NovelToon NovelToon

Tak Kan Kulepas Lagi

Masih Teringat

Dibalik kaca ruko lantai dua, seorang wanita sedang memandangi langit sore nan indah. Bayangan masa lalu kini hinggap di kepalanya. Meskipun sudah lima tahun berlalu, dadanya masih terasa sesak. Sakitnya masih terasa sampai saat ini.

Mencoba mengikhlaskan tapi, belum sepenuhnya ikhlas. Pergi menjauh dari orang yang dulu dia sayangi tidak menghilangkan rasa cinta dan sayang yang Niar miliki untuk Dirga. Tak terasa air matanya menetes dan Niar pun menunduk dalam.

Di lain kota, seorang pria berpenampilan rapi sedang memandangi satu foto perempuan berseragam putih abu-abu yang tertawa lepas. Kenangan demi kenangan bersama perempuan itu membuatnya menitikan air mata.

Terpisah lama ternyata tidak menyurutkan cintanya untuk perempuan itu. Hanya penyesalan yang kini Dirga rasakan. Andaikan dia tidak menuruti permintaan orangtuanya mungkin dia dan Niar sudah memiliki anak-anak yang lucu.

"Di mana kamu sekarang? Kenapa aku begitu sulit menemukanmu?" gumamnya.

Setelah puas menyelami kesedihannya, Dirga beranjak dari duduknya diikuti oleh Kenan asisten pribadinya. Kenan melajukan mobil atasannya menuju salah satu apartment mewah. Di sinilah Dirga tinggal seorang diri. Hanya alkohol yang selalu menemaninya.

Kenan tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah yang atasannya selalu lakukan selama tiga tahun belakangan ini. Dia tahu, atasannya ini depresi berat. Untung saja tidak gila. Alkohol adalah pelarian untuk Dirga agar melupakan sejenak kesedihannya.

Akses komunikasi antara dia dan kedua orangtuanya ditutup rapat olehnya. Hanya satu dari anggota keluarganya yang Dirga perbolehkan masuk ke dalam hidupnya. Dia adalah adik kecilnya yang kini beranjak remaja yaitu Nindy. Nindy adalah pelipur lara baginya disaat kesedihannya melanda.

Seperti malam ini, adik perempuan Dirga datang ke apartmentnya. Dengan senyuman khasnya, Nindy menyapa Dirga.

"Hay Kakak tampan," sapanya dan memeluk tubuh Dirga.

Hanya Nindy yang mampu membuat Dirga tersenyum. Semenjak Niar melepaskannya, dunia Dirga terasa gelap gulita. Hanya kepiluan dan kesedihan yang dia rasakan. Sikap yang hangat berubah menjadi sikap tempramental kepada siapa pun.

"Ada salam dari Mam ...."

"Sudah berapa kali Kakak katakan, jangan sebut keluargamu di hadapan Kakak," tegasnya.

"Maaf," sesal Nindy.

"Ada apa kamu ke sini?"

"Ndy mau pamit sama Kakak," ucapnya.

Dirga mengerutkan dahinya tak mengerti. Nindy pun menghela napas kasar sebelum melanjutkan ucapannya.

"Ndy mau lanjutin kuliah di luar kota. Tepatnya di universitas Brawijaya."

"Kenapa harus ke sana? Di sini banyak universitas yang bagus juga," imbuh Dirga.

"Ndy gak mau hidup dalam sangkar emas. Ndy ingin hidup layaknya anak-anak orang biasa. Percuma jadi anak orang kaya tapi, hanya jadi boneka pengeruk harta mertua."

"Pergilah, belajar yang benar. Dan buktikan jika kamu mampu meraih mimpimu sendiri." Dirga menepuk pelan puncuk kepala Nindy.

"Ketika Kakak ada waktu, pasti Kakak akan menjenguk mu di sana," sambungnya.

