"Dasar wanita man dul!" pekik Mama Dian seraya berkaca pinggang.
"Sudah jelek, masih berani belagu!" hardik Sisy, sang adik ipar.
"Cepat kamu bereskan dapur lalu cuci semua baju kotor dan bersihkan seluruh sudut rumahku. Sepulang aku arisan, awas kalau masih kotor. Aku lempar kamu ke tong sampah!" hardik Mama Dian, sang ibu mertua, tanpa belas kasihan pada menantunya.
"Iya, Mah. Rara akan cepat bereskan," cicit Rara lirih dan menunduk.
Selepas Mama Dian dan Sisy pergi dari hadapannya, Rara pun hanya bisa menghela nafas berat. Entah bagaimana kehidupan pernikahannya ke depan yang sudah berjalan lima tahun ini.
Dirinya hanya bisa pasrah akan takdir yang nanti membawanya.
Rara pun bergegas mencuci baju dan membereskan dapur serta seisi rumah mertuanya itu. Di rumah itu ia tinggal bersama suaminya, adik ipar dan ibu mertuanya.
Dirinya saat ini hanya memakai baju daster rumahan yang terbilang harganya sangat murah yakni seratus ribu rupiah dapat tiga potong. Itu pun belinya secara kredit. Sebab sang suami sudah tiga tahun ini membatasi keuangan dirinya.
Terlebih sejak dirinya memutuskan resign dari jabatannya sebagai sekretaris CEO di PT. GINCU. Perusahaan bonafit di bidang make up yang pusatnya berada di Ibukota Jakarta. Dahulu Rara memiliki gaji bulanan minimal dua puluh lima juta rupiah per bulan.
Jika proyek sedang banyak dan kantor tempatnya bekerja mendapatkan tender besar, tak ayal dirinya pun mendapatkan bonus yang begitu fantastis hampir senilai satu kali gaji bulanannya.
Akan tetapi saat ini hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Rara Artanegara, 30 tahun, gadis yatim piatu yang dahulu bertubuh langsing bak gitar Spanyol kini menjadi lebih gemuk dan terlihat lusuh.
Sebelum menikah, ia terbiasa perawatan di klinik kecantikan ternama di Jakarta yang harganya terbilang mahal untuk sekali perawatan. Namun setahun setelah menikah, ia mulai jarang dan akhirnya berhenti melakukan perawatan rutinnya.
Terlebih setelah setahun tak ada tanda-tanda kehamilan, membuat hidup Rara semakin pelik dan terpojok. Tuduhan wanita mandul hingga hinaan bahwa tubuh Rara yang dahulu langsing tersebut akibat oplas alias operasi plastik.
Padahal faktanya bukan seperti itu. Ketika belum menikah, Rara memang terbiasa diet dan menjaga makanan apapun yang masuk ke tubuhnya. Bukan karena operasi plastik.
Namun setahun setelah menikah, tepatnya kepindahan dari rumah peninggalan mendiang orang tuanya ke rumah sang mertua, menjadi titik awal nestapa sekaligus perubahan bentuk tubuh Rara.
☘️☘️
Setahun pernikahan.
Rara Artanegara dan sang suami, Pramana Handoko, yang biasa dipanggil Pram sungguh menikmati kebahagiaan pernikahan mereka yang baru saja menginjak satu tahun.
Keduanya bertemu di PT. GINCU. Rara sebagai sekretaris CEO dan Pram sebagai Manager Keuangan. Rara juga memiliki seorang sahabat baiknya sejak kuliah yang bekerja di kantor yang sama, bernama Anita.
Anita menjabat sebagai staf keuangan. Berkat Rara juga yang membantu Anita sehingga sang sahabat bisa bekerja di PT. GINCU. Didorong rasa iba melihat Anita yang baru saja diceraikan secara sepihak oleh mantan suaminya.
Janda muda tanpa anak serta tak punya pekerjaan, akhirnya Rara membantu Anita masuk ke dalam perusahaan tempatnya bekerja tersebut.
Hari ini Pram dan Rara merayakan anniversary setahun pernikahan mereka di sebuah area privat room restoran mewah di Jakarta Pusat.
Makan malam romantis sekaligus menghabiskan perayaan cinta di sebuah hotel bintang lima di kawasan yang sama sudah menjadi rencana mereka berdua malam ini.
"Happy anniversary, Mas. Untuk satu tahun pernikahan kita. Semoga Mas Pram menjadi suami teladan dan juga Papa yang terbaik untuk calon anak-anak kita kelak. Langgeng selalu hingga kakek nenek," cicit Rara seraya mengucapkan doa dan permohonan tulusnya tersenyum sumringah.
