NovelToon NovelToon

Kata Rayyan

Bab 1. Rayyan Chandra Arrega

..."Bunda, aku bertemu lagi dengan Ayah. Tapi kini, keadaan yang memaksa kami untuk berubah."...

...Rayyan Chandra Arrega...

.......

.......

.......

Langkah kaki semakin dekat. Rumah dengan nuansa biru dan putih itu terdengar ramai oleh langkah kaki dan suara-suara orang yang bersautan. Anak-anak terkejut melihat banyak orang yang begitu saja masuk dalam ranah mereka. Dan menuju suatu kamar dengan pintu berwarna putih dan tulisan 'Bahaya, selamatkan telinga Anda' tergantung didepan pintu. Ada jeda sejenak antara mereka, sebelum akhirnya membuka pintu

Orang-orang dengan pasangan jas hitam putih itu langsung saja masuk kedalam kamar. Menampakkan remaja laki-laki yang tengah mendengarkan musik dengan headset. Ray terkejut melihat beberapa laki-laki bersetelan jas hitam putih, langsung saja masuk kedalam kamarnya tanpa permisi.

"Hei hei hei...siapa kalian?! Aku nggak ingat mengundang kalian ke kamarku! Pergi dari sini, kalau tidak aku akan menelpon polisi!" Kata Ray panik, dan mulai bangkit dari tempatnya. Jangan tanyakan seberapa takutnya ia ketika melihat banyak orang itu seakan-akan bisa melakukan apa saja padanya.

"Tenang tuan muda, kami tidak akan menyakiti Anda. Kami kemari atas perintah tuan Chandra. Beliau ingin Anda tinggal di rumah utama keluarga Chandra kembali." Kata salah satu dari mereka menjelaskan.

Ray masih diam, tak bisa mengatakan apapun. Seingatnya, ia dan bundanya pergi dari rumah keluarga besar sang ayah 5 tahun lalu. Ia tidak tahu, apa yang membuat bundanya nekat meninggalkan ayahnya. Tapi yang jelas saat itu, terjadi pertengkaran hebat diantara keduanya. Hingga membuat sang bunda pergi membawa dirinya. Jauh dari jangkauan keluarga sang ayah.

Selama 5 tahun, ia tinggal di panti asuhan ini. Sebagai gantinya, bundanya juga harus ikut membantu mengurusi kebutuhan anak-anak di didalamnya. Bundanya merelakan banyak waktu untuk mengabdi pada tempat ini. Bahkan kadang, anaknya sendiri ia kesampingkan.

Kenapa baru saat ini sang kakek mencari dirinya? Kenapa baru mencari dirinya saat sang bunda sudah tiada beberapa waktu yang lalu? Kepalanya terasa pusing ketika banyak hal memenuhi rongga kepalanya.

"Dengar ya?! Aku tidak akan pergi dengan kalian! Kalian hanya akan membawaku pada rumah yang menakutkan itu! Aku nggak akan mau pergi!" Ray melempar mereka dengan semua benda yang ada di sana. Sedangkan orang-orang itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sikap Ray tidak seperti tuan muda mereka yang lainnya. Karena dia memang berbeda.

...🍁🍁🍁...

Sepi memenuhi rongga telinganya. Ada takut yang remaja itu rasakan ketika berada di dalam ruangan ini. Ray menghela nafasnya. Ia sungguh tak mau berada di tempat ini, berat sekali menerima kenyataan bahwa apa yang selama ini ia terima mereka abaikan begitu saja. Seakan-akan apa yang mereka lakukan pada Ray dan bundanya tidaklah berarti apa-apa. Lihatlah bagaimana luasnya kamar ini, terlihat sangat mewah. Tapi terasa hampa. Pada akhirnya ia berakhir dalam rumah keluarga Chandra yang bak sebuah istana.

Dalam bayangannya, rumah ini mengerikan. Penuh dengan manusia-manusia batu. Manusia batu? Kalian akan melihatnya nanti.

Ray tidak bisa tidur, dia terbiasa tidur dengan suara-suara ramai. Entah itu karena perdebatan dari anak-anak seumuran nya ataupun dengan suara tangisan anak-anak kecil yang tidak bisa tidur. Ia sudah terbiasa seperti itu. Mungkin karena itu juga yang membuat sosok Rayyan Chandra Arrega menjadi remaja yang banyak bicara.

"Bunda, aku tidak bisa tidur. Orang-orang suruhan Kakek telah membawaku dari panti. Saat Ray pertama kali lihat mereka tadi, sungguh tidak ada yang berubah. Ray kangen sama Bunda, tapi kenapa Bunda tinggalin Ray untuk selamanya? Kalau Ray kangen kan Ray nggak bisa peluk Bunda." Kebiasaannya setiap malam adalah bicara. Bicara pada bundanya, seolah-olah ia melihat sosok yang selalu menjaganya itu di depan mata. Walau pada kenyataannya, hanya ruang kosong dan hampa di hadapannya tak pernah terisi oleh siapapun yang mau mendengar setiap katanya. Miris memang.

