NovelToon NovelToon

Boneka Cantik Milik Tuan Hakim

Pertemuan

Suasana di ruang sidang begitu ramai. Kasus pembunuhan ini begitu diminati karena melibatkan seorang pengusaha wanita yang dituduh melakukan pembunuhan.

Di sudut lain, seorang wanita muda berjilbab hijau tua dengan wajah lembut, tengah sibuk mencari seseorang lewat netranya di antara para pengunjung. Namun pria yang dicari tak kunjung ditemukan. Ia sedikit kecewa hingga menggulung bibir bawahnya karena merasa kehilangan. Padahal hanya kehadiran pria itu saja yang sanggup meredam kegilaannya mendengar isi sidang hari itu.

Ya, wanita itu adalah wanita pengusaha yang dituduh melakukan pembunuhan. Walau tubuhnya sedikit gemuk, wajahnya tergolong cantik dengan hidungnya yang bangir. Ia gelisah karena pria itu tak datang seperti biasanya. Apa kasusku sudah tidak menarik lagi baginya?

Tiba-tiba seorang pria memasuki ruang sidang dan berbaur di antara pengunjung. Tubuhnya tinggi tegap dengan kemeja berwarna putih dan celana panjang berwarna biru tua, langsung menarik perhatian para pengunjung. Bukan apa-apa, pria itu memang tampan dan bukan orang sembarangan.

Khati, wanita yang sedang duduk di kursi pesakitan itu, terlihat gembira ketika mengetahui kedatangannya. Bukan, bukan ia mengenalnya secara pribadi tapi pria itu cukup terkenal. Siapa yang tak kenal dengan hakim agung Jun? Pria tegas dengan segala pesonanya. Dengan hadirnya pria itu, Khati bisa diam-diam mengagumi.

Memang terdengar aneh, tapi begitulah cara wanita itu menghibur dirinya. Karena sudah tak punya orang tua, memandangi pria tampan dan rupawan seperti ini sangat menyenangkan. Melihat pria itu serius mendengarkan sidang, gerak-geriknya, bahkan saat pegawai pengadilan atau polisi mendatangi pria itu sambil berbisik-bisik, itu semua tak lepas dari pandangannya. Betapa pria itu terlihat sangat sempurna.

Seandainya aku bertemu dengan hakim Jun terlebih dahulu, dan bukan Mas Dam, pasti hidupku akan lebih baik.

Siapa Mas Dam itu? Pria itu adalah pria berkacamata yang kini duduk berseberangan dengannya. Ia adalah mantan suaminya bersama seorang pengacara. Khati dituduh membunuh istri pria itu karena sang pria melihat sendiri ia memegang pisau yang berlumuran darah di dekat mayat sang istri.

Khati cukup sedih. Walaupun ia telah membuat pria itu mengerti, tapi keluarga istrinya tetap menuntut mencari pembunuhnya. Kasus pembunuhan ini tidak bisa diselesaikan dengan cara damai hingga akhirnya ia dituntut hukuman mati.

Hubungan Khati masih tetap baik dengan mantan suaminya karena mereka menjalankan perusahaan milik Khati secara bersama-sama. Kini pria itulah yang menjalankan perusahaan, sepeninggal wanita itu masuk penjara.

Khati kembali beralih ke tempat para pengunjung, tapi tepat saat itu hakim Jun menatap ke arahnya. Ups! Cepat-cepat ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Hampir saja ... Pipinya menghangat seketika. Ia begitu malu.

Terdengar bunyi palu diketuk ke atas meja. Sidang selesai. Khati bahkan tidak mendengar apa yang sedang dibicarakan, karena ia sibuk kucing-kucingan melihat pria tampan itu di antara pengunjung.

Pengacara di samping Khati merapikan berkas-berkasnya. "Jangan khawatir, Bu, kami sedang menunggu penyelidikan selesai. Setelah itu kita cari jalan terbaik. Mudah-mudahan penyelidikan membuahkan hasil."

"Terima kasih, Pak." Wanita itu mengangguk lemah.

Seorang polisi mendatangi Khati dan memborgol tangannya. Sang wanita pasrah ketika dibawa menuju mobil tahanan.

