Tetes demi tetes keringat mengucur di pelipisnya. Tapi hal itu tak lantas menyurutkan semangatnya mengais rezeki di rumah besar itu. Setiap sudut rumah tak luput dari pengamatannya. Dengan mata besar dan tatapan tajamnya. Bisa di pastikan tak akan ada debu yang berani mencari masalah dengannya.
'Huft!!! Selesai juga pekerjaan hari ini. Aku merasa rumah ini semakin hari semakin besar saja. Hahaha ....' Batin Deta.
"Ok, stop! Ini semua aku yang mau melakukannya, maka aku harus semangat sampai akhir!" gumam Deta sembari mengepalkan tangannya ke udara memberi semangat pada dirinya sendiri.
"Sudah selesai pekerjaan kamu, Ta?" Suara lembut seseorang mengejutkan Deta sehingga ia tidak sengaja menjatuhkan kain lap yang di pegangnya.
"Su... sudah, Bu." jawab Deta seraya berbalik menghadap sang empunya suara lembut tadi.
Beliau adalah pemilik rumah besar dimana Deta bekerja. Majikan. Begitulah biasanya orang melabelinya.
Bu Rika adalah pemilik rumah ini. Ia adalah wanita yang sangat lembut dan penuh perhatian. Seorang aktivis sosial dan pecinta anak-anak. Sayang sekali, kedua anaknya sudah tumbuh dewasa sehingga sepertinya bu Rika selalu merasa kesepian. Setidaknya begitulah pikir Deta.
Deta masih memandang bu Rika khawatir akan di marahi karena ketahuan sedang melamun. Tapi yang di takuti malah tersenyum dan mengambil kain lap yang tadi di jatuhkan Deta di lantai.
"Kalau kamu lelah jangan di paksakan, Ta" tutur bu Rika.
Bu Rika meletakkan kain lap itu di meja makan. Kemudian kembali menghampiri Deta yang baru saja menggelengkan kepalanya. Tanda menolak pernyataan majikannya tadi.
"Melihat kamu itu saya selalu merasa seperti melihat Fita. Dan melihat kerja keras kamu selama ini, saya jadi teringat Ricky." Senyum tipis yang sedikit di paksakan Bu Rika bisa di lihat jelas oleh Deta.
Kedua anak Bu Rika memang bukan anak yang manja. Tapi, mereka tidak pernah merasakan pahitnya kehidupan seperti yang di alami Deta saat ini. Mungkin hal ini yang membuat bu Rika merasa miris. Melihat perbandingan kedua anaknya dengan Deta karena usia Deta hanya lebih muda 2 tahun dengan Ricky, putranya.
Ricky Sanjaya adalah putra bungsu sekaligus "putra mahkota" keluarga Sanjaya. Seorang pria yang cukup mandiri walaupun keluarganya termasuk keluarga terkaya.
Ricky tidak pernah menggunakan koneksi ayahnya. Pak Firman Sanjaya. Baik saat sekolah maupun dalam dunia kerja yang baru saja mulai ia masuki.
Sedangkan putri sulung mereka. Refita Sanjaya. Tak jauh berbeda dengan adiknya. Pribadi yang mandiri dan bijaksana, tapi ada sedikit perbedaan antara keduanya. Yaitu sikap mereka terhadap kedua orang tuanya.
Refita yang seorang anak perempuan memang agak sedikit manja terhadap bu Rika dan pak Firman. Terlihat dari seringnya ia mengunjungi kedua orang tuanya.
Refita memang sudah menikah dengan seorang pengusaha travel. Mereka bahkan sudah memiliki rumah sendiri tapi Refita hanya menempati rumahnya saat suaminya senggang.
Berbeda dengan adiknya, Ricky. Yang masih menjomblo tapi sok sibuk. Ricky sangat jarang sekali berada di rumah. Waktunya di rumah hanya untuk tidur dan numpang mandi sepertinya.
'Seperti apa sosok Ricky "putra mahkota" keluarga Sanjaya?'
Tolong jangan tanyakan itu pada Deta!!!