Nindy memeluk erat tubuh Dirga. Hanya Dirga yang mampu mengerti dirinya. Berbeda dengan Kakak perempuannya, yang selalu berbicara kasar kepadanya dan selalu acuh kepada Nindy.

***

Niar masih betah di ruko sewaannya. Masih memandangi langit yang telah berubah menjadi gelap. Langit malam di Malang begitu cantik dan indah tidak seperti hatinya. Yang selalu bermurung durja.

Dia teringat akan kejadian lima tahun lalu. Setelah Niar mengalah dan melepaskan Dirga, keesokan harinya dia memutuskan untuk pergi ke Malang dan memutuskan akses komunikasi dengan teman-temannya di Jakarta. Dia ingin menata hidup yang baru, setelah impiannya hidup dengan Dirga musnah. Lantaran Dirga yang sudah memiliki calon istri.

Kepergian Niar tepat di hari pernikahan Dirga. Selama di pesawat air mata Niar tak henti menetes.

"Harusnya aku yang berada di sana," gumamnya.

Hanya air mata yang menjadi saksi betapa sakitnya hati Niar saat ini. Terlebih, Dirga tidak menahan Niar untuk pergi. Malah membiarkannya dan tidak pernah mencoba menemuinya untuk sekedar menjelaskan.

Setelah tiba di Kota Malang, berita online dipenuhi kabar bahagia antara Dirga dan juga istrinya. Niar tersenyum kecut, keduanya sangat cocok tampan dan cantik. Dan mereka terlihat bahagia.

Setelah tiba di sebuah kos-kosan sederhana, Niar merebahkan tubuhnya. Menarik napas dalam dan memejamkan matanya.

"Aku harus bisa melupakanmu, kamu sudah bahagia dan aku pun layak untuk bahagia."

****

Setelah Nindy pulang, malam ini Dirga tidak menyentuh alkohol sama sekali. Entah kenapa wajah cantik Niar selalu muncul di kepalanya. Senyuman manisnya yang membuat Dirga semakin jatuh cinta selalu memutari otaknya.

"Apa kamu sudah bahagia? Aku di sini sangat terluka dan benar-benar merasa hancur tanpa kamu," lirihnya.

Bulir bening menetes di ujung matanya membuat Kenan ikut merasakan kesedihan atasannya. Ingin sekali Kenan bertemu dengan mantan kekasih atasannya ini. Secantik apakah dia sehingga mampu membuat seorang Dirga depresi seperti ini.

Dirga masuk ke kamarnya, membuka kotak kecil yang berada di dalam lemarinya. Senyumnya tersungging ketika melihat kotak kecil berwarna merah hati yang di dalamnya berisi gelang pasangan. Selama mereka beroacaran, gelang ini selalu mereka pakai. Dan mereka dijuluki Romeo dan Juliet sekolah.

"Aku harap, suatu saat nanti aku bertemu dengan kamu. Aku ingin memelukmu, aku rindu senyuman kamu. Aku rindu tawa kamu dan aku sangat merindukanmu."

Dada Dirga terasa semakin sesak, tangis yang dia tahan akhirnya pecah juga. Dia pun menangis layaknya anak kecil. Cintanya terlalu besar untuk Niar hingga waktu pun tidak bisa menghapus cintanya.

Lima tahun mampu merubah sikap Dirga tapi tidak mampu merubah perasaan Dirga untuk Niar. Selama lima tahun ini Dirga menutup hatinya untuk semua wanita. Hanya Niar yang boleh singgah dan menempati ruang kosong di hatinya.

Tidak akan pernah ada yang mampu menggantikan Niar. Hanya Niar yang Dirga cinta, hanya Niar yang Dirga inginkan.

Begitu pun Niar, Niar sudah memiliki seorang kekasih yang sangat baik dan mampu mengerti dirinya. Namun sayang, hatinya masih belum sepenuhnya untuk Jicko. Itulah yang membuat Niar masih ragu untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius lagi bersama Jicko.

