Zania pergi ke sekolah diantar oleh papanya, ia sebagai siswi baru tidak nervous amat, karena ia memang punya sifat yang lumayan jutek.
Zania keluar dari mobil, ia berjalan santai sambil memegang buku, menyusuri koridor yang lumayan panjang.
Zania menuju kantor, ia selaku murid baru, tentu tidak tahu dimana kelas nya. Dengan diiringi oleh papanya, Zania kelihatan tak memperhatikan keadaan sekelilingnya yang begitu antusias memperhatikan nya, karena selain cantik Zania juga terkesan imut, meski tak bisa dipungkiri sikapnya selain bar bar juga tergolong usil.
"Selamat pagi, Pak!" ucap pak Lesmana, pada kepala sekolah.
"Ya selamat pagi, dengan Bapak Lesmana?"
"Iya, ini anak saya Zania Inaira."
"Oh ... mari saya antar kan ke kelasnya." Ucap salah seorang guru wanita yang ada diruang kantor itu.
Zania keluar mengikuti guru itu, dengan disaksikan oleh para murid yang berdiri diarea pelataran sekolah. Sedangkan papanya masih di kantor menyelesaikan sesuatu.
Guru itu membawa Zania masuk kelas XII IPA 1, sesuai dengan jurusan yang diambilnya, dia anak IPA.
Zania duduk di bangku paling depan, padahal ia paling tidak suka, duduk diurutan paling depan menurutnya, ia tak bisa leluasa untuk jail pada teman yang lain.
Suara panduan guru tanda masuk sudah berbunyi, para siswa sekelas Zania masuk tanpa terkecuali.
Zania menatap guru yang masuk di kelas barunya. Pak Hamdan nama guru itu, ia mengajar pelajaran matematika. Zania yang paling suka matematika, bertambah semangat mengikuti pelajaran itu.
Sepasang mata Pak Hamdan memperhatikan semua siswa yang ada di kelas XII IPA 1 itu.
Tampak salah satu murid berbisik kepada temannya. Tiba tiba pak Hamdan memukul mejanya. Sontak Zania terkejut, dan ikut pula memukul meja didepannya.
"Heh kamu, kamu melawan saya?"
"Hedeh ... bukannya menyuruh aku memperkenalkan diri, malah marah!" gerutu Zania.
Zania diam, ia menatap Pak Hamdan, sesuatu yang pantang baginya jika muridnya berani menatapnya. Pak Hamdan termasuk guru yang paling ditakuti disekolah itu.
"Apa kamu tak dengar?"
"Dengar Pak, Bapak memukul meja bukan?"
"Kesini kamu, sejak kapan ada yang berani melawan ku?"
Zania tak mengerti, sebab ia sama sekali tak tahu jika Pak Hamdan guru paling killer disekolah. Zania maju ke depan, dengan tanpa rasa takut ia berdiri.
"Sekarang apa Bapak menyuruh saya memperkenalkan diri?"
"Apa kamu bilang?"
"Saya adalah murid baru dikelas ini, jadi saya tanya ... apa Bapak menyuruh saya memperkenalkan diri saya?"
Pak Hamdan menatap lekat pada Zania, ia mau marah tapi ia sadar jika pasti Zania tak mengenal nya.
"Jadi kamu murid baru?" tanya Pak Hamdan agak lembut.
"Iya Pak, saya murid baru, sama seperti Bapak, murid murid Bapak juga tak mau menyapa saya!"
"Eh, bukanya cepat malah ngobrol!"
"Cepat ngapain ya, Pak?"
"Katanya mau memperkenalkan diri, cepat!"
Zania nyengir.
"Saya Zania Inaira, panggil Zania, at_"
"Sudah, sana duduk kerjakan tugas halaman dua puluh."
"Ih ... Bapak, gak seru!"
"Kalau mau seru, sana tanding!"
"Aku belum menyapa semuanya, Pak ....."
Pak Hamdan tak ambil pusing, ia menyuruh Zania untuk duduk kembali.
"Duduk, bukankah kau sudah menyebutkan namamu!"
