"Nana, Fikri datang mencari kamu tadi. Tapi Ibu memintanya untuk kembali nanti karena kamu baru beberapa menit berangkat saat dia datang tadi." Rumi, Ibu Kost Nana menyambut kepulangan Nana dengan berita kedatangan kekasih Nana dari luar kota.
"Mas Fikri datang, Bu? Ih, Ibu kok jahat banget sih, tidak meneleponku tadi."
Rumi melirik Nana dengan sinis. "Kamu kan baru berangkat kuliah saat dia datang. Nanggung banget kalau kamu harus balik gara-gara harus menemuinya. Apalagi kamu sedang sibuk karena menjelang semester akhir."
"Hmm.. aku cuman kasihan, Bu. Mas Fikri jauh-jauh datang dari luar kota. Aku kok seperti mengabaikannya karena tidak langsung menemuinya."
"Kamu kan sibuk, Nak. Dia pasti mengerti." Rumi mengelus-elus kepala Nana. Gadis itu baru saja melepas hijab yang membalut kepalanya. Kebiasaan yang selalu dilakukannya ketika masuk rumah.
"Sudah, istirahat dulu sana. Nanti Ibu kasih tau kamu kalau dia datang lagi."
Nana tersenyum dipaksakan, "iya sudah, Bu. Nanti jangan usir dia lagi ya, Bu, kalau dia datang. Kasihan Mas Fikri, jauh-jauh datang malah tidak menemukan aku di rumah."
"Udah, masuk sana. Ibu pasti akan mengabari kamu nanti." Mendorong pelan tubuh Nana, agar gadis itu meninggalkannya.
Nana mengangguk seraya berjalan menjauh meninggalkan Rumi. Gadis itu jadi kepikiran pada Fikri. Pria itu sering datang mencarinya di sela-sela kesibukannya bekerja. Namun, mereka selalu bertemu di kost Nana karena hubungan mereka yang mendapat penentangan dari orang tua Nana. Terutama papa Nana yang tidak setuju sama sekali dengan hubungan putrinya dengan Fikri.
Baru saja masuk ke dalam kamarnya, Rumi sudah memanggil Nana karena kedatangan Fikri. "Nana, Fikri datang lagi. Kalian duduk di ruang tamu. Jangan membawanya ke dalam kamar."
Nana langsung berbalik begitu mendengar nama pria itu di sebut. Namun, pesan terakhir Rumi membuatnya tersenyum meringis. "Iya, Bu. Ish, Ibu kok jadi sensitif gini sih.." menepuk pelan tangan Rumi.
Rumi menghela nafas berat. "Hah, Ibu nggak mau terus-terusan diintrogasi mama kamu nantinya." Timpalnya seraya berlalu dari hadapan Nana. Gaya berpacaran Nana yang bebas membuat Rumi selalu mengingatkan anak kostnya itu setiap kali Fikri berkunjung. Apalagi Nana tinggal di rumahnya karena permintaan kedua orang tua gadis itu.
Nana tersenyum sumringah dan bergegas kembali ke ruang tamu. Beberapa bulan tidak bertemu dengan Fikri membuatnya rindu berat pada pria yang sudah mengisi hatinya beberapa tahun terakhir ini.
"Mas Fik!" Nana sedikit berteriak saat melihat Fikri asyik dengan benda gepeng di tangannya.
"Eh, Sayang.." Fikri langsung berdiri dan merentangkan tangannya agar Nana memeluknya.
"Kangen kamu, Mas." Nana memeluk erat tubuh kekasihnya itu.
"Aku juga rindu banget sama kamu, Na." Fikri mencium pucuk kepala Nana. "Kenapa hijabnya di lepas, Na?"
"Ehehehe.." Nana cengengesan. "Gerah tadi, Mas. Aku baru balik dari Kampus. Rencananya mau istirahat. Tapi, Ibu mengabari aku kalau kamu datang mencari ku tadi."
Fikri tersenyum kecil seraya mengusap-usap kepala Nana. "Aku nginap di Hotel dekat Kampus kamu. Aku hanya bisa menemani kamu satu minggu di sini." Fikri Menarik nafas dalam. Aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi, aku akan bicara nanti. Aku tidak mau bicara di sini karena nggak mau Ibu Kost kamu tau."
"Mm.." Nana menatap mata kekasihnya dengan sendu. "Sepertinya kamu mau ngomong serius, Mas."
