Senyuman bahagia merekah di wajah wanita paruh baya bernama Sumi. Hari ini, hidupnya terasa sangat sempurna bisa menyaksikan pernikahan putri kesayangannya, Syahnaz Wardani. Ia merasa lega telah berhasil mendampingi putrinya hingga menyerahkannya kepada lelaki yang dianggap tepat. Sepenuhnya, ia berharap Aditya bisa membuat kehidupan putrinya bahagia. Tidak ada kebahagiaan terbesar orang tua selain melihat anaknya bahagia.
Pesta pernikahan antara Syahnaz dan Aditya berlangsung secara sederhana, hanya dihadiri tetangga dekat dan petugas dari KUA setempat. Tidak ada pihak keluarga yang hadir karena keduanya memang pendatang di kota itu. Aditya yatim piatu, sementara Syahnaz anak yatim. Hanya Sumi yang kini menjadi orang tua mereka.
“Selamat atas pernikahan kalian ya, Nak. Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian,” begitu doa yang terurai dari bibir Sumi yang sedikit gemetar menahan rasa haru.
Syahnaz memeluk ibunya. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. “Ibu, terima kasih untuk restumu,” ucapnya sembari menahan isak tangis.
“Ibu, terima kasih sudah menerima saya sebagai menantu,” ucap Aditnya.
Sumi memberi isyarat agar Aditnya mendekat. Ketiganya berpelukan dengan penuh keharuan.
Sumi bahagia memiliki menantu seperti Aditnya. Orangnya sopan dan penampilannya selalu rapi. Apalagi Aditya bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan besar, ia yakin menantunya itu mampu membuat anaknya bahagia.
Prang! Brak!
Terdengar suara gaduh dari arah luar. Pintu ditendang kasar hingga terbuka paksa, membuat mereka bertiga terkejut.
Terlihat sekelompok pria berbadan besar dengan penampilan sangar seperti layaknya preman. Raut wajah mereka menunjukkan kemarahan. Tanpa permisi, mereka memaksa masuk ke dalam mengacaukan semuanya.
“Hah! Acara pernikahan? Ditagih bayar hutang katanya tidak punya uang tapi bisa mengadakan pesta pernikahan,” ucap salah seorang dari mereka yang berambut gondrong dengan tato ular di lengan kanannya.
“Ibu, ini kenapa? Apa ibu punya hutang?” tanya Syahnaz kebingungan. Ia sama sekali tidak tahu apa alasan orang-orang itu datang ke sana.
Sumi menggeleng. Ia juga merasa bingung dan ketakutan. “Tidak, Ibu tidak pernah berhutang.”
“Mas, bagaimana ini?” tanya Syahnaz. Ia berpelukan dengan ibunya saking ketakutan.
Aditya terlihat panik, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak menyangka bahwa preman-preman itu akan menyusulnya di sana.
“Aditya, bayar hutangmu!” pinta preman itu dengan nada membentak.
Keringat dingin keluar membasahi wajah Aditnya. “I … iya, Bang! Sabar. Beri aku waktu untuk melunasinya,” katanya dengan penuh harap.
Syahnaz terkejut mengetahui suaminya yang memiliki masalah dengan preman-preman itu. Terlihat Aditnya yang menatapnya dengan sendu seakan merasa menyesal dengan kejadian itu.
“Halah! Kamu itu bisanya cuma janji-janji! Bosan kami mendengar bualanmu!” bentak sang preman.
Tubuh Aditnya diseret dan dibanting ke lantai. Beberapa orang menendanginya tanpa belas kasihan. Sementara, Syahnaz dan Sumi hanya bisa berteriak ketakutan di pojokan. Kelakuan preman-preman itu sangat mengerikan. Selain memukuli Aditya, juga menghancurkan apa saja yang ada di sana.
“Ampun, Bang … Ampun …,” rintih Aditnya menahan rasa sakit dari pukulan dan tendangan yang diterimanya.
Pimpinan preman itu mendekati Aditnya, berendahkan tubuh seraya mencengkeram kerah baju Aditnya. Tatapannya begitu tajam seakan ingin menghabisi Aditya. Wajah Aditya sudah babak belur penuh luka dan memar.
“Hutangmu itu 300 juta. Mau bagaimana kamu melunasinya? Mau jual ginjal?” tanya preman itu.
