Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, kepalaku masih berputar, pandanganku kabur. Rasa sakit disekujur tubuhku terasa nyata. Aroma yang aneh sangat keras menusuk indra penciumanku. Aku berusaha menggerakan tubuhku yang terasa kaku dan sakit tapi sia-sia saja.
Pandanganku mulai menjelas meski sedikit kabur, aku berada diruangan yang serba putih . Dimanakah aku , apakah aku sudah mati, apakah aku akan bertemu dengan papa dan mama, dimanakah mereka? Pertanyaan itu bergayut dalam benak ku.
Sebuah suara terdengar tapi tak dapat aku cerna dengan jelas apakah suara pria atau wanita.
Kepalaku masih pusing, semuanya terasa berputar.
Aku tarik nafasku perlahan, aku mencoba untuk bersabar dan tidak memaksakan diriku untuk bangun. Beberapa saat kemudian rasa sakit di kepalaku mulai berkurang dan suara itu masih terus berbicara di sampingku. Aku mulai mebgerjapkan mataku kembali dan membukanya perlahan.
Ruangan ini serba putih dan hanya aku sendiri disini terbaring tanpa daya.
"Nona apakah kamu sudah sadar?" suara itu mulai terdengar kembali, aku menoleh keasal suara tersebut dengan perlahan.
"Nona, anda sudah sadar, baguslah. Saya akan memanggil dokter." suara wanita yang memanggilku berbicara sesaat sebelum meninggalkan ku . Aku tebarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Ada infus disisiku yang tersambung dengan selang di tanganku. Aku berusa untuk bangung tapi badanku masih sakit semua.
"A...airr... a...irrr.... " bibirku terasa kering dan tenggorokanku sakit. Aku menoleh di meja sebelah tempat tidurku tapi disana tidak ada apapun. Aku telan ludahku yang terasa kering . Benar - benar kering tanpa air liur di mulutku. Kuusap bibir ku yang kering dengan lidahku. Ah.. apa yang terjadi padaku?
Aku menutup mataku kembali berusaha untuk mencerna keadaan mengingat-ingat apa yang menyebabkan badanku begitu sakitnya. Kepalaku menjadi semakin pusing ketika aku memaksa untuk mengingatnya.
Seseorang masuk ke ruanganku terbaring. Seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita. Aku rasa dia adalah dokter yang merawatku beserta susternya.
"Anda sudah sadar nona, bagaimana keadaanmu ?"
dokter tersebut bertanya sambil memeriksa keadaanku dan suster maju memeriksa tekanana darahku.
"A...airrr... " aku berucap lemah meminta air.
"Air, sebentar nona saya akan ambilkan segera." Suster tersebut segera beranjak meninggalkanku dengan dokter yang masih memeriksa diriku. Memeriksa pupil di mataku dan denyut nadiku.
"Ini air nya, minumlah." Suster kembali dengan membawa segelas air dan membantuku duduk untuk meminumnya.
"Pelan-pelan nona, " kata suster tersebut ketika aku meminum air dengan cepat.
uhuk...uhukkk.. aku tersedak dan suster membantu menepuk punggungku perlahan.
"Keadaan anda sudah stabil nona. Hanya tinggal menyembuhkan memar di tubuh anda. Apakah anda bisa mengingat kejadian sebelum anda pingsan?" tanya dokter dengan suara ramahnya.
Aku menggelengkan kepalaku. Kejadian itu masih terasa samar di benakku. Aku hanya mengingatketika semua orang berteriak ketakutan.
"Aku hanya dapat mengingat banyak wajah panik dan ketakutan," jawabku lirih.
"Benar nona , kapal pesiar yang anda tumpangi mengalami kebocoran karena menghantam terumbu karang." Dokter tersebut berhenti sesaat dan menatapku memberi kesempatan padaku untuk mencerna perkataannya.
"Seseorang menemukan anda terdampar di pantai dengan sepotong kayu. Kami menduga anda menggunakan kayu tersebut untuk menyelamatkan diri anda." Sambung dokter terdebut setelah sesaat.
Aku berusaha memahami perkataannya. Samar - samar aku mengingat kejadian sesuai perkataannya.
"Su... dah be..ra..pa lama saya disini ?" tanyaku lirih dan terbata - bata.
"Anda tidak sadarkan diri selama tiga hari. " Jawab suster disebelahku.
