NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta, Suami Amnesia

Kembalilah, Sayang

"Aku pikir siapa, ternyata kau, Yasmin."

Dari pintu penghubung antar ruangan, seorang pria berseragam abu-abu tua melangkah perlahan mendekati Yasmin. Hendra baru saja mendapat laporan dari rekan kerjanya jika ada seorang wanita menunggunya di ruang kantor. Hendra yang kebetulan sedang melepas kepenatan setelah seharian suntuk menjalani tugas, bergegas pergi keluar.

Yasmin membalas dengan tersenyum kecut.

"Ada apa?" Hendra menarik bangku lalu duduk di hadapan Yasmin. Hawa panas di luar membuat kulit putihnya sedikit memerah. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat ruangan masih nampak sepi. Mungkin karena jam istirahat rekan kerjanya masih di luar, masih mengisi kampung tengah.

Yasmin menghela napas berat sejenak. "Jadi, bagaimana perkembangan pencarian Cakra, Hen? Apa ada kemajuan?" Dengan tatapan penuh harap, Yasmin langsung bertanya.

Hendra tak serta-merta memberi jawaban pada teman semasa kuliahnya itu. Tarikan napas berat, yang malah terdengar. Sebelum bibir Hendra bergerak. Dia berdecak kesal sesaat karena Yasmin tak bosan-bosannya bertandang ke tempat kerjanya dan berulang kali menanyakan hal yang sama.

"Bukankah sudah aku katakan padamu. Cakra sudah tidak ada, dia sudah di tempat seharusnya, ikhlaskanlah dia, Yas."

"Aku tidak bisa mengikhlaskan dia, Hen. Selama jasad Cakra belum ditemukan, dia masih hidup. Kau harus tahu itu!" Yasmin menyungging senyum sinis setelahnya.

Sejak tiga tahun yang lalu, jawaban yang sama selalu Yasmin dapatkan. Kala itu Cakrawala atau biasa di sapa Cakra, hilang dalam misi terakhirnya. Cakra adalah salah satu anggota kepolisian yang memiliki pangkat, brigadir polisi dua (Bripda). Dari informasi yang didapatkan Yasmin, Cakra terpisah dari kawan-kawannya saat mengejar para buronan dan tak menampakkan dirinya hingga tengah hari buta.

Rekan kerjanya berasumsi bahwa Cakrawala terjatuh ke jurang, ke laut atau pula dimakan binatang buas. Namun, Yasmin tak percaya kalau suaminya sudah meninggal. Sebab dia tahu Cakrawala bukanlah orang yang bertindak gegabah. Meskipun dia tahu kecelakaan tapi setidaknya jasad harus ditemukan bukan, untuk memastikan apa Cakrawala sudah tak ada di dunia ini atau tidak. Tapi, sampai saat ini, tak ada keterangan jelas yang dilontarkan dari pihak atasan suaminya. Cakra menghilang tanpa jejak dan tanpa meninggalkan sebuah pesan pula. Yasmin yakin sekali Cakra masih hidup, mungkin saja dia hilang ingatan atau berada di suatu tempat.

Selama tiga tahun lamanya, Yasmin berusaha mencari Cakra, dari memasang pencarian orang hilang di televisi menggunakan foto yang tersisa, sebab kala itu juga setelah kepergian Cakra bertugas, rumah yang mereka tempati terbakar habis tak tersisa. Yasmin tak sempat mengamankan foto-foto pernikahan mereka karena pada saat itu ia sedang berbelanja di pasar. Selang beberapa hari, Yasmin pun mendapat kabar jika Cakra menghilang. Sudahlah jatuh tertimpa tangga pula, Yasmin begitu terpukul atas kejadian beruntun yang ia alami waktu itu.

"Aku mengerti, Yas. Tapi ini sudah tiga tahun, kalau Cakra masih hidup mengapa dia tidak ke sini? Apa kau tidak lelah?" Hendra menggapai tangan Yasmin yang berada di atas meja seketika.

"Jaga batasanmu, Hen!" Sorot mata Yasmin berubah tajam. Dia langsung menarik tangannya.

