Aruna sangat terlambat datang ke kantor, seharusnya jam enam dia sudah sampai tapi karena adik-adiknya di panti asuhan sedang ujian akhir semester membuatnya harus mengalah dengan mereka yang berebut kamar mandi di pagi hari.
Nafasnya tak beraturan ketika sampai di pantry dengan cepat dia membuatkan teh sesuai keinginan bos besarnya, kemarin seharian dia sudah melakukan training lebih dulu untuk memastikan kelayakannya sebagai office girl di perusahaan tersebut.
Berbekal pengalamannya kemarin, Aruna dengan penuh percaya diri menyiapkan minuman tersebut ke meja bosnya. Setelahnya dia membawa kain lap dan juga kain pel untuk membersihkan ruangan tersebut.
Aruna dia adalah gadis yatim piatu yang dititipkan oleh ibunya ke panti asuhan sebelum wanita yang melahirkannya meninggal. Nasibnya memang malang, ayahnya meninggal karena kecelakaan bersama dengan selingkuhannya dan setelah beberapa bulan dia dilahirkan ibunya menyusul ayahnya karena penyakit yang dideritanya.
Gadis malang itu tumbuh menjadi gadis yang cantik dan juga periang, siapapun yang ada di dekatnya pasti akan terhibur dengan kehadirannya. Seperti hari ini meskipun dia datang terlambat tapi tidak sedikitpun bermalas-malasan seperti yang lainnya. Dirinya justru lebih bersemangat hal itu terlihat dari caranya dia bekerja dengan rambut digulung ke atas menampakkan leher jenjangnya yang panjang, sesekali dia bersiul seakan di dalam ruangan ini adalah sebuah hutan dengan aneka burung di dalamnya.
Aruna membersihkan beberapa barang setelahnya mengepel lantai yang sebenarnya tidak kotor. Langkahnya mundur ke belakang dan tanpa dia sadari ujung tongkat pelnya mengenai dada seseorang.
Dug!
”Awh, astaga apa kau tak punya mata?” seru Aksa kedua matanya melotot ke arah Aruna membuat gadis itu mengkerut melihatnya.
”Ma-maaf saya tidak sengaja sungguh,” sesal Aruna kemudian menunduk karena takut.
Berbeda dengan Aksa dirinya justru semakin kesal karena ada pegawainya yang tidak hati-hati dalam bekerja.
”Siapa namamu?”
Aruna gadis itu mengangkat wajahnya, ”Aruna, Tuan. Maaf saya benar-benar tidak sengaja melakukannya.”
”Sejak kapan kau bekerja di sini?”
”Baru kemarin saya mendapatkan pekerjaan ini.”
Aksa menatap lekat ke arah gadis muda yang ada di depannya terbilang muda karena bisa jadi dia seusia adiknya Devan.
”Cantik,” lirihnya masih terdengar meskipun samar, tapi kenapa dia mau bekerja di perusahaannya hanya sebagai office girl.
”Kenapa jam segini baru dibersihkan bukankah seharusnya satu jam sebelum saya datang tempat ini harus sudah clear?” Kali ini Aksa tidak lagi bermain mata, tatapannya tajam berwibawa membuat Aruna menciut nyalinya meski hanya untuk membalasnya.
”Kenapa diam saja, apa kau tuli?” cecar Aksa semakin kesal dengan respon Aruna yang lambat menurutnya.
”Saya terlambat datang karena di panti asuhan adik-adik berebut kamar mandi. Saya sebagai kakaknya mengalah untuk mereka,” jelas Aruna.
Aksa melipat tangannya di dada masih dengan tatapan tajam ke arah Aruna. ”Kamu pikir saya peduli dengan masalahmu di luar sana, jika besok kau masih saja terlambat dan pekerjaanmu tidak beres maka jangan harap lusa kau masih bekerja di sini. Mengerti?”
”Ba-baik, sekali lagi saya meminta maaf.”
Aruna pun segera pamit keluar dari ruangan tersebut, rasanya pasokan oksigen di tempat itu sungguh minim padahal di sana hanya mereka berdua. Apalagi mengingat tatapan tajam si tuannya membuat Aruna bergidik ngeri melihatnya.
”Kenapa dia mengerikan sekali,” lirih Aruna.
