NovelToon NovelToon

Warisan Leluhur

Lembu Punya Susu, Sapi Punya Nama

..."Orang Lain Berusaha, Orang Lain Pula yang Mendapat Nama"...

Sambil melambai pada murid terakhir yang meninggalkan sanggar, dalam hati Ningsih bersyukur sekali mereka masih mau datang latihan meski hujan rintik-rintik terus turun.

"Andai saja aku punya banyak duit. Jalan-jalan desa bakal tak perbaiki semua. Sayangnya, aah, sudahlah ...."

Ningsih menghela napas panjang. Saat hujan terus turun seperti ini, seolah bersambung dari hari ke hari tiada henti, beberapa bagian jalan desa pun pasti ada yang sangat berlumpur dan licin. Rasanya khawatir juga pada anak-anak itu. Nekat, padahal sudah dibilangi tidak harus datang.

Senyum tipis tersungging di bibirnya yang kemerahan. Sok-sokan berkeluh-kesah, padahal hatinya senang mereka tetap datang. Itu artinya mereka serius. Hanya lima anak, yang dua murid kelas enam SD dan yang tiga sudah kelas dua SMP.

Gadis itu kembali menghela napas. Resah, dalam hati bertanya, kapan jalan-jalan akses penting itu akan diperbaiki?

Desa Pantungan ini bisa dibilang sudah cukup maju dibandingkan desa-desa lain yang ada di sekitar. Bahkan pasarnya saja sudah terkenal, banyak warga desa tetangga belanja di situ karena tidak punya pasar sendiri. Pedagang pun banyak yang dari luar desa---kebanyakan mereka ini orang-orang yang tinggal di dekat pasar besar.

Mengerling ke atas, mata bola pingpong gadis ini menatap prihatin plafon yang dulunya berwarna putih sekarang sudah banyak bagian yang menjadi kecoklatan, bahkan yang di pojokan belakang sebelah kiri itu sudah ambrol, rapuh kena tetesan air hujan.

Lihat saja itu dua ember yang Ningsih taruh di bawahnya, sudah hampir penuh lagi. Sebelum meluap, Ningsih bergegas membuangnya. Kemudian mengelap lantai yang basah.

Bagian dinding sanggar yang terbuat dari kayu, bawahnya sudah berlubang dimakan rayap, lantai semen sudah banyak yang pecah, pintu dan jendela engselnya juga sudah tua---saat dibuka-tutup suaranya berisik. Keadaan sanggar ini cukup memprihatinkan memang. Kalau tidak ada Ningsih, sanggar ini pasti sudah terbengkalai atau terlupakan.

Meskipun para sesepuh peduli, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain berharap akan ada kawula muda yang mau melestarikan warisan leluhur ini. Bersyukurlah ada Ningsih.

Walaupun---mungkin---pada akhirnya nanti hanya akan menjadi seperti pepatah, lembu punya susu, sapi punya nama, Ningsih tidak keberatan. Dia tulus ingin melestarikan cagar budaya warisan leluhur. Bukan sekadar mencari sensasi.

Jadi, kalaupun suatu saat nanti sanggar ini berhasil dihidupkan kembali seperti dulu dan yang akan dikenal sebagai pelopornya adalah orang lain, bukan Ningsih, gadis itu tidak akan mempermasalahkannya.

sudah pukul lima sore, Ningsih mengemasi barang-barang karena sudah waktunya pulang. Kalau tidak hujan, latihan biasanya sampai pukul enam. Ya, mau bagaimana lagi? Musim hujan begini hari lebih cepat gelap, kasihan anak-anak yang rumahnya jauh.

Tok tok tok

Bahunya menjengit. Aduh! Dalam hati mengeluh. Tanpa melihat pun Ningsih sudah bisa memperkirakan siapa yang datang. Niatnya mau buru-buru pulang biar tidak bertemu orang ini. Eh, malah orangnya sudah datang.

"Eh, Pak Agung." Tetap ramah meski hati masygul. "Hujan-hujan, kok ya, masih mampir." Dia meletakkan kembali tas kainnya lantas melangkah menghampiri pria yang berdiri di depan pintu.

Pria itu masih mengenakan helm dan mantel, tangan kanannya memegang tas plastik warna hitam. Basah kuyup. Motornya diparkir di luar pagar sanggar.

Wajah manis Ningsih semakin sedap dipandang saat kedua cekungan cukup dalam menghiasi kedua pipinya. Rambutnya tersapu ke belakang ketika angin berembus. Sangat menawan.

"Seperti biasa, Dek Ning. Oleh-oleh buat anak-anak. Tapi sudah pulang semua ternyata." Pria itu tersenyum ramah sembari mengulurkan tas plastik pada Ningsih.

"Maaf lo, Pak. Bukannya Ningsih tidak mau, tapi anak-anak kan sudah pada pulang. Sebaiknya Pak Agung bawa pulang saja buat Bu Lurah."