"Bunda, tadi Ray ketemu sama Ayah. Tapi Ayah menoleh pun tidak. Apa Ayah sebenci itu sama Ray? Bunda tau alasannya, nggak?" hening sesaat. Karena memang tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Bundanya tidak ada di sana.

"Hahaha, pastinya Bunda tau. Tapi Bunda pasti lebih memilih untuk diam untuk melindungiku, kan? Sudah dulu ya Bunda, Ray mau tidur. Besok pasti jadi hari yang-"

"DIAM!" Terdengar teriakan seorang wanita dari luar. Pintunya seakan mau roboh ketika pukulan itu mengenainya. Ray menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia menutup telinga dan mencoba tidak mendengar suara teriakan dari luar. Bahkan ia bicara lirih pun tidak boleh. Bagaimana bisa ia menjalani kehidupannya didalam rumah ini? Apakah dia bisa hidup dengan tenang diwaktu berikutnya?

...🍀🍀🍀...

Dua orang perempuan tengah memandangi anak-anak yang berlari kesana kemari di halaman. Membuat keributan dan berakhir dengan tawa yang mereka umbar setelahnya. Ini hal biasa yang terjadi di panti asuhan yang penuh dengan anak kecil yang berkeliaran.

"Kak, bagaimana kalau kita setujui permintaan tuan Chandra?" Kata seorang dari mereka. Mengingat beberapa waktu yang lalu, tuan Chandra mendatangi mereka dan meminta haknya atas Rayyan sebagai cucunya. Tapi karena pesan dari Raina, bunda dari Ray yang meminta mereka untuk mempertahankan anaknya di panti asuhan tersebut.

"Maksud kamu apa? Mbak Raina udah banyak berjasa untuk panti ini, dan kamu malah-"

"Tapi Kak, pemasukan kita nggak sesuai sama pengeluaran. Membiayai anak SMA itu besar tanggungannya. Sedangkan mereka yang masih kecil-kecil juga belum tentu bisa sekolah sampai SMA!"

"Tapi-"

"Dengan menyetujui permintaan tuan Chandra, kita bisa dapat dana untuk kebutuhan 4 bulan lebih. Lagipula, di sana Ray bersama dengan keluarganya. Di sana ia pasti dijaga dengan baik!" Kemudian perempuan di sebelahnya hanya diam. Di sisi lain ia menolak menyerahkan Ray pada keluarga Chandra. Tapi yang dikatakan temannya itu ada benarnya.

Tanpa mereka sadari, remaja 16 tahun tersebut mendengarkan semua kalimat yang mereka ucap. Tak ada suara berisik yang keluar dari mulutnya. Biasanya orang-orang akan marah jika mendengarnya banyak bicara. Dan kali ini ia akan diam. Diam seperti yang mereka inginkan. Tapi karena diamnya Rayyan itu adalah sebuah keheningan yang tanpa sadar membuat udara diselimuti es.

Ia memilih untuk pergi. Di kamarnya biasanya akan lebih tenang kalau tidak ada anak-anak yang bermain di sekitarnya. Mendengarkan lagu adalah hobi barunya ketika sang bunda telah tiada. Ada titik dimana ia merasakan sakit ketika mengingat ia sebatang kara.

Dan juga, kenyataan bahwa ia akan di jual seperti sebuah barang.

Tak lama ia mendengar suara derap langkah kaki, di sanalah ia diseret oleh orang-orang suruhan kakeknya. Ke rumah yang bisa ia sebut sebagai istana, tapi sesungguhnya adalah penjara.

Ia menatap dua pengurus panti dengan nada memohon, ia tak ingin pergi. Tapi mereka hanya menghela nafas dan mengalihkan pandangan mereka dari tatapan Rayyan. Membiarkan orang-orang bersetelan jas itu membawanya pergi menjauh dari lingkungan panti. Tak peduli sekuat apa ia menjerit, tapi tak ada yang mau mendengarkannya. Ia sudah dijual.

Pertama kali ia melangkahkan kaki kedalam bangunan besar itu, hanya ada kakek neneknya, beberapa paman dan bibinya dan juga... sepupu-sepupunya. Bahkan jika dilihat mereka seperti batu yang tengah menunggu batu lainnya datang.

"Selamat datang kembali di rumah, Rayyan! Apa kamu lelah? Apa kamu lapar?" Sang kakek terlihat sangat ramah. Namun berbeda dengan orang-orang di belakangnya. Sang nenek hanya melihat Ray dengan tatapan datar. Begitupun dengan yang lainnya.

Ray menggeleng mendengar pertanyaan sang kakek. Ia menurut saja ketika sang kakek menariknya menuju meja makan, dan duduk bergabung dengan yang lain. Ray menangkap sosok yang selama ini ia rindukan kehadirannya. Sosok yang selama ini membuat bundanya merasa kesakitan hingga menangis sepanjang malam. Sang ayah melahap makanannya tanpa menoleh sedikitpun.

"Kek, aku tidak lapar. Bisakah aku langsung ke kamar?!" Kakeknya mengerutkan dahi. Bertanya tanya kenapa cucunya yang baru saja datang sedikit enggan untuk banyak bicara. Bahkan ia dengar, Rayyan itu adalah anak yang berbeda dari cucunya yang lain. Tapi yang dia lihat sekarang adalah sosok Rayyan yang berbeda dengan informasi yang ia dapat. Tapi pertanyaan itu musnah ketika melihat anak sulungnya yang mengabaikan putra semata wayangnya. Arnold Chandra Arrega.

