"Selamat! Kalian berdua telah sah menjadi pasangan suami istri! Pengantin pria dipersilakan untuk mencium pengantin wanita."
Sharon menatap nanar laki-laki di hadapannya yang juga berekspresi sama. Gaun putih cantik yang melekat pas di tubuhnya hanyalah sebuah topeng yang terpaksa dikenakan.
Acara sakral yang seharusnya adalah milik Sherly, kakaknya, berubah menjadi hari pernikahan Sharon.
Lagi, Sharon menatap lekat-lekat laki-laki di hadapannya. Dia yang seharusnya menjadi ipar Sharon, berakhir menjadi suaminya. Tampak gelagat tak nyaman yang laki-laki itu perlihatkan, namun sebisa mungkin dia terlihat natural.
Alaska Regiantara. Demi menutupi aib keluarga yang dilakukan oleh kakaknya, Alaska merelakan masa depannya demi menikahi Sharon. Perempuan yang tak sekalipun dia pikirkan.
Jika bukan karena kakaknya, Gibran, pergi tepat di hari pernikahan, Alaska dan Sharon tidak akan melakukan pernikahan gila ini.
Keduanya seperti tumbal untuk menutupi masing-masing aib dari keluarga. Gibran yang pergi begitu saja tanpa alasan, dan Sherly yang tiba-tiba menghilang meninggalkan sepucuk pesan dengan maksud tidak ingin melanjutkan pernikahan.
Kacau. Pesta pernikahan dengan kesiapan hampir 100% itu hampir saja hancur. Biaya untuk pesta pernikahan yang digelar dengan begitu megah begini tidaklah murah. Semuanya mengeluarkan biaya yang cukup fantastis. Dan demi tidak merugi sekaligus meminimalisir rasa malu, kedua keluarga dengan tega menojokkan masing-masing anak bungsu mereka.
Sharon mengerjap mata saat tangannya disentuh oleh Alaska. Kepalanya mendongak menatap wajah Alaska yang cukup tinggi dari jangkauannya.
Saat itu juga, air mata Sharon jatuh saat dengan terpaksa, Alaska mencium keningnya. Perasaan kesal dan marah teruntuk Sherly dan juga keluarganya, hanya bisa Sharon tahan sampai pesta pernikahan ini selesai.
Tepukan tangan heboh dari para tamu teruntuk pasangan pengantin baru itu mulai terdengar. Hampir seluruh tamu mempertanyakan, mengapa yang berakhir menikah adalah orang yang berbeda?
Berdalih karena salah tulis undangan dan undangan yang telah terlanjur disebar, akhirnya tak lagi dipermasalahkan oleh mereka. Sayangnya, bagi Sharon dan Alaska, hal ini adalah masalah besar.
Mereka berdua telah sepakat. Besok pagi-pagi sekali, Sharon dan Alaska akan membubarkan pernikahan gila ini dan tidak akan pernah bertemu lagi. Persetan dengan urat malu keluarga. Yang jelas, masa depan Sharon dan Alaska dipertaruhkan di pernikahan palsu ini.
...****...
Pesta pernikahan telah sepenuhnya usai. Dan saat ini, Sharon dan Alaska, beserta kedua keluarga tengah merenung di dalam kamar hotel yang telah dipesan dari jauh-jauh hari untuk Sherly dan Gibran.
Namun sepertinya, kamar hotel luas nan mewah itu hanya akan menjadi tempat perundingan keluarga untuk saat ini.
Di tengah keterdiaman, Alaska bangkit dari sofa. Seluruh fokus anggota keluarga lantas beralih pada laki-laki yang usianya baru menginjak angka 21 tahun itu.
Alaska menarik napasnya dalam-dalam dengan kedua rahang yang mengeras. Kedua tangannya pun mulai terkepal kuat. Jika saja Alaska mengikuti nafsunya, Alaska ingin sekali menggila untuk melampiaskan amarahnya.
Sayang, kewarasan Alaska masih penuh. Sekeras apa pun dia ingin menggila seperti kata nafsunya, hal itu tidak akan berbuah apa-apa.
"Seperti kesepakatan awal, besok aku sama Sharon akan cerai!" Alaska berucap lantang di tengah keterdiam.
Sementara Sharon, perempuan itu ikut bangkit dari posisinya. Mengiyakan ucapan Alaska. "Aku setuju! Pokoknya, malam ini aku mau pulang ke-"
"Sharon, Alaska! Tolong dengarkan dulu!" Rafinza, selaku ayah kandung Sharon, memotong ucapan putrinya. Seluruh perhatian lantas beralih pada pria paruh baya itu.
"Kami mohon sekali lagi, apa kalian tidak mau mempertimbangkan untuk mempertahankan pernikahan kalian?"
"Iya, Nak! Jika kalian bercerai, status kalian akan berbeda nanti. Kalian mau jadi janda dan duda di usia muda? Nggak, 'kan?" Timpal Priska, selaku istri dari Rafinza serta ibu kandung Sharon.
Sharon tertawa miris mendengar permintaan lain yang tak kalah 'tak masuk akal'. "Salah siapa!? Kalian yang memojokkan kami untuk menikah menggantikan Kak Sherly dan Kak Gibran! Mereka yang berulah, tapi kami yang dikorbankan! Kami sudah menurut seperti yang kalian inginkan! Coba kalian pikirkan. Kurang patuh apa lagi aku sama Alaska?"
Semuanya kembali terdiam.
Benar. Masih untung putra dan putri bungsu mereka menuruti pernikahan ini. Jika tidak, tidak tahu akan jadi semalu apa nantinya.