Aku terkesiap. Tiga hari dirumah sakit. Bagaimana aku membayar semua biayanya.
"Anda ingat nama anda nona ?" tanya suster itu kembali.
aku menganggukan kepalaku dan menjawab,
" Felicia. "
"Nama yang indah." kata dokter tersebut.
"Kami akan memasukan nama anda pada daftar pencarian orang hilang korban kecelakaan kapal pesiar tersebut. " Kata dokter itu kembali.
Aku hanya menatap wajahnya tanpa menjawab apa - apa. Dokter yang berusia sekitar lima puluh tahunan itu tampak sangat arief. Sosok yang ramah dan terlihat sabar. Sementara suster disebelahku seorang ibu-ibu yang tampaknya berusia lebih mudah dari dokter. Memandang mereka aku menjadi teringat akan kedua orang tuaku.
Air mataku mengalir, ada rasa pilu di dadaku. Walaupun aku tidak dapat mengingat dengan jelas akan kejadian kecelakaan tersebut tapi aku masih mengingat kalau diriku adalah seorang yatim piatu,sebatang kara tanpa orang tua.
"Jangan menangis nona semua akan baik-baik saja. Banyak yang selamat dari kecelakaan itu dan mereka sudah banyak yang kembali ke daerah mereka masing - masing. Kami akan berusaha mempertemukan anda dengan keluarga anda. "
Dokter tersebut berusaha menenangkan diriku.
Sementara suster yang keibuan tersebut mengambil selembar tisyu dan mengusap air mataku.
"Anda beruntung nona, seorang istri nelayan menemukan anda terdampar di pantai. Dan mereka memberitahukan pada tuan George keberadaan anda hingga dia membawa anda kemari." Suster itu menjelaskan bagaimana aku bisa tiba di tempat ini.
Tuan George orang yang membawa ku kemari. Siapakah dia hingga mereka menyebutkan namanya dengan nada yang begitu hormat.
Apakah dia seorang penguasa di daerah ini .Mungkin seorang pria yang sebaya dengan dokter disampingku karena mereka tampak begitu menghormati orang tersebut.
Haruskah aku berterima kasih kepada tuan George atau haruskah aku marah karena dia telah menyelamatkanku dan tidak membiarkanku berkumpul dengan papa dan mama.
"Anda sebaiknya beristirahat nona. Tidak perlu dipaksa untuk mengingat. Perlahan lahan ingatan anda akan kembali. " kata dokter tersebut dengan penuh perhatian.
"Beristirahatlah, saya akan mengambil makanan untuk anda nona. Anda pasti lapar. " Suster itu tersenyum dengan ramah sambil mengusap sisa air mataku.
"Kami permisi dulu. Anda beristirahatlah sengan tenang. " Dokter dan suster berpamitan meninggalkan ku sendiri.
Aku memejamkan mataku kembali. Samar-samar ingatan itu kembali datang. Suara orang-orang yang lari lalu lalang dengan wajah panik, Mereka berhamburan kesana kemari berebutan untuk masuk ke boat karet penyelamatan. Dan saat itu aku merasa menggenggam tangan seseorang yang kemudian melepaskanku dan meninggalkan ku sendiri menjerit dan panik ditengah kekacauan tersebut.
Air laut mulai masuk kedalam kapal yang mulai miring, tubuhku dan beberapa orang terseret turun mengikuti arah deck kapal yang hendak karam. Aku masih ingat ketika aku masuk kedalam air dan berusaha menggapai life boat ( rompi yang bisa mengapung di air ) .
Perlahan aku mengingat tubuhku yang terombang ambing di atasa air laut yang dingin. Kekuatanku habis untuk meniup peluit yang berada di rompi laut yang aku kenakan. Dari kejauhaan aku melihat beberapa orang yang juga terapung sepertiku. Hari mulai gelap ketika aku menemukan sepotong papan kayu dan berenang menggapainya. Meletakan sebagian badanku disana. Memanggil lirih papa dan mama, hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri dan terbangun di tempat ini.
"Bagaimana keadaan nona pagi ini ?" tanya suster yang kemarin menemani dan merawatku seharian.
"Sudah lebih baik suster." jawabku kepadanya.
"Bagus-bagus. Luka-luka nona juga sudah mulai mengering." suster memeriksa beberapa bagian tubuhku yang tergores. Kemudian dia memeriksa tensi darah dan denyut nadi ku.