Hati kecil Niar masih berharap, dia akan bertemu Dirga kembali. Walaupun sangat tidak mungkin, sudah pasti Dirga sudah bahagia dengan istrinya dan juga memiliki anak-anak yang lucu.

Setidaknya, Niar ingin melihat jika Dirga sudah benar-benar bahagia. Setelah itu, baru lah dia menata kebahagiaannya. Dalam hubungan mereka, bukan hanya Niar yang tersakiti tapi juga Dirga. Niar tidak menyalahkan Dirga karena memilih antara orangtua dan kekasih adalah hal yang paling sulit.

"Kebersamaan kita terlalu lama hingga membuat semua kenangan tentang dirimu begitu sulit dilupakan. Aku akui, aku masih mencintaimu ... aku masih mengharapkan mu," lirihnya.

Hingga suara derap langkah kaki terdengar, senyuman manis seorang pria mampu mengangkat ujung bibir Niar.

"Maaf, lama jemputnya," ucap Jicko.

"Gak apa-apa, Mas. Ayo kita pulang, sudah malam," balas Niar.

Jicko menggenggam tangan Niar dan mereka menuju lantai bawah. Sebelum pulang Niar pamit kepada para karyawannya dulu.

***

Belum Bisa Melupakan

Selama perjalan pulang Niar hanya diam. Tidak ada yang dia ucapkan.

"Kamu kenapa Sayang?" tanya Jicko.

"Hanya lelah, Mas."

"Ya sudah, kita langsung pulang aja ya. Tadinya aku mau ngajak kamu nongkrong dulu sebentar," jelasnya.

"Maaf," sesak Niar.

"Tidak apa-apa Sayang. Kesehatan kamu lebih penting," sahut Jicko seraya mengusap ujung rambut Niar.

Sikap dewasa Jicko lah yang membuat Niar nyaman bersamanya. Hubungan yang sudah memasuki usia dua tahun namun, masih jalan di tempat tidak ada kemajuan.

Jicko selalu sabar menunggu Niar karena Jicko benar-benar mencintai Niar. Tidak mau memaksakan kehendaknya. Jicko tahu, Niar masih belum bisa sepenuhnya melupakan masa lalunya.

Tiba sudah mobil Jicko di kediaman Niar. Sekarang kedua orangtua Niar ikut pindah ke Malang. Meninggalkan rumah mereka di Jakarta. Itulah yang menyebabkan Dirga kehilangan jejak.

"Mampir dulu, Mas," ajak Niar.

"Gak usah, kamu kan harus istirahat. Kalo Mas masuk kapan kamu istirahatnya," tolak Jicko.

Niar hanya tersenyum, sebelum Niar pergi Jicko mengecup kening Niar terlebih dahulu. Kebiasaan Jicko setelah mengantarkan Niar pulang.

"Mas, hati-hati ya," ucap Niar.

"Iya, Sayang. Kamu juga istirahat ya." Niar mengangguk dan masuk ke rumahnya. Sedangkan Jicko sudah melajukan mobil meninggalkan rumah Niar.

Keesokan paginya, mata Niar terlihat membengkak karena semalam menangis. Menangisi masa lalu yang telah dia lepaskan. Namun, pada kenyataannya hatinya belum bisa melupakannya dan tidak ikhlas untuk melepaskan lelaki yang selalu mengisi hatinya dengan berjuta kebahagiaan.

"Niar," panggil sang ibu yang baru saja masuk ke kamarnya.

Niar masih menyandarkan kepalanya di ranjang tempat tidur dengan wajah sendu dan mata bengkaknya.

"Mau sampai kapan kamu begini terus, Nak?" tanya Bu Sari.

"Niar belum bisa melupakannya, Bun."

Bu Sari hanya menghela napas kasar, dia tahu bagaimana hubungan putrinya dengan Dirga. Lelaki baik hati yang selalu membuat putrinya bahagia di sepanjang harinya.

