"Sayang, berhentilah menyetir. Perutmu sedang besar begitu bahaya."
"Flora, ayo bujuk Mamah untuk berhenti."
Suara itu terdengar begitu cemas di seberang telepon. Wajahnya pun sangat panik sekali. Zayn begitu melarang sang istri membawa mobil di usia kehamilannya yang menginjak sembilan bulan hanya menunggu hari saja akan melahirkan.
"Kata Mamah dedek lagi pengen nyetir mobil, Papah." sahut Flora yang menirukan ucapan sang Mamah.
Perdebatan itu terus berlangsung dengan Calvina yang tersenyum fokus menyetir mobil. Berkali-kali-kali Zayn meminta mereka berhenti dan akan menyusul namun ucapan itu hanya seperti candaan saja.
Panggilan video terus terhubung dengan Flora si kecil yang memegang mengarahkan pada wajahnya dan sang mamah. Mereka menertawakan keposesifan sang papah.
Detik berikutnya, telunjuk bocah itu mengarah ke arah samping.
"Mamah, awas!" teriaknya sangat kencang.
Zayn yang panik semakin tak terkendali. Ia berteriak kala mendengar jeritan panjang anak dan istrinya di seberang telepon. Tubuhnya membeku tanpa bisa melakukan apa pun saat ini.
"Flora! Calvina!" Zayn memerah wajahnya kala berteriak. Panggilan yang masih tersambung namun tidak terdengar suara apapun di sana. Zayn berlari keluar ruangannya dengan ponsel yang terus ia genggam. Semua anak buah pun segera ia kerahkan untuk menuju lokasi kejadian.
"Zayn...sa-kit." Suara Calvina terdengar merintih kala itu.
"Cal, bertahanlah. Aku segera kesana Sayang." ujar Zayn. Air matanya menetes saat ini.
Banyaknya mobil yang bergerak bersamaan saat itu untuk berpencar menuju lokasi paling cepat. Zayn pun tak lagi menggunakan supir kali ini.
Di sini Calvina justru hanya membuka mata meneteskan air matanya. Melihat bocah mungil di sampingnya yang tertawa lantang kini sudah tak bergerak sama sekali. Posisi tubuh mereka bahkan terbalik dengan kaki di atas.
"Maafkan mamah, Flo." gumam Calvina dalam hatinya dengan pandangan yang mulai kabur. Pelan ia tak lagi mampu membuka mata. Hingga pertolongan datang tanpa bisa ia rasakan lagi.
Kehadiran Zayn begitu cepat, semua anak buah membantu mengeluarkan korban dari dalam mobil.
"Flora! Calvina!" teriaknya.
"Tuan, Nona kecil sudah tidak bisa di selamatkan lagi." lapor salah satu anak buah.
Zayn yang tidak terima memilih acuh dan menggendong sang anak. Kemudian ia menggendong sang istri masuk ke mobil dan membawa ke rumah sakit. Berharap semua yang ia takutkan tidak terjadi.
Kepergian Zayn hanya mampu di ikuti anak buahnya. Mereka tak lagi berani bersuara melihat reaksi Zayn barusan. Sampai akhirnya dokter lah yang berkata padanya.
"Tuan Zayn, anak anda tidak bisa di selamatkan. Saya rasa ini sudah berakhir di lokasi kejadian."
Zayn menggeleng tak percaya. Air matanya menetes semakin deras. Orang tua mana yang rela mendengar anaknya sudah tak ada lagi. Zayn tidak bisa menerima ini.
"Tidak, Dokter. Anak saya masih hidup. Usahakan apa pun untuk anak saya, Dok. Saya mampu berapa pun yang anda minta untuk itu. Tolong saya, Dokter. Anak saya harus sehat lagi." Zayn sampai memegang lutut dokter di depannya. Memohon menjatuhkan tubuhnya serendah mungkin.
Sadar dirinya hanya mampu memberikan dengan uang tanpa ada kemampuan medis sedikit pun.