Deta bahkan belum pernah mendengar suara anak kesayangan Pak Firman tersebut. Yang paling membingungkan bagi Deta adalah tidak ada satupun potret anak bungsu keluarga Sanjaya di rumah sebesar itu.
Tahu darimana Deta???
Tentu Deta tahu, sebab dirinyalah yang membersihkan setiap jengkal rumah ini. Sampai pernah Deta penasaran dan bertanya pada bu Rika.
"Ricky tidak suka di foto, Ta. Dan dia juga tidak suka jadi tontonan orang." Senyum bu Rika sarat akan makna seolah menertawakan kekonyolan putranya itu.
'Hah! Tontonan orang???'
Apapun itu terserah padanya. Tapi jawaban bu Rika membuat Deta semakin penasaran dengan sosok putra keluarga Sanjaya. Laki-laki yang tidak suka jadi tontonan.
'Maksudnya tidak suka di pandang oleh sembarang orang 'kan ya? Menghindari tatapan jahat juga, kan? Eh... begitu 'kan maksudnya???'
Makin tidak karuan pikiran Deta tentang seorang Ricky Sanjaya.
Hallo readers, salam kenal 😊
Ini karya pertamaku, mohon dukungannya yaa. Maaf kalau masih banyak typo dan ceritanya masih kaku 😁
Happy reading semoga kalian semua suka 🥰
Deta Riady. Seorang gadis pemalas yang hobinya hanya berguling-guling di tempat tidur. Seketika dunianya harus terbalik ketika pengkhiatan ayahnya terhadap ibunya terbongkar dan diketahui semua orang.
Hingga semua aset yang di miliki keluarga pun habis karena skandal yang di lakukan sang ayah. Dan menimbulkan banyak kekacauan dalam hidup Deta.
Keluarga Deta memang bukan keluarga terkaya, tapi setidaknya selama ini mereka hidup dengan cukup nyaman. Hingga saat Deta memasuki usia remaja kedua orang tuanya tak mampu membiayai pendidikan Deta karena mengalami kebangkrutan.
"Maafkan Mama ya, Kak, Mama tidak bisa jadi ibu yang baik untuk kamu dan adik kamu." Tumpah air mata ibu Deta membanjiri matanya seraya memeluk putrinya.
Deta merasa hancur hari itu. Rasanya seperti orang tuanya sudah merobek-robek tugas mengarang yang ia buat selama berhari-hari dengan susah payah.
Bahkan hingga saat ini, setiap mengingat hari itu entah kenapa air di mata Deta seperti mengalami kebocoran kran.
"Hei!" Tepukan di bahu Deta membuat kocar-kacir kenangan buruknya.
Tanpa menoleh pun, Deta sudah bisa menebak siapa yang bertanggung jawab atas keterkejutannya, Syafitri. Satu-satunya teman Deta saat ini. Dan juga teman terdekat Deta di tempatnya belajar untuk mengejar ketertinggalan pendidikannya.
"Angin berbisik apa? Kenapa kamu serius sekali?" Antara bertanya dan mengejek, Syafitri seperti tidak memperdulikan lirikan mata kesal Deta.
Enggan menjawab, Deta hanya menyodorkan segelas jus jeruk yang sedari tadi hanya dia aduk-aduk saat memikirkan kenangan buruknya hari itu.
Syafitri langsung menyambar dan meminum jus jeruk tersebut tanpa menunggu perintah. Deta hanya menarik nafas dalam dan tersenyum simpul melihat tingkah temannya.
Srrrroooottt!!!
Terdengar suara angin di sedot dari dalam gelas kosong yang tadinya milik Deta. Deta memicingkan matanya ke arah Syafitri.
"Sepertinya kamu haus sekali!" sindir Deta.
Ia sudah tak tahan sejak tadi menahan kekesalannya pada Syafitri. Tapi yang di sindir hanya nyengir tidak merasa bersalah sedikit pun. Semakin membuat kesal saja.