“Beri aku waktu sedikit saja, Bang. Aku pasti akan melunasinya,” kata Aditya dengan napas terengah-engah.
“Kamu sudah mangkir selama 6 bulan untuk membayarnya. Bagaimana kalau aku beri waktu tiga hari, apa kamu sanggup melunasinya?” tanya sang preman.
Aditya terdiam. Ia sama sekali tidak ada kemampuan untuk menutupi hutangnya sendiri. Ia menyesal sudah terjerat judi online hingga memiliki hutang yang cukup besar.
“Bagaimana kalau kami ambil saja rumah ini? Sepertinya nilai jualnya juga lumayan untuk melunasi hutangmu,” kata sang preman sembari melihat-lihat sekeliling rumah itu.
“Rumah ini tidak ada hubungannya dengan Aditnya! Ini rumahku!” teriak Sumi. Ia tidak terima rumahnya diambil. Ia bahkan tidak tahu menahu tentang hutang yang ditanggung oleh Aditya.
Syahnaz berusaha menenangkan ibunya. Preman-preman itu sangat menyeramkan. Tapi, ibunya tetap mau melawan mereka demi mempertahankan rumah peninggalan suaminya itu.
“Pergi kalian semua! Pergi dari rumahku!” usir Sumi.
“Heh! Ibu tua! Menantumu ini punya hutang pada kami. Dia tidak bisa membayar. Jadi, kami akan mengambil paksa rumah ini. Kalian yang secepatnya keluar dari sini!”
Preman yang sejak tadi menghajar Aditnya mengalihkan perhatian kepada Sumi. Ia tampak marah dengan sikap melawan yang Sumi tunjukkan.
“Rumah ini tidak ada hubungannya dengan Aditnya! Pergi kalian!” Sumi marah-marah sambal memukuli preman itu.
Sang preman terlihat habis kesabaran. Ia menarik tangan Sumi dan mendorongnya dengan keras hingga membentur tembok.
“Ibu ….”
Syahnaz berteriak histeris. Ia berlari mendekati ibunya yang sudah tidak sadarkan diri dan berlumuran darah. Ia menangis tersedu-sedu sembari memeluk ibunya.
“Bos, kayaknya kita harus pergi sekarang sebelum warga datang,” bisik salah satu anak buah preman itu.
Sang bos preman kembali menatap tajam ke arah Aditya. “Pokoknya sediakan uang itu dalam waktu tiga hari. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya. Awas kalau tidak, aku akan membunuhmu!” ancamnya.
Rombongan preman itu akhirnya pergi meninggalkan kediaman keluarga Syahnaz. Tak berselang lama setelah mereka pergi, warga berdatangan. Mereka terlihat kaget dengan kondisi di rumah yang berantakan itu. Kondisi Aditya yang terluka dan Ibu Sumi yang pingsan.
Mereka akhirnya membawa Aditya dan Sumi ke rumah sakit. Aditya hanya mendapat pengobatan luar, sementara Sumi harus ditangani secara intensif di ruang IGD.
“Pihak keluarga Ibu Sumi mana?” tanya Dokter Rafa.
Syahnaz bangkit dari duduknya dan mendekat, disusul kemudian oleh Aditnya.
“Saya anaknya, Dok. Bagaimana kondisi ibu saya?” tanya Syahnaz dengan raut wajah yang lesu.
Ia tidak pernah menyangka hari pernikahannya berubah menjadi malapetaka. Bahkan ia datang ke rumah sakit masih lengkap dengan riasan dan baju pengantinnya.
Dokter Rafa terlihat tak tega untuk menyampaikannya. “Ibu Anda ternyata mengalami kebocoran jantung.”
“Apa? Itu tidak mungkin, Dok!” tepis Syahnaz. “Selama ini Ibu tidak pernah mengeluh sakit apapun. Mungkin diagnosis Dokter salah.”
“Ini bisa saja ada kaitannya dengan syok atau trauma yang dialami sehingga memunculkan penyakit tersebut. Memang stadiumnya masih tergolong ringan, jadi lebih baik ditangani secepat mungkin. Ibu Anda membutuhkan operasi,” kata Dokter.
Seketika Syahnaz merasa kepalanya pusing. Ia hampir limbung, untung saja Aditya menahan tubuhnya dari belakang.