Terdengar helaan napas berat dari mulut Gavindra, ayah kandung Alaska. "Ya sudah. Kami semua minta minta maaf karena sudah memaksa kalian! Terima kasih sudah mengikuti keinginan kami. Keputusan akhir tentu saja ada di tangan kalian. Tapi sebagai permintaan terakhir dari kami, menginaplah di sini. Hanya untuk malam ini. Besok, terserah kalian."
...****...
Sedari kepulangan kedua keluarga, Sharon tak henti-hentinya terus mengusap air mata yang entah sudah berapa kali membasahi wajah cantiknya. Fokus perempuan yang belum genap berusia dua puluh tahun itu menghadap ke luar jendela kamar hotel. Menampilkan beribu cahaya dari beberapa gedung pencakar langit dan kendaraan yang masih aktif di jalan raya.
Pakaiannya sendiri masih belum berganti. Gaun putih panjang cantik yang sempat dikenakan di acara sakralnya bersama Alaska masih melekat di tubuh indahnya.
Sementara Alaska sendiri, laki-laki itu tengah membersihkan badannya di kamar mandi. Sama halnya dengan Sharon, Alaska membenci hari ini. Menikah diusia muda apalagi bukan dengan perempuan yang Alaska cintai.
Sial!
Bagaimana Alaska menjelaskan kejadian hari ini pada kekasihnya?
Ya, Alaska sudah punya kekasih! Perempuan yang amat dia cintai selama kurang lebih setahun ini.
Lagi. Alaska menghela napas berat sebelum dia keluar dari dalam kamar mandi. Sepasang netranya menatap dalam pada pantulan dirinya di cermin.
Tak sampai satu menit, Alaska kembali menghela napas. Salah satu tangannya dengan kasar menyisir rambutnya yang setengah basah.
"Sialan!" Gerutu Alaska, sebelum akhirnya dia berjalan keluar.
Saat pintu kamar mandi terbuka, Alaska dapat dengan jelas melihat punggung ramping Sharon yang sedikit membungkuk. Terdengar isakkan kecil yang membuat Alaska langsung menyimpulkan, jika perempuan yang kini telah sah menjadi istrinya itu tengah menangis dalam diam.
"Shar, lo mandi dulu, gih!" Sahutan pelan dari Alaska menyadarkan Sharon. Dengan cepat perempuan itu menghentikan tangisnya. Tangannya mulai sibuk menghapus make up yang mulai luntur sebagian akibat air mata yang terus menerus turun tanpa diminta.
"I-iya. Ka-kalau gitu, lo bisa bantuin gue bentar gak?" Sharon melirik Alaska sekilas lewat pantulan cermin. Perempuan itu dibuat tidak nyaman ketika melihat tampilan Alaska yang hanya memakai sebuah handuk yang dililit di pinggang yang panjangnya hanya sampai menutupi lutut. Sementara itu, dada bidangnya yang setengah basah terekspos dengan polos.
Entah laki-laki itu sengaja atau memang itulah kebiasaannya, Sharon pun tidak tahu. Atau lebih tepatnya, tidak ingin tahu.
"Bantuin apa?" Langkah kaki Alaska mulai terdengar di belakang.
Dirasa posisi laki-laki itu telah berada tepat di belakang Sharon, Sharon pun bangkit dan berbalik. "Tolong turunin resleting gaun gue!" Pinta Sharon. Kepalanya menunduk segan.
Jujur saja, Sharon tidak terbiasa berhadapan dengan laki-laki yang penampilannya setengah telanjang begini. Atau lebih tepatnya, Sharon belum pernah dan Alaska adalah laki-laki pertama yang berlaku santai, padahal tubuh bagian atasnya begitu terpampang nyata.
Sharon sampai menelan ludahnya sendiri saat matanya tidak sengaja melirik ke arah otot perut Alaska yang begitu menawan dan menggiurkan.
Sial! Mikir apaan sih gue?
"Mana, sini!" Ucapan Alaska lagi-lagi nenyadarkan Sharon. Dengan cepat perempuan itu berbalik seraya menyampirkan rambut panjangnya yang menutupi sebagian punggungnya.
Tanpa berpikir panjang, Alaska mulai menurunkan resleting gaun Sharon seperti yang perempuan itu inginkan. Namun, ketika resleting itu telah benar-benar terbuka sampai memperlihatkan punggung mulus Sharon, dari situlah Alaska merasakan sesuatu aneh yang tidak seharusnya.
"Makasih! Kalau gitu gue mau lanjut mandi." Dirasa usai, Sharon langsung berlari menuju kamar mandi tanpa menghiraukan Alaska.
Sedangkan Alaska, laki-laki itu mulai memijit pangkal hidungnya saat otaknya mulai memikirkan hal mesum hanya karena melirik punggung ramping nan mulus milik Sharon.
"Sadar, Alaska! Ini bukan pertama kalinya lo lihat punggung cewek! Jangan karena lo belum pernah skidipapap, otak lo mulai berpikir gak waras! Pasti godaan setan. Ya, itu pasti!"
...****...
Tepat tengah malam, tak satu pun dari Sharon dan Alaska mulai terlelap ke alam mimpi. Keduanya sama-sama melamun dan berbaring menghadap ke arah langit-langit kamar hotel.
Sharon berbaring di atas tempat tidur, sementara Alaska sendiri berbaring di atas sofa panjang. Keduanya sibuk memikirkan hal yang berhubungan dengan kejadian hari ini.
Entah itu alasan mengapa Gibran dan Sherly memutuskan mengakhiri hubungan mereka tepat di hari pernikahan, maupun nasib mereka yang kini telah sah menjadi pasangan suami istri.
Cukup rumit.
"Sharon!" Terlalu lama dalam keterdiaman membuat mulut Alaska gatal. Perlahan dia juga mulai mengubah posisinya menjadi berbaring menyamping menghadap Sharon.
