"Kurang ajar!"
Sebuah pukulan hampir mengenai wajah seorang gadis jika saja ia tidak menahan tangan itu. Para gadis lain di depannya terkejut mendapati pukulan mereka dapat ditahan dengan mudahnya. Si pemukul tentu saja geram, ia menyerang dengan membabi buta membuat gadis yang diserang itu sedikit kesulitan menahan pukulan penuh emosi itu.
"Kamu begini hanya karena iri denganku, Erina? For Real?!" Teriak gadis yang masih saja menghindari pukulan dari gadis didepannya.
Wajah Erina memerah, ia mengepalkan tangannya dengan erat. Rautnya benar-benar buruk kali ini.
"Kalau Iya kenapa hah?! Kamu merebut semua yang aku punya Liana! kepopuleran, kepintaran, kecantikan bahkan orang yang aku cintai kamu rebut! Kenapa kamu tidak mati saja hah?! MANUSIA SERAKAH SEPERTIMU TIDAK PANTAS UNTUK HIDUP?!" Raung Erina marah. Gadis bernama Liana itu membeku, menatap orang yang selalu ia anggap sebagai sahabat kini mengeluarkan makian padanya.
Tiba-tiba dari balik saku jaketnya, Erina mengeluarkan sebuah pisau berukuran sedang, entah bagaimana pisau itu bisa lolos dari razia para guru tadi siang. Mata Liana membulat, ia tidak percaya dengan kelakuan gadis dihadapannya. Liana menggeleng, ia terus bergerak mundur tanpa menyadari sebuah jurang yang dalam berada beberapa langkah di belakangnya.
Erina masih bergerak maju, diiringi senyuman mengerikan yang terpatri di wajahnya yang imut, sangat tidak cocok.
"Kamu memang sahabatku sebelumnya, tapi kamu merebut segalanya dariku Liana. Sebelumnya aku masih memaklumi mu, tapi jika tentang Devon, aku bahkan dengan sukarela membunuhmu tanpa belas kasihan. Hitung-hitung membalas dendam 'kan?" Erina menyeringai kejam, mencoba mengintimidasi. Liana yang sebelumnya menatap sahabatnya dengan penuh kekecewaan, memejamkan matanya sejenak. Sedetik kemudian, gadis menatap Erina dengan tatapan datar khasnya.
"Kamu tahu, sejauh ini kamu adalah orang paling busuk yang pernah aku temui, Erina." Ujar Liana tajam. Rahang Erina mengetat, hatinya berkecamuk.
"PERGI SAJA KAMU KE NERAKA SIALAN?!" Sebuah pisau menancap tepat di perut Liana membuat gadis itu meringis kesakitan. Ia yakin salah satu organ vitalnya sudah rusak sekarang.
Erina menekan pisau itu semakin dalam, membuat Liana perlahan limbung dan mundur ke belakang. Liana merasa tubuhnya ditarik kuat oleh gaya gravitasi, memaksanya untuk jatuh ke jurang. Dalam keheningan, Liana bisa mendengar suara Devon yang berteriak memanggilnya, namun suara itu akhirnya mengecil dan hilang bersamaan dengan dirinya yang semakin masuk lebih dalam ke jurang. Tubuhnya sesekali membentur bebatuan dan pohon liar, membuat banyak luka tertoreh di kulit putihnya.
Tak bisa dihindari, tubuh mungil itu menabrak dasar jurang dengan keras, membuat seluruh tulang di tubuh Liana dipastikan patah. Tubuh Liana kian mati rasa, pandangannya mengabur. Di akhir hidupnya, gadis itu masih berpikir apa salah dirinya semasa hidup hingga menerima akhir seperti ini.
Padahal hidupku jauh lebih menyakitkan dari yang Erina pikir. batin Erina.
Mata Liana perlahan mulai terpejam, bersamaan dengan matahari yang terbenam di ufuk barat serta hujan yang turun secara perlahan, seolah ikut menangisi kepergian gadis itu. Namun, Ini bukanlah sebuah akhir, tapi awal dari dimulainya petualangannya di suatu tempat, tempat seharusnya ia berada selama ini.
...----------------...
Mata itu terbuka, membuat sang pemilik seketika terduduk karena syok. Padahal Liana yakin dia sudah mati di dalam jurang. Terlebih, siapa yang mau menolong orang di dalam jurang dengan kedalaman lebih dari 1 kilometer? Hanya orang gila yang melakukannya.
Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, putih. Tidak ada apapun disana, hanya ruang hampa. Liana tentu saja bingung, untuk apa dirinya dibawa kesini.
"Halo, gadis kecil." sebuah suara lembut terdengar menyentak kesadaran Liana. Gadis itu menoleh secepat mungkin ke arah suara. Seorang lelaki (?) berambut sebahu tengah berjongkok di depannya sekarang. Lelaki itu tersenyum teduh, terasa sangat menenangkan bagi Liana yang biasanya hanya melihat senyuman palsu milik orang-orang. Perlahan lelaki itu menuntun Liana untuk berdiri.
"Anda- siapa?" tanya Liana dengan ragu. Gadis itu masih cukup curiga dengan lelaki aneh di depannya ini. Datang tak diantar, pulang tak dijemput.
Lelaki itu menatap Liana dengan lekat, iris hitamnya terlihat indah dan dalam disaat yang bersamaan, Ia akui itu.
"Tidak perlu takut, Nak. Aku tidak akan menyakitimu." Liana lagi-lagi tertegun, suara lelaki itu halus sekali. Tidak, bukan halus seperti suara perempuan, tapi halus yang bagaimana ya? intinya menenangkan tapi masih tetap maskulin.
"Kamu pasti bingung bukan, akan aku jelaskan." ucap lelaki itu. Lelaki itu menyapukan tangannya, seketika seluruh ruang hampa itu berubah menjadi Padang bunga Lily biru yang sangat indah. Liana bahkan sudah terkejut untuk kesekian kalinya. Lelaki itu mengajaknya duduk di sebuah batu datar yang berukuran besar, mereka berdua duduk berdampingan.
"Kamu tau ini dimana?" tanya lelaki itu pada si gadis.
"Mungkin, perbatasan sebelum ke akhirat?" Liana menjawab dengan ragu. Lelaki itu terkekeh pelan membuat suasana hati gadis di sebelahnya menghangat. Entah berapa lama Liana tidak pernah mendengar tawa selembut dan setulus itu.
"Kamu benar. Sebelumnya namaku Shiki, aku yang membawamu ke tempat ini, nak." Liana kini menatap wajah rupawan milik lelaki yang baru ia ketahui namanya ini. Garis wajahnya tegas, tapi menenangkan. Liana baru pertama kali melihat orang yang kelewat karismatik seperti disebelahnya ini.
"Belum waktunya jiwamu pergi, Nak. Kamu masih harus hidup, walaupun bukan di dimensi sebelumnya." Ujar Shiki dengan tenang. Dahi Liana berkerut.
"Dimensi?" tanya gadis itu. Lelaki berpakaian serba putih itu mengangguk.
"Aku akan mengirim mu ke sebuah tempat, atau dimensi yang kau ketahui." Liana semakin bingung.
"Aku tau kamu bingung. Intinya, kamu akan dikirim ke suatu dunia yang dikenal sebagai sebuah Novel di dimensimu itu." Entah berapa kali Liana terkejut sejak tadi. Dia akan dikirim ke dunia novel, dirinya?
"Tunggu, kenapa aku?" tanya Liana dengan bingung. Perasaan ia tidak pernah berdoa atau berharap supaya bisa bertransmigrasi ke dalam sebuah cerita fiksi karangan manusia yang sering ia baca Itu. Kenapa malah dia yang dipilih?
"Liana, kadang yang kamu kira hanya sebatas karangan manusia di dimensimu adalah kehidupan nyata di dimensi lainnya. Lalu, aku mengirimmu ke sana juga bukan tanpa alasan dan tujuan. Aku ingin kamu melakukan sesuatu disana."
Hening. Liana masih mencerna seluruh informasi yang secara tiba-tiba menyerbu otak kecilnya. Dia memang menduga bahwa dirinya tidak secara cuma-cuma dikirim ke dimensi atau apalah itu ia tidak peduli. Tapi, kenapa dia yang dipilih.
"Karena ini memang takdirmu, Liana." Kali ini Liana tidak lagi menunduk, melainkan menatap iris hitam milik Shiki. Iris itu seolah meyakinkannya bahwa ia bisa melewati semuanya. Gadis itu menghela napas lalu mengangguk.
