" teriak Ferdi memberi hormat, lalu membangunkan pria yang tergeletak di lantai, kemudian meraih pria yang tangannya patah.
"Sial! Lo nggak tahu siapa gue? Gue wakil pemimpin Blue Union. Lihat saja nanti gue bakal balas kalian semua!" teriak pria itu marah ingin melepaskan diri dari tangan Ferdi yang memenjarakannya. Sayangnya itu tidak mungkin karena Ferdi mengeluarkan borgol dari sakunya dan memborgol kedua tangan pria itu.
߷߷߷
Ferdi kemudian melirik komandannya setelah memborgol kedua pria itu. Dia melihat komandan hanya menggerakkan kepalanya menyuruhnya segera membawa pria itu pergi. Tanpa basa-basi lagi Ferdi menyeret pria itu keluar dari restoran.
"T-Terima kasih, Tuan telah menolong saya," ucap Tisya penuh syukur menatap pria di depannya.
"Ya, sama-sama." Balas Azhar tenang. Dia menatap wajah gadis pelayan di depannya yang memar dan bengkak akibat tamparan pria tadi.
Dia sedikit mengerutkan kening mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan menyerahkannya kepada pelayan itu. “Gunakan salep ini untuk mengobati lukamu. Dan ini nomor ponselku. Kamu bisa menghubungiku jika kamu dalam bahaya,” ucapnya menyerahkan kartu nama juga.
Pria tadi mengatakan dia wakil pemimpin Blue Union, dia merasa sedikit khawatir pria itu benar-benar akan menyusahkan gadis ini lagi.
Tisya menerima salep dan kartu nama itu sangat tersentuh dengan kebaikan pria itu padanya dan dia berterima kasih sekali lagi.
Azhar mengangguk kepada pelayan yang terus mengucapkan terima kasih, lalu meninggalkan restoran.
߷߷߷
Keributan sebelumnya mengakibatkan restoran harus tutup lebih cepat. Bos restoran yang baru datang kemudian cukup prihatin dengan kejadian yang menimpa Tisya sehingga dia diperbolehkan pulang lebih dahulu tanpa membersihkan meja dan kursi. Bos restoran juga tidak memarahinya atau memecatnya karena telah membuat pelanggan pergi.
Kejadian seperti ini memang sering terjadi dan bos tidak berani melawan karena pria itu adalah anggota Blue Union yang sering memungut uang perlindungan di daerah ini. Karena itu bos tidak menyalahkan Tisya.
Kembali ke rumah kontrakan Tisya yang telah mandi duduk di tempat tidur sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia melirik salep yang diletakkannya di atas lemari kecil samping tempat itu. Itu adalah salep yang diberikan pria tadi padanya.
Tisya meraih botol kecil salep dan mengamatinya. Botol kecil salep itu terbuat dari kaca dan tidak ada tulisan apa pun di botol itu. Tisya membuka penutup botol dan mencium aroma obat yang sangat ringan. Tisya menggunakan jari telunjuknya meraih sedikit salep berwarna putih dan mengoleskannya di pipinya yang terluka.
“Ahh,” desis Tisya kesakitan saat menyentuh lukanya. “Sakit sekali.”
Tisya menggigit bibirnya dan terus mengoleskan salep pada lukanya. Sejuk dan dingin terasa dari bagian yang telah diolesi dengan salep.
Setelah mengoleskan salep pada luka di pipinya Tisya bersandar di kepala tempat tidur menatap kartu nama yang juga diberikan oleh pria yang membantunya tadi.
“Azhar Bimantara,” gumamnya membaca nama yang tertulis di kartu nama itu. “Ah, aku lupa memperkenalkan diri tadi. Huh, sudahlah, kita juga tidak akan bertemu lagi. Tidak masalah dia tahu namaku atau tidak,” imbuhnya.
Dia menggelengkan kepalanya kemudian mengamati kartu nama di tangannya dan tidak melihat tulisan lain selain nama dan nomor ponsel.
Dia meraih ponselnya dari atas nakas dan memasukkan nomor pria itu. Ponsel Tisya adalah jenis ponsel lama Nokia yang sudah ketinggalan jaman yang hanya bisa melakukan panggilan dan mengirim pesan singkat.
“Simpan saja nomornya. Mungkin akan berguna nanti,” gumamnya.
Tisya menyetel nomor pria itu menjadi panggilan utama. Setelah menyimpan nomor ponsel pria itu Tisya meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, kemudian membuka laci dan mengeluarkan bingkai foto.