"Hm?" Sharon ikut mengubah posisi. Tatapan matanya terkunci pada raut wajah Alaska yang tidak terlalu jelas akibat pencahayaan kamar hotel yang hanya mengandalkan lampu tidur.
"Mau minum?" Tawaran Alaska, sedikit membuat Sharon tidak paham. Dengan cepat perempuan itu bangkit dari posisi tidurnya.
"Minum?"
Alaska mengangguk, lalu ikut bangkit dan berjalan menuju kulkas. "Tadi gue lihat ada whisky. Lo mau?" Alaska mengangkat sebuah botol penuh whisky ke arah Sharon.
"Hah? Minum ... beneran?" Sharon yang pada dasarnya polos dalam hal minuman beralkohol, menatap ragu Alaska yang ikut mendudukkan diri di atas tempat tidur.
"Iyalah! Belum pernah, ya?" Terdengar kekehan kecil dari Alaska yang membuat Sharon sedikit malu. Dengan cepat Sharon mengangguk sembari menyembunyikan rona merah muda di wajahnya.
"Sini, cobain! Khusus buat malam ini doang! Jujur aja, dengan minum sampe mabok, lo akan lupa soal masalah hari ini! Ya, walau cuman buat sesaat." Tanpa pikir panjang, Alaska meminum whisky itu langsung dari mulut botolnya.
Sharon sampai dibuat tersedak tak percaya dengan kegilaan Alaska. "Lo ... tahu dari mana kalau dengan mabok, lo akan lupa soal masalah hari ini? Lo sering, ya?"
Alaska tertawa lepas menanggapi pertanyaan Sharon. Dengan cepat Alaska menyerahkan botol minuman whisky itu ke tangan Sharon.
"Cobain sendiri. Dikit-dikit, tapi!" Peringat Alaska, ketika Sharon mulai menelisik kemasan botol minuman itu, sampai pada akhirnya, Sharon mulai menenggaknya.
"Uhuk, uhuk, uhuk! Kok, rasanya gini?" Aneh. Itulah yang Sharon rasalan. Namun anehnya lagi, Sharon merasa ketagihan. Sehingga dirinya berakhir untuk mencoba lagi.
"Gimana?" Tanya Alaska, seraya mengambil alih whisky di tangan Sharon, lalu dilanjut meminumnya lagi.
"Pertama nyoba aneh, kek seret gitu. Pengaruh kadar alkoholnya kali, ya? Terus lama-lama enak juga." Papar Sharon, diakhiri tertawa pelan.
"Mau lagi, nggak?" Tawar Alaska, yang langsung diangguki oleh Sharon.
Malam itu, kedua muda mudi itu bercerita sana sini. Fokus intinya berawal dari pernikahan yang seharusnya menjadi milik Gibran dan Sherly.
Tak terasa, botol whisky telah sepenuhnya habis. Begitupun dengan kesadaran dua manusia itu yang perlahan semakin menipis.
Seolah melupakan batas demi batas yang telah disepakati, Alaska merebahkan diri di samping Sharon yang tengah tertawa keras menertawai nasib hidupnya.
"Mulai besok, gue bakalan jadi janda." Sharon lagi-lagi tertawa. Kesadarannya kali ini benar-benar telah menipis sampai rasanya sudah benar-benar mau habis.
"Lha, besok gue juga jadi duda!" Timpal Alaska. Pandangan matanya mulai memburam dan hawa panas serasa merebak di beberapa titik tubuhnya.
"Pokoknya, gue gak mau jadi janda! Umur gue aja belum bulet dua puluh tahun, masa udah mau jadi janda? Nggak banget, anj*r! Ya 'kan?" Sharon menatap Alaska dengan sorot menyedihkan.
Dengan terang-terangan Alaska mengangguk sembari mencebikkan bibirnya. "Ya udah, gak usai cerai aja. Biar lo nggak jadi janda, dan gue gak jadi duda! Gimana?"
"Yakin?" Perlahan, Sharon mengubah posisi berbaringnya menjadi setengah tengkurap. Wajahnya sengaja didekatkan dengan wajah Alaska.
Tanpa pikir panjang, Alaska mengangguk, lalu menarik tubuh Sharon sehingga berakhir berada di bawah tubuhnya.
"Biasanya kalau habis resepsi, terus pas malemnya ngapain?" Jemari telunjuk Alaska terangkat menyentuh pipi Sharon. Tampak perempuan itu berpikir sok keras sampai membuat kedua matanya menyipit.
"ITU!" Pekik Sharon. Sontak Alaska mengernyit bingung. "Itu apaan?"
"Bohong banget cowok kayak lo nggak ngerti." Sharon mencolok salah satu mata Alaska sampai membuatnya mengaduh.
Tak berlangsung lama, Alaska tertawa seraya mendekatkan wajahnya dengan wajah Sharon. "Ya udah, daripada gabut, lo mau nggak?"
"Hm ... boleh! Berarti besok nggak jadi cerai?" Tanya Sharon. Alaska sempat dibuat terdiam sejenak, hingga akhirnya Alaska pun mengangguk mantap.
"Ya udah." Ucap Sharon, diakhiri tersenyum simpul. Kedua tangannya kemudian dia kalungkan di leher Alaska. Tatapan matanya mulai menggelap seiring dengan Alaska yang kian mendekatkan wajahnya.
Detik selanjutnya, Sharon merasakan tubuhnya melayang ketika bibir Alaska mendarat di atas bibirnya. Menyesap dan memagut dengan lembut yang berakhir menuntut.
^^^To be continued...^^^
...Alaska...
...Sharon...
Plak!
Bunyi tamparan telak yang dilayangkan oleh Rafinza, selaku kepala keluarga pada putri sulungnya, terdengar menggema di seluruh penjuru rumah.