Senyum ramah di wajah tampan berahang tegas itu sedikit luntur, tetapi apa yang dibilang Ningsih memang benar. Dia biasa datang membawa oleh-oleh untuk murid-murid sanggar. Kalau mereka sudah tidak ada, ya, mau bagaimana lagi? Dibawa pulanglah. Lagi pula guru tarinya juga sudah menolak.

"Ya, sudah kalau begitu." Senyum ramahnya jadi terasa sedikit canggung. "Sudah mau pulang? Ayo, pulang bareng."

"Terima kasih Pak. Tapi maaf, masih ada yang harus Ningsih kerjakan."

"Kalau tidak lama, aku bisa nunggu."

"Wah, jangan, Pak. Tidak perlu repot-repot begitu. Sebaiknya cepat pulang, hujan-hujan begini pasti bu lurah khawatir nungguin Pak Agung pulang."

"Tidak apa-apa. Tidak---"

"Maaf, Pak." Ningsih langsung menyela karena Pak Agung tampaknya tidak gampang menyerah. "Sebenarnya Ningsih merasa tidak enak. Bagaimana kalau ada yang melihat kita hanya berduaan di sini? Mohon pengertiannya, ya, Pak."

Seperti disiram air comberan di muka umum, Pak Agung wajahnya langsung memerah karena malu. Pada akhirnya pria itu pun menyerah, pulang duluan tanpa Ningsih.

Tahu sendirilah bagaimana adat orang desa. Lebih baik tidak ambil risiko. Apalagi Pak Agung itu suaminya Bu Sriwedari, Lurah Desa Pantungan ini. Bisa gawat kalau sampai digosipkan macam-macam. Begitu motor Pak Agung sudah melaju, Ningsih pun bergegas melanjutkan mengemasi barang-barangnya.

"Sampon sonten, Ningsih pamit, Mbah."

(Sampon sonten: Sudah sore)

Sangat lengang. Tidak ada orang lain di situ. Ningsih berpamitan pada siapa?

Tidak perlu heran, itu sudah menjadi kebiasaan dia, bahkan saat melintas di jalan depan punden Ningsih juga mengucapkan kalimat yang sama.

Sebenarnya tidak hanya di sanggar atau punden saja dia begitu, di tempat-tempat lain yang dianggap keramat dan ada penunggunya, Ningsih juga selalu mengucapkan salam. Maklumlah, orang kampung yang masih sangat percaya takhayul.

Lewat payung transparannya, Ningsih memandang langit. Mendung, gerimis masih terus turun. Suasana sudah cukup gelap, dua pohon besar yang ada di kiri-kanan punden terlihat menyeramkan, tetapi Ningsih tidak terlihat takut. Kaki jenjangnya melangkah ringan ke area pasar. Rumah Ningsih letaknya di seberang pasar.

Punden Desa Pantungan ini berupa pondok kecil tanpa dinding, posisi lebih tinggi dari permukaan tanah, terdapat lima anak tangga, lantainya disemen, di tengah-tengah lantai ada lubang persegi empat untuk meletakkan bunga-bunga dan berbagai macam sesajen.

Dua pohon jati raksasa tumbuh di kiri-kanan, akarnya besar-besar dan mencuat ke permukaan tanah, daunnya jarang-jarang. Bila hanya dilihat selintas lalu, kedua pohon itu seperti pohon mati yang masih tegak berdiri.

"Ningsih pulang, Buk." Gadis itu masuk lewat pintu dapur, menyapa ibunya yang sedang memasak.

"Mandi dulu sana." Bu Rusmini hanya mengerling putrinya sekilas, tangannya sibuk membalik ikan asin di penggorengan.

"Bapak belum pulang?" Ningsih melangkah melewati ibunya menuju ke ruang dalam. Tidak lama balik lagi membawa handuk.

"Tadi sudah. Tapi, barusan pergi lagi sama orang-orang, soalnya tanggul sawah kidol jebol."

Tidak heran. Kalau hujan terus-menerus begini, bisa-bisa bukan hanya tanggul sawah yang jebol, sungai juga bisa meluap.

Pak Wahyu, bapaknya Ningsih, pulang sudah lewat jam makan malam. Selagi dia mandi, Ningsih menyiapkan makan malam untuknya, sedangkan si ibu duduk selonjoran sambil nonton TV. Syukurlah, hujan sudah berhenti sama sekali, untung juga tidak ada kilat petir. Jadi tidak khawatir tersambar.

"Hujan terus, ada anak yang datang latihan apa tidak, Ndok?"

(Ndok: Panggilan anak perempuan dalam bahasa jawa)

"Ada, Pak. Mereka datang semua, kok, lima anak. Dua dari desa sebelah." Tadinya Ningsih mau duduk dengan ibunya di depan TV, akhirnya malah menemani si bapak.

"Pak, sanggar itu sudah lama tidak direnovasi. Mbok, ya, direnovasi lagi."

Sebenarnya bukan tidak pernah diperbaiki sama sekali. Ningsih sudah pernah beberapa kali meminta tolong tukang untuk membenahi atap dan membetulkan bagian-bagian yang rusak cukup parah, tetapi tidak tahan lama. Sepertinya memang butuh renovasi menyeluruh.