"Apa yang perlu aku lakukan?" tanya Liana dengan nada yang meyakinkan. Apapun resikonya, jika memang takdir telah menggariskan dan asalkan itu baik, Liana akan menerimanya.
Shiki tersenyum, gadis di sebelahnya ini telah keluar dari keraguannya. Tangannya mengusak pucuk kepala Liana dengan lembut, membuat empunya tertegun.
"Hiduplah dengan baik, temukan kebahagiaanmu lalu lindungilah orang-orang yang berharga bagimu nak. Jangan memikirkan alur yang kau tau, buat alurmu sendiri dan ciptakan kebahagiaan bagi dirimu dan mereka yang kau cintai." Untuk kesekian kalinya Liana tertegun mendengar kata-kata Shiki. Air mata perlahan mengalir membasahi pipinya.
"Bolehkah aku- memelukmu?" tanya Liana diiringi dengan isakan kecilnya yang kian terdengar. 17 tahun ia hidup, baru pertama kalinya gadis itu menunjukan dengan gamblang bagaimana perasaan sebenarnya yang ia rasakan. Shiki terkekeh lagi, lelaki itu memeluk Liana yang terisak di dadanya.
"Apapun yang terjadi, tetaplah kuat Liana. Jangan pernah membiarkan dirimu hancur. Bangkitlah selama kamu masih punya alasan untuk bangkit." ucap Shiki ditengah sesi pelukan mereka. Setelah cukup tenang, Liana melepas pelukannya, gadis itu menggaruk lehernya.
"Umm, maaf." Pipi Liana merona tipis, gadis itu malu. Shiki hanya menggeleng pasrah menghadapi tingkah gadis didepannya. Lelaki itu lantas menuntun Liana untuk berdiri.
"Liana, seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, jangan pedulikan alur yang kamu tahu, buat alurmu sendiri dan ciptakan kebahagiaanmu sendiri, mengerti?" Liana mengangguk. Matanya memancarkan keteguhan. Ia menatap lelaki yang memeluknya dengan hangat seperti sang ayah itu dengan serius.
Shiki tersenyum. Ia lantas menepuk kepala Liana tiga kali. Tidak lama setelahnya, cahaya terang keluar dari tubuh gadis itu, bersamaan dengan tubuhnya yang bersamaan memudar.
"Selamat berpetualang, Liliana."
Semoga jalan hidupmu kali ini menjadi lebih baik. Batin lelaki itu sebelum ia menghilang, menyisakan padang Lily biru yang luas.
Iris sebiru langit itu berkedip pelan, mencoba beradaptasi dengan cahaya memaksa matanya untuk terbuka. Sesaat setelahnya, penglihatannya menjadi jelas. Ia bisa melihat seorang gadis tengah menangis haru (?) di samping ranjang yang ia tempati sekarang.
"Nona! Syukurlah!" Liana bisa merasakan rasa syukur di setiap untaian kata yang keluar dari gadis itu.
Liana mencoba untuk berdiri namun seluruh tubuhnya terasa kaku seperti telah lama tidak digerakkan. Gadis di sebelahnya dengan sigap membantunya untuk bersandar di ranjang. Tangannya dengan gesit memberikan segelas air, seolah tahu bahwa dirinya tengah kehausan.
"Terima kasih." ucap Liana. Mata beriris kelabu itu melebar. Liana mengerutkan dahinya, apakah ada yang salah?
"Mengapa kamu terkejut?" tanya Liana dengan intonasi khasnya, datar. Gadis itu tersentak, ia menggeleng ribut.
"Ti-tidak nona, hanya saja ini pertama kalinya anda mengucapkan terima kasih pada saya." Alis Liana terangkat sebelah. Sesaat tubuhnya membeku karena teringat sesuatu. Gadis itu meraba wajahnya lalu memegang rambutnya yang semula berwarna segelap malam kini berubah menjadi perak, persis seperti rambut salah satu karakter anime favoritnya.
Ia sadar, semua yang ia alami bukan mimpi. Mulai dari jatuh ke jurang dan berakhir mati, lalu pertemuannya dengan Shiki serta nasehat yang lelaki itu berikan padanya. Ia mengingat semuanya. Tanpa disangka, ratusan bahkan ribuan memori memasuki otaknya, berputar seperti sebuah film menyakitkan sekaligus menyiksa. Liana mencengkram rambutnya dengan erat, gadis itu mencoba menyalurkan rasa sakitnya.
