Gelas-gelas koktail tampak bergetar hingga menumpahkan sebagian isinya ke nampan yang sedang dibawa Mazaya. Tangan wanita itu reflek bergetar ketika ekor matanya melihat sosok satu di antara sekian manusia yang dihindarinya.
Mati kau, Mazaya. Lelaki maniak itu melihatmu! rutuknya dalam hati.
Pria yang sedang dihindarinya itu adalah Gery, pelanggan penikmat jasanya yang kerapkali menawarkan pernikahan padanya. Entah apa yang dipikirkan pengusaha itu hingga berpikiran ingin mengentaskannya dari lembah hitam yang telah melebarkan sayapnya menjadi kupu-kupu malam terlaris.
"Menikahlah denganku dan jadilah wanitaku seutuhnya. Dengan begitu kau tak akan perlu menjual diri seperti ini." Itu kalimat yang seringkali terlontar oleh Gery setelah aktivitas panas mereka. Namun, berkali-kali juga Mazaya menolak tawaran itu.
Tiba-tiba terdengar suara benda pecah menggaung di udara disusul penampakan beling-beling berserakan. Meja tempat teronggoknya gelas-gelas koktail tampak berantakan dengan noda merah di sana-sini. Mazaya tanpa sengaja menabraknya. Tamat riwayatmu, Mazaya!
Mendadak suasana resepsi pernikahan itu menjadi sunyi senyap. Semua pasang mata fokus ke sumber suara. Kecuali Gery yang tiba-tiba didatangi sopirnya lalu meninggalkan tempat itu sebelum memastikan penglihatannya.
Tiba-tiba seorang wanita bersungut-sungut mendatangi Mazaya. "Pelayan bodoh! Rendahan!" bentaknya yang langsung memecah kesunyian yang sempat membungkus ballroom hotel mewah itu.
Mazaya yang sebelumnya menunduk lantas mengangkat pandangannya ke sumber suara. Namun, sesuatu tak disangka terhampar sejauh beberapa meter dari balik punggung wanita setengah tua yang sedang murka padanya.
Mendadak dunia Mazaya seperti berhenti saat itu juga. Suasana resepsi itu berganti menjadi suasana riuh kelab yang menampilkan dirinya dan pria yang gigih memenangkan lelang keperawanan dirinya. Tampak pria itu kian meninggikan harga saat penawar lain menyebutkan angka.
"300 juta!" Angka yang terucap itu akhirnya membawanya ke kamar kelab yang telah dipesankan ayah bangsat yang telah menyelenggarakan pelelangan konyol dan biadab. Melelang keperawanan putrinya demi meraup uang yang akan digunakannya menutup utang pada lawan judinya.
"Anda telah memenangkan lelang itu, maka la-lakukanlah a-apa yang Anda inginkan pada saya," ucap Mazaya kala itu dengan suara terbata sambil memandangi jemarinya yang saling bertautan. "Ta-tapi, bolehkah saya mengajukan permintaan?"
Pria yang duduk di kursi kayu sambil menyilangkan tangan di dada itu mengernyit sejenak lalu berkata, "Apa yang kau inginkan?"
"Be-begini, i-ibu saya sekarang dirawat di rumah sakit karena auto imunnya kambuh dan sa-saya memerlukan biaya," kata Mazaya masih tak menarik pandang dari jemarinya. Dihelanya napas panjang guna menghalau kegugupannya lalu melanjutkan, "Saya tidak menutup mata bahwa Anda telah membayar lelang pada Ayah, tetapi saya yakin dia takkan rela menggunakan uangnya untuk kesembuhan Ibu."
Itulah sebenarnya yang membawa langkah kaki Mazaya ke kelab itu. Menyusul sang ayah dan berniat mengabarkan bahwa ibunya dilarikan ke rumah sakit tiba-tiba. Namun, sialnya kedatangan Mazaya ke sana seolah dalam rangka melucuti harga dirinya dengan menyerahkan mahkota sucinya menjadi barang lelangan.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun pria itu merogoh saku dalam jasnya. Dikeluarkannya cek yang selalu dibawa dan ditulisnya nominal 100 juta. "Ini cukup untuk perawatan ibumu," ucapnya kemudian sambil menyodorkan selembar cek itu yang langsung diterima Mazaya.