Dengan geregetan, Zania duduk kembali, ia seperti orang yang paling patuh, padahal dalam hati ia akan membuat perhitungan pada guru yang membuat moodnya hilang.
Bagaimana tidak, Zania yang biasa belajar dengan santai, akhirnya hari ini ia jadi siswi paling imut disekolah barunya.
Padahal Zania terkenal bar bar di sekolah lamanya.
Zania kelihatan bete, ia kembali duduk di bangkunya. mengerjakan tugas yang diperintahkan oleh Pak Hamdan.
Hari pertama disekolah barunya, Zania merasa bosan, selain tak ada yang berani menyapa duluan, mereka seakan tak mau berteman dengannya.
Ketika jam istirahat telah datang, Zania masih duduk di bangkunya. Seorang siswi, datang menghampiri nya.
"Hai Zania ... kenalkan saya Adel!" kata Adel sambil mengulurkan tangannya. Zania menjabat tangan itu erat.
"Saya Zania." Jawab Zania.
Kemudian dua orang cewek ikut menyalami nya.
"Saya Dina." ucap siswa yang berperawakan kurus.
"Apa kamu kurang makan, kurus gitu?" cewek itu nyengir.
"Aku Riri," ucap yang satu lagi, yang berbadan gemuk.
"Kalau kau kebanyakan makan telor, gemuk!" canda Zania.
Akhirnya mereka bertiga tertawa, kayaknya bakal seru Zania punya teman yang bakal membuat hari nya seru disekolah.
"Bagaimana pendapatmu dihari pertama mu disini?"
"Ya ... aku sih baik, tapi apa di kelas ini hanya patung, sampai aku tak mendengar suara sapaan dari kalian."
"Ya beginilah, lokal ini memang terkenal paling pendiam."
"Pendiam atau takut?"
"Memang, rada takut."
Zania terlihat mulai akrab dengan teman barunya, mereka saling mengenalkan diri antara satu dengan yang lain.
"Nanti jam terakhir yang ramai, Zania!" kata Dina.
"Kita belajar dengan guru Culun!" ujar Adel.
"Guru culun, kayak kamu?" sahut Zania.
" Ya, Pak Zusya namanya."
zania terdiam saat nama itu disebut.
Nama itu bukankah nama yang pernah disebut oleh papanya, tapi ...
Masih asyik dengan pikirannya, Zania terkejut saat Adel menyentuh bahunya.
"Ada apa?" Zania menggeleng.
"Menyenangkan tampaknya!"
"Kok menyenangkan?"
"Aku pasti akan mengerjainya."
"Walaupun culun dia baik, tahu ...."
"Pasti penampilan nya unik."
"Iya sih ...."
"Pasti pakai kacamata, rambut rapi, banyak minyak nya, kelincir ... bak kata orang Jawa."
"Tidak juga, cuma rambutnya agak panjang, lurus dan dibiarkan bergerai, maklum culun, suaranya juga ...."
"Merdu?" jawab Zania tertawa.
"Benar, dia ngomong agak kayak cewek, manja!"
Mereka tertawa berderai, bahkan kadang terkekeh.
Tak terasa waktu jam istirahat telah habis, semua murid disekolah itu memasuki kelas mereka masing.
Benar saja, tampak seorang guru berpenampilan agak aneh berjalan menyusuri koridor, demi untuk menuju kelas XII IPA 1. Dimana Zania dan kawan kawan nya berada.
Sepasang sepatu berwarna putih, dengan celana panjang berwarna putih pula, dengan dasi kupu kupu menempel di kemeja warna pink muda. Membuat Zania menutup mulutnya menahan tawa. Apalagi ketika melihat rambutnya yang tersisir rapi, bulat bak tempurung tengkurap, dengan kacamata melengkapi penampilan nya yang unik.
"Selamat pagi semua nya ...."
"Pagi Pak ...." Jawab semua siswa yang ada di ruang itu, tak terkecuali Zania.
"Eh ada siswa baru dikelas ini, ya?"
"Iya, Pak ...."