"Nona, Nona! Apa yang anda lakukan?!" Gadis itu mencoba melepas cengkraman erat Liana, namun sayangnya itu sia-sia. Pada akhirnya gadis itu berlari keluar kamar untuk memanggil bala bantuan, ia tidak ingin nona-nya terluka lagi.
Liana memejamkan matanya, ia melihat seluruh ingatan pemilik tubuh sebelumnya. Tepat ketika bayangan penusukan kepada pemilik asli tubuh ini diperlihatkan, gadis itu langsung menjerit tertahan dan pingsan seketika.
...----------------...
"Putriku baik-baik saja kan, Samuel?" Wanita dengan rambut hitam itu menatap khawatir sang putri yang kini kembali tertidur. Pria di hadapannya tersenyum.
"Keponakanku baik-baik saja kak, dia telah melewati masa kritisnya. Dia hanya memerlukan waktu istirahat lebih banyak dan usahakan untuk membuatnya tidak beraktivitas berlebihan." Ucap Pria dengan rambut serupa. Sedangkan di seberang ranjang, seorang pria berambut perak dengan mata birunya yang tajam menatap gadis yang kini tengah berbaring itu dengan tatapan datar, walaupun ada secercah ke khawatiran dimatanya.
Pintu tiba-tiba terbuka dengan kasar, menampilkan seorang pemuda berambut perak yang terengah-engah, sepertinya ia berlari dengan kecepatan maksimal.
"Lily sudah sadar, Ayah? Ibu?" Wanita itu merentangkan tangannya, memberi isyarat agar sang anak masuk ke pelukannya. Pemuda itu tanpa ragu segera memeluk wanita paling berharga di hidupnya itu.
"Adikmu selamat Atlas, adikmu baik-baik saja." Pemuda bernama Atlas itu memeluk erat Ibunya, menyalurkan rasa leganya atas kondisi sang adik. Iris hitam wanita itu mengarah ke Sang suami, Arsean. Ia tersenyum haru yang juga dibalas senyuman tipis oleh suaminya itu.
Lenguhan terdengar dari arah Liana, membuat empat pasang mata itu memusatkan seluruh atensinya ke arah si gadis.
"Ada yang sakit, Lily? Kamu perlu sesuatu?" gadis itu menatap keempat orang di depannya. Ia mencoba menggali ingatan Liliana, gadis pemilik asli tubuh yang sekarang ia tempati.
Pria berambut perak itu adalah ayah gadis ini, Grand Duke, Arsean Xavierus De Althair. Pemuda berambut serupa itu Kakak Liliana, Atlas Zeverion De Althair. Batin Liana sambil menatap bergantian dua orang bersurai perak itu secara bergantian. Tatapan matanya lantas beralih ke wanita dan pria bersurai hitam.
Wanita bersurai hitam dengan iris hitam itu adalah Arabella Queenza De Althair, Ibu dari Liliana dan lelaki bersurai serupa ini adalah paman Liliana, Samuel Elevian De Orion. Seorang Penyihir menara. Gadis itu menatap keduanya bergantian. Diam-diam gadis itu menghela napas lelah menghadapi keadaan yang ia alami. Tanpa ia sadari, semua gerak-geriknya terlihat oleh Sang Ayah.
Arabella- Bella memeluk putrinya dengan erat, wanita itu kini menangis bahagia sambil sesekali mengucap syukur. Liana yang kini namanya Liliana atau Lily itu memeluk Ibunya tidak kalah erat. Entah sudah berapa lama ia tidak merasakan pelukan sehangat ini dari sosok seorang ibu. Tanpa bisa ditahan, air mata keluar dari iris indahnya. Bella melepaskan pelukannya lantas mengusap rambut putrinya yang kian memanjang.
"Lily! Kakak merindukanmu!" Kini giliran Atlas yang memeluknya tidak kalah erat. Lily hanya menepuk pelan punggung Kakaknya itu sambil berusaha mengambil napas sebanyak-banyaknya.
"Ka-kak, ini sesak-" Atlas segera melepas pelukannya membuat Lily dengan leluasa mengambil napasnya. Pemuda itu terkekeh gemas melihat pipi adiknya yang memerah.