Lalu dengan gestur dan nada gugup Mazaya berkata, "Ka-kalau begitu silakan lakukan apa y-yang seharusnya pemenang lelang lakukan."
Lelaki yang masih belum diketahui namanya oleh Mazaya itu menyahut, "Memangnya, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemenang lelang? Dengar, Nona Kecil, meskipun aku memenangkan atas keperawananmu, tetapi itu tak lantas menjadikanku serupa dengan para lelaki hidung belang yang tadi bersaing harga denganku."
Mendengar suara penuh ketenangan itu, Mazaya lantas memberanikan diri mengangkat wajah dan melihat si lawan bicara. Saat itulah baru disadarinya pria yang memenangkannya itu tak tampak seperti pria-pria brengsek maupun tampak seperti ayahnya. Sorot matanya memancarkan keteduhan selaras dengan suaranya yang seperti mengguyurkan air sejuk ke sekujur tubuhnya. Akhir penilaian Mazaya pada sosok pemenang itu adalah dia lelaki yang bermartabat.
Keheningan membingkai ruangan itu selama beberapa menit lamanya hingga terdengar suara petir menggelegar disusul rintik yang kemudian menjelma hujan deras. Mendadak suasana kamar pun menjadi sangat dingin. Semenit dua menit, dua manusia lain jenis itu tampak menguatkan keteguhan hati untuk tak menyerahkan diri pada nafsu birahi yang mulai menawarkan kehangatan di depan mata.
Namun, menggelegarnya petir kedua membuat tubuh Mazaya reflek melesat ke dalam pelukan si pria yang saat itu tengah berdiri dan akan meninggalkan kamar yang telah membuat suhu tubuhnya gerah meskipun di luar hujan lebat.
Pandangan mereka pun beradu. "Saya takut petir, jangan tinggalkan saya sendirian," ujar Mazaya yang menghantarkan sengatan yang beraliran lebih bahaya dari listrik ketika kulit mereka bersentuhan. Serta kian membangkitkan sisi primitif si pria. Kedua bibir itu saling menyentuh beberapa detik kemudian. Lidah mereka saling membelit dan menyapu rakus rongga mulut, meski Mazaya bergerak amatir sebab ini ciuman pertamanya. Hingga gairah semakin menguasai mereka.
Sang pria tak dapat menghalau gairah yang sudah merajai jiwanya. Dibawanya Mazaya ke ranjang dengan napas memburu.
"Aku semakin mengerti sekarang mengapa para pesaingku tadi mengajukan angka-angka fantastis," kata si pria yang sudah memerangkap Mazaya di bawahnya, memandanginya yang hanya berjarak sejengkal saja.
"Ke-kenapa?" Dada Mazaya tampak naik turun.
"Karena kau sangat cantik dan begitu ... menarik."
Entah itu pujian atau hinaan sebab angka yang disebutnya "fantastis" itu seolah merefleksikan diri menjadi sepotong bandrol harga yang ditempelkan pada wajah Mazaya. Dan entah mengapa justru desiran aneh yang merambati hati Mazaya ketika mendengarnya.
"Siapa namamu?"
"Mazaya."
Percakapan mereka terhenti, berganti kobaran api yang berkilat-kilat meneriakkan hasrat yang memohon dituntaskan. Dan si pria kembali mempertemukan bibirnya sebelum menyatukan raga menjemput kenikmatan tiada tara. Mereka tunduk dan memuja pada nafsu yang menggebu. Di tengah keringat yang mengucur dan sibuk mengatur ritme, pria itu berbisik, "Panggil aku Arkana dan sebut namaku ketika kau sampai ke nirwana."
Keesokannya, Mazaya meninggalkan Arkana sebelum kelopak mata yang dinaungi alis tebal itu terbuka.
"Heh! Pelayan rendahan! Rupanya kau tuli, ya?"