"Tunggu sebentar, Pak. Saya mau bicara." Mantan suami Khati, Damar, menghentikannya.

Polisi itu memberinya kesempatan.

"Khati, kamu tahu 'kan, di kantor sangat sibuk, tapi banyak berkas-berkas yang menunggu persetujuanmu. Bagaimana kalau kau membuat surat kuasa untukku agar aku bisa mengelola perusahaan dengan lancar, mmh?" Pria itu mengangkat satu alisnya memohon persetujuan dari mantan istrinya itu.

"Mmh, biar aku tanya pengacaraku yang satu lagi."

"Jangan lama-lama, Khati. Atau biar aku hubungi dia biar cepat bertemu denganmu," pinta pria itu dengan nada suara yang direndahkan. Ia tak mau terlihat mengemis.

"Ya, sudah."

Dari tempat hakim Jun duduk, pria itu bisa mendengar percakapan keduanya. Sempat ia mengangkat alis tapi kemudian tersenyum. Kau bisa menipu semua orang tapi tidak bisa menipuku. Lihat saja, aku akan menipumu! Pria itu kemudian berdiri dan meninggalkan tempat itu.

--------+++--------

Wanita itu duduk menyudut sendiri. Ia tak mau terlibat pembicaraan dengan siapa, karena hatinya sedang rusuh. Ia tak punya tempat bersandar dari dulu. Damar tempatnya dulu bersandar kini telah menjadi milik orang lain. Ia pun tak punya saudara. Satu-satunya saudara yang ia punya hanya pamannya yang kini tinggal di luar kota.

Terdengar suara langkah kaki mendekati tempat itu. Seorang polisi mendatangi selnya. "Ibu Khatijah, ada yang mengunjungi."

Sekilas, wanita itu ingat pamannya. "Siapa?"

"Hakim Jun."

Khati membulatkan matanya. "Apa?"

Pintu dari besi itu terbuka. Wanita itu melangkah keluar dengan masih melongo. Ia mengikuti petugas itu melewati sebuah lorong panjang.

Kenapa tiba-tiba orang itu ingin bertemu denganku? Bukannya dia tidak kenal aku? Tiba-tiba wanita itu menutup mulutnya dengan mata membulat sempurna. Apa jangan-jangan dia tahu bahwa selama ini aku sering memperhatikannya? Astaga .... Wajahnya seketika merah padam.

Petugas kemudian membawa Khati ke sebuah ruangan. Di sana hakim itu telah menantinya di sebuah meja yang berada di tengah ruangan.

"Ini Ibu Khatijah, Pak," sahut petugas.

"Silakan duduk, Bu," sapa hakim Jun dengan ramah dan senyum menawan.

Khati tak bisa berkata-kata. Melihat mahkluk Tuhan paling sempurna sedekat itu seperti sebuah anugrah. Benarkah pria ini tak salah memanggil orang?

"Bu," panggil pria itu lagi.

"Mmh?"

Hakim itu tersenyum. Ia tahu pesonanya sering membuat banyak wanita terkagum-kagum, tapi wanita di hadapannya ini, baru kali ini membuat dirinya ingin tertawa karena ekspresi wajahnya itu.

"Oh, iya." Khati tersadar dan segera melangkah ke tempat duduk. Padahal jantungnya sedang berdetak kencang tapi ia berusaha damaikan dengan pura-pura terlihat normal.

Petugas itu kemudian pergi. Pintu ditutup, membuat Khati bertambah panik. Berdua saja dengannya? Eh, apa aku sanggup?

Untung pria itu langsung bicara. "Ibu Khatijah, ya?"

"Eh, iya."

"Mungkin Ibu tahu, saya adalah hakim agung Junimar Adiyaksa. Saya tertarik dengan kasus Ibu, di mana Ibu dituntut untuk hukuman mati. Hukuman mati tidak semudah itu diberikan karena ini menyangkut nyawa seseorang. Nah, masalahnya, kasus ini belum selesai penyelidikannya tapi sudah digelar perkaranya. Karena itu saya merasa ada kejanggalan. Menurut Ibu bagaimana?"