Kini tatapan Lily terarah ke arah sang ayah yang juga sedang menatapnya. Gadis itu mengerutkan dahinya bingung, entah apa yang ayahnya pikirkan. Tiba-tiba tangan pria itu mengangkat tubuh sang putri ke dalam gendongannya. Pria itu memeluk putrinya dengan lembut sambil menepuk-nepuk punggung itu pelan, seolah tubuh Lily adalah kaca super rapuh yang kapan saja bisa pecah.
"Syukurlah." Satu kata penuh makna terucap dari mulut Arsean. Lily tersenyum mendengar gumaman Ayahnya itu. Suasana yang tadinya tegang kini berubah menjadi lebih hangat.
Samuel tersenyum melihat keluarga kakaknya yang dipenuhi kehangatan setelah sekian lama, pria itu lantas berjalan ke arah Arsean. Ia menepuk-nepuk pelan kepala sang keponakan sambil sesekali mencubit pipinya. Lily yang merasa sedikit terganggu menggembungkan pipinya kesal.
"Hei keponakan paman yang cantik, istirahat yang banyak ya. Kamu masih masa pemulihan, jangan macam-macam dulu, Janji?" Samuel menyodorkan janji kelingkingnya tepat di depan gadis kecil itu. Lily awalnya diam, namun tak lama setelahnya, gadis itu akhirnya menautkan jari kelingkingnya yang mungil dengan kelingking sang paman.
"Janji!" Ujar Lily dengan semangat, membuat seisi ruangan tertawa melihat tingkahnya yang menggemaskan.
Lily lantas kembali menatap ayahnya. Seolah melakukan telepati, Arsean mengangguk. Pria itu menurunkan dan kembali menaruh putrinya di atas ranjang dengan hati-hati.
Biasa, ayah posesif.
"Emm, Ayah, Ibu, Paman dan Kakak, Lily ingin tidur." Ucap gadis itu dengan malu-malu membuat Atlas yang berada tepat di sebelahnya tidak tahan untuk mencubit pipi adiknya. Bella tertawa sambil menghampiri putrinya. Wanita itu lantas mencium kening sang putri dan menepuk pucuk kepalanya.
"Dimengerti, mimpi indah sayang." ucap Bella dengan lembut. Ia sebenarnya tidak rela, tapi mengingat putrinya memang baru sadar, wanita itu tampaknya memang harus memberikan waktu sendiri bagi putrinya.
Cup
Sebuah Ciuman mendarat di pipi Lily, membuat gadis itu merona seketika. Irisnya menatap sang kakak dengan kesal.
"Jangan marah ya cantik, kakak hanya mencium pipimu loh~" Ucapan Atlas hanya dibalas oleh dengusan kesal dari Lily, membuat Atlas tertawa puas.
Arsean tidak mau kalah, ia lantas mencium dahi serta kedua pipi putri bungsunya itu dengan lembut. "Istirahat yang cukup." begitu kira-kira katanya. Mereka berempat lantas keluar dari kamar Lily membuat gadis itu seketika bisa bernapas lega.
Gadis itu mencoba turun dari ranjangnya menuju meja rias sekaligus meja belajar yang berada dekat walk in closet. ia melihat pantulan wajahnya di kaca. Rambut yang berwarna perak, mata berwarna biru cerah. Tidak salah lagi, dia memang bertransmigrasi ke tubuh Antagonis dari Novel 'Rea With The Five Prince', Liliana Iliosa De Althair. Salah satu tokoh dengan akhir paling tragis di novel.
Novel ini sebenarnya Lily baca ketika dia masih menjadi Liana, tepat sehari sebelum ia mati karena jatuh dari Jurang. Novel ini menceritakan tentang Andrea Florytha De Aquila atau Rea, seorang putri dari Kerajaan Northaxia yang dianugerahi Elemen Cahaya, salah satu elemen langka yang mampu melenyapkan kehadiran Iblis. Elemen ini dikatakan langka karena hanya dimiliki oleh satu orang setiap 1000 tahun sekali.