"Iya, Na. Ini sangat serius. Ini menyangkut tentang masa depan hubungan kita." Meraih tangan Nana dan menggenggamnya erat.
"Oh," raut wajah Nana berubah begitu mendengar kata hubungan. Sampai saat ini, wanita itu belum bisa meyakinkan orang tuanya kalau Fikri pasti bisa membahagiakannya.
"Nanti malam aku akan datang lagi untuk menjemput kamu. Kita perlu bicara banyak."
"I.. iya, Mas." Melirik Fikri sekilas. "Aku akan menunggumu nanti."
Fikri pamit dari kost Nana setelah mencium bibir wanita itu. "Aku pamit dulu, Na."
"Iya, Mas." Nana menenggelamkan wajahnya di dada bidang Fikri.
Malam itu...
Sesuai perjanjian siang tadi, Nana benar-benar keluar rumah. Walaupun Rumi sudah melarangnya dengan berbagai alasan. Tapi, wanita itu pun membujuk dengan berbagai alasan pula.
Fikri sudah menunggunya di depan gerbang rumah Rumi saat Nana berhasil keluar.
"Bagaimana, Na? Apa Ibu Kost kamu percaya?"
Nana memutar bola matanya kesal. "Capek membuat alasan, Mas. Dia benar-benar keras kepala. Kalau aku sampai telat pulang malam ini, dia mengancam akan melaporkan semuanya pada Papa dan Mama."
"Ayo kalau begitu.." Fikri membukakan pintu mobil untuk Nana. Memutar tubuhnya dan kembali masuk dan duduk di balik kemudi.
"Mas, raut wajah kamu terlihat serius dari tadi. Apa ada masalah di rumah?" Nana bertanya karena Fikri diam seribu bahasa selama dalam perjalanan.
Mendengar pertanyaan Nana membuat Fikri mendesah. Melirik Nana sekilas lalu kembali fokus menatap ke jalan. "Beberapa hari yang lalu, mama dan kakak kamu datang menemui ku."
Nana tertegun beberapa saat. "M.. maksud Mas Fik, Mama dan Kak Sony...."
Fikri kembali melirik Nana. Menganggukkan kepalanya untuk memberikan jawaban dari pertanyaan yang belum selesai diucapkan Nana. "Iya, Na. Mama dan Sony datang ke kantor ku. Mereka memintaku untuk segera mengakhiri hubungan kita. Mereka bilang, sampai kapan pun, Papa kamu tidak akan pernah merestui hubungan kita."
Nana memejamkan matanya. Air matanya jatuh beberapa tetes. Dia sangat mencintai pria di sampingnya. Namun, kenapa tidak ada satu pun keluarganya yang mendukung hubungan mereka. Fikri memang berasal dari keluarga biasa. Tidak seperti Nana yang berasal dari keluarga terpandang.
"A.. apa rencana kamu, Mas?" Nana menatap Fikri dengan dalam. Untuk mengakhiri hubungannya dengan pria itu tidak akan bisa ia lakukan dengan mudah. Nama Fikri terlalu berarti untuknya.
Fikri menepikan kendaraannya. Menghentikan mobilnya lalu menatap Nana dengan serius. "Na,"
Nana mengusap air matanya. "K.. kenapa kamu berhenti, Mas?"
"Apa kamu benar-benar mencintaiku, Na?" Fikri balik bertanya tanpa memperdulikan pertanyaan Nana.
"Kenapa kamu menanyakan hal bodoh itu, Mas? Aku tidak mungkin berada di sampingmu saat ini, jika aku hanya main-main dengan hubungan kita."
Fikri tersenyum getir seraya menyandarkan dahinya di kemudi mobilnya. "Lalu kenapa kamu belum berhasil meyakinkan keluarga kamu, kalau hubungan kita benar-benar serius, Na?" Mengangkat kepalanya lalu menatap Nana. "Sudah berapa tahun kita menjalin hubungan, tapi tidak satu pun anggota keluarga kamu yang memberikan lampu hijau untuk kita."
Nana kembali mengusap air matanya. "Aku juga nggak tau, Mas." Jawabnya dengan kepala tertunduk. "Aku nggak tau lagi harus ngomong apa untuk meyakinkan mereka."