"Aku tidak bersalah, Pak. Itu saja."

"Apa ada orang yang dicurigai?"

"Tidak tahu, Pak, tapi bukannya Bapak harusnya tanya pada mereka?" Wanita itu mengerut kening.

Wanita ini cukup pintar rupanya. Mmh ... "Apa kau tak mencurigai mantan suamimu?"

Netra Khati membulat sempurna. "Mana mungkin! Dia orang pertama yang kuberi tahu dan dia percaya bukan aku pembunuhnya. Dia korban, Pak. Istrinya meninggal," ucapnya berapi-api memberi tahu.

"Tapi pengacaranya menuntut hukuman mati. Apa kau tidak merasakan aneh?" Nada suara pria itu mulai meninggi karena emosi. Kenapa orang ini tak mengerti dengan apa yang dihadapinya? Ia sedang dijebloskan ke neraka oleh mantan suaminya, apa ia tidak bisa lihat itu? "Apa kau tidak takut mati?"

Seketika netra Khati berkaca-kaca. "Bapak pikir aku manusia super? Aku manusia biasa, Pak. Apa Bapak pikir aku senang menghadiri persidangan ini? Tentu saja tidak! Aku masih waras. Persidangan ini hampir membuatku gila!" Ia mulai terisak. "Aku tak punya siapa-siapa untuk mengadu, hanya punya seorang paman tapi ia juga tinggal diluar kota, lalu aku harus bicara pada siapa? Hu ... hu ... hu ...." Tangisnya pecah. Seakan semua kesedihan yang dipendamnya selama ini keluar sudah.

Hakim itu menghela napas pelan dan berbicara dengan lebih hati-hati. "Tapi kenapa Ibu seolah membela mantan suami Ibu? Apa Ibu tidak dendam padanya?"

__________________________________________

Kesepakatan

"Aku bukan membelanya, tapi dia korban. Rasanya tidak mungkin dia membunuh istrinya sendiri," ucap Khati pelan disela isak yang tersisa.

"Lalu kenapa dia tidak membela Ibu, tapi malah menuntutnya?"

"'Kan sudah kubilang, itu permintaan dari keluarga istrinya," sahut wanita berjilbab itu sambil mengusap sisa-sisa air matanya.

Apa jangan-jangan wanita ini masih mencintai mantan suaminya? Ah, sialan! Bagaimana aku akan menjalankan rencanaku kalau begini? Dia harus ada di pihakku bukan di pihaknya. Pria itu terdiam sejenak. Ia sepertinya harus merombak ulang rencana yang sudah tersusun. Sepertinya ... ia harus ikut terlibat lebih jauh lagi.

Ia menatap selembar kertas kosong yang telah disiapkannya sejak tadi di atas meja. Pelan, disodorkannya kertas itu bersama sebuah pulpen pada wanita itu. "Kalau Ibu ingin aku membantu, Ibu bisa tanda tangani kertas ini."

Wanita itu telah berhenti menangis. Ia menatap ke arah kertas kosong yang disodorkan. "Ini apa?" Ia meraih kertas kosong itu di tangan.

Sepertinya susah mengakali wanita ini. Dia begitu pintar. "Eh ... semacam surat perjanjian."

"Perjanjian apa? Kenapa belum ditulis?"

Mmh, pantas saja dia bisa memimpin sebuah perusahaan. Wanita ini cukup cerdik. Mau tak mau aku harus melaksanakan rencana kedua ini. "Mmh, begini. Aku tidak tahu, siapa-siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ini. Karena itu aku harus hati-hati. Rencananya aku akan menunda sidang sampai penyelidikan akan kasusnya selesai. Demi keselamatan Ibu, aku akan membawa Ibu keluar negri."

"Tapi tanda tangan ini untuk apa?"

Apa aku harus mengatakannya sekarang? Tapi ... aku rasa dia takkan menolaknya. Pria itu tersenyum miring. "Eh, sebenarnya aku ingin kita menikah. Kalau bisa secepatnya," sahutnya dengan ekspresi serius.