"Ya, kamu bilango sama Bu Lurah. Kamu, kan, penanggung jawab sanggar, to ...."

Benar juga. Sebagai guru menari dan satu-satunya orang yang mau mengurus sanggar, Ningsih seharusnya punya hak mengajukan permohonan perbaikan. Toh, sanggar itu aset desa, warisan leluhur yang katanya dibangun tidak lama kemudian setelah desa ini berdiri.

Sejak perbincangan dengan ayahnya, tiga hari sudah berlalu. Siang ini, setelah pulang dari mengajar di SMP desa, Ningsih pergi ke kediaman Bu Lurah.

Di depan rumah Bu Lurah, dia melihat dua orang pria masuk ke mobil. Penampilannya seperti para juragan. Laki-laki, tetapi mengenakan kalung emas sebesar rantai sepeda, cincin juga gede, jam tangannya juga keemasan. Seperti toko emas berjalan saja.

Masuk ke beranda langsung disambut oleh Bu Lurah sendiri, Ningsih diajak mengobrol di ruang tamu. Bu Lurah, perempuan bertubuh montok, rambut rapi disanggul cepol satu, bibir merah terang terlihat sedikit dower, duduk bertumpu siku pada lengan sofa---menatap intens pada Ningsih yang duduk di depannya.

"Ya, sudah. Kapan-kapan tak lihate. Tapi, tidak janji bisa segera diperbaiki soalnya aku mau fokus ke perbaikan jalan dulu, lo, Dek Ning."

Wah! Akhirnya ada juga lurah yang berpikir untuk membangun jalan. Ningsih tidak bisa menahan senyum, lekuk curam menghiasi pipi, mata bulat besarnya berbinar.

Gadis itu tidak tahu saja kalau sebenarnya para lurah pendahulu juga sudah pernah mengajukan proposal perbaikan jalan, tetapi sampai sekarang belum ada kepastian. Janji-janji terus, sampai pemerintahan orde baru runtuh pun, belum terealisasi.

"Terima kasih, Bu Lurah. Kalau begitu Ningsih pamit dulu."

Gadis tinggi semampai itu meninggalkan kediaman Bu Lurah dengan hati penuh harap. Berharap pembangunan desa segera terlaksana, berharap lurah yang sekarang menjabat benar-benar bisa memajukan desa. Bu Sriwedari itu katanya masih keturunan lurah pertama desa ini. Mudah-mudahan bisa amanah.

Keesokan paginya saat Ningsih sudah berangkat mengajar, Bu Lurah mengunjungi sanggar tari ditemani Pak Gonden, Bayan Dusun Kidul, sekaligus orang kepercayaannya. Mereka tidak bisa masuk ke dalam sanggar karena kunci ada di Ningsih.

Melihat bangunan yang sudah cukup kuno, sudah mengalami beberapa kali perbaikan juga, tetapi nyatanya sepi-sepi saja tidak banyak aktivitas. Hanya Ningsih yang masih mau susah-susah mengurus tempat ini.

Buat apa coba? Mending urus diri sendiri, cari jodoh. Masa, iya, sudah umur 24 tahun masih belum ada tanda-tanda akan menikah. Bu Lurah mengembuskan napas kasar, kepala menggeleng kecil. Tidak mengerti dengan pilihan gadis muda itu.

Baru pukul delapan lebih, pasar yang biasanya tutup pukul sepuluh ini tentu saja masih sangat ramai. Ada dua pedagang yang membuka lapak di teras sanggar. Bercakap-cakap sebentar dengan mereka, setelah itu Bu Lurah melangkah menuju punden lewat jalan setapak yang ada di belakang sanggar.

Di depan punden, di luar pagarnya, banyak juga pedagang yang berjejer; ada yang pakai dipan, ada yang membentang tikar, ada juga yang di sepeda pakai keranjang. Begitu banyak orang, jalan yang bisa dilalui jadi terbatas, bahkan adakalanya terhambat. Untung saja jalan di situ padat dan sedikit berkerikil jadi tidak becek.

Pak Gonden yang sedari tadi mengekori Bu Lurah, kini berdiri sejajar. "Bu Lurah, jadi mau men---"

"Hush! Diam kamu!"

Padahal Pak Gonden berbicara sangat pelan, tetapi Bu Lurah masih menghardiknya. Mata Bu Lurah jelalatan, melirik ke sana-kemari.

"Jangan sembrono!" Kini matanya melotot pada Pak Gonden.

[Bersambung]

Terpasang Jerat Halus

..."Terkena Tipu Muslihat"...

Desa Pantungan ini masih masuk wilayah Madiun, tetapi letak geografisnya sudah masuk area Nganjuk. Cukup luas, terdiri dari empat dusun, yakni Dusun Kidul, Lor, Kulon, dan Etan. Kelurahan terletak di Dusun Kidul, begitu juga pasar, sekolah, dan fasilitas umum penting lainnya, termasuk Puskesmas.

Bisa dibilang, Dusun Kidul ini adalah cerminan pusat desa. Tempatnya cukup strategis sebagai gerbang desa. Terdapat dua jalan besar yang langsung terhubung dengan jalan raya. Pasar menjadi batas awal pemisah jalan tersebut.