"Selamatkan anak dan istri saya, Dokter." ujar Zayn kembali.
Dokter itu bahkan sampai mundur ke belakang menghindari permohonan Zayn yang menurutnya tidak pantas. Zayn adalah orang yang di kenal sebagai pengusaha nomor satu di negara ini. Bagaimana mungkin melakukan hal itu pada dokter.
"Tuan, Nona Flora memang tidak selamat dari kecelakaan itu." sahut salah satu anak buah Zayn yang berusaha mendekat.
Marah mendengar anak buah berani bersuara padanya. Zayn sampai melempar vas bunga di dekatnya pada sang anak buah.
"Hentikan omong kosongmu itu!" teriaknya hendak berdiri menyerang anak buahnya. Tepat saat itu pula para keluarga datang setelah mendapat kabar.
"Zayn, hentikan!" Suara lantang di iringi getaran terdengar tidak jauh dari sana.
Sosok wanita paruh baya menatap Zayn dengan pandangan berkaca-kaca. Ia melangkah cepat meraih tubuh Zayn dan memeluknya. Irene, Ibu dari Zayn datang bersama suami dan kedua orang tua Calvina.
"Ayah, Ibu..." ucap Zayn tak tahu harus mengatakan apa saat ini. Matanya menatap para keluarga yang datang dengan tatapan frustasi. Zayn merasa gagal menjadi ayah ketika tak bisa menjaga keluarganya.
"Dok, bagaimana menantu dan cucu kami?" tanya Irene memilih mendengar penjelasan dokter lebih dulu.
"Maafkan kamii, Nyonya Prayan. Cucu anda tidak bisa di selamatkan sebab sudah tidak ada ketika di lokasi kejadian. Dan untuk menantu anda saat ini masih koma." jelas Dokter singkat.
Napas semua yang ada di sana terasa tercekat mendengar berita yang tidak pernah mereka sangka itu. Irene menggeleng seraya membungkam bibirnya.
"Cucu kami tidak ada, Dok? Lalu bagaimana dengan calon cucu kami?" tanya Gauri ibu dari Calvina yang juga sangat syok mendengar berita buruk barusan.
Dokter merasa tubuhnya seperti sangat kaku dan panas saat ini. Tidak seharusnya ia menangani kasus mengerikkan seperti ini sampai harus menjelaskan pada keluarga korban dengan sangat sedih. Sebagai dokter ia tidak bisa menyelamatkan nyawa mereka.
Hanya gelengan yang mampu dokter itu berikan saat ini. "Maksud dokter apa?" tanya Zayn kembali.
"Maaf, Tuan. Kandungan istri anda mengalami benturan yang begitu keras hingga kami pun tidak bisa menolong calon anak anda." Kesekian kalinya keluarga Zayn mendapat kabar buruk.
Zayn menjatuhkan tubuhnya di lantai tak mampu lagi menopang beban tubunya. Kedua anaknya pergi tanpa bisa ia lihat terakhir kalinya. Menangis histeris Zayn hanya menyesali semua yang terjadi. Bahkan saat ini istrinya pun sedang dalam perjuangan hidup.
"Nyonya Calvina sedang dalam perjuangan melawan koma. Kita hanya bisa berdoa untuk keajaiban saat ini, Tuan. Kami pun akan berusaha semaksimal mungkin. Permisi." Dokter yang tak kuasa melihat kesedihan keluarga memilih buru-buru pergi.
Semua keluarga menangis di depan ruangan itu. Zayn berusaha kuat berdiri untuk menemui sang anak. Anak manis yang begitu periang kini pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun pada sang papah.
Ruang pemeriksaan yang di tempati Flora kini di masuki keluarga satu persatu. Kedua kaki Zayn bergetar mendekati sang anak. Air matanya tak henti menetes.