"Amin..." jawab Pram penuh semangat.
"Semoga kamu cepat hamil sayang. Hari ini kamu cantik sekali," bisik Pram lembut menggoda.
Otomatis membuat wajah Rara pun merah padam bak kepiting rebus dipuja suami tercinta setinggi langit. Hingga bulu kuduknya ikut meremang membayangkan pertempuran malam ini yang pasti akan maha dahsyat.
"Sabar dong, Mas. Sekarang makan dulu buat isi tenaga," cicit Rara sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
"Ayo kita makan. Jangan lama-lama. Aku sudah enggak tahan yank," ucap Pram yang melihat kemolekan sang istri malam ini, membuatnya panas dingin.
Akhirnya makan malam keduanya usai dengan cepat dan Pram segera memboyong sang istri kembali ke kamar mereka di Suite Room 123.
Selepas pintu kamar tertutup, Pram yang sudah tak sabar sejak di restoran tadi, akhirnya langsung menyerang Rara.
Rara begitu terkejut namun seulas senyum tipis di bibirnya begitu tampak sumringah. Untuk urusan di bawah perut, Pram selalu piawai.
Akhirnya setelah dua jam lebih penyatuan keduanya berlangsung, seiring terinya memenuhi kolam lahan istrinya. Berharap membuahkan hasil yang selama ini mereka idam-idamkan.
Sepasang suami istri itu pun berusaha mengatur nafas masing-masing. Kondisi kamar mereka sudah porak poranda bak kapal pecah.
Gaun Rara dan jas serta kemeja milik Pram sudah teronggok mengenaskan di lantai. Padahal harga pakaian mereka berdua terbilang cukup mahal dan menguras isi kantong.
Namun sebelum Rara berkata, suaminya itu sudah membungkam mulutnya dengan ciuman menuntut. Akhirnya penyatuan kedua pun berlanjut di hari satu tahun anniversary pernikahan mereka.
Sebuah titik awal kehidupan pernikahan Rara dan Pram yang bahagia berubah menjadi n3 raka bagi seorang Rara.
🍁🍁🍁
"Apa kamu puas, Mas?" tanya Rara setiap selesai berhubungan.
"Of course yank. Kamu selalu bikin aku candu. Ini... ini... apalagi ini. Sangat legit," bisik mesra Pram seraya menyentuh aset berharga Rara yang menjadi favoritnya.
"Euu~Ggh... tanganmu na ¢al, Mas."
Rara pun mencubit tangan sang suami yang sudah merajalela berada pada pucuk buah jambunya.
"Mau lagi yank. Dedek sudah bangun lagi," pinta Pram berbisik mesra seraya membawa tangan sang istri menyentuh si Dedek di bawah sana yang sudah siap bertempur kembali.
Kalimat mesra antara dirinya dan sang suami kembali terngiang jelas dalam ingatannya. Terlebih semalam dirinya dan Pram juga masih menikmati dahaga cinta yang begitu menggelora. Namun dalam sekejap harapannya pun musnah.
Satu bulan setelah perayaaan setahun anniversary pernikahan Pram dan Rara, ternyata keduanya belum diberikan rejeki kehamilan Rara. Dikarenakan siang ini Rara kedatangan tamu bulanannya.
Saat istirahat kerja, Rara terus menangis di toilet kantornya. Anita yang tanpa sengaja melihat sang sahabat, akhirnya coba mengetuk pintu toilet.
Tok...tok... tok...
Suara ketukan pintu pun terdengar.
"Ra, apa kamu di dalam? Kamu baik-baik saja kan?" tanya Anita dengan nada cemas.
Rara yang mendengar suara Anita, akhirnya ia menghapus air matanya. Ia berusaha tegar karena bulan ini ternyata dirinya masih tak kunjung hamil juga.
Akhirnya Rara keluar dari toilet dengan mata sembab. Anita pun terkejut melihat kondisi Rara yang terlihat menyedihkan.
"Kamu habis nangis, Ra? Kenapa? Coba cerita sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu kamu," ucap Anita penuh perhatian selayaknya seorang sahabat baik pada Rara.
"Aku datang bulan Nit," cicit Rara sendu.
"Ya ampun, Rara. Aku pikir kamu kenapa. Apa perutmu sakit karena datang bulan? Apa perlu aku ambilkan obat di klinik kantor?" tanya Anita penuh perhatian.