"Maaf, aku tak bermaksud, Yasmin. Sungguh aku pun juga berharap jasad Cakra dapat ditemukan."

"Jadi kau mengharapkan dia mati, Hen?" Yasmin mulai tersulut emosi. Secepat kilat dia bangkit berdiri.

"Bukan begitu Yas, aku–" Hendra mengangkat bokongnya seketika.

Yasmin menyela,"Sudahlah Hen, selama ini aku berharap kau dapat membantuku, tapi apa, hampir setiap bulan aku pergi ke sini, jawaban yang sama selalu kau lontarkan, aku menantikan suamiku, Hen. Aku sangat yakin Cakra masih hidup, jasadnya belum ditemukan, siapa tahu saja dia hilang ingatan. Kau tahu sendiri aku sangat mencintai dia, Hen...." Tanpa terasa cairan bening mengalir dari mata Yasmin seketika. Bayangan-bayangan bersama Cakrawala berputar bagai sebuah kaset dibenaknya saat ini.

"Yas, aku minta maaf, aku tak bermaksud...." Hendra tampak serba salah saat melihat Yasmin terisak pelan di hadapannya.

"Kau tak akan bisa memahami apa yang aku rasakan saat ini. Sudahlah, aku juga salah, menaruh harapan pada manusia, tenanglah, aku tidak akan datang kemari lagi, aku pergi." Yasmin menghapus cepat air matanya lalu membalikkan badannya dan melangkah pergi dari ruangan tersebut. Meninggalkan Hendra yang mengacak-acak rambutnya frustasi.

Sesampainya di luar bangunan, Yasmin menegadahkan kepalanya ke atas, melihat awan bergerak lambat. Sebelum keluar dari daerah tersebut, Yasmin menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat pekarangan kantor polisi masih sama seperti tempo lalu.

Dulu, Yasmin hampir saja menjadi polisi sama seperti Cakrawala dan Hendra. Namun, demi berbakti pada suami, Yasmin melepas cita-citanya. Ia, Cakra dan juga Hendra adalah teman semasa kuliah. Ketiganya sama-sama memiliki cita-cita menjadi abdi negara. Meskipun begitu, tak banyak yang tahu jika Cakra adalah anak seorang konglomerat di negeri ini. Akan tetapi, Cakra memilih jalan hidupnya sendiri, yang sangat berbeda dari kebanyakan anak orang kaya lainnya. Sangat berbanding terbalik dengan latar belakang Yasmin dan Hendra, menengah ke bawah.

Setelah puas memandang, Yasmin melangkah maju menuju gerbang pos polisi. Yasmin memegang perutnya seketika tatkala rasa lapar mulai menerpanya. Baru teringat jika sejak tadi pagi ia belum makan, karena uangnya dia pakai untuk membayar taksi pergi kemari.

Semenjak kepergian Cakrawala dan kehilangan rumah, Yasmin luntang-lantung. Dia mencari kostan dari hasil kerja serabutannya. Uang yang dia dapatkan pun akhirnya di tabung, tapi karena kondisi kesehatan Ambunya di kampung melemah. Yasmin memberi sebagian uang pada Ambunya untuk berobat. Ingin meminta bantuan pada mertuanya, Yasmin tak berani. Dia tak sedekat itu pada sang mertua. Terlebih lagi semenjak Cakrawala memilih jalan hidupnya sendiri, mereka menutup akses Cakra untuk bertemu.

Krucuk!

Sekali lagi perut Yasmin berbunyi. Yasmin menelan air liurnya sendiri demi membasahi kerongkongannya yang mulai kering.

Yasmin merogoh dompetnya di dalam celana jeansnya. Dia membuka perlahan dompet yang sudah mulai nampak lusuh itu. Beberapa uang berwarna biru tersimpan dengan rapi di dalamnya. Tak mungkin juga ia menggunakannya, membeli makanan, karena Yasmin harus berhemat. Yasmin tampak berpikir keras. Dia berjalan di sisi trotoar sambil menahan rasa lapar. Tampak orang lalu lalang di sebelah kanan dan kirinya.

"Lapar sekali, bersabarlah Yas, di kost masih ada mie." Yasmin berusaha menguatkan dirinya meski sudah berulang kali ia meneguk air ludahnya sendiri.