Lain halnya dengan ketika kelas itu diajar oleh Pak Hamdan, bagai kuburan tak berpenghuni, sepi, tapi kali ini ramai penuh semangat, mungkin karena mereka senang belajar dengan guru culun yang bernama Zusya itu.
Dengan suara khas miliknya, Pak Zusya menyuruh Zania untuk memperkenalkan diri pada teman temannya. Zania berdiri dan tidak maju ke depan, tetap dibelakang bangkunya.
"Oh ... namamu Zania!"
Untuk pertama kali seorang gadis bar bar menelan ludahnya, tak memiliki kekuatan berkata, biasanya ia akan leluasa melakukan segalanya.
"Ah mungkin ini karena aku masih baru mungkin, aku malu barangkali." Pikir Zania.
"Aku malu, hh itu sama sekali tidak ada di kamus kehidupan ku. Zania tak pernah punya malu." batinnya lagi, sambil tersenyum misterius.
Dalam keadaan masih berdiri, Zania masih diam, tak menyadari Pak Zusya tengah berdiri dihadapannya.
"Zania, kau masih ingin bicara, atau kita bisa melanjutkan pelajaran?"
Zania terkejut, ia menatap wajah Pak Zusya yang berada didepannya, kemudian duduk tanpa berkata apa-apa.
"Mana, kata papa Zania seorang gadis bar bar, ia bahkan manis sekali."
Ya, mungkin barangkali ia ingat dengan perkataan papanya, jika pria yang akan dijodohkan dengan nya mengajar disitu, dan namanya sama, Zusya.
"Apa benar guru culun itu yang dimaksud oleh papa." pertanyaan nya kali ini, yang menunggu jawaban. Selanjutnya ia mengikuti pelajaran dengan sedikit fokus yang terganggu.
Bersambung \*\*\*
Zania melempar tasnya begitu saja di atas meja belajarnya, ia kelihatan kesal, betapa tidak, orang tuanya telah tega menjodohkan dirinya dengan seorang guru, selain lebih tua jauh darinya guru itu culun pula.
Ia bersungut-sungut, bicara seorang diri, tak jelas apa.
Tania, mama Zania tersenyum melihatnya, ia sudah bisa menebak ada apa dengan putrinya, akhirnya didekati nya Zania dan mengelus kepalanya dengan begitu sayang.
"Ada apa sayang, kok jutek gitu?"
"Mama pikir aja sendiri!"
"Loh, ini adalah hari pertama mu masuk sekolah, kok kamu kelihatan jutek gitu, apa jangan jangan kamu sudah bertemu Zusya, ya?"
"Aku tak mau bicara tentang dia, membuat mood ku hilang saja."
"Memangnya kenapa?"
"Guru culun gitu!" mama Zania tersenyum geli.
"Kan cocok untuk kamu yang bar bar."
"Mau jodohin ya jodohin, tapi mbok mikir, apa mama gak punya pilihan lain apa?"
"Jalani saja dulu, Za!"
"Mama sama Papa iya, enaknya cuma ngomong, aku ... aku yang jalani."
"Ya udah, sana mandi dulu udah bau kecut."
Zania mengambil handuk, mamanya cuma bisa geleng-geleng kepala, Zania yang bar bar, dalam sehari bisa berubah menjadi gadis yang lesu.
Semua itu bermula dari kenyataan yang membuat dirinya kecewa, karena dirinya yang tak pernah percaya akan cinta harus menghadapi kemauan papa dan mamanya, untuk dijodohkan dengan anak sahabat papanya karena mereka sudah saling berjanji untuk menjodohkan putra putri mereka.
Semua itu karena, Tania dan Lesmana susah mendapatkan keturunan, jadi Aditya Wiraguna, ayah Zusya mengatakan jika Tania hamil dan anaknya perempuan maka akan dijodohkan dengan putra nya yang lebih dulu lahir waktu itu.
Zusya sudah berumur lima tahun saat Zania lahir, tapi karena tuntutan pekerjaan, keluarga Lesmana pindah keluar kota dan ketika Zania sudah berumur delapan belas tahun, Lesmana justru kembali dipindah tugaskan ditempat mereka dulu, sebut saja Semarang.