Ke kiri adalah jalan pintas menuju jalan raya kota tetangga, sedangkan yang ke arah kanan, melewati jalan panjang kisaran dua setengah kilometer yang kiri-kanannya adalah persawahan, menuju ke jalan raya yang mengarah ke Kota Madiun. Bila musim hujan tiba, kondisi jalan itu masih sangat memprihatinkan.

Beberapa hari ini tidak turun hujan, lumpur bekas hujan yang kemarin-kemarin telah mengering, menyisakan lubang-lubang bekas roda kendaraan juga beberapa genangan air di lubang jalan yang cukup dalam.

Bu Lurah yang entah pulang dari mana, tampak sangat berhati-hati mengendarai sepeda motornya. Kalau tidak, bisa-bisa rodanya terperosok ke lubang-lubang memanjang itu.

Akses penting desa masih begini mengenaskan, tetapi rumah-rumah warga sudah pada bagus-bagus.

Hampir tidak ada lagi bangunan berdinding kayu atau bambu. Lantai juga sudah tidak tanah lagi. Paling tidak, ya, disemen atau ubin abu-abu seperti di Balai Desa dan sekolah-sekolah, malah sudah ada yang dikeramik juga.

Sepertinya para warga berlomba-lomba untuk mempercantik rumah masing-masing, tetapi tidak terlalu peduli dengan kondisi jalanan. Mungkin karena sudah terbiasa jadi, ya, nyaman-nyaman saja.

Lagi pula, bukannya pembangunan fasilitas umum itu adalah tanggung jawab pemerintah?

Masuk pertama kali ke Dusun Kidul ini bakal merasa seperti telah terpasang jerat halus, tertipu oleh apa yang tampak di luar, padahal dalamnya tidak seburuk itu.

Rumah Bu Lurah ada di sebelah selatan pasar, gang pertama dari arah jalan besar, sedikit menanjak. Setelah memarkir motor di beranda, Bu Lurah bergegas masuk ke rumah, langsung nyelonong ke ruang makan untuk minum air dari kulkas. Setelah itu, duduk di sofa ruang depan tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu, sekadar cuci tangan pun tidak.

Beberapa lembar brosur mobil yang barusan dia keluarkan dari tas, sebagian diletakkan di atas meja, lainnya sedang dilihat-lihat. Seorang pria paruh baya menyingkap kain penutup pintu yang menghubungkan ruang depan dan ruang tengah.

"Kamu dari mana, Sri?"

Bu Lurah buru-buru meringkas brosur-brosur itu lalu memasukkannya ke dalam tas. "Panas-panas, jangan kluyuran, to, Pak!" Hari ini cuaca memang panas. Bu Lurah mengeluhkan tindakan Pak Padianto, bapaknya, yang datang berkunjung dari Dusun Lor.

Dusun Lor itu letaknya paling ujung dekat perkebunan, persawahan, dan hutan---lumayan jauh. Jalanan di sana malah lebih sulit dilewati, masih banyak bebatuan dan banyak tanjakan. Kata-kata Bu Lurah, sih, menunjukkan perhatian, seolah khawatir. Akan tetapi, nada bicaranya ketus bahkan wajahnya terlihat masam.

"Bapak sudah di sini dari tadi. Parti bilang kamu pergi ke kabupaten." Parti adalah asisten rumah tangga Bu Lurah.

"Nah! Itu sudah tau. Kok ya, masih nanya dari mana."

Bu Lurah memang pamitnya ke kabupaten, tetapi perginya ke mana, siapa yang tahu. Masa, ke kabupaten pulangnya bawa-bawa brosur mobil?

"Duduk sebentar bapak mau bicara."

Bu Lurah yang sudah mengambil tasnya hendak beranjak, akhirnya duduk kembali. Wajahnya terlihat semakin masam.

"Mau bicara apa, sih?"

"Sebentar lagi panen raya,"---Pak Padianto duduk di sebelah putrinya---"kamu, kok, tidak ajak para pamong rembukan. Kapan, huh?"

"Maksud Bapak, buat nyadranan?"

Baru menjabat sekitar lima bulan sejak akhir bulan Oktober tahun 1998 lalu, terpilih menggantikan lurah lama yang meninggal karena kecelakaan. Jadi, panen raya yang akan datang ini adalah panen raya pertama Bu Sriwedari selaku Lurah Desa Pantungan.

"Lah, iya to. Kan, itu nanti harus ada acara adat bersih desa, selamatan di punden, di sendang, terus ada hiburan teledek sama wayang kulit. Jangan lupa itu."

"Jaman lagi krisis, Pak. Tidak usah aneh-aneh, cukup selamatan saja---"

"Eladalah! Jangan sembrono kamu---"

Bu Lurah mengibas tangan bosan. "Itu urusanku. Bapak tidak usah ikut-ikutan ngurusi. Aku ngerti harus gimana. Tidak usah khawater."

"Bapak cuma mengingatkan. Awas, kamu jangan macem-macem---"

"Iya, iya, aku tau! Mending sekarang Bapak pulang, takutnya nanti hujan!"