Bentakan wanita bersanggul itu serupa mantra pengembali jiwa yang telah berkelana ke kehidupan sebelumnya. Mazaya merasakan tubuhnya terhempas saat itu juga. Dan ketika matanya kembali berfokus menyusuri sosok Arka dari wajah turun ke bawah, ketika itu pula kakinya bagaikan tak memijak bumi yang sama dengan Arkana. Pemandangan Arkana yang tampak gagah dengan tuksedo pengantin seakan menghentikan detak jantungnya beberapa detik sebelum akhirnya sanggup menguasai diri.
"Siapa wanita yang beruntung menjadi mempelaimu?"
Suara tamparan dan rasa pedih di pipi membuat jiwa Mazaya kian menyentuh kesadaran penuh.
"Jangan salahkan aku karena telah menamparmu. Karena untuk berbicara dengan orang tuli butuh sedikit sentuhan keras."
Kepalanya meneleng ke samping, Mazaya menyentuhkan telapaknya pada pipinya yang panas. Hingga tak menyadari derap langkah sepatu yang mendekat kepadanya.
"Ma-Mazaya?"
Gendang telinga Mazaya mengenal dan merespons baik suara yang masih berkhasiat menenangkan itu. Rasa ketakutan sebab kekacauan yang diciptakannya dan panas yang menjalari pipinya sirna karena suara menenangkan itu.
Kedua pasang mata sekarang bertemu. "Mazaya, i-ini benar kau?" Arkana membingkai wajah Mazaya dengan kedua telapaknya dengan sorot mata kerinduan. Lalu didekapnya Mazaya ke pelukannya. Tanpa menghiraukan berpasang-pasang mata yang melemparkan tatapan penuh tanda tanya.
"Ya Tuhan! Aku mencarimu sampai putus asa! Ke mana saja kau, Mazaya?" Arkana mengeratkan pelukannya dan Mazaya merasakan lidahnya seperti diikat benang kuat. Sementara dadanya dipenuhi kegaduhan.
"Arkana! Apa-apaan ini?" Wanita bersanggul yang masih diliputi amarah semakin meluapkan kebencian pada sosok yang dipeluk Arkana. Ditariknya dengan kasar lengan putranya itu. "Kau akan membuatku menjadi bahan gunjingan di meja arisan, Arkana!" geram ibunya dalam hati.
"Dia Mazaya. Wanita yang aku cintai, Ma. Yang berkali-kali aku coba ceritakan padamu dan kau tak pernah ingin mendengarkanku." Arkana menghadap ibunya dengan sorot mata menegaskan.
"Terlambat! Kau sudah menikah, Arkana, kuingatkan jika kau lupa!" Nyonya Abraham berkata sembari menyisir pandangan pada tamu undangan yang memandangi mereka seolah menonton sebuah teater yang sangat seru.
"Sayang, ada masalah?" Wanita bergaun putih gading dengan ekor gaun yang menyapu karpet ketika mempelai wanita itu berjalan--mendatanginya setelah melewati para tamu yang mematung. Hanya mata mereka yang aktif bekerja, menonton pertunjukan drama seri keluarga.
"Tidak ada, Sayang. Hanya ada masalah sepele dari pengacau berprofesi pelayan rendahan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan."
Bukan Arkana yang menjawab, tetapi Nyonya Abraham dengan senyum yang dibuat semanis gulali. Tak akan dia biarkan putranya itu melepas angsa hanya demi burung puyuh. Baginya, Kaira adalah menantu idaman yang dapat dipamerkan kepada teman-teman arisan. Memiliki menantu dari status sosial sepadan dan berpendidikan tinggi, siapa yang akan berani mencemoohnya di meja arisan? Yang ada justru akan diserbu kalimat pujian dan membuat semua teman iri padanya.
"Kaira, dia Mazaya. Wanita yang namanya terus kau sangkal ketika aku membahasnya tiap menolak menikahimu." Arkana menarik lengan Mazaya yang sedari tadi menunduk.
"Arkana, oh, ayolah, jangan bercanda di situasi seperti ini. Lihat! Bahkan tamu undangan masih memenuhi ballroom ini dan kau ... menghiburku dengan menggelar teater komedi ini di depanku?"