"Enggak perlu, Nit. Aku sakit bukan karena itu. Aku sedih karena belum bisa kasih anak untuk Mas Pram," cicit Rara sedih.
"Sabarlah, Ra. Yang penting kalian berdua sudah berusaha dan berdoa. Sisanya serahkan pada takdir Tuhan. Kita sebagai manusia hanya bisa pasrah," tutur Anita seraya memeluk Rara.
"Aku malu, Nit. Setiap kali ke rumah mertuaku selalu ditanyain soal anak. Mas Pram memang belain aku di sana. Cuma aku enggak bisa begini terus. Aku juga pengin segera kasih anak ke Mas Pram dan mertuaku," ucap Rara dengan nada cemas bercampur aduk.
"Kamu sudah pernah coba suntik hormon atau semacam terapi hormon begitu biar cepat hamil?" tanya Anita mencoba memberikan ide.
"Belum. Bagaimana itu prosedurnya, Nit?" tanya Rara yang masih awam.
"Nanti aku antar kamu ke dokter kenalanku sepulang kerja jika kamu mau. Semoga nanti cocok dan kamu bisa segera hamil," cicit Anita memberi semangat.
"Amin..."
"Makasih banyak ya, Nit. Kamu memang sahabat baik aku sejak dulu," ucap Rara tulus seraya memeluk Anita.
"Ah bisa saja kamu, Ra. Kan sesama sahabat harus saling tolong menolong. Buktinya yang lalu saat aku terpuruk dan dicerai dari suamiku karena diselingkuhin. Kamu juga yang bantu aku buat bangkit dan dapetin pekerjaan ini. Kalau enggak ada kamu, mungkin aku sudah jadi gelandangan di jalan atau parahnya bisa bunuh diri karena depresi."
"Hush... jangan bicara begitu! Aku ikhlas kok bantu kamu. Sudah-sudah, yuk kerja lagi. Jam istirahat sudah mau habis. Jangan makan gaji buta saja. Nanti CEO kita ngambek," ucap Rara seraya terkekeh dan melangkah keluar dari toilet.
Anita pun ikut tertawa kecil dan geleng-geleng kepala melihat tingkah lucu sahabatnya itu. Anita mengikuti Rara keluar toilet dan mereka kembali ke ruangan masing-masing.
Sepulang bekerja, Anita bergegas melangkah menuju mobil Rara yang sudah terparkir rapi di basement kantor. Keduanya telah sepakat akan berangkat ke klinik dokter kenalan Anita untuk program suntik hormon.
Anita tidak memiliki mobil. Sejak perceraian yang lalu, dirinya tak mendapat sepeser pun harta dari suaminya. Terlebih di PT. GINCU dirinya juga masih tergolong karyawan baru.
Gaji Rara tentu jauh lebih besar daripada gajinya. Biasanya sehari-hari Anita pergi ke kantor naik ojek.
Kebetulan hari ini Pram, suami Rara, sedang dinas luar kota dan akan pulang dua hari lagi.
Rara sejak tadi mencoba menghubungi ponsel suaminya untuk sekedar memberi kabar dan bertanya agar diperbolehkan ikut terapi hormon. Akan tetapi sayang, ponsel milik Pram sedang mati. Sehingga Rara tak bisa berkonsultasi dahulu dengan sang suami.
Ceklek...
Bip...
Suara pintu mobil Rara yang dibuka oleh Anita lalu tertutup kembali.
Anita pun telah memasuki mobil Rara. Ia melihat sahabatnya itu tengah gelisah sambil memegang ponsel.
"Kenapa, Ra?" tanya Anita bingung menatap wajah sahabatnya.
"Ini loh tumben Mas Pram ponselnya off. Jadi aku enggak bisa hubungi dia sejak tadi. Mau sekedar kabari kalau aku ikut terapi hormon sesuai saran dari kamu. Boleh apa enggak begitu," cicit Rara yang tengah gelisah dan galau.
Apapun yang biasa Rara lakukan setelah menikah dengan Pram, ia selalu berusaha tahu akan kodratnya. Dirinya berusaha menjadi istri yang baik.
Kemana pun ia pergi dan dengan siapa, bahkan perjalanan dinas keluar kota karena tender kantor pun, Rara selalu meminta izin pada Pram. Tetapi kali ini dirinya sudah membuat janji untuk terapi hormon, namun sang suami belum mengetahui rencana dadakannya tersebut.
"Aku yakin Mas Pram setuju kok. Lagipula dokternya juga terpercaya. Banyak artis yang juga belum punya anak, ikut terapi hormon di sana dan berhasil. Kamu tahu artis yang namanya Kya-Kya. Suaminya kalau enggak salah namanya Wawan Cah. Yang cakep dan cantik, terkenal itu loh!" ucap Anita semangat memaparkan pada Rara.