"Menikah?" Khati kembali membulatkan matanya. Ia tak menyangka kalimat itu keluar dari mulut pria itu.

Pria itu berusaha menerangkannya dengan hati-hati. "Eh, jangan salah paham dulu. Ibu 'kan memakai jilbab dan juga janda. Apa tidak jadi masalah nanti diperjalanan?" Ia ingin memastikan wanita itu tidak tersinggung dengan ucapannya dengan menatap kedua bola mata Khati. "Eh, maksudku tidak buruk. Ini bisa merusak nama baikku juga, jadi sebaiknya kita menikah saja. Setelah kasus ini selesai kita bisa bercerai."

Menikah ... aku tidak pernah membayangkan ini. Menikah dengan pria sesempurna ini? Bukan saja pernikahan ini harus dipertahanan tapi aku benar-benar tidak mau berpisah bila benar aku menikah dengannya nanti. Sang wanita terbuai dengan angannya hingga ia tersenyum sendiri.

"Bu, bagaimana?"

Khati segera terbangun dari khayalannya. "Eh, apa Bapak yakin?"

"Kalau Ibu setuju, Ibu tinggal tanda tangani saja kertas ini."

Sang wanita akhirnya menandatangani kertas kosong itu. "Eh, tapi isinya apa?"

Pria itu cepat-cepat mengambil kertas itu. "Eh, hanya pernikahan kontrak saja."

Khati mengerut kening. "Berarti aku dapat kopinya ya?"

"Oh, ya. Nanti akan kubuatkan satu." Jun melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam kantong celana. Seumur hidup baru kali ini ia melakukan kejahatan. Memanipulasi seorang wanita demi membalas dendam. Namun ia terlanjur buta oleh dendam, ia takkan berhenti hingga balas dendam ini terbalaskan. "Mmh, jadi bagaimana caranya aku menghubungi Pamanmu?"

Terdengar ketukan di pintu. Petugas itu muncul dari balik pintu. "Maaf, Pak hanya memberitahu. Paman Ibu ini telah datang menjenguk."

Khati dan Jun saling berpandangan.

"Bagaimana kalau sekarang saja?" Pria itu semakin nekat saja.

"Eh, apa?" Khati terlihat panik.

"Sebelum ia pulang. 'Kan katanya ia tinggal di luar kota?"

"Eh ...." Wanita itu tak tahu harus menjawab apa. Semuanya kenapa terjadi begitu cepat?

Jun mengambil inisiatif. "Eh, suruh saja pamannya ke sini. Ada yang ingin aku bicarakan," ucapnya pada petugas itu.

Sang petugas kemudian pergi.

"Apa ini sungguhan?" Khati bertanya kembali. Ia masih tak percaya pernikahannya sudah di depan mata.

"Eh, biar aku yang bicara, tapi tolong jangan sebut masalah nikah kontrak karena ini masalah sensitif."

"Eh, iya." Wanita itu menyiapkan jantungnya yang kini kembali berdebar. Ia segera menghapus sisa-sisa air matanya.

"Oh, iya. Kau biasa dipanggil apa?"

"Khati."

"Aku Jun."

Keduanya tampak canggung. Tentu saja, karena mereka tidak saling kenal dan tiba-tiba saja harus menikah. Pria itu juga tampak gugup.

Paman Khati, Baskoro, datang bersama petugas tadi. Ia berperawakan gemuk seperti Khati, hanya lebih tinggi. Rambutnya memutih sebagian dan memakai kemeja batik berwarna coklat tua.

"Silakan duduk, Pak." Jun menarikkan kursi untuk pria paruh baya itu.

"Ah, terima kasih." Baskoro duduk dan merapatkan kursinya pada meja.

Jun kemudian bicara. Baskoro terkejut dengan lamaran Jun pada Khati. Pria itu tentu saja tahu siapa Jun karena ia sering melihatnya di TV, pria kharismatik dengan jabatan yang menggiurkan. Namun ia tak tahu, kapan mereka saling berhubungan.

"Bagaimana kalian ...."