Sebelumnya, Novel ini berlatar negeri fantasi di sebuah Kekaisaran bernama Epitychìa. Kekaisaran ini dibagi kembali menjadi 5 bagian yang di pimpin oleh 4 Raja dan satu Grand Duke. Di Novel ini diceritakan setiap orang memiliki suatu kekuatan berupa Elemen yang dapat dikendalikan dan dimanipulasi sesuai keinginan penggunanya. Namun, ada beberapa elemen langka yang hanya dimiliki oleh keluarga Kerajaan maupun kekaisaran.
Di Novel tersebut, Rea diceritakan menjadi putri yang baik hati dan berbakat serta ramah. Ia begitu disenangi oleh banyak orang kecuali satu orang, siapa lagi kalau bukan Liliana. Gadis dari keluarga Althair itu sangat membenci Rea karena segala kesempurnaan yang ia miliki, bahkan kasih sayang kakaknya pun direnggut dari Lily. Terlebih, Lily adalah gadis yang kurang berbakat tapi cenderung sombong dan seenaknya. Ia hanya bisa menggunakan Elemen Es yang merupakan elemen langka milik keluarga Althair hanya sampai tingkat 3 dimana itu masih tergolong lemah, sehingga para bangsawan lain selalu mengejeknya. Puncak masalahnya adalah ketika Rea berhasil mengambil hati dari calon tunangan Lily yaitu Matheus Xelavian De Polaris, putra mahkota Kerajaan Southaxia. Lily langsung murka dan nekat merencanakan pembunuhan berencana untuk menyingkirkan Rea. Namun pada akhirnya rencananya gagal dan dia malah dihukum mati. Kematiannya pun terbilang tragis. Gadis itu diarak keliling kerajaan dan dibakar hidup-hidup tepat di alun-alun. Membayangkannya saja membuat Liana ngilu saat membacanya.
Dan sekarang, dia malah menjadi antagonis gila itu?! Apakah dia sebelumnya pernah melakukan kesalahan besar? Kenapa hidupnya sial sekali?
...----------------...
Lily duduk diatas ranjangnya sambil memegangi kepalanya yang mendadak pening. Jika ditinjau dari Novel, alur ceritanya akan dimulai ketika dia berumur 12 tahun, yang artinya tiga tahun dari sekarang. Berarti, yang harus Lily lakukan sekarang adalah mengubah kebiasaan Liliana yang suka bermalas-malasan dan mengabaikan potensinya.
Di novel, Liliana diceritakan memiliki 3 elemen, Air, Tanah dan Es, itu pun sama-sama di peringkat rendah. Sebenarnya bukan karena bakat sih tapi Liliana terlalu acuh dengan potensinya dan lebih memilih mengejar Matheus. Ya, cinta memang bisa membuatmu buta. Tapi, tubuh gadis itu kini diisi oleh jiwa Liana Anindya, gadis yang terlalu acuh dengan masalah percintaan dan sejenisnya. Ia lebih memilih untuk mendekam di perpustakaan dibandingkan dengan meladeni orang-orang menyebalkan.
"Yah, seperti kata Shiki, aku bisa mengobrak-abrik alur sesukaku kan? Yosh! Sudah ku putuskan bahwa aku akan tetap hidup dan merubah takdir Liliana menjadi lebih baik." Ucap Lily dengan semangat berapi-api. Gadis lantas berjalan menuju meja dan mengambil alat untuk menulis beberapa rencana penting.
"Oke, yang pertama aku harus mulai meningkatkan level elemenku dan menjadi OP hehe." Lily mulai menulis seluruh rencana di sebuah buku bersampul putih. Setelah selesai ia memutuskan untuk kembali tidur dan mengistirahatkan tubuhnya yang terlalu lelah.
...----------------...
"Selamat pagi Nona!" Sapa Noi dengan semangat. Lily baru menyadari bahwa gadis inilah yang ia lihat ketika pertama kali terbangun di dunia ini. Lily tersenyum dan mengangguk membalas sapaan Noi.
Tidak lama setelahnya beberapa Pelayan lain masuk dan mulai mondar-mandir mempersiapkan keperluan nona mereka. Ada yang menyiapkan bak mandi, gaun dan lain-lain yang sebenarnya tidak Lily tahu apa itu. Gadis itu hanya menatap kegiatan mereka dengan penuh penasaran. Sebenarnya ada berapa pelayan di rumah ini- ah tunggu apakah ini lebih cocok disebut mansion?