"Flo...kamu tinggalkan Papah, Nak? Kamu tega tinggalin Papah dan Mamah? Flora...bangun, Sayang." Zayn memeluk sang anak yang terbaring menutup mata di brankar. Tangannya mengusap wajah penuh luka sang anak dengan getaran yang kuat.
"Papah, Flo mau cepat gede biar bisa gendong adik nanti. Bisa main sepeda goncengin adik juga." Ucapan flora ketika masih hidup terngiang di benak Zayn.
Rasanya semua yang terjadi seperti sulit di percaya. Bagaimana mungkin baru saja ia mendengar tawa anak dan istrinya di panggilan video tiba-tiba kini ia sudah bertemu dengan sang anak yang tidak bergerak sama sekali.
"Flora! Tolong jangan tinggalkan Papah!" Zayn berteriak layaknya serigala yang begitu marah saat ini. Marah pada takdir yang sangat kejam padanya.
Semua menangis terisak melihat wajah mungil bocah cantik itu begitu menyedihkan. Satu persatu mereka memeluk Flora dan menumpahkan sedih di sana.
Shopia, adik dari Calvina pun turut menangis begitu sedih melihat keponakannya sudah tak lagi ada.
Hari yang seharusnya mendekati bahagia ketika menyambut sang buah hati kedua lahir justru menjadi hari yang paling menakutkan bagi Zayn dan keluarga.
Sebuah tangan yang lembut pelan menyentuh pundak pria yang sangat rapuh. Semua sangat sedih dengan kepergian Flora mau pun bayi yang ada di kandungan Calvina. Tak di sangka keduanya pergi dengan cara yang sangat mengenaskan seperti ini. Zayn tertunduk meneteskan air mata penyesalan. Rasanya semua seperti mimpi yang ingin ia tinggalkan saat ini juga.
"Zayn, segera urus pemakaman anak-anakmu. Kasihan mereka jika menunggu terlalu lama." ujar Irene berbicara lembut pada anaknya.
Ia sangat tahu betapa terluka hati Zayn saat ini. Sebagai seorang ibu hanya ia yang bisa berbicara pada Zayn dalam keadaan terguncang.
"Iya, Bu." Patuh Zayn pun pergi dari ruangan itu mengurus kepulangan sang anak. Bayi mungil yang ia gendong dalam keadaan tak berdaya rasanya sangat sulit untuk Zayn lepaskan. Beberapa kali ia mencium wajah bayinya. Semua bergetar tubuhnya menyaksikan bagaimana hancurnya Zayn saat ini.
"Aku tidak tahu bagaimana jika Kak Calvina tahu ini semua, Bu." Shopia menangis kala mengatakan hal itu. Bayangan bagaimana hancurnya hati sang kakak mengetahui kedua anaknya pergi akibat keinginannya yang keras kepala.
Ruangan kini hening setelah kepergian Zayn mengurus semuanya. Kakinya terasa begitu berat melangkah keluar dari ruangan itu. Di temani kedua pria paruh baya ia mengurus semuanya. Sementara para anak buah sudah Prayan tugaskan mengurus rumah mereka untuk menerima kedatangan dua jenazah sang cucu.
Hari yang begitu berat dua keluarga itu hadapi dengan banyaknya dukungan dari para keluarga mau pun teman kerja mereka. Bagaimana pun sedihnya, Zayn masih berharap sang istri akan bertahan tanpa meninggalkannya juga.
"Ayo kita kembali. Calvina pasti menunggumu." ajak Matthew, ayah dari Calvina.
Mereka baru saja usai mengantar Flora dan sang adik ke pemakaman. Semua di jalankan seperti pada umumnya.
"Ingin aku membagi dua tubuhku, Ayah. Anak dan istriku sama-sama penting bagiku. Kenapa mereka justru meninggalkan aku seperti ini. Bagaimana jika nanti Calvina juga akan menyerah?" tutur Zayn menatap nanar dua makam yang bersampingan di depannya.