“Lakukan apa saja, Dok, untuk menyelamatkan ibu saya,” kata Syahnaz pasrah.
“Kalian bisa memikirkannya kembali, mengingat biaya yang dibutuhkan cukup besar. Kalau memang siap, kalian bisa mendaftarkan operasi ke bagian administrasi.”
“Berapa biaya yang dibutuhkan, Dok?”
“Saya tidak tahu pastinya. Mungkin berkisar 200 sampai 300 juta.”
Mendengar perkataan dokter semakin membuat Syahnaz tak berdaya. Ia benar-benar merasa hidupnya dipenuhi kemalangan yang bertubi-tubi. Anak mana yang tidak sedih ketika mengetahui orang tuanya sakit?
Syahnaz dan Aditya duduk di lantai bersandar pada dinding ruangan IGD. Musibah yang baru saja menimpa mereka benar-benar membuat keduanya tidak bisa berpikir lagi. Hari bahagia pernikahan yang dinanti-nantikan malah berujung duka yang mendalam.
Mereka seharusnya menikmati malam pengantin yang indah di dalam kamar yang sudah dihias dengan taburan bunga. Sayangnya, mereka harus melewati malam ini di depan ruang IGD rumah sakit.
“Mas, kok kamu nggak pernah bilang punya hutang sebanyak itu,” keluh Syahnaz dengan hatinya yang tersayat. Ia benar-benar merasa putus asa.
“Maafkan aku, Naz. Aku kira bisa mengatasinya sendiri tanpa melibatkanmu. Aku benar-benar minta maaf.” Aditya terlihat pasrah.
“Hutang sebanyak itu buat apa sih, Mas? Kok bisa kamu pinjam sama rentenir.” Syahnaz sangat kecewa dengan suaminya. Selama mereka pacaran, semua kelihatan baik-baik saja. Bahkan Aditya menunjukkan sisi tanggung jawab dan kemampuan finansial yang baik hingga akhirnya ia menerima lamaran lelaki itu.
“Aku butuh uang itu untuk bisnis, niatnya biar kita bisa kelola bareng setelah menikah. Tapi aku malah ditipu orang.” Aditya mencari-cari alasan agar bisa dimaafkan oleh Syahnaz.
“Untuk membiayai kuliahmu, aku juga sebenarnya memakai uang hutang itu,” imbuh Aditya.
Penjelasan dari lelaki itu cukup membuat Syahnaz ikut menyalahkan dirinya. Syahnaz mengusap kasar wajahnya. Ia begitu tertekan dengan masalah yang kini dihadapi.
“Seharusnya kamu diskusi dulu, Mas. Kalau sudah begini aku jadi bingung,” kata Syahnaz.
Aditya menarik lengan Syahnaz dan memeluk wanita itu. “Maafkan aku, ya! Aku sudah membuat kamu kecewa.”
Syahnaz menyandarkan kepala pada bahu Aditya. “Ya sudah, mas. Mau bagaimana lagi, semua juga sudah terjadi,” ucapnya pasrah.
“Sekarang kita tinggal memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang untuk melunasi hutangmu dan juga biaya operasi ibu,” sambungnya.
“Naz, aku ada solusi!” kata Aditya dengan semangat.
Lelaki itu seperti baru saja mendapatkan ide di otaknya. Matanya tampak berbinar meyakinkan kepada Syahnaz bahwa ia benar-benar memiliki solusi untuk permasalahan yang tengah mereka hadapi.
“Apa itu?” tanya Syahnaz. Ia sudah tidak berharap banyak bisa mendapatkan uang ratusan juta dalam waktu yang singkat. Ia tahu itu adalah hal yang hampir mustahil. Sementara, dokter masih menunggu keputusannya untuk menyetujui rencana operasi yang disarankan.
“Aku harap kamu jangan salah sangka dulu, ya. Aku mengatakan ini memang tujuannya demi kebaikan bersama,” kata Aditya sembari menatap dalam-dalam mata Syahnaz.
Syahnaz menganggukkan kepala.
“Aku pernah mendengar pembicaraan bosku, Pak Regi, dengan temannya. Mereka bilang sedang mencari seorang wanita yang sehat untuk bisa melahirkan anak teman Pak Regi itu. Jadi, bagaimana kalau aku mengajukan dirimu?”