"Iya bagus sudah normal semua nona. Nona bisa mencoba untuk belajar berjalan." Suster menyarankanku dengan penuh kesabaran.
"Benarkah? terimakasih suster. " Aku merasa senang akhirnya aku boleh menggerakan kaki ku lagi.
"Tadi malam tuan George datang menayakan keadaan nona. Sayangnya nona sedang tertidur. "
"Benarkah?" Sedikit kecewa rasanya tidak dapat bertemu dan mengucapkan terimakasih kepada orang yang telah menolongku.
Seorang suster lain datang sambil membawakanku makanan, " Silahkan dimakan dulu nona. "
"Terimakasih." Aku menikmati makanan tersebut setelah sebelumnya berdoa.
Dokter yang kemarin merawatku datang kembali hari ini dan memeriksa ku.
"Bagus. Anda besuk sudah boleh pulang nona." kata dokter dengan ramah.
Aku terdiam dan menatapnya bingung. Pulang kemana? Aku harus kemana? Aku bahkan tidak mengenal mereka dan aku tidak tahu saat ini aku berada dimana. Bagaimana dengan biaya perawatanku selama di sini. Uang? Bahkan identitas diri pun aku tidak punya. Jangankan itu pakaian yang awalnua melekat ditubuhku pun aku tidak tahu ada dimana.
"Tenanglah. Anda tidak perlu kuatir, nona. Biaya perawatan anda sudah di tanggung oleh tuan Georges. Dan mungkin besuk akan ada yang menjemput nona." Dokter tua itu seperti mengerti jalan pikiranku.
"Iya. Terimakasih dokter." Aku bahkan tidak mengenal nama dokter dan suster yang merawatku.
"Roberto. Nama saya Roberto dan dia suster Maria." Dokter itu kembali mengerti jalan pikiranku.
Aku tersenyum kepada mereka.
"Terimakasih dokter Roberto dan Suster Maria. "
Mereka menepuk bahu ku dan meninggalkanku sendiri.
Sepeninggal mereka aku mulai mencoba melemaskan kaki ku dan berdiri kemudian mencoba melangkah. Puji Tuhan aku masih normal, Badanku tidak ada yang cacat kecuali beberapa luka goresan di lengan dan kakiku.
Aku melangkahkan kaki ku menuju cermin dan memandang wajahku. Semua masih sama tidak ada goresan diwajah dan leherku. Hanya wajah dan rambut yang kusut. Aku perlu mandi pikirku. Dengan menenteng selang infus di tanganku aku menuju kamar mandi dan mulai membasuh tubuhku dengan air hangat. Setelah selesai kembali aku mengenakan pakaian dari rumah sakit.
Dihadapan cermin aku menyisir rambutku dan mulai mengerjapkan mataku. Ada sesuatu yang aneh, serasa ada sesuatu yang janggal diwajahku. Aku mencoba mengingat kembali apa yang kurang. Sesaat setelah berpikir aku baru menyadari kalau seharusnya ada kacamata yang bertanggar di wajahku.
Aku mencari keseliling ruangan mencari kacamata hitam besar yang biasa bertanggar di wajahku dan kubuka laci di sebelah tempat tidurku. Disana kacamataku. Kukenakan. Kulepas kembali. Kukenakan kembali . Terus berulang - ulang. Heran. Kenapa tidak ada perbedan memakai ataupun tidak. Aku pandang wajahku memakai kacamata dan tidak memakai. Akhirnya aku memutuskan melepaskan kacamata tersebut dari wajahku.
"Anda lebih cantik tanpa kacamata nona." suara seseorang wanita yang sudah masuk kedalam kamar tanpa aku sadari.
"Eh, iya terimakasih. " Aku mengangguk ragu - ragu menatap pria dan wanita setengah baya yang datang bersama suster Maria. Wajah mereka terlihat ramah dengan pakaian yang sederhana. Mengingatkanku pada kedua orang tuaku. Seandainya mereka masih hidup mungkin usia nya sebaya dengan kedua orang dihadapanku.
"Nona, mereka yang sudah menemukan anda ketika terdampar di pantai." Suster memperkenalkan mereka kepadaku.
"Terimakasih tuan George. " kataku sambil mengangguk. Pria ini sama seperti karakter yang aku bayangkan mengenai tuan George.