***
Aksa duduk di kursinya kedua tangannya saling bertautan perasaan cemas sedang melanda hatinya mengingat perkataan Devi, mamanya yang akan menjodohkannya dengan gadis pilihannya. Aksa berulang kali menolak tapi entahlah sepertinya kali ini dia bisa kalah.
Aksa mencoba menenangkan dirinya dengan meminum secangkir teh yang ada di mejanya, hal yang sering dia lakukan ketika pikirannya sedang kacau. Namun begitu teh itu menempel di bibirnya rasa aneh di lidahnya membuatnya memuntahkan lagi air yang telah masuk tersebut.
”Astaga air apa ini kenapa rasanya aneh sekali,” pekik Aksa lalu memperhatikan cangkir tersebut.
Benar cangkir itu adalah miliknya tapi kenapa rasanya aneh, lalu siapa yang buatnya apa orang itu sengaja ingin mencelakainya. Dengan cepat Aksa memanggil Farrel dan meminta pria itu memanggil orang yang membuatkan teh untuknya.
Selang beberapa menit, Farrel datang bersama dengan seseorang di belakangnya.
”Kau ... jadi kau yang membuat minuman untukku, apa kau berniat meracuniku?” tuduh Aksa.
Aruna pun menatap ke arah Aksa dan hal ini membuat kedua pria yang ada di sana tersentak karena baru kali ini ada pegawai yang berani menatap atasannya tersebut.
”Anda menuduh saya?” ujar Aruna. ”Saya berusaha bekerja dengan baik di sini tolong jangan buat saya berhenti dari pekerjaan ini karena saya sangat membutuhkannya.”
Aksa mengacak rambutnya, ”Jika bukan kamu lalu siapa? Bukankah kamu yang membuatkan teh itu dan memberikannya padaku?”
”Ya, saya yang membuatnya tapi saya tidak meracuni Anda darimana buktinya saya mau meracuni Anda, huh!” Aruna lama-lama kesal dengan sikap atasannya itu, masa bodoh jika dia harus kembali dipecat di hari pertamanya dia bekerja.
Aksa menyodorkan teh yang sempat diminumnya beberapa menit yang lalu pada Aruna. Tanpa menolak Aruna menerimanya dan mencicipinya. Baru menempel di bibir saja, Aruna langsung menyemburkannya dan mengenai kemeja Aksa.
”Astaga apalagi ini,” seru Aksa kesal karena kelakuan pegawai barunya itu.
”Apakah kau benar-benar mau saya pecat!” teriak Aksa.
”Eh, ma-maaf saya benar-benar gak sengaja, teh ini rasanya memang aneh mungkin saya salah menuangkan gula dengan garam,” ucap Aruna menyesal kali ini dia pasrah jika memang harus dipecat sekalipun.
”Kau tidak akan mendapatkan gaji bulananmu jika sampai tiga kali melakukan kesalahan.”
Aruna menutup mulutnya dengan telapak tangannya terkejut tentu saja, jika sampai itu terjadi maka sia-sia dia kerja banting tulang siang malam karena dia sedang butuh dana untuk membantu ibu panti merenovasi gedungnya yang bocor.
”Maafkan saya Pak Aksa, saya janji tidak akan mengulanginya lagi.”
"Good, balik kerja sana!” titah Aksa menatap sinis pada Aruna. Aksa menggeleng pelan kenapa nasibnya buruk sejak tadi pagi apakah dia kurang bersedekah hari ini sehingga kesialan terus saja menghampirinya.
Ditariknya lengan kemeja kerjanya untuk melihat jam yang melingkar di lengannya. ”Astaga sudah jam sebelas pantas saja perutku sangat lapar.”
Aksa segera memerintahkan Farrel untuk memesankan makanan keluar namun rupanya pria itu tidak ada di tempatnya. Kesal, Aksa menuju ke pantry berniat untuk membuat teh Rosemary, dia butuh ketenangan karena berbagai tekanan yang tengah dia rasakan saat ini.
Aksa menarik nafas banyak-banyak seakan khawatir kekurangan pasokan oksigen, mengingat tuntutan dari mamanya membuat dadanya kembali sesak.
Aksa berbalik hendak kembali ke ruangannya namun dirinya justru menabrak seseorang membuat teh yang ada di tangannya tumpah mengguyur kemejanya.
”Aish, sial!” gerutu Aksa dengan cepat melihat siapa yang menabraknya.