"Aku sedang tidak bercanda, Kaira. Segera aku akan menceraikanmu karena memang dari awal aku tak menghendaki pernikahan ini!"
Nyonya Abraham mendadak merasakan sanggulnya menjadi berlipat-lipat lebih berat karena ucapan Arkana. Dipijitnya pelipisnya sambil memikirkan jalan keluar. Jika sudah begini, dapat dipastikan putranya itu bisa berbuat nekat. Tak menutup kemungkinan meninggalkan resepsi yang masih berlangsung ini dengan menggandeng wanita pengacau itu.
Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan. Di mana dia akan menyembunyikan mukanya bila itu benar terjadi, dan sudah pasti teman-teman arisannya yang super julid itu tak menyia-nyiakan kesempatan menjadikannya topik gunjingan ketika berkumpul. Maka dia membujuk sang putra dengan mengatakan, "Arkana, tenangkan dirimu, Nak. Masalah ini bisa dibicarakan baik-baik di rumah. Dalam keadaan tenang dan kepala dingin."
"Baiklah. Kali ini aku sepakat denganmu, Ma. Dan aku ingin membawa Mazaya ke rumah. Dengan atau tanpa persetujuan semua orang."
"Tidak! Aku menolak itu!" Kaira menggeram tak terima. Mengabaikan dengungan suara yang saling berbisik. Ingin sekali dia menyapu bersih orang-orang di ballroom ini hingga tinggal dirinya dan wanita pengacau mimpi indahnya itu lantas meremas si wanita pengacau seperti kertas.
"Sudah kukatakan aku tak butuh persetujuan siapa pun. Aku akan membawa Mazaya ke rumah. Mempersiapkannya sebagai calon istriku," ucap Arkana sembari bertukar pandang dengan Mazaya dan meremas jemari wanita yang lama dicarinya itu.
"Sayang, kendalikan dirimu. Ada baiknya kita melunak sebentar," bisik Nyonya Abraham ketika Kaira akan melontarkan protesnya.
"Baik, aku tidak akan menghalangimu membawa pelayan rendahan itu ke rumah kita."
"Ma ...." Kaira kukuh tak terima.
Namun, sekali lagi ibu mertuanya itu membisikkan kalimat menenangkan padanya, "Aku tidak sepenuhnya menerimanya, Sayang. Kupastikan dia sama saja menapaki jembatan neraka ketika menginjak kediaman Mahesh. Itu janjiku pada menantu kesayangan Mama."
"Arkana, aku sudah menyetujuimu. Maka tolong ... sekarang kau gandeng tangan istrimu menuju kursi pelaminan," perintah Nyonya Abraham sembari mengarahkan dagunya pada tempat yang dibingkai mawar artifisial putih dan peach.
Dengan berat hati Arkana menganggukkan kepala. Sebelum menggandeng Kaira, digenggamnya dengan erat tangan Mazaya sambil berkata, "Aku tidak akan membiarkanmu jauh dariku lagi."
Kaira memutar bola matanya sambil memendam amarah melihat itu. Kau salah menjadikanku sebagai saingan, Bocah!
Kehadiran Mazaya benar-benar membuat tatanan kehidupan Kaira tak lagi berjalan sistematis. Kamar suite room yang digadang-gadang menjadi saksi bisu malam pengantinnya kini tinggal khayalan belaka. Arkana mengingatnya ini sebagai malam pengantinnya saja merupakan suatu keajaiban. Namun, tampaknya yang ada di benak suaminya itu sekarang hanya Mazaya, Mazaya, dan Mazaya.
Kaira menatap sengit pintu ruangan yang mengurung Arkana dan Mazaya di dalamnya. "Awas kau bocah tengil!"
Di dalam sana keheningan masih setia menyelimuti dalam waktu tujuh menit lamanya. Pikiran Arkana sibuk merangkai kata yang akan diucapkannya pada Mazaya dan tak menemukan kalimat yang pas. Entah ke mana perginya hasrat menggebu dan percaya diri saat di ballroom tadi ketika dengan tegas memperjuangkan Mazaya. Nyatanya, berduaan lagi dengan Mazaya mendadak membuat lidahnya kelu. Dia rindu, tetapi bagaimana cara mengungkapkannya.