Zania menemui mamanya kembali dibelakang rumah, ia ingin pamit untuk pergi ke plaza buku, seperti kebiasaan nya di kota tempat mereka sebelumnya.
"Udah rapi aja, kamu mau kemana?"
"Aku mau ke plaza buku, Ma ...."
"Memangnya kamu sudah tahu dimana tempatnya?"
"Belom sih, tapi aku ada teman mau aku ajak ke sana."
"Teman, teman siapa, kan baru hari ini kamu masuk sekolah, dan kamu belum punya teman."
"Ih Mama ... gampang tak percaya, ya udah ... aku kan bisa lihat google map ...."
"Ya udah deh kalau gitu!"
Zania mencium punggung tangan Mama nya, kemudian pamit untuk pergi.
Di tempat yang dijanjikan, Adel, Riri, dan Dina mereka saling bertemu, seperti telah lama saling mengenal, mereka kelihatan begitu akrab.
Sampai di plaza buku, Zania berhenti sejenak karena tiba-tiba ia kebelet dan menyuruh temannya duluan, sedang dirinya pergi ke toilet.
Sambil melihat ponselnya yang kebetulan sedang berbunyi ia tak sengaja menabrak seorang cogan ( cowok ganteng) .
Mata pemuda itu terbelalak, seakan tak percaya.
"Maaf, aku tak sengaja!" kata Zania sambil melangkah meninggalkan pemuda itu.
Tapi belum sempat melangkah, pemuda itu justru menghadang kan tangannya, menahan Zania agar tak pergi begitu saja.
"Ada apa, ya?"
"Kamu bilang ada apa, kamu menabrak ku, enak aja main pergi begitu saja!" ucap pemuda itu tersenyum.
"Maunya apa?" jawab Zania sambil meringis, menahan p*pis yang mau keluar.
"Eh malah meringis, kamu lucu deh!"
"Kamu yang lucu, orang dari tadi udah kebelet, malah ditahan tahan!" kata Zania kemudian berlalu meninggalkan pemuda itu dengan kesel.
"Dasar, gak waras!" ujar pemuda itu sambil tersenyum geli.
Tanpa sepengetahuan Zania, pemuda itu terus mengawasinya, mengikuti kemana Zania pergi.
Zania siap memasuki lift, untuk menemui teman temannya, dan sebelum lift itu tertutup, pemuda itu nyelonong masuk, pura pura tak melihat Zania ada di sana.
"Kamu!" Zania terkejut melihat nya. Sedangkan pemuda itu hanya cuek bebek, menatapnya.
"Kamu sengaja ngikutin aku, ya?"
"Enak aja, emang lift ini milik nenek moyang, Lo!"
"Kalau nggak ngikutin, kenapa kau juga ada di sini?"
"Aku mau ke plaza buku, jadi harus lewat sini bukan?"
Tiba tiba!
Jlek !!!
Pintu lift itu terhenti, Zania dan pemuda itu terjebak didalamnya. Zania panik, ia yang tak pernah dekat dengan laki laki, benar benar merasa ketakutan.
"Astaga, apa kau tak bisa tenang?"
"Bagaimana aku bisa tenang terjebak disini."
"Ternyata selain bar bar, kau juga penakut."
"Kau bilang apa?"
"Kau cantik!"
"Dasar, gak bisa lihat yang agak bening dikit!"
"Apa, bening ... sebening kaca?"
"Emang lagu!"
"Kenalkan aku Aditya!"
"Siapa yang mau berkenalan dengan mu?"
"Kamu kok sombong amat?"
" Apa kau tak tahu kalau aku takut?"
"Kan ada aku, tak usah takut, aku tak akan ngapa-ngapain kamu, tenang saja."
Tiba tiba, lampu lift itu juga mati semua berubah gelap.
Aditya berusaha mengambil ponselnya, dan tanpa sengaja menyentuh Zania.
"Jangan macam macam kamu!"