”Kau ... ”
Aruna bergeming dirinya takut bosnya akan marah padanya sudah ketiga kali ini dia melakukan kesalahan rasanya hidup ini seakan tidak berpihak padanya.
”Maaf bos, saya tidak sengaja,” ucap Aruna membersihkan kemeja kerja milik bosnya membuat Aksa mengeram kesal karena seakan tangan mungil Aruna sedang menggoda dadanya.
”Hentikan!” teriak Aksa membuat Aruna terkejut dan menghentikan gerakannya lalu tertunduk takut pada tatapan tajam milik Aksa.
”Dasar pegawai tak berguna!” serunya. ”Hari ini kau aku pecat!”
Aruna spontan langsung menatap ke arah Aksa mendengar hal yang tidak ingin dia dengar. ”Bu-bukankah saya sudah meminta maaf padamu kenapa kau memecat diriku, tolong saya butuh pekerjaan ini.”
Aksa tidak peduli dirinya langsung keluar dari pantry dan mengganti pakaian di ruangannya. ”Pegawai sialan!” desisnya.
Suara derap langkah menuju ke meja kerja Aksa.
”Maaf aku baru kembali dari kantor cabang ada yang harus diurus di sana,” ucap Farrel tanpa melihat raut wajah kesal bosnya tersebut meletakkan berkas di mejanya.
”Siapa yang merekrut pegawai sialan itu?”
Farrel bingung dengan pertanyaan Aksa. ”Siapa yang kau maksudkan?”
”Office girl yang membersihkan ruanganku pagi ini.”
Farrel tampak berpikir sejenak. ”Oh gadis itu, dia masuk kemarin pagi dan sudah melakukan training sehari hasilnya bagus jadi tim HRD menerimanya. Apa ada masalah?”
”Aku sudah memecatnya,” ucap Aksa santai.
”Apa?” Farrel terkejut tapi apalah dia yang hanya seorang bawahan.
”Sudahlah jangan terlalu didramatisir, kita masih bisa cari penggantinya kan?”
”Bukan begitu ... masalahnya kantor kita sudah sering membuka lowker di bagian itu dan tak pernah ada yang betah di sana. Mereka bertahan hanya tiga hari dan paling lama satu minggu.”
”Lalu aku tidak boleh memecatnya setelah beberapa kali dia membuat kekacauan di kantorku, yang benar saja. Aku bos di sini dan aku berhak melakukan apapun yang aku mau,” ucap Aksa tegas tak ingin ada bantahan.
”Terserah kau saja.”
”Tolong pesankan aku makan siang, perutku sudah sangat lapar!” keluh Aksa membuat Farrel mau tidak mau harus melayani sendiri keinginan bosnya.
Hari sudah mulai beranjak sore, Aksa memilih untuk pulang dan beristirahat di rumah. Mobil yang dia kendarai pun melaju dengan kecepatan lambat karena jalanan mulai ramai waktunya orang-orang pulang kerja. Dirinya berniat membeli beberapa cake untuk mamanya Devi yang sedang sakit di rumah.
Mengingat wanita itu membuat Aksa kembali pusing, permintaannya untuk segera menikah belum juga dia penuhi karena memang belum ada wanita yang cocok untuknya. Hatinya belum bisa mencintai seseorang karena jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia mencintai gadis kecil yang telah menyelamatkan hidupnya di masa lalu.
Aksa ingin mencarinya tapi tanpa data yang kuat itu akan sulit untuknya karena kejadian itu sudah sangat lama. Aksa memarkirkan mobilnya di halaman coffe shop yang cukup ramai, rupanya di sana sedang grand opening dengan cepat Aksa pun menghampiri tempat itu.
Kedua matanya membelalak manakala melihat gadis yang ada di kantornya sedang melayani pembeli dengan tersenyum ramah pada pelanggan yang datang.
”Selamat sore Tuan, maaf stock-nya habis Anda bisa datang lagi besok siang jam dua,” ucapnya lalu mengangkat kepalanya dan mengurai senyum di wajahnya namun baru beberapa detik senyum itu pudar begitu melihat siapa yang ada di depannya itu.
”Kau ... ”
”Rupanya kau mahir berjualan juga,” ucap Aksa.
”Maaf stock sudah habis dan toko akan segera tutup.”
”Kenapa kau ada dimana-mana apa kau itu seorang hantu?” ejek Aksa.