"Bukan nona anda salah. Saya bukan tuan muda George. " Pria tersebut tertawa sambil menggelengkan kepala di sambut dengan senyuman lebar dari wanita disampingnya dan suster Maria.
Aku hanya tersipu malu karena sudah salah menebak orang.
"Saya harap saya adalah tuan muda George. Tapi kenyataannya saya adalah Sanches dan ini istri saya Elisabeth." pria setengah baya itu memperkenalkan diri dengan ramah.
"Suami saya yang telah menemukan anda terdampar di tepi pantai dan membawa anda kerumah kami. Kemudian dia berlari kerumah tuan muda Georges dan memberitahu saya tentang anda, hingga tuan muda Georges mendengarnya dan datang melihat anda. " Elisabeth mulai menceritakan awal mula nya.
"Kemudian melihat keadaan anda yang tidak juga sadarkan diri dan mulai membiru, tuan Georges membawa anda ke klinik ini. " Sanches melanjutkan cerita istrinya.
"Terimakasih atas kebaikan kalian berdua. Sepertinya saya juga harus mengucapkan terimakasih kepada tuan Georges." aku mengulurkan tangan untuk mengucapkan terimakasih. Tangan kami berjabatan bergantian.
"Tentu saja nona. Siapakah nama anda nona?" tanya Elisabeth ramah.
"Nama saya Felicia. "
"Nama yang manis semanis pemiliknya." Elisabeth tersenyum ramah kepadaku.
"Benar sekali. Usia anda pasti berkisar delapan belas tahun bukan ?" tanya Sanches.
Aku mengernyitkan keningku. Mengingat-ingat tanggal lahirku. Sudah lama rasanya aku tidak pernah menginggatnya dan menghitung usiaku.
"Sembilan belas aku rasa." Jawabku lirih.
"Iya.iya. Kalau anda siap nona kita bisa pulang kerumah saya hari ini atau besuk . " kata Sanches.
"Anda bisa tinggal bersama kami sementara sampai berita keluarga yang mencari anda kita terima." Sambung Sanches lagi.
Aku mengiyakan perkataan mereka. Lebih baik tinggal bersama mereka daripada tinggal di klinik ini sendiri dan tentunya akan menghabiskan lebih banyak biaya. Aku tidak bisa lagi menyusahkan mereka dan berhutang lebih banyak pada tuan Georges.
Tak ada yang bisa aku bereskan. Karena barang - barang ku pun tidak ada. Aku berjalan mengikuti Sanches dan Elisabeth dengan hanya membawa kacamataku dan Vitamin yang diberikan dokter Roberto.
Sepanjang perjalanan dengan pick up tua mereka yang masih terawat tercium aroma amis ikan. Mungkin pick up tua ini mereka gunakan untuk mengangkut hasil tangkapan ikan untuk dijual ke pasar.
Rumah-rumah penduduk yang sederhana dan aroma laut berhembus sepanjang perjalanan. Banyak sekali pepohonan disepanjang jalan dan bunga-bunga menjadikan desa ini terlihat indah. Rumah penduduk yang sederhana di cat warna-warna ceria.
Kami tiba di sebuah rumah kecil yang tentunya dekat pantai karena bisa aku cium aroma laut dan bunyi deburan ombak. Dua orang anak kecil berusia sekitar sepuluh dan dua belas tahun menyambut kami.
"Ini cucu-cucu kami. Yang tua bernama Fernado dan yang kecil bernama Melisa. " Elisabeth memperkenalkan kedua anak yang menyambut mereka dengan pelukan dan ciuman hangat.
"Anak kami Fernandes pasti sedang di pantai. Sedangkan Leticia istrinya belum kembali dari kediaman tuan Georges. Mari silahkan masuk " Elisabeth menggandeng tanganku memasuki rumah mereka.
"Ada tiga kamar di rumah ini. Maaf nona tidak apa-apa kan bila berbagi kamar dengan Fernando dan Melisa?" tanya Elisabeth kembali. Aku hanya menganggukan kepalaku sambil melihat sekelilingku. Rumah yang mungil namun bersih dan tampak nyaman. Aku bisa merasakan kehangatan ditempat ini. Aku menyukai mereka.
Keluarga ini begitu ramah begitu menyenangkan dan tampak begitu saling mengasihi. Di sore hari Leticia datang dari bekerja di rumah tuan muda Georges. Dia dengan ramah menyapaku dan membuatku tersenyum. Keramahan Leticia membuatku lebih merasa nyaman di rumah ini.