Arnold adalah ayah dari Rayyan.

Hingga Rayyan sudah berpaling dari pandangan setiap orang. Sang kakek menyuruh bodyguard nya untuk membawa Rayyan pergi ke kamar. Dan keheningan di sana tidak berkurang sedikitpun.

...***...

"Kak, aku pikir kedatangan Kak Ray akan mengubah kekakuan keluarga ini. Nyatanya tetap sama saja!" Sam yang dari tadi memperhatikan kakak nya kini menjadi jengah. Ia bukan anak yang sama seperti sepupu-sepupunya yang selalu diam. Ia lebih aktif dari pada kelihatannya. Karena itu, dia tidak pernah mau di rumah, karena di rumah terasa lebih kaku. Di sekolah ia bisa dengan bebas berekspresi seperti remaja pada umumnya.

"Diamlah! Lo nggak tau apa yang dia lewati selama ini. Apalagi, ibunya sekarang sudah meninggal. Pasti akan berat untuknya menjalani kehidupan di rumah yang kaku ini." Shan, sang kakak yang tengah bermain game di ponselnya menyaut.

"Dia sangat cerewet dulu, tapi sekarang sudah tidak terlihat cerewet lagi. Dulu, biasanya dia akan..."

BRAKK...

Pintu kamar terbuka. Menampakkan sesosok remaja yang menyelimuti dirinya dengan selimut berwarna putih. Terlihat lingkaran hitam di bawah matanya.

"Lho, Kak Ray..." Ray sudah berbaring di samping Sam. Tidak peduli reaksi dua orang itu. Di atas layar ponsel Shan tertulis kata 'Game Over'.

"Yah, aku kalah!"

"Hei ... Ini ..." engan lirih Sam menunjuk Ray.

"Diam kalian! Semalam nggak bisa tidur karena rumah angker ini dipenuhi dengan manusia batu yang berjalan. Aku nggak tahan dengan semua orang, aku pergi kesini karena merasa kalian lebih baik daripada manusia-manusia batu yang lain. Jadi diam dan bertindak seolah kalian tidak melihatku." Ray menutupi tubuhnya dengan selimut yang ia bawa. Sam dan Shan terkekeh mendengarnya. Ternyata Ray mereka dulu, masih orang yang sama.

Sam memeluk tubuh Ray yang lebih kecil darinya. Ia ingin melepas rindu yang selama ini tak berani ia ungkap. Ia tak peduli Ray yang memberontak dari dekapannya. Yang ia lakukan hanya memeluk Ray semakin erat, tidak peduli suara Ray menggelegar di seisi kamar.

"Menjauh! Kamu bakal merasakan akibatnya nanti! Pergi!" Sedangkan Shan terkekeh melihat keduanya. Ia masih bersyukur karena Ray terlihat baik-baik saja.

.

.

.

.

.

Bab 2. Mereka Masih Peduli

..."Bun, aku masih bersyukur. Walau aku kehilangan sosok mu, masih ada yang peduli pada manusia ini."...

...Rayyan Chandra Arrega...

.

.

.

Sorot matahari dari jendela mulai mengganggu remaja yang kini masih berada di atas ranjang besar itu. Ketika Ray terbangun, tidak ada siapapun di dalam kamar. Ia menatap jam, sudah pukul 11 siang. Langkah kakinya terasa berat karena selimut tebal yang melilit di tubuhnya. Kepalanya terasa ngilu karena semalaman ia tak bisa tidur, dan mulai terlelap pagi tadi ketika ia berada di kamar sang kakak  Rumah itu terasa sepi. Mungkin semua orang sedang melakukan pekerjaannya masing-masing.

"Rayyan, kenapa jam segini kamu masih di sini?!" Tanpa sadar seorang wanita berdiri di hadapannya dengan melipat kedua tangan. Menunjukkan tatapan tak suka pada manik polos itu. Ray masih mengerjapkan matanya. Mengumpulkan keyakinan bahwa ia saat ini sudah benar-benar bangun. Dan di hadapannya bukanlah makhluk jadi-jadian yang biasa masuk dalam mimpinya.

"Anda siapa?!" Wanita itu terlihat kesal. Berdecak pelan.

"Aku siapa?! Harusnya kamu tau siapa saya! Saya adalah istri sah dari Arnold Chandra Arrega! Harusnya kamu tau!" seru wanita itu dengan tegas disertai tatapan tak suka pada Ray. Ray tak bergeming. Ia sudah tidak terkejut dengan hal itu. Ayahnya telah menikah lagi dengan wanita yang terlihat sedikit lebih muda dari bundanya. Dan yang dia tidak terima, bahwa wanita itu sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Raina, bundanya.

"Bunda juga istri sahnya Ayah kali, mereka belum cerai, kok," katanya dengan enteng, sambil melangkah melewati Sasha. Wanita itu geram melihat tingkah Ray yang tidak menghormati dirinya. Bagi Sasha, adanya sosok Ray disini adalah penghinaan paling besar yang terima.