Aruna malas membalas perkataan bosnya itu bukan lebih tepatnya ’mantan bos’ karena Aruna baru saja dipecat tadi siang.
”Apa kau pekerja paruh waktu? Jika iya kembalilah besok ke kantorku karena saya masih membutuhkanmu.” Setelah mengucapkan hal itu, Aksa segera pergi tanpa mau mendengar jawaban dari Aruna.
***
Aruna pulang ke panti dengan keadaan yang sangat lelah seharian ini dia berputar mencari pekerjaan baru untuk mengganti pekerjaan yang hilang karena kesalahan yang tidak dia sengaja.
Dia benar-benar ingin mendapatkan uang lebih untuk membantu renovasi panti dan juga masa depannya. Meskipun dia bisa mencari bantuan pada donatur yang ada rasanya enggan buatnya untuk tetap bergantung pada mereka semua, menjadi pengemis bukanlah prinsip hidupnya selama dia mampu Aruna akan berjuang keras untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Sesosok wanita paruh baya menghampirinya dan duduk di sampingnya. ”Kau nampak lelah sekali Aruna, apa kau makan dengan baik di luar?”
”Tentu saja Bu, ibu tak perlu khawatir dengan keadaan Aruna.”
”Bagaimana pekerjaanmu di tempat yang baru?”
”Menyenangkan seperti biasanya dan Aruna bahagia karena sebentar lagi Aruna bisa membantu merenovasi panti ini,” ucap Aruna meskipun sebenarnya dia meringis melihat nasibnya tapi dia menutupinya karena tak ingin ibu panti kasihan padanya.
”Istirahatlah besok kau harus kenali bekerja bukan? Ibu ke kamar dulu mengecek adik-adikmu,” pamit ibu panti.
Aruna hanya mengangguk singkat dan segera mengambil handuk untuk mandi dan segera berisitirahat.
Di kantor Aksa pagi ini, dia sudah memarahi pegawainya karena ruangannya masih belum dibersihkan dan tidak ada teh hangat di mejanya hal itu membuatnya kesal dan memarahi semua pegawainya.
”Apa tugas kalian kenapa membersihkan ruangan ini saja kalian tidak mampu!” bentak Aksa.
Bukan masalah tidak mampu bagi pegawai yang telah ditraining dengan baik, yang menjadi masalah ialah mereka takut jika apa yang dilakukan tidak sesuai dengan keinginan bosnya.
”Kemana gadis yang kemarin membersihkan ruangan saya?” tanya Aksa memperhatikan satu per satu wajah karyawannya namun tidak didapati pegawai tersebut.
”Panggil Farrel ke sini!” Seseorang pun segera memanggil Farrel sesuai perintahnya.
Selang beberapa menit Farrel datang, ”Ada apa?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
”Ada apa katamu, semalam aku memintamu memanggil kembali gadis itu kenapa hari ini dia tidak masuk?”
Farrel yang faham pun langsung bicara, ”Gadis itu tidak dapat dihubungi.”
”Datangi alamatnya,” titah Aksa.
Farrel memiringkan kepalanya, ”Kita datang dan sekalian beri mereka bantuan bagaimana?”
”Apa maksudmu?” tanya Aksa heran dengan perkataan Farrel.
”Dia itu tinggal di panti asuhan, jika kita datang ke sana dengan tangan kosong rasanya sangat memalukan mengingat perusahaan kita adalah perusahaan besar,” ujar Farrel.
Aksa menarik nafasnya perlahan, ”Jadi dia anak panti asuhan.”
Farrel mengangguk.
”Kemarin aku melihatnya berada di coffe shop di jalan Mawardi menjadi seorang pelayan di cafe itu.”
”Pekerjaannya memang paruh waktu lalu kau mau apa?”
Seringai licik tercetak jelas di wajah Aksa, dia yakin Aruna gadis itu bisa membantunya menyelesaikan permintaan mamanya.
”Cari dia segera dan bawa dia ke sini.”
”Bagaimana jika dia menolak?”
”Paksa dia bodoh!” Aksa mengeram kesal pada Farrel karena tidak biasanya sahabatnya itu bersikap bodoh di depannya.
Aruna telah menyelesaikan pekerjaannya di restoran siang ini, setelah dia membereskan pekerjaannya dia segera bersiap untuk pergi ke toko cake yang baru dua hari ini buka. Meskipun masih banyak pengunjung yang datang dia tidak berkewajiban membantu karena jam kerjanya sudah habis dan digantikan oleh orang lain.