Putri sulungnya, Sherly, yang mendadak pergi dari ruang rias pengantin, kini anak gadisnya itu kembali dengan keadaan baik-baik saja.
Sudah dari pagi sekali Rafinza menahan amarahnya. Dan sekarang, ketika Sherly datang ke rumah dengan maksud untuk mengepak pakaian berniat pergi, lantas membuat Rafinza menggila. Tak segan bagi pria kepala lima itu sampai berakhir menampar darah dagingnya sendiri di depan istri serta pembantu rumah tangga.
"Puas kamu, hah? Puas sudah hampir membuat Papa dan Mama malu, iya? Kalau bukan karena adik kamu yang rela mengorbankan diri, hari ini kami semua benar-benar akan dipermalukan oleh tingkah kekanak-kanakan kamu dan juga si Gibran itu!" Rafinza kian emosi saat Sherly hanya diam dan meratapi pedih tamparan darinya.
Saat Rafinza hendak melayangkan tamparan lain, istrinya, Priska langsung menahannya. "Cukup! Nggak ada gunanya kamu pukul Sherly lagi!"
Dengan amat berat hati, Rafinza melepaskan tangannya. Tarikan napas berat menjadi saksi betapa marahnya Rafinza saat ini.
"Katakan! Supaya apa kalian putus di hari pernikahan?" Rafinza bertanya tanpa berniat menatap ke arah putrinya.
Dengan perasaan takut dan gugup, Sherly menarik napasnya dalam-dalam. "A-aku minta maaf, Pah, Mah! Aku terpaksa pergi ninggalin pernikahanku."
"Tapi kenapa? Apa alasannya?" Gemas dan kesal seolah menyatu dalam diri Rafinza. Dia ingin segera mengetahui alasan kuat yang menyebabkan gagalnya pernikahan antara Sherly dan Gibran.
"Ini semua gara-gara Gibran." Ucapan Sherly seketika mengundang perhatian penuh Rafinza dan Priska. Sepasang suami istri itu mulai menatap bingung pada putri sulungnya.
"Gibran? Kalian berantem?" Tanya Priska, setelah cukup lama wanita paruh baya itu hanya diam dan menonton.
"Lebih tepatnya dia yang putusin aku duluan! Dia kirim SMS buat batalin acara pernikahan ini demi selingkuhannya yang sekarang lagi hamil! Menurut kalian, apa aku masih harus tetap melangsungkan pernikahan disaat calon suami aku sendiri nggak akan pernah datang menghadiri? Aku juga punya harga diri, aku malu!"
Amarah dalam diri Rafinza perlahan mulai melebur mendengar keluh kesah pilu putri sulungnya. Tak pernah Rafinza bayangkan, Gibran yang selama ini begitu lembut dan perhatian, nyatanya memiliki sisi lain. Dengan teganya laki-laki itu menyakiti perasaan putri sulungnya sampai membuat pesta pernikahan yang tinggal selangkah lagi sah, dibuat kacau sampai harus menjadikan Sharon dan Alaska pengganti dari kekacauan gila ini.
Sial!
"Jujur saja, Sherly! Papa sangat kecewa sama Gibran, tapi Papa juga kecewa sama kamu. Bisa-bisanya kamu pergi begitu saja tanpa mau memberitahu kami tentang masalah kalian. Jika saja hari ini kamu tidak pergi, adik kamu tidak akan kami paksa untuk menikah menggantikan kamu dan Gibran."
Dada Sherly mencelos mendengar penuturan panjang papanya. "Maksud Papa ... Sharon? Sharon gantiin aku nikah? Sama ... siapa?" Sungguh, Sherly merasa semakin bersalah pada keluarganya. Ia kembali merutuki dirinya sendiri yang begitu egois sampai berakhir mengorbankan adik kesayangannya.
"Kamu pikir Sharon bisa nikah sama siapa lagi? Kami terpaksa memojokkan Sharon sama Alaska untuk menutupi aib yang kamu dan Gibran lakukan hari ini! Puas kamu membuat kami semakin merasa bersalah pada Sharon? Dan seandainya pernikahan tidak dilanjutkan, kami semua akan menanggung malu yang berkepanjangan! Mempelai pria tidak menghadiri acara pernikahan, sementara mempelai wanita kabur entah ke mana. Kamu kira ini lelucon? Kenapa kamu tidak bilang sama Mama dan Papa?!" Tangis Priska mulai pecah disela menumpahkan segala amarahnya.
Jujur saja, Priska juga sama marahnya seperti Rafinza. Hanya saja, Priska tidak langsung marah selayaknya Rafinza yang terburu-buru. Priska masih punya hati nurani untuk mendengarkan alasan dibalik semua yang terjadi hari ini sampai pada akhirnya wanita itu benar-benar meluapkan emosinya dengan sungguh-sungguh.
"Oh, ya. Besok Sharon akan resmi bercerai dengan Alaska! Adik kamu yang tidak tahu apa-apa itu statusnya mulai besok akan berubah menjadi janda. Tega kamu meninggalkan pesta pernikahan kamu sendiri dan membuat kami kelimpungan seperti ini! Seandainya kamu nggak pergi, mungkin kami tidak akan memaksa Sharon dan juga Alaska untuk menikah. Demi harga diri walau harus menanggung malu, mungkin kami juga akan membubarkan pesta pernikahan ini, tanpa harus memojokkan mereka menggantikan kamu dan juga Gibran."
...****...
Cahaya matahari pagi yang menyorot langsung ke area wajah, membuat seseorang bergerak tak nyaman dalam tidurnya. Ketika mencoba mengubah posisi, sesuatu yang hangat dan berat terasa melingkar di pinggangnya. Anehnya, rasanya seperti tidak ada sedikit pun penghalang, sampai sesama kulit terasa saling menempel dengan begitu lengket.