"Satu lagi,"---Pak Padianto memegang tangan Bu Lurah, mencegahnya pergi---"sanggar tari itu mbok ya direnovasi. Kalau bisa juga dilestarikan lagi---"

"Westalah, Pak! Itu urusanku ...."

Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas berat saat putrinya beranjak pergi sambil bersungut-sungut. Mau bagaimana lagi? Sekarang setelah jadi lurah, Bu Sriwedari hampir tidak pernah lagi mau mendengar masukan atau nasihat dari orang lain walaupun itu orang tuanya sendiri.

Beda dengan gadis yang satu ini. Siapa lagi kalau bukan Ningsih. Selalu sopan dan menghormati yang lebih tua. Ya, seharusnya tidak dibanding-bandingkan juga. Setiap pribadi, kan, memiliki tabiat masing-masing.

Ningsih keluar dari kamar menyandang tas kainnya di bahu kiri. "Buk, Ningsih ke sanggar dulu."

"Iyo! Itu kembang setaman buat Mbah Punden dan Mbah Sanggar sudah ibu siapin di atas meja!" Bu Rusmini menyahuti dari kamar.

Kembang setaman yang dimaksud itu adalah campuran beberapa bunga yang sudah diracik. Biasanya sih, mawar, kantil, kenanga, melati, dan irisan daun pandan wangi, diberi minyak wangi khusus dan sedikit kemenyan, lalu dibungkus daun pisang.

Ningsih selalu memberi sesaji berupa kembang setaman untuk Danyang Punden dan Danyang Sanggar setiap Sabtu Paing. Itu adalah amanah dari sang nenek dan warga sekitar pun selalu melakukannya.

Keluar dari rumah, Ningsih memandang langit yang biru cemerlang tanpa awan hitam sedikit pun.

Syukurlah, hari ini cerah lagi.

Tersenyum simpul, kakinya melangkah ringan melintasi pasar yang sangat lengang. Namanya juga pasar pagi, ramai hanya sampai pukul sepuluh pagi saja. Kios-kios yang ada pun masih pada tutup, biasanya akan buka lagi kalau sudah pukul empat sore. Sekarang baru pukul tiga.

Sebelum ke sanggar, Ningsih terlebih dahulu mampir ke punden untuk menaburkan kembang setaman di pondok kecil yang ada di situ. Sudah banyak taburan kembang di sana.

"Nyuwun pangestu nipun, Mbah Kong. Mugi-mugi panen royo taon niki lancar lan ngalimpah."

(Minta restu, Kek. Mudah-mudahan panen raya tahun ini lancar dan berlimpah)

Dari punden, Ningsih melewati jalan setapak yang langsung terhubung dengan sanggar, berhenti di salah satu sudut yang sudah ada taburan kembang lalu menaburkan kembang setaman yang dia bawa, sambil mengucapkan kata-kata yang sama. Setelah itu, melangkah ke bagian depan sanggar.

Kelima muridnya sudah menunggu, wajah Ningsih semakin semringah, suaranya pun riang menyapa mereka, lalu menyapa Danyang Sanggar, "Kami datang, Mbah Putri." Sembari membuka pintu, Ningsih mengucap salam diikuti para muridnya.

Sanggar ini dulunya adalah aset desa yang sangat bermanfaat. Banyak menghasilkan penari berbakat yang bila musim hajatan bisa disewakan untuk mengisi acara. Bahkan para penari dari Desa Pantungan ini pernah cukup terkenal pada masanya. Seiring berjalannya waktu, kesenian tradisional mulai dilupakan, sanggar semakin sepi, hanya ada beberapa orang saja yang masih tetap berusaha melestarikannya.

Satu set alat musik tradisional yang dimiliki pun hanya dipergunakan setahun sekali---saat nyadranan saja. Selebihnya hanya disimpan di gudang kantor desa. Ningsih dan anak-anak latihan menari menggunakan musik dari kaset.

Kata Pak Wahyu, nenek buyut Ningsih dulunya adalah salah satu penari yang terkenal itu. Jadi, tidak mengherankan kalau Ningsih sangat pintar menari dan sangat mencintai sanggar, apalagi menurut nenek, Ningsih itu titisan salah satu nenek leluhurnya.

Gadis itu semringah terus karena cuaca benar-benar sangat bagus, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Sudah pukul lima lebih, tetapi langit masih cerah.

Pak Agung datang mengantar buah rambutan, sempat berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya berpamitan karena Pak Wahyu datang. Berdiri bersisian di sudut ruangan sambil menengadah melihat plafon yang sudah rusak, Pak Wahyu bersuara, "Pak Agung masih sering mampir ternyata."

"Mau bagaimana lagi, Pak? Ningsih tidak tega mau melarang. Tapi kalau anak-anak tidak ada, Ningsih langsung suruh pulang, oleh-olehnya juga tidak Ningsih trima."

"Kamu hati-hati. Bapak tidak mau ada kabar macem-macem ...."

"Bapak tidak usah khawater. Ningsih bisa mawas diri kok, Pak."