"Ta, aku minta tips dong agar bisa sabar saat di marahi bos." Syafitri menumpuk kedua tangannya di meja dan menempelkan dagunya di sana. Tak lupa memasang wajah memelas agar Deta tak lagi kesal perihal jus jeruk yang lenyap tak bersisa.
Deta tersenyum sinis, mengerti jurus lama yang di gunakan Syafitri untuk membujuknya.
"Fit, kalau kamu tidak mau di marahi makanya jangan buat kesalahan dan ...," Deta mendorong kursi plastik yang ia duduki beberapa centi ke belakang kemudian berdiri dan hendak pergi.
"Dan apa?" tanya Syafitri masih dengan posisi yang sama.
"Dan ...," Tersenyum licik Deta. "Jangan membuat orang kesal!" Setengah berteriak kemudian meninggalkan Syafitri yang masih mengoceh.
"Ta! Detaaaaa!!!!" Suara Syafitri seperti seorang ibu yang memanggil anaknya untuk pulang karena terlalu lama bermain. Deta hanya menoleh kemudian berdecak tapi tidak menghentikan langkahnya.
"Kamu kenapa ninggalin aku sih?!?" Protes Syafitri saat ia sudah berhasil menyamai langkahnya dengan Deta.
"Siapa yang ninggalin? Kamu saja yang tidak mau mengikuti." elak Deta enggan meladeni Syafitri.
Namun, jawaban Deta malah membuat Syafitri memicingkan mata dan mengamati Deta dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Apalagi?" Deta sadar bahwa Syafitri akan mengejeknya sebentar lagi.
Dengan gaya sok kerennya Syafitri menggosokkan jari telunjuknya ke dagu seperti sedang memikirkan hal yang rumit saja.
Deta menggelengkan kepala, semakin frustasi dengan tingkah aneh temannya itu.
"Kamu di tempat kerja jutek seperti ini juga tidak? Karena sepertinya bos kamu sangat menyukaimu." Syafitri bertanya seperti seorang detektif.
Deta hendak membuka mulut untuk menjawab tapi tertahan karena ternyata Syafitri belum selesai dengan pertanyaan dan pernyataannya.
"Oh, aku tahu, kamu pasti sok imut 'kan di depan bos mu. Hayooo mengaku!" Jari Syafitri membentuk seperti sebuah pistol dan mengarahkannya ke wajah Deta.
"Terserah!" Menyerah Deta daripada urusannya semakin panjang.
***
"Permisi, Mba" Seorang wanita paruh baya menyapa seseorang yang sedang menyapu di taman kanak-kanak miliknya.
"Eh, iya, Bu." Seorang gadis dengan pakaian sederhana dan wajah yang selalu tertunduk terlihat gugup saat di sapa oleh wanita tadi.
Seketika gadis itu menyandarkan sapu yang ia pegang tadi ke dinding. Dan tetap tertunduk tidak berani menatap wanita yang menyapanya barusan.
"Mba ini siapa, ya?" Suara wanita itu sangat lembut membuat gadis tersebut pelan- pelan berani mengangkat kepalanya.
'Gadis yang sangat manis. Tapi siapa dia**?'
"Maaf, Bu, kalau saya lancang. Saya Deta, Bu. Kakaknya Dania." Tertunduk lagi Deta saat pandangannya bertemu dengan wanita itu.
"Oh, kakaknya Dania. Maaf ya, saya kira siapa tadi. Saya bu Rika." Senyuman hangat di wajah bu Rika di barengi uluran tangan kepada Deta. Deta tersenyum meraih tangan bu Rika dan menciumnya.
'Sopan juga gadis ini.' Batin bu Rika.
Namun tergambar jelas di wajahnya dengan senyum yang semakin hangat bagi Deta.
"Mba Deta lagi mengantar Dania? Kenapa bukan ibunya yang mengantar?"Deta tersenyum getir. Tentunya tanpa di sadari bu Rika.
"Iya, Bu. Karena saya sedang tidak ada pekerjaan jadi sambil mengisi waktu menemani Dania saja." Sekali lagi senyum penuh kepahitan namun mampu di tutupi oleh Deta.