"Aku mau bertanya sekali lagi, Na. Apa kamu benar-benar ingin hidup bersamaku?" Fikri menggenggam erat tangan Nana. Mata pria itu tajam menatap Nana yang masih menitikkan air mata. Mendapati pria itu menatapnya seperti itu, Nana menatap tangannya yang di genggam erat oleh Fikri. "Apa yang harus aku lakukan agar bisa terus bersamamu, Mas?"
Fikri tersenyum mendengar pertanyaan Nana. Ia semakin erat menggenggam tangan wanita itu. "Hamil anakku, Na."
Duar...!
Bagai mendengar petir di siang bolong, Nana benar-benar terkejut mendengar permintaan Fikri. Spontan ia langsung menarik tangannya dari genggaman pria itu. "Aku nggak mungkin melakukan itu, Mas." Nana membuang pandangannya. Jangan berpikir bodoh, Mas Fik. Hal itu hanya akan menambah masalah dalam hubungan kita. Bagaimana kalau semua orang tau? Siapa yang akan menanggung malu nantinya? Aku memang luar, Mas. Tapi, untuk hal itu, aku masih sadar batasan."
Fikri mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah menduga sebelumnya, kalau Nana pasti akan menentang permintaannya itu. "Aku hanya ingin bersama denganmu, Na. Aku nggak tau lagi harus berbuat apa agar keluargamu mau menerimaku. Aku pikir, dengan hamil anakku, mereka tidak ada alasan lagi untuk menolak kehadiranku."
Nana terdiam. Wanita itu terlihat sedang mempertimbangkan apa yang dikatakan Fikri.
"Waktu kita hanya satu minggu, Na. Kalau kamu setuju dengan usulku tadi, aku akan mempersiapkan tempat untuk kita." Fikri kembali meraih tangan Nana, agar wanita itu semakin yakin padanya. "Aku benar-benar ingin bersama denganmu, Na. Aku nggak mau kehilangan wanita yang sangat aku cintai. Aku hampir putus asa karena sikap keluargamu. Tapi, hanya satu yang membuatku masih bertahan." Kembali menatap mata Nana. Gadis itu pun memberanikan diri menatap mata Fikri.
"A.. apa itu, Mas?" Tanya Nana dengan gugup.
"Aku harus memperjuangkan cinta kita, Sayang."
Nana menelan ludahnya melihat tatapan mata Fikri. Pria itu terlihat cukup serius. "A.. antar aku pulang, Mas. Kita lanjutkan pembicaraan ini besok pagi. I.. ini sudah malam. Aku nggak mau Ibu melaporkan kejadian malam ini pada Mama maupun Kak Sony..."
Fikri tersenyum getir seraya menjauhkan wajahnya dari Nana. "Ok, kalau itu maumu, aku akan turuti." Menghidupkan mesin mobilnya kembali untuk mengantar Nana pulang. Ia sudah menyusun rencana untuk menundukkan gadis itu.
**********
Pagi itu, Fikri datang ke Kost Nana. Kedatangan pria itu di sambut dengan tatapan tidak suka dari Rumi. Rumi bahkan ingin melaporkan kedatangan pria itu pada Yeti, mamanya Nana. Namun, Nana selalu berhasil membujuknya dan membuatnya mengurungkan niatnya untuk mengatakan pada Yeti.
"Bu, Nana berangkat dulu." Nana meraih tangan Rumi yang masih menunjukkan wajah tidak suka pada kekasihnya yang duduk di ruang tamu.
"Sekarang Fikri menjemput kamu, Na. Jangan sampai pria itu membawa kamu keluyuran dan tidak pergi ke Kampus. Kamu sudah ketinggalan dua semester dengan teman-teman kamu yang lain."
"Itu bukan salah Mas Fikri, Bu. Itu kesalahan aku karena tidak belajar dengan baik."
Rumi mendengus. "Kamu terlalu membelanya, Na. Berangkat sana.." mengusir Nana dengan tangannya.
Nana hanya tersenyum kecil seraya berlalu. Nanti aku belikan Ibu oleh-oleh saat pulang."
"Iya... intinya kamu nggak boleh pulang malam."
"Mm..." Nana mengangguk mantap. Meninggalkan Rumi yang terlihat berat untuk melepaskan keberangkatannya bersama Fikri pagi ini.
Nana menautkan alisnya heran saat mobil yang dikendarai Fikri mengambil jalur yang berlawanan dengan arah kampusnya.