Aruna mempercepat langkahnya dan terkejut begitu melihat siapa yang ada di depannya sekarang.
”Minggir!” ucap Aruna mencoba menghalau tubuh Aksa yang menghalangi jalannya.
Aksa tidak serta merta langsung minggir dirinya justru semakin nekad menghalangi jalan gadis itu.
”Apakah Anda tuli? Minggir, saya sedang terburu-buru.”
”Aku tidak akan minggir sebelum kau ikut denganku,” ucap Aksa.
”Astaga apalagi ini tolong mengertilah jangan membuat hidupku semakin susah. Aku sedang memburu waktu dan tidak ada waktu untuk bermain-main denganmu.”
Aruna mendorong tubuh Aksa dengan paksa alhasil dirinya pun ikut tertarik dan jatuh di atas tubuh mantan bosnya itu.
”Aww ... ” Keduanya saling pandang beberapa detik sebelum benar-benar tersadar, setelahnya Aruna segera bangkit dan membersihkan pakaiannya yang sedikit kotor.
”Maafkan saya, sekarang saya harus pergi bekerja tolong jangan menuntut saya karena saya tidak memiliki apapun. Permisi.”
Aruna segera berlari menuju tempat kerjanya, hampir saja dia terlambat dirinya segera menyiapkan diri untuk bekerja dan standby di meja kasir.
Baru beberapa saat dia berdiri, Aksa sudah masuk dan tersenyum pada Aruna namun gadis itu mengabaikan senyumannya. Aruna acuh, mengingat bagaimana pria itu sudah memecatnya kemarin, Aruna masih merasa kesal.
”Kenapa tidak tersenyum bukankah saya adalah pelanggan pertama yang masuk?” sapanya pada Aruna.
”Anda mau memesan sesuatu, silakan saja tapi tolong segera pergi jangan mengganggu pekerjaan saya,” ucap Aruna penuh penekanan karena dia tak ingin kembali kehilangan pekerjaannya.
”Baiklah jika begitu saya akan membeli semua roti yang ada di sini. Berapa semuanya saya akan membayarnya dan berikan ini semua pada anak-anak di panti asuhanmu.”
Franklin, sang bos baru Aruna yang mendengar hal itu tentu saja sangat senang karena dagangannya dibeli semua oleh Aksa.
”Terima kasih sebelumnya tapi bagaimana Anda tahu jika dia tinggal di panti asuhan?” tanya Franklin senyumnya tidak pudar meskipun mendapat perlakuan seperti tidak dianggap oleh Aksa.
”Karena dia mantan pegawaiku.”
Franklin tersentak mendengar pengakuan Aksa. ”Aruna, apa itu benar?”
Aruna hanya dapat menganggukkan kepala mengiyakan perkataan Aksa.
Semua roti yang ada di toko tersebut pun dikirim ke panti hal itu membuat Dona sang ibu panti terkejut karena mendapatkan kiriman begitu banyak makanan tanpa konfirmasi padanya sebelum barang itu datang.
Namun dia tidak memungkiri jika dirinya merasa senang, bahagia karena anak-anaknya di panti tidak kekurangan makanan. Berbeda dengan Aruna yang justru merasa kesal karena ulah Aksa.
”Tolong jangan mengikuti saya!” Aruna mencoba menghindar tapi Aksa terus saja mengejarnya.
”Tolong kembali ke perusahaan aku membutuhkanmu,” pinta Aksa mencekal lengan Aruna membuat gadis itu terkejut karena tindakannya.
”Tolong lepaskan tangan Anda, untuk apa saya kembali ke sana, untuk kau hina? Maaf, saya tidak mau!” tolak Aruna tegas.
Aksa tersenyum samar rupanya gadis yang ada di depannya ini tidak mudah untuk ditaklukkan. ”Saya akan membantu kesulitanmu asalkan kau juga mau membantu kesulitan yang sedang saya hadapi, bagaimana?”
Aruna berbalik begitu mendengar perkataan Aksa. ”Apa maksud Anda?”
”Saya tahu jika kamu sedang membutuhkan uang banyak untuk renovasi panti apakah itu benar? Saya akan bantu kamu melakukan semua itu tapi dengan syarat!”