"Cobalah buka hatimu sedikit demi sedikit untuk Jicko. Sudah terlalu lama Jicko menunggu kamu," ucap Bu Sari.

"Akan Niar coba pelan-pelan, Bun. Memori tentang Dirga terlalu memenuhi isi kepala Niar. Tidak semudah itu Niar bisa menghapusnya," jawabnya.

Bu Sari hanya mengangguk pelan. Dia juga tidak bisa memaksa. Dia tahu bagaimana putrinya ini sangat terpuruk ketika berpisah dengan Dirga. Butuh waktu tiga tahun untuk Niar menata hidupnya kembali. Meskipun sulit untuk menata hatinya yang sudah hancur berkeping-keping.

Di sebuah perusahaan, kedatangan Dirga membuat semua para karyawan menunduk. Tidak ada yang berani menatapnya. Dirga terkenal sangat tegas dan juga pemarah. Dirga bisa memecat lebih dari sepuluh para karyawan yang lalai dalam satu hari. Sikap Dirga ini yang membuat perusahannya maju dibanding perusahaan milik keluarganya. Karena semua karyawan di perusahaan Dirga berisi orang-orang yang pintar dan berkompeten.

Dirga adalah pemilik perusahaan sekaligus CEO. Namun, kehidupan pribadinya sangat tertutup. Tidak ada yang berani atau menanyakannya. Apalagi, hampir setiap hari orangtua Dirga datang ke kantornya namun, Dirga tidak akan pernah menemuinya.

Semua para karyawan tidak tahu alasannya. Ada Maslah apa antara bos mereka dengan kedua orangtuanya, mereka semakin acuh. Karena ada peraturan konyol yang Dirga buat. Siapa saja yang mencari tahu tentang kehidupan Dirga dengan sangat tidak hormat Dirga akan menendang mereka dari perusahaan miliknya. Para security pun ditugaskan untuk tidak menerima orang-orang yang sudah di blacklist oleh Dirga.

Kejadian lima tahun lalu, membuat Dirga memiliki hati sekeras batu. Benar-benar menutup hubungan dengan keluarganya. Seolah tidak peduli dengan keadaan keluarganya sekarang. Yang terpenting, dia sudah terbebas dalam sangkar emas dan sudah bisa menjadi orang sukses dengan tangannya sendiri.

Di Bandara.

Nindy sudah diantar oleh kedua orangtuanya untuk pergi ke Malang. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka bertiga. Kehangatan keluarga Deri Prakarsa kini berubah menjadi keluarga yang tak bernyawa semenjak kepergian Dirga Anggara putranya. Rumah yang biasanya ramai kini senyap, seolah tidak ada kehidupan di sana.

"Dek, apa Kakak mu tidak akan mengantarmu?" tanya Septi istri dari Seri Prakarsa.

"Tidak, dan Mamah tau alasannya apa, kan," ketus Nindy.

Septi hanya terdiam mendengar jawaban anak bungsunya ini. Alasan Dirga tidak mengantar Nindy karena adanya dia dan juga suaminya. Dua manusia yang mungkin masih Dirga benci.

"Sudah lima tahun, apa Kakak mu tidak merindukan kami?" tanya Septi lagi.

"Kakak lebih merindukan Kak Niar dibanding kalian yang tega menukar kebahagiaan Kakak dengan tahta," jawab Nindy.

"Kakak tampan ku tidak akan seperti ini jika, Mamah dan Papa tidak egois," sentak Nindy.

Inilah yang Nindy pendam selama ini. Lima tahun lalu, Nindy masih duduk di bangku SMP. Sedikit demi sedikit dia mengerti akan permasalahan yang dihadapi keluarganya. Meskipun dia selalu tidak boleh menyampaikan pendapatnya karena dianggap masih kecil.