Entah karena naluri keibuannya atau karena memang menyukainya. Rasanya bu Rika ingin memeluk gadis mungil di hadapannya seperti memeluk putrinya sendiri.
"Mba Deta ...," Kalimat bu Rika terputus karena di sela oleh Deta.
"Maaf, Bu, menyela. Panggil Deta saja, Bu." Pinta Deta dengan menganggukan kepala sopan. Bu Rika tersenyum dan melanjutkan kalimatnya.
"Deta masih sekolah atau sudah bekerja?" Pertanyaan bu Rika seperti tulang ikan yang tersangkut di kerongkongan. Kecil, remeh, sepele tapi menyakitkan bagi Deta.
'Oh, *s*ungguh baper sekali kamu, Deta**!'
"Saya sudah tidak sekolah, Bu." Senyum Deta bertambah getir.
"Jadi, sudah bekerja?"
Semakin malu Deta, tapi sepertinya tidak begitu dengan bu Rika. Wanita itu justru semakin menyukai gadis yang di anggapnya manis dan sopan itu.
"Saya putus sekolah, Bu," Deta menarik nafas dalam berusaha melanjutkan kalimatnya. "Sedang mencari pekerjaan yang bisa menerima saya." Semakin dalam Deta tertunduk.
Bu Rika memandang Deta, hingga membuat Deta salah tingkah. Wanita itu tersenyum kemudian mendekati Deta dan menyentuh bahunya.
"Kamu mau tidak bekerja di rumah saya? Atau bersih-bersih di sini juga boleh kalau kamu mau dan tidak malu." tanya Bu Rika agak sedikit ragu.
Deta mengangguk pasti tanpa berpikir panjang dan tanpa ragu menjawab.
"Mau, Bu, dua-duanya juga akan saya kerjakan, Bu."
'Kalau aku kerja di dua tempat artinya aku dapat gaji berlipat.Semangat Deta!!! Kamu pasti bisa**!!!'
Batin Deta menguatkan.
Bu Rika tersenyum melihat semangat Deta yang berapi-api.
Semoga kalian suka ceritanya 🥰
Jangan lupa tinggalkan jejak 👣 kalian berupa like 👍 , comment, rate and vote yaa 😘
"Kamu yakin kalau kamu sanggup kerja di dua tempat seperti itu?" Wajah ibu Deta sudah di selimuti kekhawatiran yang melebihi awan mendung yang menutupi matahari.
Tapi yang di khawatirkan justru tersenyum dengan manisnya hingga bisa membuat kadar gula darah meningkat.
Deta menghampiri ibunya yang sedang memasak kemudian memeluk ibunya. Banyak yang ingin Deta katakan tapi entah mengapa bibirnya terkunci rapat. Sehingga ia hanya memeluk ibunya dalam diam. Tanpa mengatakan apapun.
Setelah itu Deta meminta ibunya untuk duduk di kursi meja makan yang usianya hampir sama dengan Deta .
Deta lantas menarik sebuah kursi untuk duduk di sebelah ibunya. Sekali lagi Deta tersenyum dengan sangat manis. Berharap dengan melakukan hal itu akan mengurangi kekhawatiran ibunya.
Di raihnya tangan lembut ibunya, Deta menarik nafas dalam namun berusaha menghembuskannya perlahan agar tidak terdengar ibunya. Dan masih tetap berusaha mempertahankan senyum termanisnya. Walaupun dalam hatinya sudah banjir air mata. Tapi sorot mata Deta tetap berusaha memancarkan kebahagiaan.
'Betul - betul hebat kamu, Deta. Semangat, Deta**!!!'
Deta mengangguk sekali. Tanda ia sudah mantap dengan keputusannya. Melihat perilaku aneh putrinya membuat ibu Deta semakin khawatir dan merasa bersalah.
'Semakin pandai saja kamu bersandiwara, Deta.'
Kegetiran menghinggapi perasaan Deta yang bercampur aduk. Tapi semua itu lenyap saat Deta membayangkan uang yang bisa ia hasilkan.
"Ma ...," Tatapan mata ibunya membuat Deta ragu.