Langkah kaki Yasmin terhenti saat melihat di depan sana, seorang pria membelakanginya, memiliki postur tubuh yang sangat mirip dengan Cakrawala. Yasmin memicingkan matanya saat melihat sebuah tanda lahir yang terukir di leher terlihat amat mirip seperti milik Cakra.

"Cakra! Mas!" Yasmin menggerakkan kembali kakinya.

Saat mendengar suara teriakan, pria itu membalikkan badan.

Yasmin tergelak, ternyata benar, pria itu adalah Cakrawala, suaminya yang telah lama menghilang kini kembali lagi padanya. Yasmin tak dapat lagi mengungkapkan perasaannya saat ini. Rasa laparnya pun menguap tiba-tiba ketika melihat Cakrawala sekarang, berdiri mematung dengan raut keheranan. Yasmin mempercepat langkah kakinya sambil berteriak memanggil nama suaminya. Kerumunan orang yang lalu-lalang di sekitarnya, menyulitkan Yasmin untuk bergerak.

Yasmin tersenyum lebar karena sebentar lagi bisa merasakan tubuh hangat sang suami.

"Cakra, ini aku–"

"Ayah!"

Yasmin tersentak saat melihat seorang bocah laki-laki berlarian ke arah Cakrawala sambil memanggil dengan sebutan Ayah!

"Ay-ah...." Yasmin mengulangi perkataan bocah tersebut sambil menghentikan gerakan kakinya.

Cakrawala

Yasmin dapat melihat, tepat di depan matanya. Cakra menyambut bocah bertubuh gempal tersebut ke dalam gendongan lalu mengecup gemas pipi bulat itu, selayaknya seorang ayah dan anak yang sedang menikmati waktunya.

Yasmin membeku di tempat, menyaksikan pemandangan yang membuat dadanya tiba-tiba bergemuruh kuat.

"Tidak mungkin, dia pasti Cakra..." Yasmin sangat yakin jika pria di hadapannya adalah Cakra, suaminya. Karena tanda lahir yang ia lihat tadi, sangatlah mirip. Ditambah lagi wajah, hidung, rambut dan mata belonya begitu kentara. Yasmin menarik panjang seketika, menghirup udara di sekitar, menetralisir perasaannya yang kian tak menentu.

"Cakra!" Sekali lagi Yasmin berteriak.

Dari kejauhan, pria itu melirik Yasmin sekilas. Dengan raut wajah datar, dia menelisik penampilan Yasmin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Yasmin mulai menggerakkan lagi kakinya, saat melihat Cakra menyadari keberadaannya. Namun, mengapa ekspresi Cakra tak bisa terbaca sama sekali olehnya saat ini.

"Cakra! Tunggu aku!" Yasmin terkejut saat melihat Cakra malah melangkah pergi, meninggalkannya, sambil menggendong bocah tersebut.

Yasmin semakin mempercepat kakinya. Akan tetapi, karena kerumunan orang di sekitarnya. Punggung Cakra tak kelihatan lagi. Mata Yasmin celingak-celinguk berusaha mencari Cakra. Namun, nihil, Cakra tak tahu pergi ke arah mana sekarang.

Yasmin berdecak kesal sejenak.

"Aku yakin sekali, dia adalah Cakra, tanda lahirnya sangat mirip dengan Cakra," katanya kemudian. Tak menyerah, Yasmin berencana kembali ke kantor polisi, ingin meminta bantuan Hendra.

Selang beberapa menit, Yasmin sudah berada di kantor polisi. Dengan napas terengah-engah dia memanggil nama Hendra berulang kali hingga pada akhirnya Hendra menyembul keluar dengan raut wajah bingung.

Hendra melangkah cepat, mendekati Yasmin.

"Ada apa Yas? Kau kenapa?" Tanpa sadar Hendra memegang kedua pundak Yasmin. Raut wajah kekhawatiran terpatri amat jelas di wajahnya kini.

Yasmin tak langsung menyahut. Dia sedang mengatur pernapasannya. "Aku melihat Cakra, Hen. Dia ada di sini!" katanya sambil tersenyum lebar.