"Tidak macam macam, cuma satu macam, ngambil hp."
Aditya kemudian menghidupkan senter di hpnya. Zania menekan tombol berkali-kali, berusaha minta tolong, mereka yang tidak tahu akan menghubungi siapa, akhirnya pasrah, menunggu lift itu kembali terbuka.
"Siapa namamu?"
"Zania," jawab Zania pada akhirnya.
"Kita di pertemukan di sini, mungkin kita jodoh."
"Apa katamu, jodoh jodoh, jodoh apaan?"
"Zania ... tak usah mudah marah, nanti cepat tua."
Belum sempat Zania menjawab lagi, tiba tiba liftnya terbuka.
Zania keluar dengan perasaan bete campur cemas. Ketiga temannya telah menantinya, Zania terdiam sejenak, sambil melirik Aditya, ia tersenyum.
"Ganteng juga." akunya dalam hati.
"Del, kita pulang aja yuk ... aku sudah gak mood lagi, sudah sore juga." Ajak Zania
"Ya, lebih baik kita pulang, lain waktu kita kesini lagi." Jawab Adel.
Mereka pulang meninggalkan tempat itu, Zania masih diam ia masih ingat saat dirinya berada dalam lift itu.
"Kamu tahu siapa pemuda tadi?" tanya Zania pada Adel.
Adel hanya menggeleng.
"Dia sering kesini, aku sering melihatnya." Jawab Riri
"Oh ya!"
"Kenapa, kamu naksir, Za?"
"Kamu, aku baru sehari disini, udah main naksir aja, aku gak mau ah, jagain jodoh orang."
"Maksudnya apa ya?" tanya Riri.
"Kamu kebanyakan makan, gak tahu deh ...."
"Iya, jagain jodoh orang maksudnya apa?"
"Kalau kita pacaran tapi tidak jadi suami kita, apa dong namanya kalau tidak jagain jodoh orang?"
"Ooo, gitu ya!"
"Kamu Ri, jangan polos amat napa sih ... kamu yang tahu urusan peruuut saja."
Riri cuma tertawa renyah mendengar Zania asal bicara.
"Eh Za, tadi kamu tak takut?"
"Bukannya takut lagi, aku ngeri banget."
"Tapi kan seru juga, bersama dengan cogan."
"Maksudmu, Aditya?"
"Sudah kenalan?" tanya Dina yang sejak tadi diam.
"Kamu ... mendengar kata kenalan, langsung nyaring telinganya." Olok Zania pada Riri.
Mereka sudah sampai ditempat parkiran mobil, Zania dan teman temannya pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan sedikit kecewa.
Bersambung 👉
Zusya masuk kedalam rumah dengan bersiul siul kecil, menggambarkan betapa harinya sangat menyenangkan, melukiskan perasaan nya yang sedang berbunga.
Pak Wiraguna terpaku menatap putranya, ia sempat heran kenapa dengan Zusya hari ini.
Selama menginjak dewasa, Pak Wiraguna tak pernah melihat hal itu pada putranya.
Belum sampai Zusya membuka pintu kamarnya Pak Wiraguna memanggilnya, tapi Zusya menolak, karena ia belum mandi sore ini.
"Sebentar Pa, aku mau mandi dulu!"
Pak Wiraguna tersenyum melihat istrinya, Kumala. Sang istri malah mengangkat bahunya.
"Biasanya jika dia menolak untuk segera bicara, ada sesuatu yang serius dan harus memerlukan waktu untuk membicarakan nya."
"Iya, kira kira apaan ya, Ma?"
"Kita tunggu aja, mudah mudahan berita baik."
"Ya ... pasti baik lah ... la orangnya seneng gitu!"
"Baik di dia belum tentu baik di kita, Mas!"
"Iya juga!"
Zusya turun dari lantai atas, kemudian menemui Papa dan Mama nya.
"Ada apa memanggil aku, Ma?"
"Apa ada kabar baik?"
"Sangat baik malah!"
"Apa, sayang?"
"Aku setuju di jodohkan dengan Zania." Jawab Zusya tersenyum.