"Kamu emang anak nggak tau diuntung! Seharusnya saya juga bertanya, siapa kamu?! Bukankah ibumu sudah mati?! Kalau begitu kamu sudah tidak memiliki ikatan lagi dengan ayahmu!" Katanya dengan tajam. Ray terdiam. Kalimat itu sedikit mengguncang hatinya. Bahkan walaupun mereka memutus hubungan antara ayah dengan anak berdasarkan surat yang ditandatangani dalam sebuah sidang, darah Arnold tetap mengalir di dalam tubuh Rayyan. Intinya, mereka tidak akan bisa memutus hubungan darah antara ayah dan anak.

"Tante, apa yang Tante lakukan?!" Suara itu berasal dari Sam yang datang bersama dengan Shan.

"Tante yang harusnya berkaca! Tante bukan siapa-siapa disini, selain orang asing yang datang tiba-tiba. Rayyan bukan orang asing. Dia adalah anak dari paman Arnold. Darah keluarga Chandra mengalir di dalam tubuhnya. Jadi, jangan mempertanyakan siapa dia lagi!" kata Shan dengan tajam kearah Sasha.

Sasha memutar bola matanya. Berdebat dengan anak-anak ini akan semakin membuatnya jadi orang asing yang mencari pengakuan seperti seorang pengemis. Ia melangkah dengan angkuh meninggalkan remaja-remaja itu. Punya rencana yang lebih licik untuk membuat Ray menderita. Setidaknya itu yang dipikirkannya.

"Kakak baik-baik aja, Kak Ray?" Ray hanya diam. Kemudian ia melanjutkan langkahnya. Berlaku seolah-olah tak terjadi apa-apa. Bersikap seakan ia tak terluka sedikitpun dengan apa yang Sasha katakan.

"Aku akan pergi ke kamar, kalian lanjutkan saja kegiatan kalian." Ray sudah tenggelam di telan pintu. Sedangkan mereka berdua hanya bisa terdiam.

"Tante Sasha semakin berani sekarang! Kesel banget lama-lama! Sekarang, kita harus ngapain, kak?!"

"Nggak untuk sekarang. Tapi yang jelas, gue punya firasat buruk!"

...***...

"Gue heran, kenapa setiap minggu kita harus mengadakan jamuan seperti ini?" Karel menengguk minuman pesanannya. Ia selalu bertanya seperti itu setiap mereka berkumpul. Tapi ia tidak puas dengan jawaban yang selalu ia terima.

"Sudah berkali-kali kubilang, kakek ingin kita punya hubungan yang baik! Dia tidak ingin melihat hubungan kita seperti ayah-ayah kita!" Kini Kensie yang menjawab. Kakaknya itu terlihat tenang sambil memandangi wajah-wajah datar yang mengelilinginya.

"Hubungan kita selalu baik walau tak mengadakan acara minum teh ini." Sean ikut dalam pembicaraan.

"Bagaimana dengan Rayyan?! Harusnya dia juga ikut kan?" Karel kembali bertanya.

"Dia sedikit berbeda sekarang."~Rion

"Menurutmu begitu?" Shan mengambil minuman pesanannya. Mengamatinya sebentar, sebelum minuman itu kembali mengaliri tenggorokannya.

"Tidak ada banyak hal berubah darinya. Gue Pikir dia akan lebih tinggi, ternyata masih pendek seperti dulu!" Sean memang satu-satunya yang bisa mencairkan suasana dengan mulutnya yang berterus terang.

"Nyatanya dia masihlah Rayyan yang sama." Shan menatap Sean.

"Apanya yang sama Kak Shandi Chandra Aditya?"

"Dia masih penakut seperti dulu."

"Itu bagus." Semuanya mengangguk. Tidak ada yang tidak setuju dengan pernyataan Rion. Ketika Ray merasa takut, adalah waktu dimana saudara-saudaranya nantikan. Ketika Ray takut, kalian tidak akan tahan melihat wajah imutnya, suara jeritannya yang melengking terdengar seperti sebuah komedi bagi semua orang.

"Dia masih berduka atas ibunya. Jadi jangan heran saat ini dia tidak bisa diajak bicara." Semua mengangguki kalimat Kensie.

"Tapi yang lebih penting lagi, sepertinya Tante Sasha sudah mulai berani ke Ray! Dan gue nggak bakal terima!" Shan memukul meja kaca. Hingga membuat orang-orang menoleh kearah mereka.

"Kakak apa-apaan, sih?! Bikin malu tau!" Sam menyenggol lengan Shan. Ia merasa terganggu dengan tatapan orang-orang yang kini beratensi pada mereka.

"Tenang, gue orang kaya!"

"Emang kekayaan bisa buat nebus rasa malu?!"

...***...

Ray menatap langit dari balkon kamarnya. Hari ini cerah, sampai-sampai ia tak menemukan sekelebat awan putih pun di sana.

Hampir setengah jam ini, yang ia lakukan adalah menatap langit sambil mendengarkan musik dengan headset. Setidaknya suasana hatinya akan membaik.