"Cakra?"

"Iya, aku tadi melihatnya, Hen. Dia masih hidup."

Hendra menghela napas. "Yas, kau mungkin salah lihat, ayo aku antar pulang ke kostmu!" Memegang pergelangan tangan Yasmin seketika. Namun, Yasmin mengibas tangan hendra dengan cepat.

"Tidak, Hen! Aku tidak salah! Dia Cakra, Hen. Ada tanda lahir di belakang lehernya, ayo sekarang bantu aku tolong cek CCTV di jalan!" Dengan penuh harap, Yasmin menatap Hendra.

Hendra terdiam. Entah apa yang ia pikirkan. Hembusan napas pelan keluar dari hidupnya kemudian.

"Baiklah, ini terakhir kalinya aku membantumu, Yas. Kau boleh saja merindukan Cakra. Tapi ini sudah keterlaluan," kata Hendra, rahangnya sedikit mengeras, sikap Yasmin yang keras kepala membuat Hendra sedikit jengkel.

Yasmin mengangguk cepat lalu mengikuti langkah kaki Hendra ke ruangan lain.

"Demi kau, aku memperbolehkan kau masuk ke ruangan ini, sebenarnya tidak boleh, tapi apa boleh buat."

Setiap kalimat yang dilontarkan Hendra barusan membuat Yasmin sadar bahwa selama ini dia kerapkali merepotkan Hendra. Namun, dengan siapa lagi, Yasmin harus meminta bantuan. Dia jarang memiliki teman. Yasmin hanya diam saja, tak berani menyanggah perkataan Hendra.

"Jalan apa? Di mana? Jam berapa?" Hendra kini sudah duduk di depan komputer. Dia bertanya tanpa menatap Yasmin yang berdiri di sampingnya.

"Jalan XXX, di trotoar, kalau jamnya aku tidak tahu, Hen. Mungkin lima belas menit yang lalu."

Hendra tak menanggapi lagi. Dia asik mengotak-atik kursor dan menekan keyboard beberapa kali dan mencari apa yang dikatakan Yasmin. Tak butuh waktu yang lama, di rekaman CCTV ada seorang pria yang memiliki wajah yang sama seperti Cakra sedang bersama seorang anak kecil.

Mata Hendra berkedip-kedip beberapa kali, melihat rekaman tersebut. Seakan tak percaya apa yang dilihatnya. Namun, Hendra baru sadar bisa saja wajah Cakra dan pria tersebut serupa.

Cakra dan bocah tersebut masuk ke dalam taksi, yang tak tahu arah tujuannya kemana.

"Nah itu dia, Hen! Lihat, aku tidak salah melihat bukan, aku minta tolong denganmu, cari alamat dia, Hen. Aku ingin bertemu dengannya."

Hendra menoleh ke samping. "Tapi Yas, kau tidak lihat, dia mengabaikanmu, dan lagipula dia bersama anak kecil, bisa saja wajahnya mirip, Yas."

"Tidak Yas, aku yakin itu Cakra." Yasmin memegang pundak Hendra seketika. "Aku minta tolong padamu, Hen. Tolonglah, Hen. Hanya kau yang bisa membantuku saat ini...." Mata Yasmin nampak mulai berkaca-kaca.

Hendra menatap seksama bola mata Yasmin. "Baiklah, kau tunggulah di luar, Yas. Aku akan berusaha mencari keberadaannya, aku harap kau tidak sedih nanti, jika melihat hasil akhirnya."

"Iya, terima kasih Hen. Aku tidak akan melupakan jasamu." Setitik cairan mengalir lembut dari kedua pipinya. Yasmin buru-buru menghapus air matanya.

"Iya, tunggulah di luar, Yas. Sepertinya aku agak lama untuk mencari informasi pria itu."

"Bukan pria itu, Hen. Tapi Cakra."

"Iya maksudku Cakra."

Yasmin pun keluar dari ruangan lalu duduk di sofa sambil melihat ke pintu ruangan, di mana Hendra sedang mencari tahu tentang Cakra.

Suasana di kantor terlihat sepi, tak seperti biasanya. Yasmin berulang kali menguap saat langit di luar sana semakin menggelap. Bersamaan dengan itu, hujan pun mulai turun.