Syahnaz membelalakkan mata. Ia menepis tangan Aditya darinya. Ia tahu kemana arah pembahasan itu. Ia bangkit dari tempatnya dan berjalan menjauh menuju ke area taman rumah sakit.
“Naz, tunggu dulu!”
Aditya mengejar Syahnaz. Ia menahan tangan wanita itu. Syahnaz menepisnya, seoah tidak sudi untuk dipegang-pegang oleh lelaki itu. Ia tidak menyangka suaminya bisa memiliki pemikiran segila itu terhadap istrinya sendiri.
Mata Syahnaz terlihat merah. Ia sungguh menahan kekesalannya. “Maksudmu, kamu ingin aku jadi pel acur? Kamu sadar nggak, aku ini istrimu!” Syahnaz berkata setengah berteriak.
Aditya langsung menutup mulut Syahnaz agar mereka tidak menjadi pusat perhatian. “Aku bilang tenang dulu, kita bicara baik-baik,” rayunya.
“Kamu ini sudah gila apa bagaimana, Mas? Kita baru saja menikah kamu sudah memberikan ide di luar nalar seperti itu!”
Syahnaz menangis terisak. Dadanya terasa sesak. Aditya memeluknya berusaha untuk menenangkan.
“Asal kamu tahu, ini juga sangat berat untukku. Aku sangat mencintaimu, Naz. Kita sama-sama punya mimpi untuk memiliki keluarga kecil yang bahagia. Tapi, keadaannya seperti ini. Ibumu sedang sakit, butuh banyak biaya operasi. Aku juga, kalau tiga hari ini tidak bisa melunasi hutang, mereka bisa saja membunuhku. Aku pasti akan mati.”
Mendengar ucapan Aditya membuat emosi Syahnaz sedikit mereda. Ia memang tengah dihadapkan dengan realita yang sulit. Pihak rumah sakit masih menunggu keputusannya untuk tindakan operasi.
“Kalau ada cara selain ini, pasti sudah aku lakukan, Naz. Apalagi untuk merelakanmu kepada lelaki lain, kamu tahu kalau itu sangat berat untukku. Ini satu-satunya cara yang bisa kita pilih, Naz. Mereka rela memberikan banyak uang jika ada yang mau melakukannya.”
Aditya terus berusaha meyakinkan Syahnaz. Ia menyelipkan helaian rambut istrinya ke belakang telinga. Dengan lembut ia mengusap air mata yang mengalir di pipi Syahnaz.
“Aku rasa ini tidak akan berat untukmu. Kamu hanya perlu bertahan selama satu tahun sampai kamu melahirkan anak untuknya. Setelah itu, kita akan bersama lagi. Nanti, biar aku yang akan mengurus ibumu dengan baik, kamu jangan khawatir.”
Ucapan Aditya terdengar begitu meyakinkan. Syahnaz yang tidak bisa memikirkan cara lain, mulai terpancing untuk mengikuti ide gila suaminya.
“Apa kamu tidak akan jijik padaku, Mas?” tanya Syahnaz dengan mata berkaca-kaca.
Aditya mengerutkan dahinya.
“Kamu menyuruhku untuk melayani lelaki lain, aku harus tidur dengannya dan melahirkan anak untuknya. Apa kamu tidak jijik membayangkannya? Aku sendiri rasanya …”
Syahnaz tak bisa melanjutkan kata-katanya. Buliran air mata kembali menetes di pipinya.
Aditya meraih kedua tangan sang istri dan menciumnya dengan lembut. “Sayang, mana mungkin aku akan menganggapmu seperti itu, sementara kamu melakukannya demi keluarga kita. Aku justru akan bangga padamu, sudah berani mengorbankan diri demi kebaikan bersama.”
Syahnaz kembali menangis, ia memeluk erat suaminya. Ia begitu takut membayangkan jika mengambil keputusan semacam itu.
Aditya sosok lelaki yang ia kenal dengan baik sejak lama. Ia tahu lelaki itu sangat pekerja keras hingga berhasil menjadi karyawan tetap di perusahaan ternama. Syahnaz yang awalnya hanya pelayan di kafe, bahkan sampai disekolahkan hingga lulus sarjana saking baiknya. Setelah lulus, Aditya berencana memasukkannya untuk bekerja di perusahaan juga. Atau setidaknya ia bangunkan usaha untuk Syahnaz. Sayangnya, harapan itu hanya tinggal harapan.