Tisya menatap foto dalam bingkai penuh emosi kerinduan. “Ayah, ibu, aku merindukan kalian.” Tisya mengelus foto itu dengan tangannya. Foto itu berisi gambar seorang pria dan wanita dengan seorang gadis kecil di tengah. Ketiganya tersenyum bahagia.
Keesokan harinya.
Tisya yang tidak bisa tidur kemarin malam baru saja tertidur pada jam dua pagi. Hal ini mengakibatkan Tisya tidak bisa bangun pagi.
Di atas tempat tidur seorang gadis perlahan membuka matanya dengan berat. Dia menguap, lalu bangun dari tempat tidur berjalan keluar dari kamar menuju kamar mandi.
Tisya yang baru bangun menyalakan keran dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Dia merasa segar dan bangun sepenuhnya. Dia meraih sikat gigi dan menuangkan pasta gigi, lalu melai menggosok gigi.
Dia menggosok gigi sambil menatap cermin. Cermin itu menampilkan seorang gadis yang baru bangun tidur dengan rambut berantakan juga sedang menggosok gigi. Tapi, bukan itu yang menarik perhatiannya. Yang menarik perhatiannya adalah pipi gadis itu mulus, putih, dan terlihat lembut.
Gadis di cermin mengangkat tangannya yang bebas dan menyentuh pipi kanannya. Pipinya terasa lembut, mulus, dan tidak sakit.
Tisya buru-buru membuang busa di mulutnya dan membilas mulutnya hingga bersih. Dia kemudian mengamati pipinya melalui cermin.
“Lukanya sembuh?” gumamnya tidak percaya. “Bagaimana bisa sembuh secepat ini?” tanyanya bingung.
Kemarin pipinya masih sangat sakit bahkan bengkak dan memar, tapi hari ini pipinya kembali seperti semula seperti tidak pernah terluka sama sekali.
Tisya teringat salep yang diberikan oleh pria itu yang dia oleskan ke pipinya kemarin sebelum tidur. “Apakah karena salep itu?”
“Ahh! Sungguh ajaib! Hanya semalam lukanya langsung sembuh.” Tisya tersenyum sangat bahagia melihat wajahnya yang kembali mulus dan cantik.
Tisya berlari keluar dari kamar mandi menuju kamarnya dan meraih botol salep yang kemarin dia gunakan.
“Obat ini pasti sangat mahal. Aku harus mengembalikannya pada orang itu,” kata Tisya khawatir. Obat mujarab seperti ini pasti sangat berharga dan penting.
Pria itu sudah sangat baik mau membantunya dan lagi memberikan obat yang sangat luar biasa seperti ini. Obat yang bisa menyembuhkan luka hanya dalam semalam pasti bukan obat yang biasa. Dia juga tidak pernah mendengar ada obat yang bisa menghilangkan memar dengan singkat.
Tisya menyimpan obat itu baik-baik. Dia akan menyerahkannya kepada pria itu ketika mereka bertemu lagi.
߷
Karena lukanya telah sembuh Tisya tidak mengambil cuti hari ini dia tetap pergi bekerja. Dia berharap bisa bertemu dengan peristiwa itu lagi sehingga dia bisa mengembalikan obatnya. Sayangnya hingga waktu pulang kerja dia tetap tidak bertemu dengan pria itu.
Tepat pukul sepuluh Tisya pulang kerja seperti biasanya, di tengah jalan beberapa pria tiba-tiba muncul menghalangi jalannya. Merasa mereka bukan orang baik, Tisya segera melarikan diri.
Tisya berlari hingga memasuki sebuah gang dan menemui jalan buntu. Dia segera berbalik ingin mencari jalan lain, sayangnya mereka sudah berhasil mengejarnya.
"Mau lari ke mana lagi, hah?" teriak salah satu pria.
Tisya berjalan mundur dengan waspada sambil mengeluarkan ponselnya dari tas dan buru-buru menekan tombol angka satu. Angka satu sudah dia set sebelumnya menjadi nomor pria yang menolongnya kemarin.
Panggilan telah terhubung, namun pengejar itu melihat perilaku Tisya berubah marah.
Azhar yang baru saja kembali ke asrama mendengar panggilan masuk dari ponselnya. Itu adalah nomor asing, namun dia tetap mengangkatnya.
"Halo?"
Azhar mendengar suara napas yang berat di susul oleh teriakan seorang pria. "Mau nelpon siapa kamu, hah?!"
Salah satu pengejar langsung merebut ponsel Tisya.