Sehabis makan malam aku membantu mereka mencuci piring dan membersihkan meja makan. Kemudian kami semua berkumpul dihalaman rumah sambil bersenda gurau dan menikmati cahaya bulan purnama . Mereka banyak bertanya tentang diriku.
" Felicia apakah kau memiliki orang tua ?" tanya Leticia
" Tidak. Mereka sudah meninggal ketika aku masih berusia dua belas tahun. " aku menggelengkan kepalaku dan menjawab lirih. Masih ada sesak di dada ketika teringat hari kepergian orang tuaku untuk selamanya.
" ow, maafkan kami. Bagaimana dengan saudaramu ?"
" aku anak tunggal. "
" Lalu kau berangkat kapal pesiar dengan siapa ?"
Fernandes tiba - tiba bertanya.
Aku terdiam menghentikan aktifitasku mengunyah jagung bakar. Aku berusaha mengingat kenapa aku bisa berada di kapal pesiar dan dengan siapa aku disana.
Aku menggelengkan kepalaku dengan sedih.
" Sudahlah kalian jangan terlalu bertanya mengenai kejadian itu, tampaknya nona Felicia masih trauma. " Sanches menegur Fernandes.
" maafkan aku nona. " Fernandes berkata dengan sungguh - sungguh.
" Tidak . Tidak apa - apa. Aku memang belum dapat mengingatnya. Aku hanya ingat aku disana bersama seseorang dan tangan kami terlepas ketika kapal mulai oleng. " pandangan mataku menerawang memandang langit.
Aku memang lupa akan kejadian itu. Entahlah apakah aku mengalami gangguan pada otak ku atau karena memang aku tidak ingin mengingatnya.
Saat ini hatiku tidak memiliki perasaan sedih ketika tidak bersama dengan tangan yang melepaskanku. Aku tidak merasa kecewa atau kehilangan.
Malam semakin larut ketika kami mulai beranjak masuk kedalam rumah. Aku memilih tidur di ubin semen yang dingin beralaskan karpet dengan pertimbangan tidak ingin mengganggu tidur Melisa di ranjangnya yang sempit.
Kamar kecil ini memiliki dua tempat tidur yang kecil dan tersisa sedikit ruangan sempit ditengah.
Dengan gaya pria gentelment Fernando melarangku tidur dilantai dan memaksaku untuk tidur di tempat tidur miliknya. Bahkan Fernandes sang ayah pun mempersilahkan aku untuk tidur dengan Leticia istrinya sementara dia akan tidur di kursi rotan di ruang tamu.
Akhirnya perdebatan aku menangkan dengan segera menggeletakan tubuhku di karpet. Dan akhirnya Leticia datang memberiku selimut . Keluarga yang baik. Mereka begitu menghormati aku meskipun aku hanya lah tamu biasa yang hilang sebagian ingatan.
Aku merasa nyaman diantara mereka.
\
Pagi yang cerah, bahkan sebelum matahari muncul, keluarga ini sudah sibuk dengan kegiatannya masing - masing. Tampak kesibukan di dapur, aku segera membantu Elisabeth dan Leticia menyiapkan makanan dan bekal sekolah.
Setelah sarapan pagi yang sederhana, nasi putih dengan ikan goreng kecil, anak - anak berangkat ke sekolah , Elisabeth dan Leticia berangkat bekerja di rumah tuan Georges diantar oleh Fernandes dengan pick up .
Aku memutuskan untuk mengikuti Sanches pergi ke tepi pantai, melihat nelayan yang mulai kembali dari mencari ikan.
Kami berjalan kaki beriringan. Fernandes akan segera menyusul setelah mengantarkan yang lainnya.
Aku melihat laut biru di kejauhan dan buih - buihnya dipinggiran pantai. Jantungku berdegup kencang ketika melihat lautan dan semakin kencang ketika garis pantai mulai terlihat dan ombak kecil berlarian kejar - kejaran meninggalkan buih - buih putih di pantai. Mataku berkunang - kunang tapi aku tetap diam dan mengikuti langkah Sanches. Tak dapat aku dengar dan mengerti dengan jelas perkataan Sanches disisiku.