"Bapak percaya sama kamu."

"Oh iya, Pak. Bu Lurah, kok belum ada omongan apa-apa soal perbaikan sanggar."

Sudah empat hari, tetapi belum ada kabar sama sekali, padahal Ningsih sangat berharap renovasi bisa segera dilakukan. Mau bertanya langsung pada yang bersangkutan, takutnya dikira tidak sabaran.

"Ini bapak mau lihat-lihat dulu. Nanti suruh saja orang-orang kerja bakti, bapak yang siapin bahan bangunannya."

Kerja bakti? Bapak yang akan menyiapkan bahan bangunan? Itu artinya?

Dahi mengernyit, gadis berkulit cokelat sawo matang itu menatap intens bapaknya. "Kok, gitu, Pak?"

"Bu Lurah bilang masih belum ada dana. Ya, sudahlah, Ndok. Yang penting sanggarnya dibenahi walau hanya ala kadarnya."

Hati Ningsih, kok, jadi kesal mendengar alasan Bu Lurah, tetapi ya, sudahlah. Lagi-lagi ayahnya yang harus keluar uang pribadi. Seandainya tidak karena Ningsih yang selalu ngotot ingin menghidupkan sanggar, Pak Wahyu pun pasti tidak akan mau terlalu peduli. Lurahnya saja masa bodoh, buat apa Pak Wahyu harus susah-susah?

Setelah tertegun cukup lama, akhinya Ningsih berkata, "Pak ... kalau kapan-kapan ada rapat desa, mbok ya usul diadakan pentas seni sehabis selamatan di punden. Nanti Ningsih yang siapkan para penarinya. Jadi, tidak perlu ada hiburan teledek. Cukup wayang kulit aja. Lumayan menghemat, kan?"

"Ya, nanti coba bapak omong-omong sama sesepuh dulu."

Sudah lima bulan menjabat, tetapi belum ada gebrakan apa pun dari Bu Lurah. Program kerja memang sudah diperbaharui, tetapi setelah dilihat lebih saksama, ternyata duplikat dari program lama. Pak Wahyu hanya menghela napas panjang, tidak mungkin dia menceritakan kelakuan Bu Lurah yang sebenarnya kepada Ningsih. Kasihan, karena harapan putrinya itu cukup tinggi.

[Bersambung]

Menconteng Arang di Muka

..."Membuat Malu"...

Tadi sore sempat hujan deras sebentar. Setelah itu, terus gerimis sampai sekarang. Baru setengah tujuh jalanan desa sudah lengang. Hanya orang-orang yang punya urusan penting saja yang akan nekat keluar.

Sudah jalanan becek berlumpur, penerangan pun masih jarang-jarang. Ada pun hanya lampu bohlam berdaya rendah yang nyalanya redup keemasan.

"Bapak ke mana, Buk?" Ningsih muncul di dapur, baru pulang dari sanggar.

Hari ini tidak ada latihan menari karena sanggar diperbaiki---hanya bagian yang parah saja, sih. Tadi Ningsih ke sana untuk membersihkan kotoran sisa-sisa bahan yang digunakan untuk perbaikan.

"Pulang kerja bakti langsung ke Dusun Lor ketemu Mbah Mun."

Mbah Mun itu adalah salah satu sesepuh desa yang paling tua, usianya sudah hampir delapan puluh tahun, tetapi masih sehat dan bisa bertani.

"Oalah, kok ya, tidak besok saja."

"Sudah, tidak usah ngomel. Mending mandi sana terus bantu ibu."

Ningsih melangkah pergi sambil memanyunkan bibir. Tidak habis pikir, kenapa tidak ada lurah yang benar-benar berniat membangun desa ini. Waktu masih mencalonkan diri berjanji muluk-muluk untuk mencari dukungan, setelah terpilih, ya, begitulah ....

Sampai-sampai beberapa waktu lalu Pak Wahyu dan beberapa warga sekitar rumahnya, kerja bakti mencari pasir batu coral di sendang untuk menimbun jalan gang depan rumah supaya tidak becek.

Selagi Ningsih masih di kamar mandi, Pak Wahyu pulang. "Ndok sudah pulang?"

"Sudah dari tadi, lagi mandi."

Ningsih muncul di dapur dari arah pintu yang menju ke kamar mandi---kamar mandi letaknya di samping dapur.

"Buruan mandi, Pak, biar tidak masuk angin. Sebentar Ningsih ambilkan handuk sama sarung dulu."

Begitulah keluarga kecil ini saling mengasihi---saling memberi perhatian meski dalam hal kecil.

Setelah selesai memasak dan semua juga sudah mandi, acara berlanjut ke ruang makan.

"Tadi bapak ketemu Mbah Mun sama Bu Saji ...." Menggantung kalimatnya, Pak Wahyu menyuapkan sesendok penuh nasi beserta lauk ke mulut.

"Memangnya rembukan apa sih, Pak?"