Perlahan, Sharon membuka matanya. Kepala dan tubuhnya terasa berat. Ketika kesadarannya mulai kembali, bayangan gila mulai terputar di kepala.
Alaska!
Saat itu juga, tubuh Sharon serasa membeku, apalagi ketika dirinya mulai mengintip ke dalam selimut.
Sial! Apa yang udah terjadiiii!
"Alaska, bangun! Lihat, apa yang udah lo lakuin sama gue?! Anj*rlah, kemaren kita nggak bener-bener gituan 'kan?"
Panik? Jelas!
Lengan kekar Alaska yang masih melingkar di pinggang polosnya, semakin membuat Sharon gemetar. Apalagi saat ingatan demi ingatan di mana keduanya melakukan penyatuan berulang, semakin membuat Sharon ketakutan.
Nggak! Bukan gini endingnyaaaa!
"Alaskaaa! Bangunnn!"
"Ck, apaan siii? Masih ngantuk gue." Dengan gilanya, Alaska kian mengeratkan pelukannya pada Sharon.
"Alaska! Kita gak beneran gituan 'kan? Ki-kita cuman tidur biasa sama nggak sengaja nggak pake baju aja. Iya, 'kan?" Ucapan Sharon berikutnya, seketika membuat Alaska terbelalak. Dengan cepat ia melepaskan pelukannya, sehingga membuat Sharon lantas berbalik dan menghadapnya.
Terjadi adu kontak beberapa saat di antara Sharon dan Alaska. Jantung keduanya dibuat berdegup tak karuan saat memandangi satu sama lain yang tidak mengenakan sehelai pakaian apa-apa, kecuali sebuah selimut yang tidak sampai menutupi rapat. Alaska bahkan dapat melihat dengan sangat jelas aset Sharon yang membuatnya mengingat dengan jelas kejadian kemarin malam.
"Enggak! Kita kemaren gituan!" Ujar Alaska spontan. Kedua matanya masih memelotot.
"Te-terus? Cu-cuman sekali 'kan?" Sharon bertanya hati-hati. Berharap seluruh ingatan berbeda-beda yang memenuhi kepalanya hanyalah sekadar mimpi.
Nyatanya, jawaban polos dari Alaska sudah cukup membuat Sharon frustasi.
"Enggak! Di kasur dua kali, di sofa sekali, di depan cermin sekali."
"Kacau! Kita sebrutal itu? Te-terus?"
"Lo ... mau yang lebih rinci?" Tanya Alaska, menyadarkan Sharon, sehingga dengan cepat dia bangkit dari posisi tidur. Terduduk parau sembari memikirkan kejadian kemarin malam sampai lupa dengan keadaannya sendiri yang begitu polos, sehingga membuat Alaska semakin teringat jelas dengan kejadian kemarin.
"Sorry, Shar! Ini salah gue. Harusnya kemaren gue nggak-"
"Terus, soal perceraian kita hari ini?" Dirasa cukup berdiam diri, Sharon kembali menghadap Alaska. Raut wajahnya tampak tertekan dengan bola mata yang berkaca-kaca.
Sialan lo Alaska! Lo apain anak orang?
"Eungh ... Ya, nggak jadilah! Gobl*k dong gue kalau cerain lo setelah apa yang udah kita lakuin kemaren?"
Saat itu juga, Sharon langsung menangis berderai air mata. Hatinya sakit dan malu saat mengingat betapa menyenangkannya tadi malam bersama Alaska.
Padahal keduanya berjanji akan mengakhiri pernikahan mereka dikeesokan hari. Namun dikeesokan harinya, yaitu hari ini, keduanya malah disadarkan dengan hal tak terduga, di mana Sharon dan juga Alaska telah menghabiskan malam pertama selayaknya pasutri sungguhan.
Sudut hati Alaska mendadak tak tega melihat Sharon yang menangis di depannya. Tanpa pikir panjang, Alaska menarik tubuh Sharon dan memeluknya untuk memberikan kekuatan.
"Maaf! Karena udah terlanjur, lo mau nggak jalanin ini sama gue?"
"Maksud lo?" Perlahan, Sharon mendongak menatap wajah Alaska yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya.
"Lo sama gue jadi pasutri."
"Terus cewek lo?" Pertanyaan Sharon, membuat Alaska pusing.
Sial! Alaska lupa soal hal itu!
"Nanti gue pikirin lagi! Mungkin perlu waktu. Lo mau 'kan nungguin gue?"
"Ha-hah? Lo ... serius?" Entah perasaan seperti apa yang memenuhi hati Sharon saat ini. Namun anehnya, Sharon ingin memercai semua ucapan Alaska yang berniat baik padanya.
Beruntung banget yang pernah jadi ceweknya Alaska! Batin Sharon tanpa sadar.
"Ini soal tanggung jawab. Gue nggak bisa lari, dan lo juga nggak bisa lari! Intinya, ini bukan tentang salah satu orang, tapi salah kita. Nggak akan ada hari kemaren dan sekarang kalau bukan karena kita yang sama-sama mulai duluan. Jadi, jawaban lo?"
Sharon tampak menimbang-nimbang beberapa saat. Kepalanya mengangguk mantap dibarengi dengan helaan napas berat. "Oke. Gue mau!"
...****...
Siang ini, kedua keluarga dari pihak Alaska dan Sharon kembali dipertemukan. Memilih sebuah tempat privasi sebagai wadah pembuka obrolan serius, tepatnya di sebuah Restoran Jepang yang mengusung tema privat.
Kedua keluarga dibuat bertanya-tanya, tak sedikit juga yang menduga-duga bahwa berkumpulnya mereka hari ini, tak lebih untuk mengumumkan perceraian Sharon dan Alaska.