“Lakukan saja, Mas. Aku mau,” kata Syahnaz dengan wajah sendu.
Aditya mengusap air mata istrinya. Ia memberikan kecupan singkat di dahi. Ia lantas mengambil ponsel dan menghubungi atasannya.
“Selamat malam, Pak. Maaf mengganggu waktu istirahat Anda,” sapa Aditya ketika teleponnya diangkat.
“….”
“Saya menemukan wanita yang sesuai dengan kriteria yang Bapak cari untuk Tuan Jendra. Apa Bapak masih mencari kandidatnya?” tanya Aditya sembari melirik ke arah Syahnaz. Wanita itu tampak pasrah dengan air mata yang tak kunjung henti mengalir.
“….”
“Ah, waktu itu saya tidak sengaja mendengar. Tapi, saya jadi ikut kepikiran. Kalau memang Anda tertarik, bagaimana kalau kita bertemu?”
“….”
Wajah Aditya terlihat bahagia ketika mendengar suara dari seberang telepon. “Baik, Pak! Kami akan segera ke sana!” kata Aditya dengan semangat. Ia menutup kembali telepon setelah sambungan terputus.
“Sayang, atasanku bilang akan mempertemukan kita dengan Tuan Jendra!” kata Aditya dengan semangat. “Kamu jangan menangis terus, ini kesempatan kita untuk keluar dari masalah. Ayo, kita harus secepatnya pergi menemui mereka!”
Regi mondar-mandir di lobi hotel sembari sesekali melihat jam tangannya. Sudah satu jam ia menunggu kedatangan sahabatnya, Jendra. Padahal Aditya dan Syahnaz sudah lebih dulu tiba di sana dua jam yang lalu.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan lobi hotel. Regi mengembangkan senyum. Ia bergegas berjalan ke arah depan menghampiri mobil tersebut.
Seorang pria berperawakan tinggi dan tegap mengenakan pakaian rapi keluar dari dalam mobil tersebut. Wajahnya terlihat tampan dengan sorot mata elang yang membuatnya terkesan berwibawa. Lelaki itu berjalan menghampiri Regi.
“Kamu telat!” kata Regi.
“Maaf, ada urusan mendadak di kantor. Apa orangnya sudah pergi?” tanya Jendra dengan nada suara beratnya.
“Untungnya belum. Kali ini aku yakin kamu akan cocok dengannya,” ujar Regi dengan penuh keyakinan.
Jendra menyunggingkan senyuman. “Benarkah? Aku jadi penasaran seperti apa orangnya.”
Jendra adalah seorang pengusaha muda yang namanya tengah melejit di antara para pengusaha lainnya. Ia merupakan sosok lelaki idaman bagi seorang wanita. Sayangnya, ia selalu bersikap dingin terutama kepada wanita.
Jendra telah memiliki seorang istri yang wajahnya tak pernah ditampakkan di depan publik. Banyak yang menduga ia hanya berbohong agar tidak ada wanita yang mendekati.
Regi mengajak Jendra ikut bersamanya masuk ke dalam hotel. Ia sudah menyediakan ruangan khusus sengaja untuk pertemuan rahasia itu. Mereka juga ditemani beberapa bodyguard Jendra dan sekertaris pribadi.
Setibanya di sana, tampak Aditya dan Syahnaz tengah duduk menunggu. Mereka lagsung berdiri saat Regi dan Jendra datang.
“Kalian duduk saja, mari kita bicara secara santai,” pinta Regi mempersilakan mereka duduk kembali.
Regi dan Jendra turut duduk di hadapan mereka.
Jendra menatap dua orang yang akan Regi kenalkan kepadanya itu. Ia fokus pada sang wanita yang tampak ketakutan, menunduk, sembari menggenggam tangan si lelaki.
“Perkenalkan, ini sahabatku, Jendra. Dia yang sedang mencari seorang wanita yang bersedia melahirkan anak untuknya,” kata Regi.
“Jendra, ini Aditya, dia salah satu karyawan di kantorku. Dan wanita yang ada di sampingnya adalah istrinya, Syahnaz,” imbuh Regi.