"Eh, begini, Pak. Saya sudah mantap berumah tangga dengannya. Bukankah pernikahan itu harus disegerakan? Lagipula, Saya ingin menyelamatkan calon istri Saya dengan membawanya ke luar negeri," sahut Jun meyakinkan.

Baskoro melirik ke arah keponakannya yang terlihat tersipu-sipu karena malu. Memang kelihatan seperti terburu-buru karena Khati baru saja bercerai dengan mantan suaminya sembilan bulan yang lalu. Namun melihat kesungguhan Jun pada ponakannya itu, ditambah pria itu punya jabatan yang tidak sembarangan, ia merestui pernikahan kilat ini.

"Alhamdulillah, Terima kasih, Pak." Jun menyalami pria paruh baya itu. "Sebentar, aku telepon asistenku dulu."

"Oh, iya, iya. Silakan."

Hakim itu mengangkat ponselnya dan menghubungi sang asisten dengan bergerak agak menjauh. "Halo, Todi. Tolong siapkan penghulu secepatnya. Aku akan menikah hari ini juga."

"Apa?" Pria muda di ujung sana sampai berdiri dari duduknya. Ia memang sering mendapat pekerjaan yang mustahil dari bosnya, tapi menikah?

"Aku tidak mau dengar ada masalah. Aku tunggu jawabanmu secepatnya. Sekarang aku kembali ke rumah."

"Eh, tunggu dulu, Pak." Todi berusaha menahan. "Bagaimana dengan Julia?"

"Jalankan saja."

"Baik, Pak." Telepon ditutup. Saking kesalnya, pria itu menendang meja tapi kemudian ia melompat-lompat kesakitan akibat tendangan yang membuat kakinya sakit itu. Pegawai yang lainnya tertawa melihat tingkah laku Todi.

"Kenapa lagi?" Ledek seorang wanita yang mejanya tak jauh dari Todi. "Mission impossible lagi?" Ia kembali tertawa.

Todi hanya merengut mendengar komentar teman sejawatnya itu.

Di tempat lain, Baskoro menatap ponakannya yang akan segera menikah itu. "Apa kau sudah yakin?"

"Doakan saja yang terbaik untukku, Paman."

Pria itu meraih tangan Khati yang berada di atas meja dan menepuk-nepuk punggung tangannya. Ia selalu begitu saat menenangkan keponakannya itu.

Tak lama Jun kembali ke ruangan. Ia membawa sebuah jaket hoodie dan memberikannya pada Khati. Ia membantu memasangkan dan merapikannya di leher. Terlihat Khati sedikit kikuk menerimanya tapi Jun berusaha agar terlihat peduli pada sang wanita di depan pamannya.

Tentu saja sang paman senang, Khati bisa menikah dengan orang yang bertanggung jawab. Tidak seperti mantan suaminya yang terdahulu yang sama-sama mantan teman kuliah.

Baskoro bukan tidak suka pada Damar karena berasal dari keluarga yang sederhana, tapi karena kuliahnya saja, keponakannya itu yang membayarnya. Sudah selesai kuliah, pria itu jadi pemalas dan pengangguran yang kerjanya hanya bisa foya-foya dan memulai bisnis baru yang berujung kegagalan. Semua hanya Khati yang mengusahakan.

___________________________________________

Julia

Sekarang dengan status baru yang akan disandang Khati, ia tidak harus bekerja keras dan hidup bahagia.

"Ayo, naik ke mobilku," ajak Jun.

----------+++---------

Di sebuah hotel, sepasang manusia baru saja keluar kamar hotel. Yang pria merapikan rambut wanitanya yang baru saja dikeringkan.

"Terima kasih, Sayang," sahut sang wanita. Ia mengibaskan rambut panjangnya itu ke belakang.

Pria itu hanya tersenyum sambil merapikan kacamatanya. Terdengar suara dering telepon. Pria itu merogoh kantong celana dan mengeluarkan ponselnya.

"Aku duluan ya, Sayang?" Wanita itu merapikan tali tas di bahu, dan melangkah pergi.

"Mmh, maaf ya, Julia. Aku tak bisa mengantarmu," ujar sang pria yang meletakkan ponselnya ke telinga.