Sekiranya waktu telah berjalan lima menit, tak ada yang membuka suara lebih dulu. Fokus masing-masing kedua orang tua tak henti-hentinya terus melirik ke arah Alaska dan Sharon yang tengah bertukar informasi melalui gestur mata.
Tak berapa lama, Alaska menghela napas panjang lalu berdiri. Fokus seluruh anggota keluarga lagi-lagi tertuju pada Alaska.
"Mungkin aku mau to the point aja. Aku mau ngumumin sesuatu kalau aku sama Sharon ... nggak akan cerai."
Kedua keluarga yang awalnya hanya mengangguk-angguk paham, tiba-tiba menoleh dengan raut penuh tanya. Dan tentunya, mereka terkejut dengan pengumuman dari Alaska yang berbanding terbalik dengan keinginan mereka kemarin malam.
"Kalian ... serius?" Sevia, selaku ibu kandung Alaska, bertanya tak percaya.
Dengan menarik napas dalam-dalam, Alaska pun mengangguk.
"Kenapa?" Timpal Gavindra, selaku ayah kandung Alaska.
"Hm, ceritanya panjang. Jadi-"
"Jangan-jangan kalian udah ngelakuin itu, ya?" Selaan dari Priska, seketika membuat wajah Alaska dan Sharon memerah. Keduanya sama-sama terdiam kaku. Namun hal itulah justru yang membuat kedua keluarga tak lagi memasang raut wajah suram.
Tawa hangat bercampur obrolan absurd mulai memenuhi satu ruangan. Alaska yang kehabisan kata-kata pun memilih duduk kembali di samping Sharon yang tengah menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Hari ini biar Saya yang traktir! Pesan sesuka kalian!" Gavindra berucap membuka obrolan baru.
"Eeh, tidak bisa! Biar saya saja yang traktir. Mungkin lain kali boleh besan yang traktir," seolah tak mau kalah, Rafinza ikut menimpal. Perasaan senang bercampur rasa lega, membuat Rafinza bersemangat.
Di sisi lain, Sharon tampak menunduk lesu. Wajahnya terus dia tutupi dengan satu tangan karena menahan malu.
"Lo kenapa nggak ngomong lagi?" Bisik Sharon, yang dibalas kekehan miris oleh Alaska.
"Gue bisa ngomong apa lagi? Emang pada kenyataannya kita udah ngelakuin itu! Oh, ya. Gue lupa nyebutin satu lagi."
"Apa?" Sharon menoleh penuh tanya. Sementara Alaska, laki-laki itu tampak menaikkan salah satu alisnya.
"Kita juga ngelakuin itu di depan pintu. Jadi totalnya lima."
"Damn!"
^^^To be continued...^^^
"Lo ada nomor gue 'kan? Kalau udah beres, langsung telepon gue aja. Nanti gue jemput." Alaska berucap lembut, tepat ketika keduanya telah sampai di depan rumah Sharon.
Sharon menatap segan pada Alaska. Otaknya lagi-lagi memikirkan kejadian kemarin malam yang sialnya begitu rinci, tak ada yang terlupakan.
Sial! Selama ini yang dibilang di drakor ternyata bohongan! Mana ada langsung amnesia setelah minum? Yang ada gue inget semua. Gerutu Sharon dalam hati.
"Shar?" Sahutan Alaska, sontak menyadarkan Sharon. Dengan cepat perempuan itu mengangguk. "Oke. Em, hati-hati!"
Alaska mengangguk disertai salah satu tangannya yang dia angkat membentuk huruf O dengan tiga jari sisanya menghadap ke atas.
Setelahnya, Alaska melenggang memasuki mobilnya. Lewat jendela mobil yang terbuka, Alaska melambaikan tangannya kaku pada Sharon. Bingung. Iya, tentu saja.
Setelah malam panas kemarin dan makan bersama kedua keluarga tadi siang, tidak mungkin Alaska tidak gugup?
Haha. Hidup itu lucu, kawan! Pacaran sama siapa, yang mau nikah siapa, yang jadi nikah siapa.
...****...
"Sharon!" Belum sempat Sharon membuka pintu kamarnya, salah satu lengannya tiba-tiba dicekal oleh seseorang. Ketika menoleh, kedua alis Sharon langsung mengerut tak suka. Dengan cepat Sharon menepis kasar tangan itu yang tak lain ialah tangan kakaknya, Sherly.
"Siapa, ya? Oh! Cewek yang kemaren kabur di acara pernikahan yang digantiin sama adiknya itu, ya? Ada masalah apa, tumben hari ini nampakkin diri?" Sharon bertanya ketus, membuat Sherly menunduk tak enak hati.
"Sharon, Kakak minta maaf! Denger-denger kamu malah nikah sama Alaska? Gimana? Sekarang kalian jadi cerai?"
Sharon menaikkan salah satu alisnya sembari melipat kedua tangan di depan dada. "Maksudnya? Kakak doain aku sama Alaska cerai, gitu? Kakak pikir aku sama kayak Kakak? Sekalipun ini pernikahan yang gak pernah diinginkan, aku juga gak bisa seenaknya. Udah, ya, aku mau beres-beres. Bentar lagi Alaska mau jemput."
Ketika Sharon mulai melenggang masuk kamar dan menutup pintu, air mata Sherly luruh saat itu juga. Tubuhnya merosot ke lantai dengan punggung yang disandarkan di daun pintu.
"Kakak minta maaf, Shar! Kakak udah egois dan malah nempatin kamu disituasi kayak gini. Kamu berhak benci sama Kakak, tapi tolong, dengerin penjelasan Kakak!" Di balik pintu yang lain, tepatnya di dalam kamar, Sharon ikut menitikkan air matanya. Ucapan parau dari Sherly sudah cukup menjelaskan, bahwa dia melakukan hal itu juga terpaksa.