"Oh ya, yang bener?"
"Ya, ternyata Zania gadis yang menyenangkan, aku bahkan jatuh cinta pada pandangan pertama."
"Hua haha!" Pak Wiraguna tertawa terbahak-bahak.
"Kamu kayak anak kecil saja, apa kamu tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya?"
"Entahlah!"
"Kok entahlah, lalu bagaimana dengan Elena?"
"Sudahlah Pa, tak usah bicara tentang dia, aku tak mau mengenang masa lalu."
"Maksud Papa bukan begitu, Papa cuma mau nanya ... apa kamu merasakan hal yang sama dengan Elena, seperti perasaan mu pada Zania."
"Kayaknya nggak!"
"Berarti kamu tidak mencintainya!" sahut Mama nya.
"Mungkin!"
"Eee alaaah, sudah Bapak bapak kok gak tahu cinta atau tidak."
"Yang jelas, aku sama sekali tak sedih saat dia pergi."
"Semoga Zania adalah jodoh yang diciptakan Tuhan untuk mu."
"Semoga, ini yang pertama dan yang terakhir untuk kami."
"Kau belum menceritakan saat kau melihat nya pertama kali."
"Aku mengira, dia adalah gadis bar bar seperti yang papa ceritakan, tapi setelah aku melihatnya aku begitu bahagia, ternyata Papa menjodohkan aku dengan seorang gadis kecil yang begitu manis."
"Ooooh, romantis sekali!" goda Mama nya.
"Dan ... tadi di plaza buku, aku terjebak di lift, dia begitu ketakutan, lampunya mati lagi!"
"Ternyata, bukan cuma kamu yang ingin kalian berjodoh, tapi waktu dan kesempatan juga berpihak pada kalian."
"Ups ...." Mama nya menggoda lagi, kemudian terkekeh.
Zusya tertawa melihat kelakuan Mama nya, ia memukul Mama nya dengan bantal sofa, gemas.
...----------------...
Zania membuka pintu kamar dengan sedikit dipaksa, sehingga menimbulkan suara derit karena pintu itu terlalu mepet kelantai.
Mama nya yang berada dikamar sebelah melongok kan kepala mengetahui bahwa putrinya telah pulang.
"Udah pulang, sayang ...."
"Udah!"
"Lo kok gitu ... napa?"
"Aku semakin merasa tak beruntung hari ini!"
"Gak menemukan buku kesukaan mu lagi?"
"Bukan buku, Ma ...."
"Terus apa?" tanya Mama Tania, penasaran.
"Aku kayaknya tidak beruntung soal cinta."
"Kok gitu ngomong nya?"
"Aku tadi Ma ... ketemu cogan, aku dan dia terjebak dalam lift, dan lampunya mati juga."
"Astagfirullah, kau di apain sayang?"
"Aku gak di apa apain, Ma ...."
"Terus apa?"
"Aku kagum sama ketampanan dia, tapi ...."
"Tapi kenapa?"
"Aku sudah Mama jodohkan dengan guru culun itu!"
"Zania Zania ... kamu itu, biasanya tak peduli sama cowok, saat di jodohin malah naksir cowok ganteng." Kata Mama Tania tersenyum menatap putrinya.
"Apa aku tak berhak bahagia, Ma?"
"Sangat berhak dong ... makanya Mama sama Papa menjodohkan kamu sama Zusya."
"Apa menariknya cowok culun."
"Kamu belum mengenalnya, sayang ...."
"Aku tak berani menjamin akan suka sama dia, habis ... dia bukan tipe ku sama sekali."
"Jadi maunya gimana?"
"Apa boleh Zania menolak perjodohan ini, Ma?"
"Tidak, kau tak boleh menolaknya." Tiba tiba terdengar suara Pak Lesmana menyahut, dari arah belakang.
"Tapi Zania tak suka dia, Pa ...."
"Apa kamu tahu ada ibarat yang mengatakan, tak kenal makanya tak suka, tak suka maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta." kata Papa Zania sambil memberikan isyarat tangannya membentuk sebuah love.