"Bunda, Ray hari ini dikamar sendiri. Kemarin juga, sampai-sampai Ray nggak bisa tidur. Terus paginya, Ray tidur di kamar kak Shan. Jujur saja Ray kangen sama mereka. Tapi kayanya mereka nggak kangen deh sama Ray!" Ray diam. Sebelum ia melanjutkan kalimatnya.

"Bunda denger Ray ngomong nggak sih?!" Seru Rayyan dengan sedikit sentakan. Tapi ia mengambil nafas dan berusaha menenangkan dirinya. Bagaimana pun, sang bunda sudah tiada. Satu hal yang tidak bisa ia hilangkan hingga saat ini, adalah bicara sendiri seolah-olah ia bersama dengannya. Banyak yang menganggapnya gila di sekolahan karena sikapnya, bahkan setelah 3 bulan. 3 bulan ia bicara seorang diri dikala sedih, berharap sang bunda akan mendengarnya. Tapi kenyataan telah menelan segenap harapnya. Karena sesungguhnya tidak ada yang mau dengan lapang dada mendengar setiap kata dari Ray. Dan satu-satunya orang yang mau mendengarkannya dengan baik sudah tak lagi hadir di hadapannya.

"Bunda, maafin Ray," lirihnya. Ia mengusap matanya. Tanpa sadar, seseorang mengamatinya. Arnold bersembunyi di balik tembok, balkon kamarnya dengan Ray bersisihan. Ia bisa dengan jelas melihat Ray tengah duduk di sana dengan headset terpasang ditelinga. Pria itu hanya memalingkan wajahnya dan pergi begitu saja. Egonya terlalu kuat untuk menghampiri sang anak, sekedar melingkarkan pelukan atau memberikan kata-kata penenang. Berselisih dengan diri sendiri adalah hal paling menyebalkan.

"Bunda, kalau nanti Ray sudah lelah, Ray bakal cerita semuanya ke Bunda. Saat itu, Ray akan bertemu dengan Bunda. Dan Bunda harus mau dengerin semua apa yang Ray katakan, oke?" Anak itu bangkit. Menepuk kedua pipinya. Berusaha untuk menyemangati diri.

"Oke, semangaaat!" Ray melangkah dengan ringan kedalam kamarnya. Dan Arnold yang mendengar hal itu seketika membatu. Ternyata langkahnya terasa berat hanya karena mendengar suara sendu dari anak semata wayangnya. Namun, ia masih berdebat dengan dirinya sendiri. Hati dan pikirannya tidak pada satu tempat yang pasti.

...***...

Ray masih memandang minuman di atas mejanya. Dua orang ini telah membelikan minuman ini untuknya. Ray sangat ingin menengguknya saat ini, tapi ia masih sedikit sungkan dengan dua orang yang tengah menatapnya dengan intens.

"Kak Shan kenapa beli ini buat Ray?!"

"Lah, emang kenapa? Minuman ini nggak mahal kok, cuma seratus ribuan."

"Cuma minuman doang kok sampai seratus ribu?! Dikasih taburan emas, ya?!" Shan dan Sam terkekeh.

"Kak Ray ini ngomong apaan, sih? Kayak sama siapa aja."

"Itu minuman khusus kita beli buat kamu. Cepetan minum, nggak bakal buat tenggorokan sakit kok!" Shan senang melihat ekspresi wajah Ray yang susah untuk di artikan.

"Aku mau tanya, kalian mau jawab kan?!" Shan dan Sam saling tatap. Suasananya berubah.

"Sebenarnya aku ini apa sih di keluarga Chandra? Apa aku ini budak, tawanan, atau pembantu?" Shan kini duduk disampingnya. Terkejut dengan apa yang Ray katakan. Harusnya Ray tau apa jawabannya, kan?!

"Kamu bicara apa, sih? Kami itu keluarga mu, kami yang akan melindungimu. Apa kamu nggak cukup percaya sama apa yang kita lakuin sekarang?"

"Lalu, kenapa seolah-olah kalian mengasingkanku? Kenapa kalian hanya diam saja ketika aku datang? Apa segitu susahnya untuk bilang 'hai' atau 'bagaimana kabarmu?' Apa itu sangat susah?" Kini Ray berterus terang, jelas saja ia lebih nyaman mengungkapkan apa yang dia rasa dengan kata-kata berderet yang keluar dari mulutnya.

"Nggak gitu, Kak. Kak Ray salah paham! Kami cuma nggak biasa ngomong banyak di hadapan anggota keluarga lainnya!"

"Gitu?! Terus, apa harus ada aturan, makan harus di meja makan?! Kalau nggak di meja makan, nggak boleh makan?!"

"Kenapa kamu tanya begitu?"

"Karena seharian ini aku belum makan apapun!"

"APA?!" Seru Shan dan Sam.

"Perasaanku, tadi Kakek sudah menyuruh pembantu untuk mengantarkan sarapanmu." Sam mengingat-ingat saat sarapan tadi pagi, kakeknya menyuruh seorang pembantu untuk mengantarkan sarapan Ray ke kamar.

"Nyatanya?! Bahkan aku belum meminum setetes air pun. Aku berpikir apakah kalian akan menyekap ku di sini, membiarkanku mati kelaparan. Atau..."