"Mas Fik, ini.. kita kok nggak ke..."
"Ssstt... jangan protes, Na." Potong Fikri. "Aku kan sudah bilang, masalah semalam harus segera di selesaikan agar hatiku bisa tenang."
"Tapi, aku harus masuk kuliah dulu, Mas."
"Bolos sekali tidak akan menjadi masalah besar, Na."
Nana kehilangan kata-kata mendengar jawaban santai kekasihnya. Hal ini tidak hanya terjadi sekali dua kali. Setiap kali mengunjunginya, Fikri selalu membuatnya bolos kuliah.
"Aku.. aku harus bilang apa pada Ibu nanti."
"Iya.. bilang aja kalau kamu baru pulang kuliah. Masalah sekecil itu, masa kamu tidak bisa membuat alasan."
Nana menelan ludahnya. "N.. nanti aku akan berusaha menjelaskannya pada Ibu."
"Bohong demi kebaikan, Na. Kalau kamu jujur, itu malah akan menimbulkan masalah."
Nana masih terdiam. Ia kehilangan kata-kata untuk menimpali semua ucapan Fikri. Suasana hening tercipta sampai Fikri menghentikan kendaraannya di depan sebuah gedung Apartemen.
Tatapan aneh langsung Nana tunjukkan pada kekasihnya itu. "Kita mau mengunjugi siapa di sini, Mas?"
"Nggak ada. Aku mengajakmu kemari untuk mengunjungi temanku. Kita juga akan menyelesaikan masalah semalam di tempat ini." Timpal Fikri tanpa sedikitpun menatap Nana. Pria itu bahkan langsung turun dari mobil tanpa menunggu persetujuan Nana terlebih dahulu.
"Mas Fik, aku mau kuliah dulu."
"Na, please deh. Aku datang jauh-jauh dari luar kota hanya untuk menemui kamu. Kenapa kamu tidak menghargai ku sedikitpun? Kamu tau nggak, Na. Aku sampai mengambil cuti hanya untuk datang kemari. Demi menemui wanita yang sangat aku cintai." Fikri mengusap wajahnya dengan kasar. "Keluar dulu, nanti kita lanjut bicara di dalam. Aku nggak mau orang-orang menatap kita dengan aneh."
Nana bergegas keluar tanpa diminta dua kali. Wanita itu tidak mau menjadi pusat perhatian karena berseteru dengan Fikri.
"Ikut aku.." Fikri menarik tangan Nana dengan sedikit paksaan.
"Mas, pelan-pelan. Tangan aku sakit."
Perseteruan itu berlanjut sampai Fikri membawa Nana masuk ke dalam salah satu kamar Apartemen milik temannya. Pria itu bahkan berbagai macam kalimat aneh. Ia juga mencium dan memeluk tubuh Nana berulang kali.
"Mas, kamu jangan seperti ini!" Nana mempertahankan kancing bajunya yang sedang di buka paksa oleh Fikri. Di tempat itu tidak ada siapapun selain mereka berdua. Fikri sudah merencanakan hari ini dengan sangat baik, sehingga rencananya bisa berjalan dengan mulus tanpa hambatan.
"Aku harus memilikimu seutuhnya, Na. Aku nggak mau perjuanganku beberapa tahun ini sia-sia karena keluargamu yang memandang status sosial."
"Mas Fik, berhenti! Kita tidak mungkin melakukan ini, Mas. kita harus menikah kalau kamu mau melakukan ini padaku."
Fikri hanya tersenyum sinis. Matanya sudah gelap karena dibutakan n**s*. Tangannya berusaha menyingkirkan tangan Nana yang memegang erat kemejanya. "Ish, ini jadi penghalang saja." Fikri menarik hijab segi empat yang menutup kepala Nana. "Aku nggak mau menunggu lagi, Na. Hari ini, aku harus bisa memilikimu seutuhnya." Fikri mencium leher Nana dengan bringas, sampai meninggalkan tanda di tempat itu.
Nana tidak bisa melakukan apapun. Ia hanya menangis terisak. Lehernya pun sudah sakit karena berteriak minta tolong. Namun, siapa yang akan bisa menolongnya. Untuk menolong dirinya sendiri pun, tidak bisa ia lakukan karena tenaganya kalah jauh dengan Fikri. Wanita itu akhirnya hanya bisa pasrah dengan apa yang akan di lakukan Fikri padanya.