"Ahh! Kembalikan ponselku!" teriak Tisya ingin merebut ponselnya kembali.
Pria itu tersenyum sinis dan meremukkan ponsel yang sudah ketinggalan jaman itu dan membuangnya ke tanah dan panggilan pun terputus.
߷߷߷
Azhar mengenali suara teriakan itu adalah suara pelayan restoran kemarin, sementara suara pria aneh yang juga muncul membuat Azhar khawatir gadis itu diganggu lagi.
“Halo, Rian. Lacak nomor ponsel yang aku kirimkan padamu dan kirim lokasinya padaku secepatnya!” Azhar segera menelepon anak buahnya memerintahkan melacak posisi Tisya. Sementara dirinya sudah berlari menuju tempat parkir.
Tisya merasa putus asa melihat ponselnya hancur, sekarang tidak ada lagi yang bisa menyelamatkannya.
Tisya tidak ingin menyerah begitu saja, dia harus mencoba melawan. Dia melihat sebuah balok kayu di sudut segera berlari mengambil balok itu.
"Kalian jangan mendekat!" Ancam Tisya menggunakan balok ditangannya.
Pria-pria itu tidak menghiraukan ancaman gadis yang menurut mereka lemah dan tidak bisa menimbulkan ancaman. Dua orang pria saling melirik dengan pemahaman diam-diam. Salah satu pria bergerak ke kiri sementara yang lainnya bergerak ke kanan.
Azhar melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal menuju lokasi yang dikirimkan anak buahnya. Dia menghentikan mobil di depan jalan gang, mobil tidak bisa masuk ke sana. Azhar turun dari mobil dan berlari memasuki gang.
Semakin masuk ke gang akhirnya Azhar melihat beberapa pria berdiri di sudut gang. Azhar mempercepat larinya saat melihat Tisya sudah berbaring di tanah tidak sadarkan diri.
Para penyerang itu mendengar suara dari belakang membuat mereka waspada dan berbalik. Sebuah tendangan menyambut pria yang berdiri paling belakang membuatnya terbang ke dinding. Beberapa pria lainnya juga cepat beraksi dan melawan orang yang tiba-tiba muncul.
Azhar tidak berhenti sejenak langsung menghajar pria terdekat lainnya. Menggunakan keterampilan militernya yang luar biasa Azhar menghajar sekelompok bajingan itu ke tanah hingga tidak bisa bangun. Setelah menghadapi para bajingan Azhar menelepon anak buahnya untuk menangani mereka.
Azhar lalu berjalan menghampiri gadis yang tergeletak di tanah. Dia berjongkok dan memeriksa gadis itu yang ternyata masih hidup. Dia segera mengangkat gadis itu dan membawanya menuju rumah sakit.
߷
Di sebuah bangsal VIP seorang gadis berbaring di atas tempat tidur medis dengan mata terpejam. Gadis itu adalah Tisya yang dibawa oleh Azhar ke rumah sakit dan sedang di rawat oleh dokter.
"Bagaimana keadaannya, Dokter? Kenapa dia belum bangun juga?" tanya Azhar khawatir.
"Tidak apa-apa. Pasien hanya mengalami beberapa memar dan sedikit geger otak. Dia hanya tertidur sekarang, besok dia pasti akan bangun," ucap Dokter itu. "Kamu harus memperlakukan pacarmu dengan baik. Jangan memaksanya jika dia tidak mau," lanjut sangat Dokter.
Azhar bingung dengan ucapan dokter itu, siapa yang pacarnya? Dan mau memaksanya melakukan apa? Dia saja tidak mengenal siapa gadis itu.
Dokter itu pasti telah salah paham, namun dia terlalu malas untuk menjelaskan.
"Oke. Terima kasih, Dokter."
Dokter itu menggelengkan kepalanya melihat perwira yang keras kepala itu sebelum keluar dari bangsal.
Azhar menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur menatap wajah gadis itu yang sedang tertidur. Wajahnya pucat dan bibirnya kekurangan darah. Dia merasa sangat bersalah tidak bisa melindungi gadis itu. Se-andainya dia menangani Blue Union dengan cepat gadis ini tidak akan mengalami musibah seperti ini.
߷߷߷
Mentari pagi bersinar cerah merambat melalui jendela memasuki bangsal menyinari gadis yang berbaring di tempat tidur.
Bulu matanya yang panjang bergoyang dan matanya mengerut tidak nyaman. Mata gadis itu perlahan terbuka dan dia langsung menyipitkan matanya merasakan silau yang tajam. Dia menggunakan tangannya untuk menghalau sinar matahari dan membuka matanya sepenuhnya.