"Oh iya aku tahu. Kya-Kya dan Wawan Cah yang sudah sepuluh tahun nikah enggak punya anak akhirnya sekarang punya anak satu, laki-laki itu kan?" tanya Rara antusias.
"Yess betul sekali, Ra. Aku yakin kamu bisa seperti artis-artis yang berhasil terapi hormon di sana. Percaya deh," ucap Anita meyakinkan serta memberi semangat Rara.
"Oke. Let's Go!" ucap Rara bersemangat.
"Ayukk! Sebelum kena macet Jakarta," ujar Anita seraya terkekeh.
"Haha..." tawa Rara.
Saking semangatnya bertumpuk rasa frustasi yang mendera Rara, pada akhirnya dirinya terlupa meminta izin pada Pram selaku suaminya tentang terapi hormon tersebut.
🍁🍁🍁
Satu bulan pasca terapi hormon, tubuh Rara tampak berubah drastis. Berat badannya yang awalnya hanya 45 kg, kini berubah menjadi 60 kg. Naik 15 kg.
Nafsu makan Rara semakin meningkat tajam. Biasanya dirinya rajin olah raga. Namun, akhir-akhir ini ia didera rasa malas. Sepulang kerja hanya makan lalu rebahan untuk tidur.
Bahkan wajahnya semakin terlihat kusut dan jarang terawat sehingga timbul jerawatan dan flek hitam di mana-mana.
Pram sempat aneh melihat kondisi Rara yang berubah drastis tersebut. Bahkan Rara sering marah tak jelas padanya, mudah emosian. Terlebih jika Pram memarahinya karena malas mengurus suami dan lain-lain.
Pram suka dengan Rara yang cantik, langsing dan terawat. Sehingga enak dan nyaman untuk dijamahnya. Kini melihat perubahan fisik maupun sikap Rara membuat Pram ogah-ogahan menyentuh sang istri. Seakan naafsuu nya mendadak hilang ditelan bumi.
Rara beranggapan dirinya berubah karena tengah hamil. Walaupun mereka belum memeriksanya, baik melalui test pack maupun datang ke dokter kandungan. Datang bulan Rara juga belum datang untuk periode ini.
Namun yang tampak di mata Pram, Rara bukan hamil melainkan seperti salah minum obat.
Pram sudah mengetahui tentang terapi hormon yang dilakukan Rara bersama Anita. Sepulang dinas tempo lalu, Pram sempat memarahi Rara. Namun akhirnya lelaki itu luluh juga kala Rara memberikan persembahan malam cinta selepas Pram letih dan penat dari dinas luar kota.
Walaupun saat itu harus ditempuh dengan cara lain karena Rara masih datang bulan. Namun Pram tetap lega karena terpuaskan haasratnya. Rara memang selalu pandai membuat dia terbuai. Namun saat ini hal itu sudah tak berlaku lagi.
"Astaga Rara! Kamu kesetanan makan segini banyak!" bentak Pram.
Seketika Rara yang akhir-akhir ini cukup sensitif, tak ayal matanya sudah berkaca-kaca dan mengehentikan makannya. Air matanya menggenang di pelupuk.
"Mas Pram tega. Kenapa bentak aku? Huhu..."
Akhirnya tangis Rara pun terjadi. Pipinya yang mulus langsung banjir air mata. Otomatis wajahnya menjadi sembab dan hidungnya kemerahan.
Pram menghela nafas berat. Melihat meja makan yang sudah kosong melompong tak bersisa untuknya. Padahal perutnya tengah lapar ingin segera makan malam.
Lantas melihat sang istri yang hanya memakai daster rumahan dengan bentuk tubuh yang berubah. Banyak lemak di mana-mana. Bahkan rambut Rara biasanya dibiarkan tergerai cantik, kini dicepol mirip emak-emak kampungan. Tentunya terlihat tak menggairahkan baginya.
Hal itu memicu Pram naik pitam sehingga memarahi sang istri.
"Maafkan Mas, Ra. Mas khilaf sayang," cicit Pram mencoba berdamai.
"Aku lagi hamil, Mas. Jadinya nafsu makanku bertambah. Bukankah Mas dan keluarga Mas sudah pengin agar aku cepat hamil dan memberikan keturunan untuk kalian," ucap Rara masih dalam mode sensitif.
"Apa kamu sudah periksa, Ra?" tanya Pram hati-hati.