Nana terus terisak sampai Fikri selesai melakukan apa yang diinginkannya. Melihat pria itu tertidur pulas di sampingnya, hati Nana sedikit jengkel. Fikri bahkan bisa tidur dengan tenang dan terlihat tanpa dosa setelah menodainya.
"Kamu pasti akan menyesal karena melakukan ini padaku, Mas." Nana melempar bantal ke wajah pria itu. Namun, tidak sedikitpun Fikri bergerak. Pria itu masih tidur dengan tenang.
Perasaan Nana semakin jengkel. Ia segera ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Dia tidak mungkin kembali ke rumah Rumi dengan keadaannya yang seperti itu.
***********
Brak..!
Rumi akhirnya meminta satpam yang berjaga di depan gang untuk mendobrak pintu kamar Nana. Anak kostnya itu sudah sehari semalam tidak keluar dari kamar. Hal itu tentu saja menjadi tanda tanya besar untuk Rumi. Sejak kemarin, Rumi sudah khawatir karena Nana yang pulang dengan mata sembab.
"Nana, apa yang terjadi, Nak?!" Rumi hampir menjerit melihat keadaan Nana. Ia bergegas mendekati ranjang dimana Nana terbaring lemah. Wanita itu meringkuk di bawah selimut dengan kondisi tubuh yang demam tinggi. Sementara Satpam komplek yang membantu Rumi langsung berpamitan karena tidak mau ikut campur.
"Aku baik-baik saja, Bu. Jangan pedulikan aku. Aku.. aku..."
"Aku harus segera menghubungi orang tua kamu, Na. Ibu tidak mau terjadi apa-apa padamu."
Nana menahan tangan Rumi. "Jangan, Bu. Jangan bilang ke siapa-siapa. Aku hanya mau minta tolong pada Ibu untuk memberitahukan keadaanku ke Kampus. Aku nggak mau semesterku kali ini gagal lagi."
Rumi menghela nafas berat. Menarik pelan selimut yang menutupi kepala Nana. "Kamu demam, Na. Kenapa kamu malah menggulung diri dengan selimut tebal seperti ini."
"Aku.. aku ke..."
"Astagfirullah..." Rumi menutup mulutnya tidak percaya melihat apa yang di lihatnya. Nana pun, menghentikan aktivitasnya untuk menutupi kepalanya kembali karena Rumi sudah melihat semuanya.
"Siapa yang melakukan ini semua, Na? Apa Fikri yang melakukannya, hah?! Apa ini alasan kamu mengurung diri dan tidak mau bertemu dengan Ibu?" Rumi bangkit, menatap Nana dengan kesal. "Kemana pria itu sekarang, Na?"
Nana membuang wajahnya. Dia tidak tau bagaimana harus menjelaskannya pada Rumi. "Aku tidak menginginkan ini, Bu. Mas Fikri menjebak ku." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Nana. "Aku nggak bisa melindungi diriku karena tenaga Mas Fikri terlalu besar." Sambungnya sambil
"Ibu sudah berulang kali memperingatkan kamu, Nana! Pria itu tidak tulus padamu! Dia hanya menginginkan harta kamu. Dia hanya tergiur dengan status sosial keluargamu!" Ucap Rumi dengan berapi-api.
"Mas Fikri tidak seperti itu, Bu!" Nana langsung bangkit karena tidak suka dengan ucapan Rumi.
"Kamu selalu membelanya, Nana. Kamu lihat apa yang dia lakukan padamu.." Rumi menunjuk satu-persatu tanda merah di leher Nana. "Cintamu buta, Na. Pria itu harus diberi pelajaran." Rumi beranjak bangkit, bersiap meninggalkan kamar Nana tanpa menghiraukan larangan wanita itu.
"Ibu jangan mengatakan apapun pada mamaku." Nana sedikit berteriak dengan sisa tenaganya.
Rumi menghentikan langkahnya. Berbalik menatap Nana dengan kesal. "Maafkan Ibu, Na. Kali ini Ibu tidak bisa menuruti keinginan kamu. Ibu akan mengatakan semuanya pada orang tua kamu. Ibu tidak mau tanggung jawab kalau terjadi sesuatu padamu." Kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Ia benar-benar kecewa kali ini pada Nana. Anak asuhnya itu sudah kelewatan batas kali ini.