"Kamu sudah bangun."
Gadis itu terkejut dan melihat ke arah suara. Di lihatnya seorang pria mengenakan seragam hijau tentara duduk di kursi di samping tempat tidur sedang menatapnya.
Tisya mengamati pria itu dan menemukan kalau pria berseragam itu ternyata pria yang telah membantunya di restoran. Dia tidak menyangka pria itu ternyata seorang tentara. Pantas saja dia terlihat sangat galak.
Tisya kemudian buru-buru untuk bangun, namun dia merasakan tubuhnya terasa sangat sakit saat bergerak dan kepalanya juga berdenyut kesakitan.
Melihat gadis itu ingin bangun Azhar segera menahannya. "Jangan bangun dulu. Kamu mengalami geger otak ringan. Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu lebih dulu," tuturnya. Dia lalu menekan tombol panggilan di atas tempat tidur.
Tisya tidak lagi memaksa untuk bangun. Dia terus berbaring dan menatap pria itu. "K-kamu menyelamatkanku?" Suaranya serak baru bangun tidur dan tenggorokannya terasa haus.
Mendengar suaranya yang serak Azhar membantunya menaikkan kepala tempat tidur, kemudian menuangkan segelas air dan menaruh sedotan ke dalam gelas, lalu menyerahkannya pada gadis itu.
Tisya merasa tersanjung, dia menyesap sedotan dengan gugup dan malu, masa untuk minum saja dia harus menyusahkan orang lain. Sayangnya meskipun dia ingin minum sendiri, dia tidak bisa, tangannya terasa lemas tidak bisa diangkat. Tisya gugup dan sedikit takut berhadapan dengan pria berseragam di depannya. "Terima kasih," ucapnya setelah puas minum air.
Pria itu mengangguk dan meletakkan gelas kembali ke atas nakas.
Dokter segera datang setelah mendapat panggilan, Azhar berjalan keluar dari bangsal membiarkan dokter memeriksa pasien.
"Apa yang kamu rasakan?" tanya dokter memeriksa Tisya.
"Badan saya terasa sakit dokter. Kepala saya juga pusing," jawab Tisya kooperatif.
"Setelah minum obat sakitnya akan menghilang perlahan. Kamu mengalami geger otak ringan karena itu kamu merasa pusing. Setelah beberapa saat pasti akan berhenti," tutur sang Dokter.
"Terima kasih, Dokter. Oh ya, Dokter, bisakah saya pulang sebentar saat kepala saya berhenti pusing?" tanya Tisya.
"Kamu perlu di rawat selama beberapa hari untuk pemeriksaan lebih lanjut," jawab Dokter itu.
"Itu... Dokter, berapa yang harus saya bayar?" tanyanya lagi khawatir. Bangsal tempatnya di rawat terlihat sangat luar biasa, biayanya pasti sangat mahal, apalagi kalau harus menginap beberapa hari lagi. Dia tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit.
Dokter itu tersenyum pengertian, dia tahu gadis itu pasti khawatir dengan biaya rumah sakit. "Kamu tenang saja. Pacarmu sudah membayar semua biaya pengobatan," kata Dokter menyerahkan lembar pemeriksaan kepada suster.
"Pacar?" Tisya menatap dokter dengan bingung.
Siapa pacarnya? Dan sejak kapan dia punya pacar? Kenapa dia tidak tahu?
"Ya. Pacarmu terlihat sangat khawatir saat menggendongmu ke rumah sakit kemarin. Dia juga telah menemanimu sepanjang malam." Dokter berkata tersenyum pada gadis itu dan berjalan keluar bangsal.
Tisya tersenyum malu mendengar ucapan dokter itu. Ternyata pacar yang dia maksud adalah perwira militer itu. Kalau tidak salah namanya Azhar Bimantara, itulah yang tertulis di kertas yang diberikannya kemarin.
Dokter itu telah salah paham, Azhar bukanlah pacarnya. Mereka bahkan bisa dikatakan orang asing yang tidak saling mengenal. Ternyata pria itu sangat baik, dia telah membantunya saat di restoran dan dia juga menolongnya dari tangan pria-pria brengsek itu. Bahkan sampai membawanya ke rumah sakit dan menjaganya sepanjang malam.
Memikirkan kejadian kemarin malam membuatnya masih merasa ketakutan, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya setelah dia pingsan. Untungnya pria itu benar-benar datang menyelamatkannya.
߷߷߷
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!