Beberapa kali pria itu nampak memejamkan mata sembabnya yang sulit terbuka. Bayangan di kepalanya sering melintas tentang kedua anaknya yang masih hidup di dalam tanah sana.
"Zayn, kendalikan dirimu. Ayo kita segera pulang." ucap Prayan menarik paksa tangan sang anak.
Takut jika pikiran Zayn yang kacau justru akan menimbulkan hal yang tidak baik. Ketiga pria itu memilih melangkah pergi meninggalkan pemakaman dan segera kembali ke rumah sakit.
Melihat kedatangan para suami, Irene dan Gauri mendekati mereka dan membiarkan Zayn mendekati Calvina. Mereka saling memberi isyarat untuk keluar dari ruangan. Meninggalkan Zayn berdua dengan sang istri.
Duduk di samping menggenggam tangan yang berbalut perban dan jarum infus, Zayn menunduk menangis. Tak ada kata lagi yang sanggup ia ucapkan melihat semua yang terjadi hari ini. Sangat kilat tanpa bisa memberikan waktu Zayn bersiap lebih dulu.
"Semua terasa seperti mimpi buruk, Cal. Aku tidak tahu sampai saat ini apa benar yang terjadi pada kita ini nyata? Anak-anak kita sudah tidak ada." Bergetar suara Zayn terdengar menangis. Untuk pertama kalinya ia menangis seperti ini. Rapuh rasanya tak ada semangat hanya tinggal harapan yang begitu besar ia berikan pada sang istri yang tengah berjuang hidup untuknya.
Ingatan tentang ucapan dokter yang mengatakan hanya berharap dengan keajaiban untuk kesembuahan Calvina membuat Zayn sangat takut. Berulang kali ia menggelengkan kepala di depan sang istri. Menghalau segala pikiran buruk yang terus menyerang isi kepalanya.
Sejak tragedi kecelakaan itu terjadi hingga empat tahun lamanya, Zayn masih setia menunggu sang istri bergantian dengan ibu mau pun mertuanya. Tak ada semangat yang hilang sedikit pun dari sosok pria tampan itu. Bahkan rasanya tidur di kamar yang nyaman sudah Zayn lupa saat ini.
"Sebaiknya kita minta dokter melepaskan alat ini saja, Zayn. Ibu kasihan dengan Calvina." ujar Gauri yang tak tega melihat anaknya terus bertahan hidup dengan keadaan yang tidak sadar seperti empat tahun belakangan ini.
Sontak Zayn menggeleng cepat. "Tidak, Bu. Tidak ada yang boleh melepas alat bantu, Calvina. Dia masih bisa sembuh. Aku yakin Calvina akan bangun sebentar lagi." kekeuh Zayn menolak usul sang ibu.
Gauri sangat sedih melihat Calvina yang seperti menderita di paksa untuk bertahan hidup. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ia sendiri sudah bisa mengikhlaskan kepergian sang anak jika memang sudah harus melepasnya.
"Kasihan Calvina, Zayn. Dia pasti kesakitan selama ini..." Belum sempat Gauri mengatakan lebih banyak lagi, Zayn sudah memilih pergi meninggalkan ruangan itu.
Melawan ibu mertua tentu tidak mungkin ia lakukan. Sedangkan menuruti permintaan ibu mertua jauh lebih tidak mungkin bagi Zayn.
Hingga suatu kejadian yang tidak terduga terjadi begitu saja. Kepulangan Zayn ke rumah untuk mengambil beberapa pakaian sediaan di rumah sakit justru membuatnya bertemu dengan hal yang sangat mengejutkan.
Sosok wanita dengan perut besar berdiri tegak merentangkan tangan di depan mobil Zayn yang melaju begitu kencang.
"Apa-apaan wanita ini?" umpat Zayn marah. Pupil matanya melebar dengan sempurna ketika kakinya menginjak rem begitu cepat. Amarah yang ia bawa dari rumah sakit membuat pria itu ingin melampiaskan pada wanita di depan sana.