Tepat pukul tujuh malam, Yasmin terpaksa terbangun dari mimpinya, saat mendengar namanya di panggil.

"Yas, bangunlah." Hendra menepuk pelan pundak Yasmin.

Sinar lampu di ruangan, membuat mata Yasmin berkedip berulang kali. Dia menghalau cahaya tersebut dengan mengangkat satu tangannya di dekat wajah sambil membenarkan posisi tubuhnya.

"Jadi bagaimana Hen?"

"Minumlah dulu." Hendra menyodorkan sebotol air putih merk aqua pada Yasmin.

Yasmin menyambar botol tersebut lalu membuka tutup botol dan menegaknya hingga tandas. Rasa lapar yang dia rasakan tadi sore kini membuat perut Yasmin terasa perih. Dia meringis pelan.

"Kau kenapa? Apa kau sudah makan, Yas?" Mimik muka Hendra tampak khawatir. Dia duduk di samping Yasmin seketika.

"Sudah kok. Kau tenang saja, aku sedang datang bulan, makanya perih," kilahnya sambil meletakkan botol yang sudah kosong itu ke atas meja.

Tak ada tanggapan, Hendra malah memicingkan matanya.

"Oh ya, bagaimana hasilnya? Di mana rumah Cakra?" Yasmin terlihat sangat antusias. Dia yakin sekali jika Hendra sudah mendapatkan informasi apa yang ia inginkan.

Hendra mulai membuka beberapa lembar kertas yang ia pegang dari tadi dan berkata,"Yas, aku berharap kau bisa lebih bijak lagi ke depannya. Nama pria itu adalah Tomi, dia tinggal di Surabaya."

Yasmin mendengarkan dengan seksama, apa yang dikatakan Hendra barusan. Walau Hendra mengatakan pria itu adalah Tomi bukan Cakra. Tapi, Yasmin memiliki feeling yang kuat, jika Tomi adalah Cakra.

"Saat ini dia datang ke Jakarta bersama anak dan istri untuk liburan." Hendra kembali menambahkan.

"Tapi aku dia adalah Cakra, suamiku, Hen. Aku yakin dia pasti hilang ingatan. Apa dia memiliki pernah menginap di rumah sakit dalam waktu yang lama?" Yasmin mengutarakan asumsinya.

Decakan kesal malah keluar dari bibir Hendra. Karena Yasmin benar-benar keras kepala. Ia kembali membaca informasi yang dia dapatkan seputar Tomi dan memang benar 3 tahun yang lalu Tomi pernah dirawat tapi karena operasi usus buntu.

"Iya, dia memang pernah dirawat lama, tapi itu karena dia dioperasi Yas."

"Tidak, itu pasti dimanipulasi, kau pikir aku bodoh, Hen. Suamiku hilang tiba-tiba tanpa jejak, aku yakin atasanmu atau komplotan-komplotanmu itu, menyembunyikan sesuatu dariku! Cakra ku sudah kembali sekarang."

"Yas, sudahi kegilaan ini, aku akan mengantarmu pulang sekarang!" Hendra bangkit berdiri seketika.

"Tidak! Mana nomor handphonenya, Hen. Aku ingin bertemu dengannya!"

Sebelum Hendra menjauhkan kertas tersebut. Yasmin menyambar cepat kertas yang di dalamnya ada informasi penting tentang Tomi. Sekali lagi Hendra berdecak kesal. Mata Yasmin langsung memindai kata demi kata di dalam kertas tersebut. Dia mengulas senyum tipis, melihat nomor Cakra tertera di dalamnya.

"Terima kasih Hen. Aku harus pulang sekarang, besok aku harus menemuinya!" Yasmin bangkit berdiri seketika.

"Aku akan mengantar kau pulang!" Hendra mencekal cepat pergelangan tangan Yasmin, sebelum wanita itu menolaknya. Yasmin pasrah saat dia diseret keluar.

*

*

*

Setelah selesai mandi, Yasmin langsung mengotak-atik ponselnya hendak menghubungi Cakra. Dengan semangat ia menekan-nekan layar ponselnya lalu mendekatkan ponsel ke telinganya.