Hanya tahta dan harta yang menjadi perbincangan antara kedua orangtuanya. Itulah yang membuat Dirga muak dan meninggalkan semuanya. Deri dan Septi selalu menganggap kebahagiaan anak-anaknya adalah uang tapi, tidak semua seperti itu.

"Maafkan Mamah dan Papah," kata Deri.

"Sudah terlambat Pa. Mungkin pintu maaf untuk Mamah dan Papa sudah tertutup rapat untuk Kak Dirga. Kecuali, Mamah dan Papa bisa membawa obat penyembuh segala luka Kak Dirga, yaitu Kak Niar."

Deri dan Septi tercengang mendengar ucapan dari Nindy. Rasa bersalah di hati kedua orangtua Dirga sangat besar.

"Aku berangkat Mah, Pah," pamitnya sambil mencium tangan kedua orangtuanya secara bergantian.

"Jangan sering-sering tengok aku. Aku ingin jadi wanita yang mandiri," imbuhnya.

Septi dan Deri hanya tersenyum mendengar perkataan dari putrinya. Putri bungsunya yang cengeng dan manja kini sudah dewasa. Dan memilih untuk tinggal di daerah orang lain dari pada kota kelahirannya.

Nindy pun terbang ke Malang, inilah awal kehidupan Nindy. Banyak rencana yang Nindy rancang selama menimba ilmu di sana. Terutama hidup layaknya mahasiswa pada umumnya. Dan dia pun berencana untuk mencari pekerjaan sambilan di sana. Nindy sangat ingin memiliki uang dari hasil keringatnya sendiri.

Niar baru saja tiba di cafe kekinian miliknya. Semua karyawan sudah siap dengan tugas masing-masing. Niar pun menyapa mereka seperti biasa. Dan kemudian dia masuk ke ruangannya yang berada di lantai dua. Di sanalah Niar memantau semua keuangan dan hal-hal dalam lainnya.

"Matanya tertuju pada sebuah figura yang berada di atas meja. Ada empat orang anak berseragam SMA di sana. Niar tersenyum melihat gambar itu karena dia termasuk dari salah satu anak yang berada dalam fot,o itu.

"Gua kangen kalian," gumamnya.

"Maaf, gua pergi tanpa jejak dan tanpa pamit ke kalian," lirihnya.

Ketiga sahabat Niar itu adalah Reni, Sisi, Nera, dan Bila. Mereka bertiga tidak tahu tentang keberadaan Niar sekarang. Semua komunikasi Niar putus secara sepihak. Bukan karena dia tidak sayang kepada para sahabatnya. Akan tetapi, para sahabat Niar pasti akan jadi gudang informasi untuk Dirga. Niar tidak mau itu terjadi. Dia pergi untuk melupakan semuanya meskipun saat ini dia belum mampu melupakan Dirga sepenuhnya.

Diterima Kerja

Sebulan sudah Nindy berada di Kota Malang. Dia menjelma menjadi gadis sederhana. Tidak satupun temannya yang tahu jika, Nindy adalah anak orang kaya. Dan Dirga pun dua Minggu yang lalu menjenguknya di Malang.

Dirga benar-benar bangga pada adiknya ini. Hidup sendiri di kos-kosan kecil dengan makanan yang bener-bener sederhana.

Nindy pun sudah mengatakan kepada Dirga jika, dia ingin mencari pekerjaan sambilan. Bukan karena uang dari orangtuanya tidak cukup. Tapi, dia ingin merasakan bagaimana bekerja dan menghasilkan uang sendiri.

Dirga hanya bisa mendukung rencana Nindy selagi masih dikategorikan positif. Tidak ada salahnya adiknya belajar akan kerasnya hidup. Agar nantinya Nindy tahu, hidup yang sebenarnya akan lebih sulit dari ini

Sudah beberapa tempat Nindy kunjungi, namun tidak satu pun yang sedang membuka lowongan pekerjaan. Semua itu tidak menyurutkan semangat Nindy. Setiap pulang kuliah dia akan berkeliling mencari pekerjaan yang berada tidak jauh dari kos-kosannya. Sudah dua Minggu ini hasilnya selalu nihil.