Segera Zayn turun dari mobil dan membanting pintu mobilnya.
"Apa yang kau lakukan? Kau mau mati? Hah!" bentaknya sangat kasar.
Tak pernah Zayn berlaku kasar seperti itu sebelumnya. Namun, pada wanita bodoh di depannya ia merasa pantas melampiaskan amarahnya saat ini.
Bukannya jawaban yang Zayn dapatkan, ia justru mendengar tangisan di depannya yang begitu pilu. Wanita berperut buncit menangis menundukkan wajahnya.
"Tolong, tabrak aku hingga mati. Aku mohon, Tuan." ujarnya begitu mengiba sampai menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Zayn terpaku di tempat tak bisa berbuat apa-apa. Masih bingun dengan yang terjadi padanya.
"Baiklah. Jika Tuan tidak bersedia, aku akan mencari bantuan lainnya." Wanita itu bergegas lari meninggalkan Zayn dan memilih ke arah jalan lainnya untuk menabrakkan tubuhnya.
Zayn yang jelas melihat kendaraan sama dengannya sebelumnya sangat laju, begitu syok. Ia berlari mendorong kuat tubuh wanita hamil itu ke sisi jalan. Bersamaan dengan suara klakson mobil yang begitu nyaring dari pemilik mobil barusan.
"Apa yang kau lakukan? Kau ingin mati? Bukan begini caranya!" sentak Zayn naik darah.
Ingatannya kembali pada sang anak yang pergi empat tahun lalu ketika tak matanya memandang perut wanita di depannya begitu besar. Melihat sikap bodoh wanita di depannya rasanya Zayn ingin sekali menampar wanita itu.
"Iya, Tuan. Aku ingin mati." jawab wanita itu menangis.
Rahang Zayn mengeras mendengar ucapannya. "Andai takdir bisa di tukar aku akan menukarnya. Lebih baik kau yang mati dan istriku yang hidup bersama anakku." ujar Zayn dalam hatinya.
Matanya berkaca-kaca membayangkan apa yang barusan ia katakan.
Mendapat tatapan tak enak dari banyaknya orang di sekitar membuat Zayn mau tak mau menarik kuat tangan Rista. Wanita yang wajahnya banjir dengan air mata memegang kuat perutnya yang terasa berat untuk ia bawa bergerak. Mereka menuju mobil dimana semula menjadi target Rista.
"Lepaskan aku!" teriak Rista menatap tajam Zayn yang berjalan memutar mobil dan duduk di sebelahnya.
Beberapa saat Zayn menatap perut yang membuncit di sampingnya. Ia sangat emosi melihat tingkah Rista namun hatinya melemah melihat perut buncit itu. Di dalam sana ada nyawa yang meminta pertolongan Zayn untuk tetap aman. Jika tidak, maka Rista bisa saja bunuh diri dengan cara yang lain.
"Hentikan niatmu itu untuk bunuh diri." tutur Zayn pelan.
Rista menggeleng dengan air mata yang terus berjatuhan. "Tidak. Kau tidak perlu ikut campur dengan hidupku." sahut Rista tak mau kalah.
"Memangnya siapa yang mau ikut campur dengan hidupmu? Hah! Aku hanya kasihan dengan janin itu." sentak Zayn membuat kedua pundak Rista tersentak kaget.
Malu adalah hal yang paling mendominasi pikiran Rista saat ini. Ia benar-benar tak punya muka setiap kali membicarakan perutnya yang besar pada orang. Kejadian malang yang ia alami membuat Rista kehilangan arah hidup.
"Aku tidak mau hidup. Aku hanya ingin mati. Aku tidak perduli dengan janin ini. Dia bukan anakku!" tangis Rista menjadi.
Naluri seorang ibu rasanya benar-benar tak ada di dalam dirinya. Terlalu frustasi dengan hidupnya, Rista sampai lupa memikirkan nyawa anak yang akan tumbuh begitu menyayanginya kelak. Ia hanya ingin menghilang dari muka bumi ini.