“Apa? Kalian suami istri?” Jedra tampak terkejut mendengar fakta yang baru saja Regi katakan. Ia kira wanita yang akan dikenalkan kepadanya seorang wanita single, bukan wanita yang sudah bersuami.
Jendra menoleh ke arah Regi dan menatapnya penuh tanya. Seakan ia ingin menegaskan tidak suka diajak bercanda atau waktunya hanya akan dibuang percuma di sana. Ia sudah mengungkapkan keinginannya kepada Regi dengan sederet kriteria. Ia yakin seharusnya Regi sudah paham seperti apa wanita yang diinginkannya.
“Maaf, Pak Jendra. Kami memang sudah menikah, baru saja tadi pagi kami menikah. Tapi, saya sama sekali belum menyentuhnya,” sahut Aditya dengan canggung.
Jendra mengerutkan dahi. “Baru kali ini aku melihat suami yang tega mengajukan istrinya sendiri. Apa kamu sedang mabuk?” tanyanya. Ia yakin mereka pasti tahu apa yang sedang ia cari. Sungguh aneh ada suami yang berminat menyerahkan istri kepadanya.
“Intinya mereka sedang butuh uang, Jendra. Mereka juga sudah sama-sama sepakat. Kamu tidak berhak tahu lebih jauh dari itu,” tukas Regi.
Sebagai sahabat Jendra, ia sebenarnya sudah cukup pusing ikut mengurusi kemauan lelaki itu. Atas desakan keluarga besarnya, Jendra memang dituntut untuk segera memiliki anak. Kriteria yang diminta sangat berat, sudah banyak wanita yang ditolak.
Regi yakin kali ini Jendra akan menyukai wanita itu. Meskipun memang statusnya sudah menikah, namun Syahnaz memiliki semua kualifikasi yang Jendra inginkan.
Jendra kembali menatap wanita itu.
“Kelihatannya dia ketakutan. Kalau memang dia tidak bersedia, kalian pergi saja!” kata Jendra dengan tegas. Ia tidak mau ada pemaksaan dalam perjanjian kali ini.
“Dia mungkin sedikit grogi, Pak. Harap dimaklumi. Istri saya memang wanita yang polos,” kata Aditya.
Jendra menyeringai. Ia seakan bisa membaca kebusukan lelaki itu. Ia menebak pasti lelaki itu yang sudah memaksa istrinya sendiri untuk menerima tawarannya.
“Aku tidak meminta pendapatmu. Aku hanya ingin tahu kalau dia memang mau menerima tawaranku atau tidak. Kalau memang tidak mau, silakan kalian pergi!” ucap Jendra.
“Saya mau melakukannya, Pak!” kata Syahnaz.
Jendra terpukau saat wanita itu menegakkan kepalanya. Wajahnya terlihat cantik meskipun tanpa make up yang berlebihan. Ia bisa menilai jika wanita itu memang seseorang yang baik.
“Apa kamu yakin? Setelah tanda tangan kontrak kamu tidak boleh mundur,” kata Jendra mengingatkan.
“Saya sudah mantap dengan keputusan ini, Pak. Saya mau menjadi wanita Anda dan melahirkan anak untuk Anda,” kata Syahnaz. Meskipun terlihat berani, namun sorot matanya tidak bisa membohongi bahwa ia menyimpan rasa takut.
“Ini mungkin pertanyaan sensitif. Tapi, apa benar kamu belum pernah tidur dengan lelaki manapun?”
Syahnaz melirik ke arah suaminya. Aditya tampak memberi anggukkan.
“Sampai sekarang belum pernah, Pak. Bahkan dengan suami saya sendiri,” jawabnya.
Jendra menghela napas sejenak. “Sebenarnya aku tidak terlalu peduli kamu masih per awan atau tidak. Aku hanya ingin memastikan saja kalau teman tidurku nanti tidak memiliki penyakit menular,” ungkapnya.
“Anda tidak perlu khawatir. Dia adalah wanita baik-baik yang pandai menjaga diri,” ujar Aditya.
Jendra dibuat tertawa oleh ucapan Aditya. “Kalau memang dia wanita baik-baik, kenapa kamu tega memberikannya padaku?” Ia terlihat seperti berusaha memojokkan suami Syahnaz.