Nana membuang nafas dengan kasar. Ia pun merasa putus asa. Ia akhirnya hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Jika dia sampai hamil, entah bagaimana kehidupannya ke depan. Bagaimana dia akan menyampaikan hal itu pada orang tuanya nanti. Sejelek-jeleknya Nana di luar, ia akan selalu berusaha menjaga sikap jika sudah kembali ke kota asalnya. Namun, jika yang dibayangkannya benar-benar terjadi. Entah dimana dia akan menaruh makanya. Nana hanya mengacak-acak rambutnya frustasi. Wanita itu akan menunggu sebuah keajaiban mendatanginya.
Brak..!
Nana terlonjak kaget saat pintu kamarnya kembali terbuka dengan kasar. "Mama dan kakak kamu akan datang kemari besok pagi. Ibu tidak mengatakan yang macam-macam pada mama kamu. Tapi, mereka akan tau semuanya saat melihat keadaan kamu besok. Sekarang istirahatlah dulu. Ibu mau ke Apotek membelikan kamu obat. Mudah-mudahan tanda-tanda di leher kamu menghilang saat orang tua kamu sampai besok." Rumi meninggalkan kamar Nana. Menutup kembali pintu kamar itu.
*********
Satu bulan kemudian...
Nana menggigit bibir bawahnya saat melihat garis dua yang muncul di tes pack di tangannya. Kaki terasa lemas mendapati kenyataan pahit ini.
"Bagaimana, Na?" Yeti mengetuk pintu kamar mandi karena Nana tak kunjung keluar. Lima hari yang lalu Yeti kembali lagi ke kost Nana atas permintaan Rumi. Rumi kewalahan mengurus Nana karena wanita itu jarang keluar dari kamar.
Ceklek..!
Yeti menongolkan kepalanya ke dalam kamar mandi begitu pintu itu terbuka. "Bagaimana, Na?" Pertanyaan itu kembali keluar karena Nana belum memberikan jawaban untuknya.
Nana menarik nafas dalam seraya menelan ludahnya dengan susah payah. Air matanya tidak bisa terbendung lagi. Menghambur memeluk Yeti yang terdiam melihatnya. "Mama.. maafkan Nana, Ma."
Yeti tertegun. Dari ekspresi putrinya, wanita itu bisa menebak hasil yang di dapatkan. "Berarti.. kamu harus cuti kuliah, Na." Yeti melepaskan pelukannya. "Mama dan kakak kamu harus mencari alasan agar Papa kamu tidak banyak bertanya," ucapnya. Yeti tidak tau lagi bagaimana akan bersikap. Ingin marah, tapi mau marah pada siapa? Nana tidak biasa dimarahi. Bahkan wanita itu hampir tidak pernah dimarahi karena statusnya.
"B.. bagaimana dengan Kak Farhat, Ma?" Nana menatap Yeti dengan penuh harap. Berharap kakak tertuanya itu mengerti dan tidak marah padanya seperti Sony.
"Kakak kamu itu tidak suka bicara, Na. Ia hanya bilang kecewa sama kamu. Kamu terlalu membela pria itu dibandingkan keluarga kamu sendiri." Yeti meraba handphonenya, karena benda gepeng itu berbunyi di balik saku dress yang dikenakannya. Berjalan menjauh dari Nana yang masih berdiri di depan kamar mandi. Nana hanya menatap mamanya tanpa berniat untuk mendekatinya. Menunggu apa yang akan dikatakan wanita itu setelah menerima telepon.
Setelah beberapa menit menunggu, Yeti kembali mendekati Nana. "Sony sudah menemukan Fikri, Na. Besok dia akan dibawa kemari untuk menjelaskan semuanya."
"Ma..." Nana menahan tangan Yeti yang sudah siap pergi. "Aku.. aku nggak siap bertemu dengannya."
Yeti menghela nafas berat. "Siap tidak siap, kamu harus bertemu besok. Mama nggak mau pria itu mengatakan semuanya pada papa kamu. Bisa-bisa penyakit jantung papa kamu kambuh jika berita ini sampai kepadanya." Mendengus seraya melepaskan tangan Nana dari lengannya.