"Belum. Tapi aku yakin hamil soalnya datang bulanku sudah terlambat, Mas. Harusnya satu minggu yang lalu. Sampai sekarang belum juga datang, artinya aku lagi hamil Mas."
"Fiuh..."
"Coba Mas belikan test pack dulu di apotik depan komplek. Kamu tunggu di rumah dulu," cicit Pram.
"Aku ikut Mas. Aku enggak mau nanti Mas dilirik mbak kasirnya. Dia orangnya genit," ketus Rara bergegas pergi ke kamar untuk ganti baju.
Brakk...
"Ya ampun Tuhan," batin Pram menggerutu sebal kala melihat Rara masuk kamar mereka dengan membanting pintu.
☘️☘️
Selepas membeli beberapa merek test pack dan hasilnya semuanya negatif. Rara semakin frustasi dan menangis. Dadanya semakin sesak. Terasa sulit bernafas.
Bukan karena hasilnya negatif, tetapi kalimat Pram yang membentaknya beberapa menit yang lalu hingga membuat dia sedih menyayat hati.
"Lihat ini! Negatif kan. Sudah aku bilang, kamu itu enggak hamil. Bahkan mungkin enggak akan bisa hamil. Arggh...sial!"
"Lihat sekarang wajah dan tubuh kamu. Becermin, Ra! Lihat!" bentak Pram seraya menyeret Rara ke depan cermin besar full body yang ada di kamar mereka.
Setelah itu Pram menghempas Rara di atas ranjang dengan cukup kasar.
"Aku muak dengan semua ini, Ra. Kamu semakin susah diatur saja!"
Brakk...
Pram pun pergi meninggalkan rumah mendiang orang tua Rara. Dan Rara pun hanya bisa menangis tersedu-sedu di atas ranjang mereka.
Di rumah itu tak ada pembantu tetap. Rara hanya membayar art yang biasa datang dua hari sekali membersihkan rumahnya, mencuci baju, dan setrika.
Kedua orang tua Rara meninggal dunia akibat kecelakaan mobil beberapa bulan sebelum Pram dan Rara menikah. Selepas mereka menikah, Pram dan Rara hanya tinggal berdua di rumah peninggalan kedua orang tua Rara.
"Ya Tuhan, apa dosaku? Aku hanya ingin membahagiakan Mas Pram dan keluarganya yang meminta keturunan padaku. Mama Papa, Rara rindu kalian," batin Rara menangis pilu seraya menatap foto mendiang kedua orang tuanya di sebuah pigura kecil.
Sejak kejadian itu, sikap Pram berubah pada Rara. Lebih terkesan cuek. Akan tetapi sudah tak membentak atau kasar pada Rara. Namun lebih dingin dan terasa hambar.
Dua minggu kemudian, Rara pun datang bulan sehingga tak ayal dirinya drop dan sakit. Rara memutuskan tak masuk kerja dahulu selama beberapa hari. Selain dirinya demam, ia juga ingin menenangkan diri.
Pram masih merawat dirinya dengan cukup baik selama dia tak masuk kerja. Dan malam hari pun tiba, Pram mengatakan sesuatu pada Rara.
"Yank, apa kamu mau nurut sama kemauan Mas?" tanya Pram lembut seraya memeluk Rara yang tengah tidur-tiduran di atas ranjang.
"Iya, Mas. Rara mau kok nurutin. Asal Mas Pram enggak bentak-bentak Rara. Sayang sama Rara lagi kayak dulu. Rara cinta sama Mas Pram. Rara cuma punya Mas Pram di dunia ini," cicit Rara sendu seraya matanya sudah berkaca-kaca dan membalas pelukan suaminya semakin erat.
Cup...cup...cup..
Pram menciumi wajah Rara yang sembab. Dengan kedua tangannya, Pram menghapus air mata sang istri.
"Sudah jangan nangis lagi, yank."
"Hem," jawab Rara berdehem.
Sempat terjadi keheningan beberapa saat antara keduanya, sebelum akhirnya Pram buka suara.
"Lebih baik kamu resign dari kantor. Fokus untuk program kehamilanmu agar kita cepat punya anak, Ra."
"Dan lebih baik kita tinggal di rumah orang tuaku. Selain lebih dekat dari kantor, juga agar kamu enggak bosan sendirian di rumah. Lagipula biaya program kehamilan kan cukup mahal juga. Jadi untuk lebih berhemat, kita pindah ke rumah orang tuaku ya," pinta Pram dengan lembut.
🍁🍁🍁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!