Dalam diam Zayn berpikir untuk membawa Rista ke tempat paling aman. Rumah, yah menurutnya Rista harus di pulangkan ke orangtuanya agar mendapat arahan lebih baik.
"Dimana rumahmu? Aku akan mengantarmu dan berbicara pada orangtuamu." sahut Zayn dan Rista segera menggelengkan kepalanya. Wajahnya yang semula sedih mendadak sangat ketakutan. Ia takut untuk kembali ke rumah. Susah payah dirinya meninggalkan rumah itu dan bagaimana mungkin Zayn justru membawanya kembali ke rumah yang tidak ingin ia pijak lagi.
Merasa hidupnya terancam, Rista pun berontak dan ingin pergi keluar dari mobil Zayn. Sayangnya kendaraan itu telah di kunci oleh Zayn.
"Tolong lepaskan aku. Tolong biarkan aku pergi." mohon Rista menangis sampai menggenggam tangan Zayn.
Tangisan yang memilukan, Zayn perlahan merasa iba pada wanita di depannya.
"Apa yang terjadi padamu? Bunuh diri bukanlah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah. Apa kau pikir dengan bunuh diri semua akan selesai? Bagaimana jika bunuh diri hanya membuat satu di antara kalian yang meninggal? Dan satunya lagi menderita atau bahkan cacat seumur hidup?" Kedua bola mata Zayn berkaca-kaca ketika mengatakan hal itu.
Pandangannya lurus ke arah Rista, namun bayangan di kepalanya justru mengarah pada sang istri yang kini terbaring koma di rumah sakit. Sedang calon anaknya sudah berada di pemakaman bersama sang kakak.
Tak sadar Zayn mengatakan hal itu sampai menjatuhkan air mata. Meski sudah empat tahun berlalu, rasa sakit itu masih terasa jelas sampai saat ini. Bahkan sang istri yang masih tak kunjung sadar membuat Zayn lambat laun merasa putus asa.
Rista mengusap air mata mendapat pertanyaan dari Zayn.
**Flashback on**
Sebuah bangunan hotel megah yang cukup terkenal di kota itu kini tepat terpampang nyata di depan pandangan seorang gadis cantik. Putri tunggal dari seorang pengusaha yang baru saja memulai karirnya.
"Selamat datang, Nona. Apa benar anda Nona Rista Kamila putri dari Tuan Candra?" Rista tersenyum lembut menganggukkan kepalanya.
Sebagai anak dari calon pengusaha sukses, Rista tentu sangat antusias. Ini adalah hari pertamanya merasakan meeting di dampingi sang ayah. Selama ini Rista hanya belajar melihat sang ayah bekerja.
Dengan antusiasnya Rista melangkah mengikuti pelayan di hotel itu menuju ruang meeting. Ruangan yang ketika ia tiba masih tak menunjukkan satu orang pun di dalam sana.
"Saya tinggal dulu, Nona. Silahkan di nikmati hidangannya." Rista hanya tersenyum ramah tak menaruh curiga sedikit pun.
Sampai akhirnya satu gelas air mineral ia tenggak sedikit, Rista masih duduk tegang menunggu siapa yang akan hadir berikutnya. Mengirim pesan pada sang ayah, namun tak kunjung mendapatkan balasan.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Aku hanya melihat tubuhku sudah berantakan dan bugil ketika aku membuka mata. Satu orang pun tidak ada yang ku lihat. Aku mengadukan ini semua pada Ayah. Namun, aku justru mendapat hukuman darinya karena di anggap telah mencoreng nama baiknya. Bahkan aku di tuduh menjual diriku sebagai tawaran kerja sama." Rista menunduk menangis mengatakan semua itu.
**Flashback off**
Zayn yang semula marah berapi-api perlahan kini menghela napasnya. Entah harus percaya atau tidak pada Rista, namun mendengar cerita itu rasanya ia tak sampai hati memaki Rista lagi.