"Sudah berhenti bicara, pantas saja Kak Ray terlihat pucat. Aku panggilkan pembantu untuk mengantarkan makananmu." Sam berlalu meninggalkan kamar Ray.

"Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Apa perutmu sakit sekarang?"Ray menggeleng. Bohong jika dia bilang baik-baik saja. Ia hanya tidak mau merepotkan Shan dan Sam. Perutnya melilit, ia sudah pastikan nanti jika ia makan sesuap saja, perutnya akan memberontak.

"Kak Shan, bisa nggak aku tidak makan sekarang?"

"Lah, bukannya laper? Nggak, pokoknya kamu harus makan!"

Ray hanya diam. Tak lama Sam datang dengan nampan makanan, lengkap dengan cemilan.

"Aku nggak mau makan!" Katanya sambil memalingkan wajah ketika nampan itu sudah berada dihadapannya.

"Nggak, Kak Ray harus makan!"

Ray menghela nafas, dia tidak suka dipaksa. Ia tau nanti akhirnya tidak akan baik-baik saja. Takut nanti akan terlihat lemah di hadapan dua orang yang selalu peduli dengannya selama di rumah ini. Dan ia tak mau mereka beranggapan bahwa kedatangannya membuat orang lain susah.

Tapi ia senang, mereka berdua masih peduli dengannya. Dan yang paling penting, ia masih memiliki orang yang menginginkan keberadaannya. Shan dan Sam adalah salah satunya.

.

.

.

.

Bab 3. Ayah dan Rasa Sakit

Suara senyap sedari tadi merambat di seluruh udara dalam ruangan. Tidak ada yang Rayyan lakukan kecuali merutuki mulutnya yang tak bisa diam. Harusnya ia tidak mengatakan apa-apa, mungkin tidak makan untuk beberapa saat. Setidaknya tidak sebelum ia meminum obat maag, seperti yang bundanya biasa berikan.

Rayyan kini tengah memijit ujung hidungnya. Rasa pusing yang tiba-tiba datang itu pasti karena makanan yang baru saja ia muntahkan. Beberapa saat ia merasa perutnya bergejolak hingga akan mengeluarkan apapun yang ia telan sampai habis tak bersisa. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Shan dan Sam. Lantas, dia bersikeras meminta dua orang itu pergi dari sini sebelumnya. Walau berat, dua orang itu akhirnya mau pergi dari sana. Meninggalkan Ray sendirian dengan sakitnya.

Kini wajahnya pucat, makanan yang bahkan baru saja ia masukkan beberapa suap ke dalam mulutnya ternyata menolak untuk tinggal lebih lama. Makanan itu bahkan masih terlihat utuh. Ia belum menikmati rasanya. Langkahnya diseret-seret. Berjalan ke kamar mandi serasa berjalan di atas tol Cipali. Ia kembali memuntahkan apa yang ada di dalam perutnya. Walau hanya cairan bening. Tubuhnya lemas, dengan merangkak ia berusaha untuk menaiki ranjang. Mungkin tidur sebentar akan membuat perutnya lebih baik.

"Bunda ... perut Ray sakit. Tapi Ray nggak mau ngrepotin Kak Shan dan yang lainnya ... Bunda, kaya gini ya rasanya saat Bunda telat makan seperti waktu itu? Maafin Ray ya, Bun ...." katanya lirih, perlahan menutup matanya. Tidak tau apakah ia terpejam karena tidur atau karena hal lain.

...***...

Kensie baru saja menyelesaikan semua tugas-tugasnya. Ia ingin meregangkan tubuhnya dengan berjalan-jalan sebentar. Setidaknya ia ingin melihat keadaan Ray sebentar. Ia belum sempat bercakap-cakap padanya dua hari ini, tugasnya sebagai anak SMA tingkat akhir juga sangat memberatkan. Apalagi, ayahnya menuntut Kensie untuk jadi yang terbaik saat ujian nanti. Sungguh merepotkan.

Kensie berdiri di depan pintu kamar Ray. Sedikit ragu untuk mengetuk pintu. Tapi dia memberanikan diri, toh dia disini juga sebagai kakak. Ia tau, selain Shan dia juga yang paling tua. Tidak salah kan, seorang kakak memastikan adiknya baik-baik saja?! Setelah beberapa kali ia mengetuk pintu, tidak ada jawaban dari dalam. Ia langsung saja masuk, karena pintu tidak dikunci.

Kensie melihat sosok Ray tengah terlelap di atas ranjang. Bukan ketenangan dan kedamaian yang ia tangkap dari wajah sendu itu. Nafasnya tersengal-sengal, keringat di dahinya sudah cukup membuktikan bahwa Ray tidak baik-baik saja. Kensie menggeleng pelan. Buru-buru ia melangkah mendekatinya, memegang dahi Ray. Hanya hawa dingin yang ia rasa.

Kensie menggoyang-goyangkan tubuh kecil dan ringkih tersebut. Berharap Ray akan bangun dan menjawab panggilannya. Mata sipit itu terbuka, terlihat dari sorot matanya jika ia tengah menahan rasa sakit.