Noi yang melihat tatapan penuh rasa ingin tahu dari nona kecilnya itu terpekik gemas. Biasanya nona-nya selalu menatap mereka dengan tatapan jijik dan enggan, namun sejak kemarin tatapan nona-nya berbeda, dia seolah menjadi orang lain.
"Nona, semuanya sudah siap. Mari saya bantu." ucap Noi yang kini membantu Lily turun dari tempat tidurnya. Gadis itu membantu nona-nya untuk melepaskan pakaian dan mandi.
...----------------...
Setelah acara mandi yang menguras mental Lily, gadis itu kini sudah dirias dengan riasan natural yang semakin mempercantik parasnya. Ia sekarang menggunakan gaun berwarna seputih salju yang menyatu dengan warna kulitnya. Rambutnya digerai dengan jepitan berbentuk salju yang menghiasi rambut sewarna perak itu. Untung saja para pelayan meriasnya dengan riasan normal, jujur saja Lily sempat syok ketika tahu bahwa dulu Lily selalu merias wajahnya dengan riasan menor yang tidak sesuai umur.
"Dulu nona selalu menggunakan riasan seperti itu untuk memikat pangeran Matheus, padahal jika nona dirias seperti ini jauh lebih cantik dan imut." Kira-kira begitu ungkapan yang Noi sampaikan ketika ia bertanya terkait alasan riasan menor itu.
Lily bergidik geli, membayangkan wajahnya dirias seperti itu membuat dirinya merinding setengah mati.
"Nona, ayo kami antar ke ruang makan. Grand Duke, Grand Duchess dan Tuan Muda Atlas telah menunggu." Ajak Noi dengan sopan. Lily mengangguk, ia segera menggandeng tangan Lily dengan lembut. Mereka lantas keluar dari kamar untuk segera turun ke lantai satu, tempat dimana ruang makan berada.
Yang Lily Ingat, Mansion ini terdiri dari beberapa Area. Area utama, tempat dimana keluarga Grand Duke Althair tinggal. Area ini terdiri dari lima lantai dan sangat luas. Lalu Area belakang tempat para ksatria dan pelayan tinggal. Ada juga gudang tempat penyimpanan senjata yang berada di selatan serta lapangan tempat para ksatria berlatih di bagian Utara. Kemudian di area hutan dekat Lapangan terdapat taman tersembunyi milik Grand Duchess yang ditanami sejumlah buah-buahan yang selalu tumbuh tanpa mengenal musim. Lalu yang terakhir adalah Taman bunga milik Liliana yang tidak pernah gadis itu rawat. Taman itu adalah hadiah ayahnya saat gadis itu berulang tahun yang ke- 7 tahun.
Lily berdecak mengingat kebodohan gadis yang sekarang ia tempati tubuhnya ini. Tapi tunggu, kalau diperhatikan kenapa wajahnya di kehidupan sebelumnya dengan wajah Lily amat mirip, hanya berbeda warna rambut dan mata? Lalu memikirkan apa yang Lily alami membuatnya ingat dengan kejadian sebelum ia jatuh ke jurang. Erina sama-sama merasakan rasa iri, persis seperti yang Lily alami di Novel, namun yang mati malah dirinya.
Saking asiknya merenung, tanpa disadari mereka telah sampai di meja makan. Lily duduk bersebelahan dengan sang kakak yang sejak tadi terlihat terkejut menatap wajahnya. Gadis itu menatap seolah bertanya 'ada apa dengan wajahku? apakah buruk?'
"Ti-tidak, itu jauh lebih baik! Nah, kalau begini kan adikku terlihat cantik." Ungkap Atlas. Jujur saja, pemuda itu cukup kaget dengan penampilan baru adiknya itu.
Arsean memberikan isyarat untuk memulai acara sarapan hari itu.
Setelah sarapan, Lily menahan kedua orangtua dan kakaknya untuk beranjak, gadis itu memilin gaunnya diiringi rasa khawatir yang muncul. Arsean dan Bella yang dapat dengan jelas membaca ekspresi sang putri itu lantas saling bertatapan.
"Ada apa Lily? Apa ada hal yang kamu khawatirkan?" tanya Bella. Lily menatap ketiga orang yang kini menatapnya penasaran.
"Emm, boleh Lily memotong rambut?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!