"Paling, ya, soal nyadranan, Ndok," ujar Bu Rusmini. Suara perempuan berparas ayu nan kalem ini halus, usianya sudah 42 tahun, tetapi masih terlihat sangat muda. Dipadankan dengan Ningsih malah seperti kakak-adik

"Bapak, ya, harus bilang dulu sama sesepuh soal keinginan kamu itu, yang pengen ngadain pentas seni pas nyadranan."

"Terus Mbah Mun bilang apa?"

"Boleh-boleh saja katanya. Mbah Mun juga kepengen sanggar itu dihidupkan lagi. Bu Saji juga mendukung, katanya mau bantu mendanai."

"Kok, baru sekarang kepikiran mau ikut mendanai, ya, Pak? Kemaren-kemaren waktu almarhum Pak Saji masih menjabat, ke mana saja?"

"Hush! Tidak boleh ngomong begitu. Orang punya niat baik, ya, diterima saja, yang lalu biar berlalu."

Pak Wahyu, sih, tidak mau mencalonkan diri jadi Lurah, padahal banyak yang mendukung. Eh, malah lebih suka jadi Kasun. Kalau saja Pak Wahyu jadi lurah, Ningsih pasti akan lebih leluasa menghidupkan kembali sanggar dan memberlakukan aturan wajib belajar menari untuk anak-anak Desa Pantungan.

Dibilang egois, ya, biar saja. Melestarikan warisan leluhur, kan, bukan sesuatu yang buruk.

Makan sambil bercengkerama, waktu terus bergulir pun tidak terasa. Ningsih masuk ke kamar setelah selesai merapikan peralatan makan.

Duduk bersandar di tempat tidur sambil melihat-lihat jurnal pembelajaran dan buku-buku paket untuk mengajar besok, sesekali mulutnya menguap, mata pun terasa sangat berat.

Menyerah pada rasa kantuk, akhirnya Ningsih tertidur. Tubuhnya perlahan merosot dan terbaring dalam posisi tidak nyaman---leher sedikit tertekuk.

Malam terus merayap, gerimis masih belum berhenti, suasana jadi terasa sedikit mencekam.

Perempuan berkebaya kuning gading itu bersimpuh di tengah-tengah ruangan sanggar, menangis sesenggukan, suaranya sangat memilukan.

"Mbah Putri." Ningsih melangkah mendekat sangat perlahan.

Perempuan berkebaya kuning gading itu terus menangis, bahu dan punggung sampai berguncang-guncang.

"Mbah Putri, kenapa menangis Mbah." Ningsih berlutut di samping lalu menyentuh bahunya, perempuan itu seketika menoleh. "Aaaaaaa!" Ningsih berteriak histeris. Saking terkejutnya sampai terjengkang.

Mata Mbah Putri mengeluarkan darah. Mbah Putri menangis darah.

Ningsih terjaga dari tidur, langsung terduduk sambil menyeka keringat, napas pun ngos-ngosan. "Mbah Putri nangis darah. Pertanda apa ini?"

_________

Dibandingkan desa-desa tetangga, Desa Pantungan memang sudah lebih maju.

Ingat, tolak ukur kemajuan Desa Pantungan adalah desa-desa sekitar yang kondisinya jauh lebih parah. Bila hujan turun, jalan desa mereka hampir tidak bisa dilewati karena lumpurnya bisa mencapai atas mata kaki.

Untuk menghindari kecelakaan, biasanya mereka lebih memilih melewati jalanan Desa Pantungan. Walaupun harus memutar dan lebih jauh, tidak masalah.

Lebih maju, tetapi bukan berarti kemajuan itu merata. Dusun Lor adalah dusun yang keadaannya jauh lebih memprihatinkan dibandingkan tiga dusun lainnya.

Jalanan menanjak dan menurun memang tidak becek sama sekali, tetapi bukan berarti mudah dilalui. Bebatuan besar, sedang, kecil, utuh, pecah-pecah, semua ada. Bukan batu makadam yang sengaja di tata, melainkan batu-batu yang secara alami memang ada di situ, berserak tidak karuan.

Tidak berhati-hati, sedikit saja tergelincir bisa langsung jatuh terguling-guling. Akan tetapi, tampaknya bagi mereka yang seumur hidupnya sudah tinggal di Dusun Lor ini, hal itu bukan masalah besar. Mereka terlihat nyaman-nyaman saja saat melintasinya.

Panorama alam Dusun Lor sangat hijau nan asri, di mana rumah-rumah penduduk berdampingan dan berhadapan dengan sawah-sawah.

Satu blok di sana perumahan, blok berikutnya persawahan, begitu terus berselang-seling. Bahkan, rumah yang berada di paling sudut, halaman belakangnya sudah menyatu dengan tepian hutan.

Kondisi rumah warga juga masih kalah jauh dari warga Dusun Kidul. Rumah-rumah di sini masih berdinding bambu dan papan. Pelataran juga masih berupa tanah. Untuk menjemur hasil panen biasanya mereka membentang tikar atau terpal.

Bu Lurah mengendarai motor, melewati jalan itu sangat hati-hati, tubuhnya turut meliuk-liuk saat menghindari bebatuan yang sekiranya akan membahayakan bila nekat diterabas.