"Ternyata nyari kerja di Jakarta sama di sini sama aja ya. Susah," keluhnya pada Warni teman kampus Nindy.

"Iyalah, Nih. Tidak ada yang mudah di dunia ini," sahutnya.

"Padahal aku butuh banget pekerjaan," imbuh Nindy.

Warni yang melihat wajah Nindy murung seperti itu tidak tega.

"Kamu mau gak kerja di cafe?" tanya Warni.

"Apa aja aku mau, War."

"Minggu depan kan aku menikah, sudah pasti aku akan berhenti dari pekerjaan aku. Kamu mau gantiin aku di sana?"

Nindy mengangguk dengan cepat dan wajah tampak riang gembira.

"Tapi, aku harus bilang dulu ke Mbak Ara. Takutnya Mbak Ara gak setuju," terangnya.

"Oke, aku tunggu kabar darimu ya," ucap Nindy.

Warni hanya membentuk tangannya seperti huruf O. Dan Nindy pun memilih pulang beristirahat di kosan sederhananya.

Keesokan harinya, Warni mengajak Nindy bertemu di kantin kampus. Dia ingin memberikan undangan sekaligus mengajak Nindy ke cafe tempatnya bekerja.

"Aku boleh menggantikan mu di sana?" tanya Nindy.

"Iya, dan sekarang kamu harus ikut ke sana."

Nindy dan juga Warni berangkat menuju cafe yang dimaksud. Warni langsung mengajak Nindy naik ke lantai atas tempat atasannya.

Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk, mereka berdua masuk ke dalam ruangan itu.

"Duduk War," titah Ara.

"Makasih, Mbak. Ini Mbak yang akan menggantikan saya," ujar Warni.

"Nama kamu siapa?" tanya Ara.

"Nindy, Mbak."

"Mulai lusa kamu boleh kerja di sini sesuai jam kamu pulang kuliah," ucap Ara lembut.

"Makasih banyak, Mbak," ucap Nindy dengan wajah yang terlihat bahagia.

"War, kamu beritahu Nindy apa aja yang harus dia kerjakan," titah Ara.

"Baik, Mbak. Saya permisi."

Warni dan juga Nindy meninggalkan ruangan Ara dan beralih ke tempat mereka bekerja. Warni menunjukkan satu per satu pekerjaan yang harus Nindy kerjaka. Dari mulai mencatat pesanan hingga mengantarkan pesanan dan juga membersihkan meja pengunjung.

Tidak sulit, aku pasti bisa, batinnya.

Setelah selesai menunjukkan pekerjaannya kepada Nindy, Warni dan juga Nindy memutuskan untuk pulang. Nindy memilih jalan kaki saja karena jarak dari cafe ke tempat kosannya tidaklah jauh.

Menikmati langit sore yang indah dan sejuk membuat hati Nindy tenang. Hidup sederhana seperti ini sangatlah nyaman untuknya. Memiliki banyak teman yang benar-benar tulus berteman dengannya bukan karena harta yang dia miliki.

Di Jakarta.

Dirga menikmati secangkir kopi panas diujung senja. Lidahnya terasa sangat pahit ketika cairan itu dia sesap. Rasa kopi ini sama dengan hidup yang sedang dia jalani. Pahit dan tak ada rasa.

Bayang wajah sendu Niar dipertemuan terakhir mereka melintas di kepalanya. Wajah yang pura-pura tegar dan tersenyum dengan air mata yang sudah menganak. Berucap dengan nada yang bergetar menandakan Niar tidak rela mengatakan semuanya. Keadaan lah yang memaksanya.