"Ray, kamu sakit?" Ray hanya diam. Bahkan sekarang hanya menjawab 'iya' pun terasa sulit. Tenggorokannya mengering, suaranya terasa serak.

"Aku panggilkan dokter sekarang!" Kensie bangkit, tapi langkahnya ditahan dengan cekalan tangan Ray.

"Kak ... Ray nggak apa-apa. Tadi cuma telat makan—" Ray bangun dari tempat tidurnya, menutup mulutnya yang kini terus terbatuk. Kensie terlihat panik, tidak ada minuman apapun di kamar ini selain minuman seperti teh di atas meja. Kensie meraih minuman itu dan meminumkannya pada Ray yang masih terbatuk-batuk.

Nafas Ray tak beraturan, sedangkan Kensie mengelus punggung remaja 16 tahun tersebut dengan lembut. Berharap batuknya akan membaik. Tapi tetap saja, bukannya membaik tapi malah tubuhnya semakin lemas. Tubuh Ray meluruh kedalam dekapan Kensie, tidak mendengar suara kakaknya itu memanggilnya dengan lantang. Ataupun suara derap langkah kaki yang mulai memenuhi ruangan itu. Kini hanya gelap dan juga telinganya yang berdenging keras. Dan saat itulah Kensie menyadari bahwa Ray sudah kembali terlelap dengan rasa sakitnya.

...***...

"Kadang rasa sakit itu datang dengan tiba-tiba. Kamu nggak akan bisa menanganinya tanpa bantuan orang lain, paham?" Seorang wanita cantik itu menatap anak kecil dihadapannya.

"Tapi, Bunda ... Ray gak sakit, kok. Ray bakal baik-baik saja kalau ada Bunda." Anak kecil itu dengan polos mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Padahal terlihat jelas wajahnya yang pucat dan matanya yang memerah. Demam pada anak kecil itu wajar, tapi tidak untuk anak ini. Dia tidak mau mengatakan keluhannya pada sang bunda. Ia sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa sakitnya ini akan merepotkan bundanya.

"Bunda nggak pernah ngajarin Ray berbohong, sekarang jujur sama Bunda, mana yang sakit?" Kini wanita itu menatap manik Ray. Mengelus punggungnya dengan perlahan.

"Yang sakit disini ...." sambil menunjuk dadanya. Raina mengerutkan keningnya.

"Dadanya sesak?"

"Disini sakit kalau bunda repot gara-gara Ray..."

Matanya terbuka. Nafasnya terengah-engah. Dan begitu banyak hal yang memenuhi kepala. Mimpi bertemu dengan bundanya adalah hal yang paling ia nantikan. Tapi ia sebelum bicara banyak dengan bundanya, ia sudah terbangun.

"Ray, kamu sudah bangun?" Shan kini menjadi satu-satunya wajah yang ia lihat di kamarnya.

"Kak Shan, maaf Ray ngrepotin kak Shan ...."

"Kenapa kamu bilang gitu? Aku ini kakakmu. Kamu mau apa, minum?"

Ray menggeleng. Masih ada yang peduli dengannya. Dan ia masih bersyukur.

"Kak Shan ...." Shan yang tadinya memegang ponsel sambil mengetikkan sesuatu di atas layar itu, kini berbalik menatapnya.

"Hmm, ada apa?"

"Apa Ayah ada di sini?" suaranya terdengar parau. Sebenarnya ia tahu, ayahnya tidak akan peduli pada dirinya. Tapi ia hanya ingin memastikan, siapa tahu masih ada sedikit rasa belas kasihan di hati yang Ray yakini sudah membeku itu. Mata Shan menatap manik Ray yang sudah tertunduk.

"Kamu nggak usah mikirin itu. Kensie dan yang lainnya sedang keluar, mereka akan kembali lagi nanti. Apa masih merasa kesepian di sini?" Ray menghela nafas. Terlihat sedikit kecewa mendengar jawaban Shan. Kemudian ia memilih untuk kembali berbaring. Membelakangi Shan, dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Melindungi wajahnya agar tak dapat seorangpun yang mampu melihatnya. Jujur saja, sekarang Ray memang merasa kecewa.

"Aku akan istirahat. Kakak bisa keluar, pasti Kak Shan belum makan, kan?" Shan sedih melihat sikap anak itu yang kini semakin pendiam. Ia lebih memilih Rayyan yang cerewet dan banyak tingkah seperti biasanya. Diamnya Ray itu perlahan akan membuat suasana menjadi beku.

"Kamu mau apa? Nanti kakak beliin." Tidak ada sahutan dari Ray. Anak itu masih pada tempatnya. Tidak bergeming sedikit pun. Bahkan ketika Kensie, Karel, dan Rion datang dengan berbagai makanan, anak itu tidak berniat untuk melihat atau menyapa.

"Hmm, Ray belum bangun, Kak?" Karel menatap Ray yang membelakangi Shan, mencoba melihat wajah itu. Shan menggeleng.

"Tadi sudah bangun, tapi ...."

"Ada apa?! Apa ada yang terjadi?!" Kensie ikut dalam pembicaraan.

"Kita keluar dulu, bisa?" Kensie mengangguki pertanyaan Shan. Meninggalkan Karel dan Rion yang mulai bertanya-tanya.