*********
Fikri duduk di hadapan Yeti dan Sony dengan kepala tertunduk. Pria itu tidak berani mengangkat kepalanya setelah mendengar cemoohan dari Yeti. Sony bahkan sampai melayangkan tinjunya beberapa kali ke wajah kekasih adiknya itu.
"Aku akan mempertanggung jawabkan semuanya." Satu kalimat itu yang terus diulang-ulang Fikri. Ia tau kalau itu hanyalah sebuah kalimat sia-sia. Tapi, ia sengaja mengulang-ulangnya agar Sony mengira dirinya mau bertanggung jawab.
"Heh, kamu mau bertanggung jawab?!" Sony mengangkat paksa wajah Fikri. "Belum menikah saja kamu bertindak seperti ini. Bagaimana kalau adikku menikah dengan kamu? Sudah berapa wanita yang kamu perlakukan seperti ini, Fikri?" Menghempaskan dengan kasar wajah Fikri. "Kami tidak menyetujui hubungan kamu dengan Nana bukan karena status sosial seperti yang selalu kamu koar-koarkan di media sosial kamu." Sony menunjuk wajah Fikri dengan kesal. "Hah?!" membuang pandangannya dengan kesal. "Kamu itu laki-laki bejat, Fikri. Cukup sampai di sini kamu menyakiti adikku. Ke depannya, jangan pernah muncul lagi di hadapannya."
Fikri tersenyum sinis. "Terserah kalian. Anakku sudah ada dalam kandungan Nana. Kalau kalian menolak tanggung jawab yang aku tawarkan. Silahkan kalian rawat anak itu sendirian. Kalian tidak mungkin membunuh anak itu kan?" Kembali tersenyum sinis seraya membuang pandangannya. "Kalian itu termasuk keluarga yang taat beragama. Anak itu tidak berdosa. Semua itu terjadi karena kesalahan aku dan Nana." Fikri langsung pergi tanpa menghiraukan ekspresi orang-orang di ruangan itu.
Sony langsung beralih menatap adiknya begitu Fikri pergi. "Kamu lihat, Na. Begitukah sikap yang ditunjukkan seorang pria sejati. Itu adalah sifat asli laki-laki yang selalu kamu bela selama ini, Na." Sony mengusap wajahnya dengan kasar. "Buka mata kamu, Dek. Pria itu tidak mencintaimu dengan tulus. Dia masih bertahan di sisi kamu, karena kamu selalu memberikan apapun yang diinginkannya. Berapa uang yang kamu kirim untuknya setiap bulan. Itu melebihi gaji yang diterimanya setiap bulan.
Nana terisak dalam pelukan Yeti. "Lalu anak ini bagaimana, Kak?" Tanyanya tanpa sedikit pun berani menatap kakaknya.
Sony menghela nafas berat. "Aku juga nggak tau. Yang terpenting sekarang, berita ini tidak boleh sampai ke telinga papa. Kakak serahkan urusan ini padamu. Tapi, satu yang perlu kamu ingat, Na. Manusia itu punya akal. Hewan yang tidak punya akal saja tidak pernah membunuh daerah dagingnya. Kalau kamu merasa lebih baik daripada binatang, kamu tentu mengerti maksud Kakak." Sony menepuk-nepuk pundak Nana. "Oleh sebab itu, sebaiknya kamu tidak usah pulang tahun ini. Kamu diam di tempat ini sampai anak itu lahir."
Tidak ada yang bicara. Nana hanya mengangguk pasrah mendengar perintah kakaknya itu. Sony adalah kakaknya yang selalu mengurus dan memberikan perhatian khusus untuknya. Sedangkan Farhat, kakak tertuanya itu hanya memenuhi kebutuhan Nana di bidang materi. Karena dia adalah pimpinan tertinggi di PT milik orang tuanya.
***********
Hari terus berlalu...
Nana masih berharap Fikri akan datang dan minta maaf pada keluarganya. Ia tidak mengharapkan cinta pria itu lagi. Saat ini, rasa benci karena sikap Fikri lebih besar dari pada empatinya pada pria itu. Apalagi yang diharapkan tak kunjung datang. Harapan hanya tinggal harapan. Pria itu hilang lenyap bagai di telan bumi.
Malam itu, Nana memutuskan sebuah perkara besar dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk membiarkan janin dalam kandungannya tumbuh menjadi manusia. Ia tidak mau menjadi orang egois. Tidak ingin membunuh nyawa yang tidak berdosa karena kesalahannya.