Sayangnya, Sharon terlanjur terbawa emosi. Dia tidak ingin mendengar alasan apa pun dari mulut kakaknya. Sekadar melirik pun rasanya Sharon sudah enggan.
"Mendingan Kakak pergi, jangan duduk ngalangin pintu! Aku capek, mau istirahat!"
...****...
Sesampainya di rumah, Alaska langsung merebahkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Sepasang matanya terpejam untuk beberapa saat, mencoba menghilangkan kekhawatiran yang sepertinya akan terjadi dalam waktu dekat ini.
"Udah pulang, Al?" Kedua mata Alaska langsung terbuka mendengar panggilan halus dari Sevia, mamanya. Dengan cepat Alaska mengubah posisi menjadi duduk biasa.
Tanpa berniat membalas secara lisan, Alaska tersenyum simpul dengan wajahnya yang perlahan menunduk. Terlihat jelas jika putra bungsunya ini sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Lagi. Sevia merasa bersalah atas keputusannya untuk menikahkan Alaska dan menggantikan Gibran. Padahal Sevia sendiri tahu, jika Alaska sudah memiliki kekasih. Sudah beberapa kali Sevia bertemu dengan pacarnya Alaska. Dan, dia tidak buruk. Hanya saja sifat pemarahnya cukup membuat Alaska menggila beberapa kali.
"Alaska! Mama ... minta maaf, ya! Mama udah egois. Mama cuma nggak enak sama Priska dan Rafinza." Sevia menunduk segan. Sedangkan Alaska, laki-laki itu hanya menghela napas pendek.
"Semua udah terlanjur, Mah. Em, oh, ya. Udah ada kabar dari Kak Gibran? Kata Sharon, Kak Sherly sekarang lagi ada di rumah." Alaska mencoba mengalihkan obrolan. Berharap mamanya tak lagi menyalahkan dirinya sendiri.
Mau disalahkan bagaimanapun juga percuma. Nasi sudah menjadi bubur. Apalagi dengan adanya kejadian tadi malam bersama Sharon. Alaska jadi tidak memiliki alasan untuk cerai dengan Sharon.
"Papa lagi berusaha hubungin Kak Gibran dari kamarin. Cuman ... teleponnya gak aktif." Ujar Sevia, diakhiri menghela napas.
Saat Alaska hendak membalas, suara derap langkah kaki terburu-buru dari arah pintu utama, membuat perhatian Alaska terpecah. Ketika menoleh, amarah yang sedari kemarin Alaska pendam kembali mencuat.
Tanpa pikir panjang, Alaska berjalan tergesa-gesa menghampiri seseorang yang tak lain ialah Gibran. Raut wajahnya tampak datar namun penampilannya terkesan acak-acakan.
Persetan dengan hal itu. Alaska telah muak dengan tingkah kakaknya.
"Habis dari mana lo?" Alaska mencegah langkah Gibran yang hendak menaiki anak tangga tanpa memedulikan sekitar.
Tatapan kacau Gibran lalu berfokus pada Alaska yang menatapnya tajam seolah tengah menyatakan perang.
"Minggir!" Ketika Gibran hendak melewati Alaska, dengan kasar Alaska mendorong Gibran sampai dibuat mundur beberapa langkah.
"Apaan sih lo? Anak kecil mending minggir!" Lagi. Ketika Gibran hendak melanjutkan langkahnya, Alaska kembali mendorongnya. Tak berhenti di sana, satu bogeman mentah mendarat di pipi sebelah kiri Gibran.
Suasana mendadak suram apalagi ketika Sevia yang sedari tadi diam memerhatikan kedua putranya dari jauh mulai berteriak histeris. Beberapa asisten rumah tangga bahkan dibuat berkumpul, takut jika nyonya rumah mereka tengah dilanda kesulitan.
Nyatanya, mereka kembali membubarkan diri saat mengetahui bahwa kedua anak dari nyonya rumah merekalah yang tengah membuat keributan.
"APA-APAAN LO!?" Nada bicara Gibran terdengar meninggi. Salah satu pipinya terasa begitu panas dan sudut bibirnya mengeluarkan darah.
Ketika Gibran hendak membalas perbuatan Alaska, pergerakan tubuhnya langsung ditahan oleh seseorang. Ketika menoleh dan hendak kembali melakukan perlawanan, sudut hatinya lantas menciut, menyadari bahwa orang yang tengah menahannya tak lain ialah papanya.
"Ingat pulang juga kamu? Kenapa nggak sekalian aja kamu gak usah kembali? Dasar anak gak tahu diuntung! Berani-beraninya membuat kami malu! Sekarang apa lagi, hah?" Kedua bola mata Gavindra menyorot nyalang. Tarikan napasnya berapi-api. Apalagi ketika menerima hasil penyelidikan anak buahnya tentang tingkah Gibran selama ini.
Terdengar decak sebal dari mulut Gibran. "Fine! Maaf! Udah, 'kan?" Ketika Gibran melenggang melewati Gavindra dan juga Alaska, Alaska sudah hendak kembali menghentikannya. Namun cengkraman kuat di salah satu bahunya oleh Gavindra, membuat Alaska mengurungkan niatnya.
"SEKALIPUN WANITA ITU HAMIL, PAPA NGGAK AKAN PERNAH MERESTUI HUBUNGAN KALIAN!" Ucapan dengan nada lantang itu membuat seluruh perhatian lantas beralih fokus pada Gavindra. Semuanya terkejut, tak terkecuali Gibran yang rahasianya dibongkar oleh papanya.