"Nanti hubungi aku," imbuh wanita itu yang meletakkan tangannya dekat telinga dengan jari tengahnya terlipat. Ia bergerak menuju lift.

Penampilannya cukup seksi dengan postur tubuh yang mendukung. Celana jeans ketat dengan robekan di atas lutut, lalu baju kaos longgar yang terbuka di bagian bahu yang memperlihatkan kulitnya yang mulus. Ditambah lagi high heels yang cukup tinggi, membuat penampilannya bak artis idola.

Julia memang seorang model profesional dan banyak merek terkenal yang ingin menggunakannya sebagai model produknya. Namun ia selektif dalam memilih produk mana yang akan ia dukung.

Wanita cantik itu bersenandung kecil ketika masuk ke dalam lift yang kosong. Lift itu berhenti di perparkiran. Tidak butuh jauh melangkah karena mobilnya terparkir tak jauh dari situ. Ia berhenti di depan pintu mobil dan mencari kunci di dalam tas.

"Eh, maaf, Mbak."

"Ya?" Belum sempat ia menoleh, sebuah tangan dengan saputangan membekap hidung dan mulutnya. Sia-sia saja ia melawan, ketika akhirnya ia pingsan oleh obat bius yang dihirupnya. Pria itu langsung menahan tubuh sang wanita.

Seorang pria lagi datang menyambangi. "Bagaimana?"

"Beres!"

Pria itu melihat ke bawah. Wanita itu menjatuhkan kunci mobilnya sehingga dengan mudah pria itu memungutnya. Tak lama, kedua pria itu membawa mobil Julia bersama wanita itu pingsan di kursi belakang.

----------+++---------

"Sah!" sahut penghulu.

Terlihat wajah-wajah puas dan bahagia. Jun kembali menjabat erat tangan Baskoro karena telah menikahkan dirinya dengan Khati. "Terima kasih, Paman." Ia memanggil 'Paman' pada pria paruh baya itu untuk pertama kalinya.

Baskoro menepuk-nepuk bahu kokoh pria itu dengan bangga. "Tidak. Aku yang berterima kasih. Aku titip keponakanku ya? Jaga dia baik-baik."

Jun mengangguk.

"Oya, Khati."

"Ya, Paman." Wanita yang berpakaian seadanya saat menikah itu terlihat bahagia. Ia murah senyum.

"Coba cium tangan suamimu," pinta pamannya lagi.

Dengan malu-malu, Khati meraih tangan sang suami, dan mencium punggung tangannya. Jun hanya melihat saja perlakuan sopan yang ditunjukkan istrinya.

"Kalian yang akur ya? Jangan terlalu sering mengikuti emosi."

"Baik, Paman," imbuh hakim itu lagi. "Oya, Paman. Orang tuaku sekarang tinggal di Singapura, jadi nanti akan aku kenalkan Khati pada mereka setelah tiba di sana."

"Oh, ya. Tidak apa-apa. Nanti lain waktu aku akan berkenalan dengan mereka."

"Mengenai mas kawinnya ...."

"Sudah, jangan pikirkan itu. Aku tahu, kau pasti akan membelikannya untuk istrimu. Jadi aku percaya saja. Lihat saja istrimu sekarang. Hanya kau beri uang 250 ribu dari dompetmu sebagai mas kawinnya saja, ia sudah cukup senang. Yang penting ikhlas."

Keduanya melirik ke arah wanita itu yang tersipu malu diperhatikan oleh mereka. Entah kenapa, terselip rasa bersalah di hati Jun ketika melihat ketulusan sang istri. Ia juga sempat melihat asistennya menepi karena menerima panggilan telepon. "Oh ya, bagaimana kalau kita lanjutkan dengan makan malam?"

Ketika ia mengantarkan sang istri dan juga pamannya ke meja makan, sang asisten memanggilnya. Pria itu menepi dan berbicara berdua. "Ada apa?"

"Julia sudah ditangani," sahut Todi yang menjadi saksi di pernikahan tertutup itu.

"Bagus. Pesawatnya?"

"Siap terbang kapan saja."

"Bagaimana dengan alamat kliniknya?"

"Nanti aku kirim, Pak."