Hingga Arkana tak dapat lagi membendung rindunya. Maka direngkuhnya Mazaya ke pelukannya. "Mazaya, aku sangat merindukanmu. Entah berapa juta kali lidah ini bergerak atas namamu. Kucari-cari kau ke tiap sudut kota, tapi kau seperti lenyap dari peradaban. Sebenarnya, ke mana saja kau, Mazaya?"
Mazaya merapatkan kelopaknya meresapi ketenangan yang disalurkan dari tubuh pria yang bertahun-tahun hanya dapat ditemuinya di alam mimpi. Hingga tersadar sesuatu lantas mendorong dada yang menenggelamkan tubuhnya itu. "Maaf. Jaga jarak Anda dari saya. Saya merasa bersalah melihat cincin yang melingkari jari manis Anda," kata Mazaya sembari memandang cincin bertakhta berlian itu.
Arkana melepas cincin itu. "Ini ya?" tanyanya sembari menunjukkan cincin itu di depan Mazaya. Namun, kemudian melemparnya hingga terbentur dinding lalu menggelinding entah ke mana. Mazaya pun tercengang melihatnya.
"Pernikahan ini tak berarti apa pun bagiku, Mazaya, asal kau tahu," ucap Arkana dingin dan baru kali ini Mazaya merasa tak nyaman mendengar suara itu.
Namun, suara itu tak terdengar dingin ketika berucap, "Kau harus tahu, semenjak malam itu aku tak bisa mengenyahkanmu dari pikiranku. Rasa bersalah dan rindu bersatu mengaduk-aduk hatiku, Mazaya."
"Anda tidak perlu merasa bersalah. Anda memiliki wewenang melakukan itu karena 300 juta ditambah 100 juta yang saya terima."
"Lalu bagaimana dengan perasaanku, dengan hari-hariku yang selalu memikirkanmu, dan dengan keseluruhan diriku yang kau curi, Mazaya?" Arkana menatap intens Mazaya yang tertunduk. "Bagaimana kau akan bertanggung jawab dengan semua itu?"
"A-apa maksud Anda?" Mazaya mengangkat kepalanya.
"Inti diriku tidak merespons sentuhan lain selain dirimu. Dia hanya memuja dan bertekuk lutut padamu, Mazaya."
"Ba-bagaimana bisa?" Mazaya sedikit terbata. "Anda pasti sedang bicara ngawur."
Arkana tertawa ringan. "Haha lihatlah! Orang yang bertanggung jawab dengan kondisiku mengataiku ngawur," ujarnya. "Sayangnya aku tidak sedang menebar omong kosong, Mazaya. Apa perlu kupanggilkan dokterku ke sini supaya kau mendapat penjelasan medis?"
Mazaya bingung harus membalas dengan kalimat apa, jadi dia hanya diam sambil memandang Arkana. Sambil berpikir, entah harus berbangga diri atau justru merasa bersalah sebab berbeda dengan Arkana yang jika perkataan lelaki itu adalah fakta, maka betapa kejinya dia yang justru menjajakan dirinya. Sementara Arkana tersiksa dengan kondisinya, dan bisa dikatakan lelaki itu setia padanya.
"Atau, kau ingin bukti yang lain?" Arkana menyentuhkan telapak tangan Mazaya ke celana yang tampak menyembul. "Sedari tadi di ballroom ketika melihatmu, dia mulai berdiri."
"Apa-apaan ini? Tolong, jaga batasan Anda." Mazaya langsung menarik tangannya, mengabaikan inti dirinya yang juga berdenyut mendamba sentuhan Arkana.
"Menikahlah denganku, Mazaya."
Mazaya merasakan hatinya terenyuh dan ingin memberitahu Arkana bahwa dia pun memiliki perasaan yang sama. Rindu yang menggebu hingga kerapkali bermimpi bertemu lagi dengannya. Namun, tampaknya sekarang Mazaya baru menyadari satu hal: jurang pemisah cinta mereka terlalu curam, banyak rintangan di dalamnya. Dan dia merasa sangat ... kerdil nan hina.