Dirga menunduk dalam merasakan kesakitan yang dulu Niar rasakan. Ingin rasanya dia mengejar perempuan dengan rambut sepundak berwarna bronze. Namun, lengannya ditahan oleh sang mamah dan membawanya pergi ke Bogor untuk mempersiapkan pernikahan antara dirinya dan juga perempuan yang sama sekali tidak dia kenal.

"Aku memang lelaki bodoh, Niar. Aku mau saja masuk ke dalam perangkap mereka," lirihnya.

Hanya penyesalan yang Dirga rasakan. Mencari Niar pun sudah dia lakukan namun, hasilnya nihil. Seakan ada yang menutupi semua informasi tentang Niar.

Selama lima tahun ini Dirga hidup dalam penyesalan dan keputusan asaan. Hanya Kenan yang mampu membuatnya berpikir jernih dan hanya Nindy alasannya untuk terus melanjutkan hidupnya.

Untuk hubungannya dengan kedua orangtuanya, Dirga sudah tidak mau tahu. Dia sudah tidak peduli dan seakan bencinya tidak akan pergi hilang jika mengingat kejamnya orangtuanya terhadap dirinya.

"Sampai kapan bos tidak mau menerima kehadiran tuan dan nyonya?" tanya Kenan yang baru saja masuk ke dalam ruangan Dirga.

"Sampai marahku surut dan benciku sudah menghilang."

Kenan hanya bisa mengangguk pelan. Dia tidak mengerti jalan pikiran bosnya ini. Tapi, dia juga tahu betapa menderita Dirga selama ini. Membangun usaha yang awal ya diremehkan oleh para pengusaha yang lain, terlilit hutang hingga menahan rasa lapar diperutnya selama seminggu. Dirga lebih mementingkan Kenan dari pada dirinya sendiri. Itulah yang membuat Kenan setia terhadap Dirga.

Orangtua Dirga bukannya tidak tahu, tapi Dirga dengan kerasnya menolak. Dia benar-benar ingin berusaha sendiri dan tidak membiarkan kedua orangtuanya ikut campur. Itulah pertemuan terakhir Dirga dengan orangtua kandungnya.

"Malam ini kamu boleh istirahat di rumah. Saya ingin sendiri di apartment."

Kenan hanya mengangguk pelan, setidaknya di apartment bosnya ada CCTV yang terhubung ke ponselnya. Jadi, dia masih bisa memantau bosnya dari kejauhan.

Malam ini Dirga tidak langsung ke apartment miliknya. Dia pergi ke sebuah cafe, sudah ada dua wanita yang menunggunya di sana.

"Maaf, gua telat."

"Kebiasaan lu," ucap Rena.

"Mau sampai kapan lu kayak gini?" tanya Bila.

Rena dan Bila adalah sahabat dari Niar. Hanya mereka berdua yang belum menikah, sedangkan Sisi dan Nera sudah menikah dan dibawa oleh suami mereka.

"Lu mapan dan tampan, Ga. Belum tentu juga Niar masih sendiri," terang Rena.

"Hati gua hanya untuk Niar," jawabnya.

"Kalo suatu saat lu ketemu tapi, Niar udah bahagia dengan orang lain lu mau apa?" tanya Bila.

"Gua akan pergi, setidaknya gua udah bisa ketemu sama Niar dan melihat dia bahagia."

Jawaban yang sangat menyentuh hati Bila dan Rena. Andai saja mereka berdua bisa membantu Dirga, sudah mereka bantu sahabatnya ini.

Rena dan Bila tahu bagaimana kisah cinta Niar dan Dirga dulu. Selalu membuat mereka iri karena keromantisan yang selalu Niar dan juga Dirga tunjukkan. Ketika Dirga dan Niar mengatakan jika mereka akan serius dan menuju ke jenjang pernikahan, Rena dan Bila ikut merasa bahagia. Namun, kebahagiaan itu sirna seketika terlebih Niar meninggalkan mereka tanpa sepatah kata.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!