Mama Zania terkekeh melihat ulah suaminya, begitu juga dengan Zania.
"Apa Papa yakin ... dia baik untuk ku?"
"Dia dari keluarga baik-baik, maka insyaallah dia adalah anak yang baik."
"Ya udah ... kalau papa dan Mama yakin."
"Kamu setuju?"
"Tak ada orang tua yang tak ingin melihat anaknya bahagia, bukan?"
"Iya, sayangku ...."
"Aku akan mencobanya."
"Alhamdulillah ...." Kata Papa dan Mama Zania serempak.
"Tapi ...."
"Apalagi?"
"Apa tak terlalu kecil untuk Zania menikah, Pa?"
"Biar kau tak terjebak dalam pergaulan bebas seperti sekarang ini, apa lagi di akhir zaman seperti ini, Papa tak ingin putri Papa salah jalan.”
"Iya, Pa ...."
"Ya sudah, mari kita makan!" ajak Mama nya, mendudukkan Zania yang berbaring berbantalkan pangkuan mamanya.
"Ternyata kau sudah besar, putriku!" ungkap nya.
Zania duduk dan beranjak mengikuti Mama nya, menuju ruang makan, membantu mamanya menyiapkan hidangan, seperti biasanya.
Pak Lesmana pun segera bergegas pula menuju ruang makan kemudian menarik kursi serta bersiap untuk duduk.
Di keluarga kecil itu hanya terdiri mereka bertiga, serta pembantu rumah tangga, tukang kebun dan seorang lagi, supir pribadi mereka.
...----------------...
Zusya membuka laptop, ia mengerjakan tugas kantornya di rumah, ia memang selalu menyempatkan untuk membagi waktunya, jika ia akan mengadakan meeting maka ia akan mempersiapkan presentasi pada malam hari, agar ia tak tergesa-gesa memulainya di pagi hari.
Sudah sering Papa nya, menyuruh fokus untuk bekerja di kantor saja, tanpa harus mengajar disekolah swasta milik mereka itu.
Tapi karena kecintaannya pada pendidikan, ia tak mau berhenti mengajar, ia membagi waktunya meski sangat sibuk.
Apalagi sejak ia tahu, wanita yang di jodohkan dengan nya ada disekolah itu, ia semakin bersemangat, bahkan ia semakin jarang pergi ke kantor, ia menyerahkan segala urusannya pada seseorang yang menjadi kepercayaan nya.
"Belum tidur, Zu?"
"Belom Ma ... masih belum kelar, sedikit lagi!"
Zusya tersenyum melihat Mama nya membawa kopi hangat untuk nya, itu adalah kebiasaan nya, dan sudah pula Mamanya terbiasa menyediakan nya untuk putranya itu.
"Kenapa sih Zu, kau harus berpenampilan culun seperti itu ketika mengajar?" tanya Mama nya tiba tiba.
"Ya ... karena aku cogan, Ma ...."
"Apa hubungannya?" tanya Mamanya.
"Ya jelas ada hubungannya, kalau aku berpakaian biasa, mereka tak akan fokus belajar, melainkan membayangkan jadi pacar aku."
"Kepedean ... Za ...."
"Aku yakin Ma, he he!"
"Kamu tak pernah serius jika di tanya!"
"Aku serius apalagi sekarang, sejak ada Zania, aku semakin tertantang membuat dia jatuh cinta pada sang guru culun."
"Jadi ... kau meminang dia dengan jadi guru culun?"
"Dan akan menjadi kekasih dengan menjadi Aditya."
"Kau jahat itu namanya, nanti kamu kehilangan dia baru tahu."
"Eh jangan bilang begitu, ucapan Mama adalah doa."
"Tidak, aku selalu berdoa yang terbaik untukmu."
"Semoga."
Keduanya sama-sama tersenyum menatap dan menyadari semuanya semakin ada di depan mata.
"Zania, aku menunggu mu mengatakan cinta pada guru culun mu ini." Batin Zusya bahagia.
Bersambung 👉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!