Maka lidah Mazaya mengkhianati hatinya dengan berkata, "Maaf, tapi saya tidak ingin dikatakan Cinderella yang mendambakan seorang pangeran." Terlebih, masa laluku yang kelam seakan bermanifestasi menjadi lampu merah yang memberi aba-aba berhenti. Berhenti memupuk perasaan ini dan menghapus keseluruhan kenangan malam itu.
"Persetan dengan status sosial, Mazaya. Yang aku inginkan hanya kau!"
"Saya moh--"
Ucapan Mazaya terhenti sebab pintu kayu digedor brutal dari luar. Bersamaan dengan suara yang berteriak lantang, "Arkana! Sejak kapan kau menjadi brengsek begini? Keluar, Arkana! Bawa perempuan tak tahu diri itu ke sini! Kita tuntaskan masalah ini sekarang!"
Arkana mendengkus kasar. Ditariknya dengan pelan lengan Mazaya lalu digenggamnya jemari perempuan sembilan tahun lebih muda darinya itu. "Kau harus bertanggung jawab," ucapnya lalu membawa Mazaya keluar menemui ibunya yang masih terdengar kegeramannya.
"Haa ini dia! Bocah tak tahu diri!" Nyonya Abraham langsung menyerang Mazaya ketika pintu terbuka.
Namun, itu cuma sebentar sebab Arkana segera menahan tangannya yang akan menarik rambut Mazaya. Sementara Mazaya direngkuhnya hingga merapat ke tubuhnya. "Aku takkan membiarkanmu berbuat semena-mena dengan calon menantumu, Ma."
Wanita berkacamata itu memandang nyalang putranya. "Menantu? Cih! Perempuan rendahan seperti dia berkhayal tinggi menjadi menantu di kediaman Mahesh? Leluconmu malam ini terlalu menggelikan, Nak."
"Aku serius, Ma. Satu bulan ini cukup buatku mengurus segala sesuatunya, dan kau ..." Sekarang pandangannya mengarah pada Kaira yang berdiri tak jauh dari ibunya.
"Bukan maksudku membuatmu malu dengan status janda yang sebentar lagi kau sandang. Tetapi, bukankah aku sudah memperingatkanmu sebelumnya bahwa aku bisa saja sewaktu-waktu menceraikanmu karena sedikit pun tak ada cintaku buatmu. Dan kau? Apa yang kau katakan waktu itu? Kau bilang 'aku terima segala konsekuensinya. Pokoknya kau harus menikahiku dulu'. Nah, Nona Kaira Anastasia, sekarang jangan katakan bahwa aku tak pernah memperingatkanmu."
Selama mendengarkan Arkana berbicara panjang, Kaira memaksimalkan kerja otaknya. Hingga ketika Arkana menyelesaikan kalimatnya, dia berkata dengan penuh pertimbangan, "Aku bersedia menjadi bintang keduamu."
Arkana mengernyit. "Apa yang ingin kau coba katakan?"
"Karena kau sudah menemukan cintamu, maka aku tidak keberatan kau bersatu dengan cintamu itu. Sederhananya, aku rela dimadu."
"Kaira!" Nyonya Abraham melemparkan tatapan peringatan. Apa-apaan ini. Dia sudah gila? Dan apa, sederhana katanya? Dia beneran gila!
"Ma, sudahlah. Sepertinya kita bisa mulai menerima keputusan Arkana. Dan ya, ini konsekuensi yang harus kuambil ketika memaksakan pernikahan pada seseorang yang tidak mencintaiku," ujar Kaira dengan menampilkan tatapan sendu pada sang ibu mertua.
Mazaya yang sedari tadi merapatkan wajahnya pada Arkana menjadi penasaran dengan sosok yang terdengar berhati malaikat itu. Meskipun tadi di ballroom sempat melihatnya, tapi Mazaya tak memperhatikan dengan seksama.
"Aku tidak berniat menduakan cintaku. Hanya akan ada satu bintang dalam pernikahanku."