Rumi masuk ke dalam kamar Nana saat Nana masih sibuk berperang dengan pikirannya. "Nak,"
"Eh," Nana mengangkat wajahnya seraya mengusap air matanya. "I.. Ibu .. sejak kapan berdiri di situ?"
Rumi tersenyum kecil seraya berjalan mendekat. "Baru saja. Ibu melihat kamu termenung, Itulah mengapa Ibu mendekat." Menepuk-nepuk pundak Nana. "Tidak usah dipikirkan terus, Nak. Jalani saja semuanya. Ini semua adalah pelajaran hidup. Ke depannya, kamu harus lebih berhati-hati."
Nana menarik nafas dalam. Tersenyum pada dirinya sendiri. "Aku yang terlalu bodoh, Bu." Menunduk dalam karena malu pada Rumi. Ibu Kostnya itu selalu menasehatinya setiap kali Fikri datang. Namun, dia yang terlalu dibutakan cinta dan tidak pernah menghiraukan semua ucapan Rumi. "Kedepannya, aku tidak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun, Bu. Aku tidak mau terjadi hal bodoh seperti sekarang."
Rumi memeluk tubuh Nana dengan lembut. "Maafkan Ibu, Nak."
"Kenapa Ibu yang minta maaf? Yang bersalah itu Nana, Bu."
"Tapi... tetap saja Ibu merasa bersalah karena gagal menjaga kamu."
"Ibu.." Nana memeluk erat tubuh Rumi.
"Tidak usah dibahas lagi, Nak." Rumi terus membelai kepala Nana dengan lembut. Beberapa tahun hidup bersama Nana membuatnya menyayanginya wanita itu seperti anaknya sendiri.
Nana menumpahkan rasa sesaknya di dada Rumi. Ia merasa lebih nyaman melakukan itu pada Rumi karena Ibu Kostnya itu selalu memintanya untuk terbuka padanya.
"Ibu.. bagaimana kalau keluargaku menolak kehadiran anak ini nanti?" Nana akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang menjadi beban pikirannya beberapa hari terakhir ini.
"Maksud kamu?" Rumi menatap Nana dengan heran.
"Mama dan Kak Sony melarang ku pulang setahun ini. Itu berarti, mereka tidak menginginkan aku pulang membawa anak ini."
Rumi terdiam beberapa saat. Mencoba memikirkan solusi untuk masalah ini. "Nak..." ucapnya akhirnya setelah lama terdiam. Menangkup wajah Nana dan menatapnya dengan dalam. "Menurut Ibu, sebaiknya kamu a***** saja. Perjalanan kamu masih panjang, Nak. Jika kamu menuruti saran dari Ibu, masalah akan selesai dan kamu tidak perlu lagi memikirkan masalah ini."
Nana mengerjap-ngerjap bingung. "M.. masalah ini memang selesai jika aku melakukan itu, Bu. Tapi, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah dalam waktu lama, Bu. Pasti datang masalah baru yang lebih besar."
"Kalau begitu, Ibu akan merawat anak itu untukmu."
Nana tersenyum sumringah mendengar jawaban Rumi. "Terimakasih, Bu."
"Tapi.."
Senyum Nana pudar saat mendengar kata tapi. "T.. tapi apa, Bu?"
"Ibu... Ibu tidak sanggup membiayai kebutuhan sehari-harinya nanti. Bukannya Ibu perhitungan atau apa, Nak. Tapi, Ibu saja makan dari belas kasihan orang tua kamu. Apalagi melihat saya hidup kamu yang di atas rata-rata."
"Kalau hal itu, Nana mengerti, Bu. Ibu mau merawatnya saja sudah menjadi sesuatu yang sangat istimewa untukku. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan Ibu ini."
Rumi hanya tersenyum kecil. Sebenarnya wanita itu berat melakukan hal ini. Namun, ia harus melakukannya karena permintaan Yeti. Nana adalah satu-satunya anak perempuan di keluarganya, sehingga tidak ada yang terlalu berani menekannya. "Sekarang istirahatlah agar kondisi kamu semakin membaik. Ibu lihat dari kemarin kamu terlalu lelah memikirkan banyak hal."
Nana mengangguk patuh. Ia bahkan langsung merebahkan tubuhnya saking bahagianya karena Rumi mau merawat anaknya nanti.
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!