"Hamil? Siapa yang hamil?" Alaska menatap dalam-dalam raut wajah Gavindra lalu beralih pada Gibran yang tampak memaku di pertengahan tangga.
"Kamu sudah dewasa 'kan? Kamu juga selalu melakukan sesuatu yang kamu mau tanpa adanya campur tangan Papa. Kalau begitu mulai hari ini, Papa persilakan kamu untuk tidak menginjakkan kaki lagi di rumah ini."
...****...
Di depan sebuah pintu apartemen, Sharon menatap lekat-lekat punggung tegap Alaska yang tengah mencoba membukakan pintu. Sekelebat bayangan kemarin tiba-tiba memenuhi pikiran Sharon.
Ah, sial!
Apa lagi yang Sharon pikirkan?
"Yuk, masuk!" Ajakan Alaska seketika menyadarkan Sharon dari lamunannya. Kedua bola matanya terbelalak dengan wajah yang terasa memanas.
Alaska yang heran pun lantas menempelkan punggung tangannya di dahi Sharon. "Lo sakit? Merah banget muka lo."
"ENGGAK!" Sharon menepis cepat tangan Alaska seraya sedikit memundurkan langkahnya.
Tak ingin ambil pusing, Alaska mulai mengambil alih koper Sharon dan juga kopernya untuk dibawa masuk. Sesampainya di dalam, Sharon jadi semakin gugup. Batinnya terus bertanya, haruskah mereka mulai tinggal bersama sekarang?
"I-itu, biar gue aja!" Saat Sharon hendak mengambil alih kopernya, Alaska menghentikannya. "Gak usah, biar gue aja,"
"Kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa, soalnya tujuannya 'kan sama. Taruh di kamar." Saat Alaska hendak melenggang, Sharon tiba-tiba mencegahnya. Raut wajahnya berubah kaku dan Alaska tahu apa maksudnya.
"Ki-kita ... tidur sekamar?"
Terdengar helaan napas berat dari Alaska. "Cuma ada satu kamar di sini. Jadi, mau nggak mau lo sama gue harus berbagi kamar."
"Ta-tapi ... ada kasur lain 'kan?"
"Hm, nggak tahu, ya. Apartemen ini sebenarnya buat Si Gibran sama Kakak lo. Jadi gue nggak tahu struktur persis di apartemen ini. Gue juga pertama kali ke sini."
Entah ini hanya firasat atau bukan, sedari tadi Alaska begitu santai pada Sharon. Seolah keduanya benar-benar pasangan pengantin baru pada umumnya. Tak ada sedikit pun raut kaku, gugup, dan semacamnya di wajah Alaska. Seolah-olah laki-laki itu sudah sering melakukannya.
"Kenapa lo lihatin gue?" Alaska menatap ngeri Sharon yang menatapnya tajam tanpa berkedip.
Sharon tak berniat membalas. Dengan cepat dia membuang muka seraya mendengus. "Nggak kenapa-kenapa. Em, kamarnya yang mana?"
"Tuh!" Tunjuk Alaska. Tanpa pikir panjang, Sharon berjalan lebih dulu dan membukakan pintu kamar.
Dan, tidak ada yang istimewa. Hanya saja kamar mereka terasa begitu luas. Entah karena memang masih kosong belum diisi dengan barang-barang pribadi.
"Alaska, lemari sebelah sini khusus baju gue, dan yang sebelah sini khusus baju lo. Oke?"
"Hm."
...****...
Alaska menghela napas berat selepas usai membereskan pakaiannya. Tak hanya itu, Alaska dan juga Sharon barusan dikirimi beberapa perabotan rumah tangga oleh kedua orang tua mereka.
Hari yang cukup melelahkan memang, sehingga Alaska memilih merebahkan tubuhnya di sofa panjang di depan televisi. Sementara Sharon, perempuan itu tengah sibuk mandi.
Namun, alasan kuat dibalik helaan napas Alaska bukan karena benar-benar lelah. Melainkan karena permasalahan di hidupnya yang harus segera dibereskan.
Ya, siapa lagi jika bukan pacarnya Alaska. Namanya, Alina. Usianya seumuran dengan Alaska. Saat ini Alina sedang sibuk berkuliah di Amerika. Bisa dibilang, Alaska menjalani LDR dengan Alina.
Padahal, dulu sekali Alaska pernah berjanji hanya akan menikahi Alina di masa depan. Tapi sepertinya semua ucapannya di masa lalu hanya akan menjadi ucapan belaka. Pada kenyataannya, Alaska malah menikah dengan perempuan lain.
"Gue harus bilang gimana, ya? Hubungan kita nggak pernah ada problem. Aneh banget kalau tiba-tiba gue minta putus. Lebih gila kalau bilang gue udah nikah sama cewek lain. Bisa-bisa dia ngamuk dan samperin gue ke sini." Alaska memijit pangkal hidungnya, bingung harus bagaimana.
"Em, Alaska!" Panggilan dari arah daun pintu kamar, mengalihkan atensi Alaska. Dengan cepat dia beranjak dari sofa lalu menoleh pada Sharon.
Sharon tersenyum simpul seraya berjalan menghampiri Alaska. Lewat gestur tangan, Sharon menyuruh Alaska untuk kembali duduk di sofa. Tanpa pikir panjang, Alaska pun kembali duduk di samping Sharon.
"Itu, ada yang mau gue omongin ke lo." Tak ingin terlalu lama berbasa-basi, Sharon mulai membuka suara.
Alaska menatap wajah Sharon dengan begitu serius. Laki-laki itu memilih tetap diam dan menunggu Sharon melanjutkan kalimatnya.
"Hm, lo gak perlu putusin pacar lo demi gue."
Saat itu juga, Alaska membelalakkan kedua bola matanya.
Tunggu! Maksudnya apa?
^^^To be continued...^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!