"Arkana! Jadi bajingan sekalian saja kau, Nak! Ya Tuhan, apa salahku sampai di usiaku yang semakin senja ini putra yang kubesarkan dengan limpahan kasih sayang melempari wajahku dengan kotoran sapi. Akan kusembunyikan ke mana wajah hinaku ini jika tersiar kabar 'Arkana putra kebanggaan Nyonya Abraham menikah lagi tak berselang lama setelah resepsi pernikahan pertama'."
Arkana memandang datar ibunya yang bagaikan ratu drama itu. Dipandanginya lekat-lekat sambil mengikrarkan tekad kali ini upaya wanita itu takkan menghentikannya. Dia akan tetap menceraikan Kaira dan menikahi Mazaya.
Apa yang dijanjikan Arkana malam itu terwujud. Bahkan belum genap satu bulan pernikahannya dengan Mazaya sukses dilangsungkan dan sekarang adalah malam pengantin mereka. Meski tak semeriah pernikahan pertamanya, tetapi cukup memastikan bahwa sekarang koleganya tahu Mazaya bukan perempuan simpanannya. Itu prioritasnya. Dia takkan mengampuni siapa pun yang memandang rendah Mazaya.
"Mazaya." Arkana mempertemukan pandangan mereka dengan menjepitkan ibu jari dan telunjuknya di dagu istrinya itu. "Kau tetap malu-malu meskipun ini bukan malam pertama kita, ya."
Hening sejenak lalu Mazaya berkata, "Mengapa Anda bersikeras menikahi saya? Tidakkah Anda takut salah mengambil keputusan dan menyesalinya suatu saat nanti?"
"Penyesalan apa yang akan diterima lelaki yang menikahi wanita pujaannya, Mazaya? Yang akan diterimanya hanyalah kebahagiaan," jawab Arkana sembari memandanginya lekat-lekat. Istrinya itu malam ini berjuta-juta kali lebih cantik. Dan Mazaya tampak pasrah, tak melontarkan apa pun lagi pada sang suami.
Ketika Arkana mempertemukan bibir mereka dan akan mengulang lagi petualangan cinta mereka ke nirwana, Mazaya tampak tak nyaman. Tiba-tiba didorongnya Arkana yang tadi tak berjarak darinya. Mazaya bangkit dan bergerak resah, menggaruk-garuk leher, tengkuk, ketiak dan sekarang sekujur tubuhnya.
"Mazaya, ada apa?" Arkana mengernyit dan tampak cemas.
"Tubuh saya mendadak seperti diserbu ribuan semut. Sangat gatal." Mazaya menjawab tanpa menoleh lawan bicara, sibuk menggaruk-garuk sekujur tubuhnya yang gatal.
"Berhenti, Mazaya. Kukumu justru memperparah keadaanmu. Lihat, lecet-lecet. Ini meninggalkan rasa perih, 'kan?" ujar Arkana sambil menahan tangan istrinya. "Biar aku carikan obat di apotek."
"Ja-jangan! Jangan tinggalkan saya sendirian di sini." Mazaya menahan lengan Arkana yang sudah akan pergi. Mazaya masih phobia petir dan dia was-was sebab di luar sedang hujan. Bayangan petir menggelegar melayang-layang di benaknya.
Arkana menghempas lagi ke ranjang. "Baiklah, aku akan menyuruh Rayyan membelikannya," ucapnya sambil melarikan jemarinya ke layar ponsel dan Mazaya mengangguk sambil bergerak resah, tak nyaman dan rasanya ingin terus menggaruk kulitnya dengan ritme cepat.
"Coba ingat-ingat, Mazaya, apa yang kau makan seharian ini? Mungkin itu pemicu gatal-gatal ini menyerangmu."
Seingatnya, makanan yang dimakannya sama seperti yang dikonsumsi Arkana dan suaminya itu sekarang baik-baik saja.
"Atau ... apa mungkin karena pakaian yang kau kenakan ini? Apa kau memiliki alergi bahan kain tertentu?"
Mendengar itu, baru terlintas di benak Mazaya. Mungkinkah ... ini karena ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!