Aditya terdiam. Ucapan Jendra sangat menusuk perasaannya.
“Jendra …,” tegur Regi dengan lirikan tajamnya.
“Ah, sudahlah! Abaikan kata-kataku tadi,” kata Jendra. “Kalian pasti heran kenapa aku mengajukan begitu banyak syarat untuk wanita yang hanya akan aku kontrak sampai melahirkan anak. Dia harus cantik, pintar, berpendidikan, dan sehat agar bisa melahirkan seorang anak yang unggul. Makanya aku tidak mau memilih sembarangan wanita untuk melahirkan anakku.”
“Kamu tenang saja, Jendra. Syahnaz ini seorang sarjanan lulusan terbaik dari kampus ternama. Dia tidak pernah minum alkohol atau merokok. Aku sudah mengeceknya, semua sesuai yang kamu inginkan,” sambung Regi.
Jendra mangguk-mangguk. “Aditya,” panggilnya.
“Iya, Pak?”
“Selama kontrak berlangsung, dia bukan istrimu. Dia akan menjadi wanitaku sampai melahirkan anak nanti. Kamu dilarang menemuinya secara diam-diam atau terang-terangan. Kalian harus menjadi orang asing satu sama lain, tidak boleh saling sapa atau sok akrab. Apa kamu sepakat?” tanya Jendra.
Aditya mengangguk. “Saya akan melakukannya.”
“Kamu pasti tahu siapa aku. Kalau berani melanggar kesepakatan ini, aku tidak akan memberi toleransi.” Jendra berkata dengan sungguh-sungguh. Sorot matanya menunjukkan keseriusan.
“Baik, Pak. Anda bisa mempercayai kami,” kata Aditya meyakinkan.
“Pak Mateo!” panggil Jendra.
Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan berjalan mendekat, menyerahkan sebuah koper dan satu bendel kertas kepada Jendra. Koper itu dibuka oleh Jendra di hadapan Aditya dan Syahnaz. Lembaran uang seratus ribuan memenuhi koper. Bahkan mata Aditya sampai berbinar-binar melihat uang sebanyak itu.
“Ini hanya uang muka saja sebagai tanda jadi sebesar satu miliyar,” kata Jendra. Ia terlihat biasa saja mengeluarkan uang sebanyak itu.
Aditya dan Syahnaz saling berpandangan. Baru pertama kali mereka melihat uang sebanyak itu. Masalah hutang maupun biaya rumah sakit bisa langsung teratasi, bahkan masih ada sisa uang.
“Silakan kalian baca surat perjanjiannya. Kalau sepakat degan semua poin yang ada, tanda tangan di lembar paling akhir.” Jendra menyodorkan surat perjanjian sebanyak tiga lembar kepada keduanya.
Mereka hanya membaca secara sekilas dan langsung menandatanganinya.
“Selama perjanjian ini berlangsung, aku akan rutin membayar 50 juta per bulan sampai anakku nanti lahir. Dan ketika perjanjian ini berakhir, aku akan memberikan lagi 3 milyar.”
Aditya tersenyum senang mendengarnya. Ia menyerahkan kembali perjanjian yang sudah ditanda tangani kepada Jendra. Lalu, ia mengambil koper berisi uang yang Jendra berikan untuk mereka.
“Baiklah, aku rasa tidak ada lagi yang perlu di bahas,” kata Jendra. Tatapannya kini mengarah pada Syahnaz. “Kamu sekarang milikku. Pergillah ke kamar 101 dan tunggu aku di sana!” pintanya.
“Apa?” Syahnaz terkejut dengan permintaan tiba-tiba itu.
“Kenapa? Kamu mau berubah pikiran?” tanya Jendra.
“Em, bukan begitu … tapi, apa secepat ini?” Syahnaz bertanya balik dengan nada bicara yang gugup.
“Di detik kamu menandatangi surat perjanjian itu, maka kamu sudah menjadi milikku!” tegas Jendra.
“Tenang, Pak Jendra. Saya sendiri yang akan mengantarkan dia ke sana,” kata Aditya.
Orang tidak akan bisa membayangkan bagaimana rasanya diserahkan oleh suami sendiri kepada lelaki lain. Terdengar begitu klise, namun itulah realita yang harus Syahnaz rasakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!