”Apa itu?”
Aksa mendekat dan berbisik pada Aruna, jangan ditanya bagaimana reaksi gadis itu yang pasti kedua mata Aruna membulat sempurna begitu mendengar semuanya.
”Apa Anda sudah gila!”
Aksa menaikkan sudut alisnya dan tersenyum mengejek, ”Terserah kau saja, jika kau tidak tertarik tidak masalah saya tidak memaksamu.”
Aksa berbalik kemudian, ”Tolong pikirkan baik-baik jika kau berubah pikiran segeralah datang ke kantor kita buat perjanjian di sana.”
Aksa berucap tanpa berbalik dan kembali melangkah setelahnya.
***
Aruna menggerutu sepanjang jalan dirinya kesal tapi dengan siapa dia harus melampiaskan kekesalannya, ingin marah tapi tak bisa dirinya dilema haruskah dia menerima tawaran gila dari Aksa mantan bosnya itu.
”Kenapa melamun, apa ada masalah dengan pekerjaanmu?” tanya Dona menatap anak asuhnya itu.
Haruskah Aruna jujur?
”Tidak ada Bu, Aruna sedang lelah saja maaf jika membuatmu tidak nyaman.”
”Jangan begitu Nak, kau tahu justru ibu merasa sangat bersalah padamu karena harus melibatkan dirimu dengan persoalan di panti. Harusnya ibu bergerak sendiri, jika saja ibu masih sehat tentunya kau tidak akan kerepotan membantu panti ini,” ungkap Dona.
Aruna meraih kedua tangan Dona, menggenggamnya erat. ”Bu, kau tahu hanya kaulah orang yang aku sayangi di dunia ini, aku sudah tidak memiliki siapapun lagi ... jujur aku bahagia karena bisa bertemu dengan orang sebaik dirimu yang tulus merawat diriku hingga saat ini.”
”Jika saja ibuku tidak mengantarkan diriku ke sini, entah jadi apa aku sekarang,” lanjut Aruna memulai meneteskan air matanya meluapkan kesedihan yang mendalam.
Sama halnya dengan alam yang seakan ikut merasakan kesedihan gadis itu, hujan lebat pun turun dengan derasnya. Beberapa anak berlarian mengamankan kasurnya masing-masing karena atap kamar mereka bocor.
”Ya ampun bagaimana ini, kasihan mereka,” gumam Aruna melihat adik-adiknya tidur menyatu dalam satu ruangan.
”Kak Arun, sampai kapan kita akan seperti ini?” tanya Vania gadis kecil yang lumayan dekat dengannya.
”Sabar ya, semua pasti akan berlalu besok kakak akan mencari pinjaman buat memperbaiki atapnya agar kalian bisa tidur dengan nyaman di saat hujan,” balas Aruna mencoba menenangkan adik-adiknya.
Keesokan harinya Aruna melangkahkan kakinya menuju kantornya Aksa berharap pria itu segera membantunya, dirinya tidak bisa terlalu lama membiarkan adik-adiknya di panti menderita.
Jam sembilan pagi, Aruna berharap Aksa sudah berada di ruangannya agar dirinya tidak berlama-lama menunggu dan bisa segera kembali bekerja. Ya, hari ini dia bertukar shif dengan temannya.
Aruna segera menuju ruangan Aksa setelah mengetuk pintu tersebut dua kali.
”Maaf saya datang ke sini pagi-pagi sekali,” ucap Aruna sedikit ragu dia melangkah menuju meja Aksa, pria itu tidak terlihat karena posisi kursinya yang membelakangi mejanya.
”Apa kau berubah pikiran Nona Aruna?” tanya Aksa membalikkan kursinya perlahan.
Aruna berpikir keras, apakah ini saatnya dirinya menyerah? Aruna berharap ada orang lain yang menolongnya saat ini, menyelamatkannya dari perjanjian yang akan dia tanda tangani.
”Bagaimana Nona Aruna, kau yakin dengan keputusanmu kan?”
Lagi perkataan Aksa seakan mendorongnya untuk mengiyakan perjanjian gila itu, apakah Aruna harus mengiyakannya. Aruna justru kembali mengingat kejadian semalam bagaimana adik-adiknya berlarian menyelamatkan kasurnya dari air hujan.
”Ba-baiklah, tapi saya juga ingin mengajukan syarat padamu.”
”Apa itu?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!