"Ok, tolong antar penghulunya pulang."

"Ah, baik, Pak."

Jun dan Khati menemani Baskoro makan malam sambil mengobrol hingga pria paruh baya itu pamit pulang. Pria itu diantar mobil Jun ke hotelnya.

"Mmh, jadi pamanmu pulang besok?" tanya hakim itu memastikan.

"Iya, pesawat paling pagi."

"Mmh."

Keduanya melangkah ke arah tangga.

"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Mungkin sebaiknya kau sholat Isya dulu baru ke kamarku."

Wanita itu melirik pria yang baru menjadi suaminya itu. Apa ... dia menginginkanku? Ah, kau tamak, Khati! Tidak mungkin. Sudah bagus-bagus dia menolongmu, kini kau masih ingin tidur dengannya.

Tapi ... dia itu suamiku. Wajar 'kan kalau aku menginginkan lebih? Suara hatinya saling bertentangan.

Keduanya berpisah di depan pintu kamar Jun. Kamar Khati ada di sebelahnya.

"Jangan lama-lama ya?" pesan Jun yang membuat hati sang wanita gundah. Adakah pria itu menginginkannya?

Tak lama, seseorang mengetuk kamar Jun. "Masuk!"

Khati masuk dan melihat pria itu duduk di kursi dekat jendela.

"Kau tinggal duduk di mana saja."

Wanita itu kemudian memilih duduk di tempat terdekat yaitu ranjang Jun. "Bapak mau membicarakan apa?" tanyanya langsung pada tujuannya. Ia menyebut 'Bapak' karena ia belum tahu mau dibawa ke mana pernikahan ini.

"Aku ada sebuah permintaan. Aku ingin kau operasi plastik." Pria itu beranjak berdiri.

"Operasi plastik? Untuk apa? Kenapa tidak bisa dengan wajah ini? Aku cukup nyaman dengan wajahku yang sekarang." Khati menyentuh wajahnya dengan kedua tangannya.

"Ini untuk melindungimu, tapi operasi ini bukan sembarang wajah." Sang pria mendatangi Khati dengan sebuah foto yang diletakkan di atas tempat tidur. "Aku ingin kau merubah wajah menjadi dia."

Sang wanita mengambil foto itu dengan mengerut kening. "Julia? Dia 'kan foto model terkenal. Kenapa aku harus jadi dia? 'Kan orangnya masih hidup? Bagaimana kalau nanti kita saling bertemu? Apa dia tidak marah?"

Mmh ... pintar juga otaknya. "Jangan khawatir. Aku sudah mengamankannya."

"Apa? Apa maksud Bapak dengan mengamankannya? Bapak tidak menculiknya 'kan?"

Jun menghela napas. Kepalanya pusing. Kenapa aku bisa mendapat istri secerdas ini? Susah juga menyembunyikan fakta yang sebenarnya darinya. Ia bisa menebak semuanya dengan benar. Atau, apa aku saja yang terlalu bodoh? "Sebaiknya kamu ikuti saja permintaanku."

"Tidak ah, aku tidak mau." Khati merengut dan menoleh ke arah samping.

Jun mulai kesal. Sejauh ini belum pernah ada orang yang berani membantahnya, tapi sang istri mampu melakukannya. "Ck, aku ini suamimu, kau harus menuruti permintaanku!"

Wanita itu menatap wajah sang suami, dalam. Kenapa pria ini membicarakan tentang posisinya sebagai seorang suami? Lalu maksudnya menikahiku untuk apa? "Kenapa sekarang Bapak membicarakan masalah kewajiban? Bukankah dari awal kita sudah buat kesepakatan bahwa Bapak menikahiku karena ingin menyelamatkanku?"

Wanita ini ... bagaimana cara mengendalikannya ya .... Pria itu mengepalkan kedua tangan karena gemas. Namun kemudian ia menarik napas pelan dan mencoba cara lain dengan membujuknya. Ia berbicara pelan sambil berusaha tersenyum. "Karena itu aku minta kau operasi plastik. Ini lebih aman untukmu saat ini," ucapnya berusaha sabar.

___________________________________________

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!