"Menurutmu, tidak apa-apa membiarkan Ray sendiri? Seperti ada yang ganjal ...."

"Ganjal bagaimana?" Kensie melipat dua tangan di depan dada.

"Dasar! Gue rasa lo gak cukup pintar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini!"

"Maksudnya? Gue nggak mengerti!" Shan menghela nafas.

"Pikirkanlah baik-baik, kemarin kakek menyuruh pembantu untuk mengantarkan makanan ke kamar Ray. Tapi tidak ada makanan apapun di sana, namun pembantu yang mengantarkan makanan ke kamar Ray itu bilang, kalau ia sudah meletakkan makanannya di atas meja. Aneh kan?" Kensie mengangguki pernyataan Shan.

"Apa ada hubungannya dengan tante Sasha?"

"Gue juga belum tau pasti, tapi dilihat dari cara bicara tante Sasha ke Ray, gue nggak bisa bilang kalau hal ini tidak ada hubungannya."

"Jadi sekarang kita harus apa?"

"Ck, jangan jadi sok bodoh! Gue tau lo yang paling pintar di sini, jadi tolonglah, Ken ...."

"Ck, iya iya ... gue cuma mau tanya, kok!"

"Sumpah, hari ini semua yang lo bicarain nggak ada manfaatnya sama sekali!"

"Tapi Shan ...."

"Gue ini abang lo! Sopan sedikit sama yang lebih tua!"

"Tapi cuma beda beberapa bulan, kok!"

"Mau lo apa sih?! Mau dapet bogeman dari tangan gue?!"

...***...

Ray menatap pintu itu, sudah lebih dari dua hari hanya mondar-mandir di dalam kamar rumah sakit membuat Ray bosan setengah mati. Ia bukan anak yang bisa diam di tempat dalam waktu yang lama. Dan hari ini ia bisa pulang dibekali dengan satu kantung obat yang harus ia minum selama beberapa hari.

Ia sudah membereskan barang-barangnya. Ia hanya menunggu Shan, Kensie atau siapa saja yang mau menjemputnya. Hari ini jam pembelajaran aktif, ia yakin Shan dan yang lainnya masih berada di sekolah. Apakah ia harus menunggu hingga nanti sore?! Ini baru saja pukul 10 pagi. Ray menghela nafas. Ia menenteng tas berisi barang-barangnya, setidaknya dia harus pergi ke depan rumah sakit. Mungkin sopir suruhan kakeknya sudah ada di sana, mengingat kakeknya adalah orang yang paling peduli dengan Ray. Hanya saja dia tidak punya waktu untuk bercakap-cakap dengan cucunya itu.

Tubuh Ray menegang ketika ia melihat ayahnya berjalan ke arahnya. Ray bertanya-tanya, apakah sang ayah datang untuknya?!

"Cepat, mobilnya sudah ada di depan," kata laki-laki itu dengan datar. Tak ada sedikit pun rasa sumringah atau senang atas kesehatan anaknya.

"Ayah jemput Ray?" Sang ayah memutar bola matanya.

"Kalau kamu masih cerewet, Ayah akan tinggal kamu di sini." Ray tersenyum lebar.

"Oke, siap!" katanya sambil memberikan hormat pada Arnold. Ia senang, tentu saja. Setelah sekian tahun tidak bertemu,membentangkan jurang yang cukup dalam di antara keduanya. Itu adalah percakapan pertama mereka.

Ray langsung masuk kedalam mobil yang sudah terparkir di halaman rumah sakit. Begitupun dengan Arnold. Arnold tidak pernah memakai jasa sopir, sungguh walaupun kadang ia repot sendiri ketika lembur dan pulang sangat larut. Sudah pasti lelah.

Mobil berjalan dengan kecepatan sedang. Tidak ada percakapan lain di antara keduanya. Ray menatap wajah ayahnya dengan senyum tipis di bibirnya.

"Apa ada sesuatu yang mau ayah sampaikan? Ayah tidak akan melewatkan jam kerja hanya untuk menjemput Ray, kan?" Arnold tersenyum remeh.

"Ayah cuma mau bilang, kamu jangan dekat-dekat dengan Sasha dan anaknya." Raut wajah Ray kembali suram.

"Kehadiran kamu di sini sudah cukup mengganggu pemandangan, jangan buat kesalahan lain dengan membuat orang lain kesal denganmu." Jadi ini apa yang ingin ayahnya katakan? Tidak seperti seorang ayah yang ingin melepas rindunya selama beberapa tahun. Tapi Ray masih tahu diri. Dia tidak akan egois. Biarkan dia menjadi seperti yang ayahnya mau.

"Jadi, kehadiran Ray di sini terlihat mengganggu ya? Lalu, kenapa Ayah nggak nolak waktu kakek minta Ray balik ke rumah?"

"Perintah kakekmu tidak akan ada yang bisa menolaknya."

"Tapi Ayah bisa diam-diam membunuhku dengan orang bayaran kan?" Arnold terkekeh.

"Aku tidak akan mau berhubungan dengan penegak hukum."

"Kalau aku mati bunuh diri, apa ayah akan senang?"

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!