Ketika jari jemari kaki ku mulai menyentuh buih - buih air laut. Tubuhku bergetar. Langkahku sempoyongan. Nafasku sesak. Jantungku berdegub dengan kencang . Mataku mulai gelap dan kaki ku tidak sanggup berpijak lagi. Sayup - sayup aku mendengar Sanches memanggil - manggil namaku .
************
" Nona Felicia.... Nona Felicia bangun nona . " Sanches tampak sangat panil ketika dia menoleh kesamping dan melihat Felicia tiba - tiba jatuh pingsan. Untung saja dia sudah mulai curiga ketika Felicia tidak kunjung menjawab pertanyaannyà, sehingga membuatnya menoleh dan bisa segera menangkap tubuh Felicia yang oleng.
" Tolong bantu saya, nona ini pingsan. " Sanches berteriak memanggil Nelayan yang berada di dekatnya. Bebrapa orang nelayan datang dan membantu mengangkat Felicia. Mereka meletakan Felicia di bale kayu kecil tempat para nelayan berteduh.
Semua bergerombol dan memandang Felicia sambil berbisik - bisik.
" Sanches, apakah wanita ini yang kau temukan terdampar ?" Salah seorang nelayan yang membantu mengangkat Felicia bertanya.
" iya benar. "Sanches tampak panik dan mulai mengoleskan minyak ke daerah kening dan leher Felicia.
Orang - orang yang awalnya berkerumun, tampak menyeruak ketika seorang pria muda dengan tubuh tinggi datang.
" Pagi tuan Georges," sapa mereka bergantian. Semua tampak hormat kepadanya. Georges tidak mengatakan apa - apa hanya diam dan menganggukan kepala kemudian menghampiri Sanches dan Felicia yang terbaring.
" Kenapa dia ?" tanya Georges.
" Dia tiba - tiba pingsan tuan. " jawab Sanches dengan hormat.
" Bagaimana bisa itu terjadi ?" Pertanyaan Georges membutuhkan jawaban pasti.
" Dia tiba - tiba pingsan saat kami berada di tepi pantai. " Jawab Sanches segera.
" Kenapa kau bawa dia kepantai Sanches ." Kalimatnya datar tapi mengandung pertanyaan.
" maaf tuan saya tidak enak meninggalkannya sendiri di rumah . Dan nona bilang kalau dia ingin ikut bersama saya memilih ikan. " Sanches berbicata dengan menunduk tampak ragu menatap Georges.
" Angkat dia dan bawa masuk ke mobil ku. " Georges memberi perintah kepada beberapa nelayan.
Seorang nelayan yang masih muda dan bertubuh besar mengangkat Felicia seorang diri dan membawanyaa ke mobil besar milik Georges.
" Manuel kau ikutlah bersamaku dan kau juga Sanches. Aku akan membiarkan nona ini tinggal dirumahku. " Georges memberi perintah
" ya tuan ?" Sanches tampak bingung dan ragu.
" Rumahmu terlalu kecil untuk menambah satu penghuni lagi. " Georges tampak mengerti keraguan Sanches dan mulai mengemudikan mobil melaju menuju kediamannya.
Sebenarnya yang membuat Sanches bertanya bukan alasan yang diberikan oleh tuan nya. Tetapi rasa heran dalan diri nya. Sepanjang sepengetahuannya sudah lama sekali Georges tidak pernah menerima tamu . Dia tidak pernah mengijinkan orang yang tak dikenal untuk tinggal di rumahnya. Georges hanya tinggal sendiri dengan beberapa pelayan tua yang sudah merawatnya sedari bayi.
Tapi kenapa saat ini dia tiba - tiba memutuskan sesuatu yang tidak biasanya. Georges adalah tuan tanah yang baik hati tetapi juga dingin. Setiap warga di kota kecil ini menghormati dia. Meskipun dia selalu menolak ketika warga mencalonkan dirinya sebagai pemimpin daerah, tapi kharisma yang dimilikinya melebihi pemimpin daerah itu sendiri.
Sesampainya mereka di rumah Georges, dia memerintahkan Manuel untuk mengangkat Felicia ke kamar tamu di lantai bawah, sementara Sanches pergi kearah pintu belakang untuk memberi kabar kepada Elisabeth dan Felicia agar mereka merawat Felicia yang pingsan.
Ketika Elisabeth bertanya kenapa tuan Georges membawa Felicia kerumahnya, Sanches hanya mengangkat bahu tak mengerti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!