Baru pukul delapan pagi, beberapa orang melintas, menuntun sepeda yang penuh muatan kayu atau rumput. Ibu-ibu pedagang sayur gerobak pun terlihat menuntun sepedanya, melangkah sangat hati-hati.

Di depan rumah berberanda luas, Bu Lurah langsung masuk dan memarkir sepeda motornya di sudut kanan. Pintu rumah sudah terbuka, tetapi tidak tampak ada orang.

"Pak!" Bu Lurah masuk sambil berteriak.

"Bapak di dapur, Sri!"

Muncul di pintu dapur, Bu Lurah langsung berkata, "Panggil Mbah Mun dan Mbah Surip. Aku mau bicara."

Pak Padianto yang tadinya sedang berjongkok, sedang mengipasi api di tunggu untuk merebus air, bergegas bangkit.

"Apa tidak terlalu pagi?"

"Aku sempatnya sekarang." Luar biasa, nada bicaranya seperti bos besar.

Tidak berkata apa-apa lagi, Pak Padianto segera beranjak pergi. Para sesepuh desa memang kebanyakan tinggal di Dusun Lor ini, bahkan dulu kelurahan pun ada di sini karena turun-temurun yang jadi lurah biasanya warga Dusun Lor.

Setelah Balai Desa dipindah ke Dusun Kidul yang letaknya lebih strategis, entah kenapa yang sering terpilih jadi lurah juga calon dari sana.

Tidak lama kemudian, dua sesepuh duduk di kursi panjang berhadapan dengan Pak Padianto dan Bu Lurah yang masing-masing duduk di kursi tunggal. Di meja terhidang empat gelas teh panas yang masih mengepulkan asap dan sepiring pisang goreng.

"Gini lo, Mbah ... pasar itu kan sekarang rame. Pedagang dan pembeli sampek luber-luber di jalan, menghalangi orang yang mau lewat---"

"Tunggu dulu, Ndok," Mbah Mun yang paling tua menyela. "Kok, tidak ngomong soal nyadranan malah ngomong pasar ini gimana, to?"

Wajah Bu Lurah seketika masam, bibir merah terang mencibir. "Itu bisa dibahas lain waktu. Sekarang bahasanya dulu soal pasar yang sepertinya terlalu sempit---"

"Pasar itu sudah lebar, Ndok." Mbah Mun menyela. "Kalau sampek luber-luber itu berarti kurang pinter menata."

"Sudah langsung saja!" Bu Lurah gusar. "Pasar itu akan aku perlebar!"

"Heh? Diperlebar bagaimana lagi? Itu kiri-kanan, depan-belakang, sudah jalan lo, Ndok!" Sesepuh yang kelihatan lebih muda dari Mbah Mun, menatap intens Bu Lurah. Dialah Mbah Surip.

"Punden dan sanggar tari mau aku bongkar, mau tak jadikan pasar---"

"Eladalah ...."---Pak Padianto menepuk meja cukup keras---"jangan sembarangan kamu, Sri! Punden itu rumah Mbah Danyang pelindung Desa Pantungan ini. Sanggar warisan leluhur, dulu mbah-mbah moyangmu ikut membangun sanggar itu! Jangan menconteng arang di muka. Memalukan keturunan leluhur kita kamu itu!"

"Baru semalam Pak Wahyu datang minta ijin, Ndok Ningsih mau mengajari anak-anak nari buat pentas seni pas nyadranan. Lah, kamu kok, malah mau bongkar-bongkar. Kamu itu lurah, harusnya tau kalau punden sama sanggar itu warisan leluhur. Tempat keramat, tidak boleh sembarangan. Sembrono---"

"Budaya apanya?" Bu Lurah menyela Mbah Mun tanpa sungkan. "Selama ini sanggar itu juga tidak ada yang ngurus! Keputusanku sudah bulat! Pokok pasar mau aku perlebar, itu lebih bermanfaat, lebih menghasilkan, dibandingkan punden sama sanggar yang tidak berguna sama sekali!"

"Wehladalah, lambemu kalau ngomong jangan asal mangap gitu, Ndok. Kualat nanti." Mbah Surip menunjuk ke arah Bu Lurah. "Aku tidak setuju! Titik!" Jarinya sekarang mengetuk meja berkali-kali, tatapannya tajam mencela.

Mbah Mun dan Pak Padianto pun menyuarakan ketidaksetujuan, tetapi Bu Lurah bergeming.

"Sebenarnya aku mengumpulkan Mbah-mbah sesepuh ini, bukan karena ingin minta persetujuan, tapi hanya mau memberitahu. Jadi, Mbah-mbah ini setuju apa tidak, aku tidak peduli. Rencana tetap akan berjalan. Ti-tik!"

Bu Lurah langsung berdiri, tanpa berpamitan bersungut-sungut pergi, meninggalkan tiga pria tua yang saling bertukar pandang syok.

"Pesenku, jangan sampai masalah ini didengar oleh yang lain. Rahasiakan dulu. Dan kamu,"---Mbah Mun menunjuk Pak Padianto---"nasehati itu si Sri, jangan sampai Mbah Danyang murka."

[Bersambung]

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!