Namun semangatnya untuk mengembalikan keadaan keluarganya serta kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi tak akan pernah surut.
Sebuah tepukan lembut di tangan Deta menyadarkan nya.
"Deta sudah besar, Ma. Keluarga kita sedang dalam masa terburuk sekarang. Deta itu anak tertua, Ma. Jadi biarkan Deta membantu Mama dan Papa." Senyum yang di paksakan menyungging di sudut bibir Deta .
"Semampu Deta, Ma." Lirih terdengar kalimat terakhir Deta.
Rasanya pelupuk mata Deta sudah terasa berat menahan air mata yang sudah memaksa untuk terjun bebas dari matanya .
Tubuh Deta di tarik ke pelukan ibunya. Terdengar isak tangis dari wanita yang sudah memberikan Deta kesempatan untuk melihat dunia itu.
Di situlah pertama kalinya Deta merasakan ketidakberdayaan kedua orang tuanya. Tapi di saat yang bersamaan Deta berjanji akan mengembalikan keadaan keluarganya seperti dulu lagi.
'Berjuanglah, Deta*!!!'
**
Sebuah bangunan yang cukup besar sudah berdiri kokoh di hadapan Deta sejak tadi. Seperti menantang keberanian Deta. Maju mundur langkah kaki Deta. Membuat hatinya ikut merasa ragu. Atau mungkin takut sepertinya.
"Rumah ini besar sekali. Bagaimana aku akan membersihkannya?" gumam Deta seraya terus memijat tangannya yang bahkan sudah terasa pegal sebelum mulai bekerja.
Saat Deta terus menimbang-nimbang keputusannya. Sebuah klakson mobil mengejutkannya. Karena terkejut Deta berbalik dan bergerak mundur hingga menabrak pagar rumah tersebut.
Tanpa di sadari, Deta meringis kesakitan. Membuat seseorang yang berada dalam mobil tersebut merasa bersalah dan memutuskan untuk turun dari mobil.
Seorang pria keluar dari mobilnya untuk menghampiri Deta. Saat pria itu mengulurkan tangannya, Deta bergerak mundur menjauhi pria itu. Bahkan tanpa melihat wajahnya. Hanya melihat sepatu pria itu yang berada tepat di bawah pandangannya.
'Sepatunya besar sekali!!!'
Terdengar pria itu mendengus kesal. Kemudian berbalik untuk membuka pagar rumahnya. Tak lama terdengar suara pintu mobil di banting dengan keras.
'Sepertinya orang itu kesal ya? Apa kesal padaku?'
Batin Deta yang baper mulai lagi.
"Deta!" Suara yang sama lembutnya saat Deta mengantar Dania.
Deta tersenyum dan meraih tangan bu Rika. Di lihatnya kembali rumah bu Rika yang sedari tadi ia pandangi. Kemudian kembali menatap bu Rika. Ragu ingin bertanya. Tapi bu Rika sangat mengerti tatapan mata Deta.
***
"Ma, di luar ada orang tuh. Aneh!!!" gerutu Ricky saat ia masuk.
Di lemparkannya kunci mobil di atas meja makan kemudian berbaring di sofa panjang ruang keluarga.
"Siapa?" tanya bu Rika kemudian bangkit dari meja makan dan mengambil kunci mobil yang di lemparkan Ricky tadi.
Di letakkannya kunci tersebut di sebuah gantungan yang menempel di dinding dapur dekat garasi. Bersama dengan beberapa kunci lainnya.
"Mana Ricky tahu, Ma." Kilatan amarah terlukis di matanya.
'Yang pasti gadis itu membuat aku kesal. Tapi kesal kenapa**?'
"Kamu biarkan orangnya di luar?" tanya bu Rika lagi.
"Hemm." Malas menjawab rupanya.
Segera bu Rika keluar rumahnya dan melihat Deta yang sedang mengusap bahunya.
Hallo semua🤗
Semoga kalian suka ceritanya🥰
Jangan lupa tinggalkan jejak 👣 kalian berupa like👍 , comment, rate dan vote yaa 😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!