"Baiklah, untuk saat ini kau ikut denganku." ujar Zayn melajukan mobil tanpa mendengar persetujuan dari Rista.
Dalam perjalanan sesekali wanita hamil itu melirik Zayn yang terus diam mengemudikan mobil. Sisa kesedihan terlihat jelas di wajah pria tampan itu. Rista tak berani mengeluarkan satu kata pun selama perjalanan hingga mereka akhirnya tiba di rumah sakit. Zayn membawa Rista menuju sebuah ruangan meski wanita itu sempat menolak ikut dengannya masuk.
"Ikut atau aku akan membawamu pulang pada orangtuamu?" Ancaman Zayn rupanya mampu melumpuhkan pergerakan Rista. Ia menjadi sosok yang begitu patuh dari sikapnya yang sangat liar semula.
Keduanya pun tiba di dalam ruangan yang ada beberapa orang langsung melempar pandangan heran pada mereka.
Irene, wanita pertama sebagai ibu dari Zayn yang mendekat menyambut kedatangan sang anak dengan pandangan penuh tanya.
"Zayn..." ucap Irene pada sang putra.
"Bu, aku membawa orang yang berusaha bunuh diri. Aku tidak mengenalnya. Tolong jangan menatapku seperti itu. Calvina adalah satu-satunya." ujar Zayn dengan cepat mengerti tatapan semua orang di dalam ruangan itu.
Ia tidak ingin memberikan ruang pada keluarga berpikir buruk padanya. Apalagi kedatangan Rista dengan perutnya yang besar.
Irene menggeleng tak percaya mendengar ucapan sang anak. "Siapa kamu? Apa tujuan kamu?" tanya Irene langsung penuh selidik.
Sebagai sesama wanita rasanya terlalu aneh jika Rista datang dan melibatkan sang anak untuk bunuh diri.
"Ayo kemarilah." Di antara tatapan keluarga, Zayn justru melangkah menarik tangan Rista mendekat pada sang istri yang terbaring koma di depannya.
Sejenak Rista tertegun. Di depannya ada wanita yang kurus tetapi wajahnya begitu masih cantik meski sudah sangat pucat. Zayn dan keluarga mengurus Calvina dengan baik. Rambutnya pun masih tersisi rapi meski hanya berbaring di ranjang rumah sakit selama empat tahun.
"Dia istriku. Wanita yang mengalami kecelakaan tepat ketika usia kehamilannya sembilan bulan. Dan anak kami yang pertama harus ikut pergi bersama calon adiknya. Kau adalah wanita yang beruntung memiliki buah hati yang akan segera lahir. Di luar sana begitu banyak yang berjuang demi mendapatkan buah hati mereka. Termasuk aku dan istriku. Apakah hatimu sudah mati hingga kau tidak bisa merasakan cinta yang akan hadir dari janin itu? Dia adalah anak yang tidak memiliki dosa yang kelak akan memanggilmu mamah. Apa kau tega merenggut hidupnya yang belum sempat melihat dunia ini?" tutur Zayn berbicara pada Rista sembari terus menatap Calvina.
Sampai saat ini ia begitu menjaga pandangannya dari wanita mana pun di luar sana demi sang istri.
Rista dan semua keluarga yang ada di ruangan itu nampak menatap Zayn haru. Tetapi tidak dengan Shopia yang sejak tadi tak mau melepaskan pandangan dari wajah Rista yang asing.
"Kak Zayn, berhentilah berbicara padanya. Biar aku yang akan mengurusnya. Kalau kau ingin bunuh diri ayo lakukan padaku saja. Jangan dengan Kakak iparku. Kau mau mati kan? Ayo!" Dengan kasarnya Shopia menarik tangan Rista.
Semua yang baru kembali pada kesadarannya tentu sangat terkejut melihat sikap Shopia yang sama sekali tidak ramah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!