Saat menunggu panggilan diangkat. Wajah Yasmin berubah lesu ketika panggilan tak juga diangkat. Namun, dia tak menyerah. Yasmin mengetik pesan dan mengatakan ingin bertemu hendak menyampaikan sesuatu.

Pesan pun dikirim. Yasmin begitu resah. Tanpa sadar dia mondar-mandir sendiri di dalam kamar kost miliknya itu.

Ting!

Bunyi notifikasi masuk pun terdengar seketik. Buru-buru Yasmin mengusap ponsel androidnya itu. Senyum riang terlukis di wajah manis Yasmin seketika saat Cakra akhirnya membalas pesan dan mengajaknya bertemu di suatu tempat.

"Akhirnya, kau kembali juga, Sayang...." desisnya pelan sambil tersenyum lebar.

Esok harinya, sesuai janji yang telah disepakati. Pagi-pagi sekali Yasmin sudah bersiap-siap ingin bertemu Cakra. Dia terlihat antusias. Begitu sampai di tempat tujuan, Yasmin langsung mencari tempat duduk dan menghempas pelan bokongnya di kursi. Dalam hitungan detik, Yasmin melebarkan senyuman kala melihat dari luar jendela Cakra melangkah perlahan. Namun, raut wajah Yasmin berubah drastis ketika melihat di belakang Cakra, seorang wanita berambut panjang dan modis merangkul tangan Cakra, diikuti bocah laki-laki yang ia lihat kemarin.

Yasmin meremas kuat dadanya seketika, saat dadanya terasa perih, melihat pemandangan di depan sana.

Suara Itu...

Yasmin bangkit berdiri saat melihat Cakra, wanita berambut panjang dan bocah tersebut berdiri di hadapannya.

"Maaf aku membawa istri dan anakku, mumpung kami masih di Jakarta, karena nanti siang kami harus kembali ke Surabaya."

Belum sempat Yasmin menyapa, Cakra membuka suara terlebih dahulu.

Yasmin semakin yakin jika pria di hadapannya adalah Cakra saat mendengar suaranya sangatlah mirip dengan Cakra.

"Oh tidak apa-apa, perkenalkan namaku Yasmin." Yasmin mengangkat satu tangannya ke udara hendak berjabatan tangan.

Pria itu yang memiliki wajah amat kentara seperti Cakra, melirik ke samping sekilas.

"Maaf!" Pria yang memiliki postur tubuh tinggi dan tegap itu menyatukan kedua tangannya, menolak jabatan tangan Yasmin. "Namaku Tomi, ini istriku Meli dan itu anakku, Arion."

Arion sedang asik dengan dunianya. Dia tengah mengedarkan pandangan di sekitar.

"Hai aku Meli," sapa Meli ramah sambil membalas jabatan tangan Yasmin.

Yasmin tersenyum kaku setelahnya."Aa Iya, baiklah kalau begitu silakan duduk dulu."

Tomi dan Meli langsung duduk berhadapan dengan Yasmin.

"Arion, ayo ke sini duduk sama Ayah." Tomi menatap Arion seketika yang masih berdiri sambil memperhatikan interior cafe.

Arion mengalihkan pandangannya seketika lalu berhamburan memeluk Tomi.

"Ayah, Alion boleh makan es klim nggak?" tanya Arion.

"Nggak boleh Sayang, kemarin kan sudah makan es krim." Bukan Tomi yang menjawab melainkan Meli. Meli mengusap pelan kepala putranya itu.

Arion mencebikkan bibirnya seketika sambil menatap seksama mata Tomi. "Ayah, dikit aja, Alion mau es klim, please!"

Tomi tersenyum tipis. "Baiklah–"

"Mas, jangan ah, nanti dia pilek lagi loh," protes Meli, cepat.

"Tenang aja, aku jamin Arion nggak pilek lagi, nah sekarang Arion duduk sama Ayah ya!" Tomi mengangkat tubuh Arion seketika dan mendudukkan putranya di pahanya.

Yasmin menundukkan kepalanya saat melihat pemandangan yang membuat hatinya teriris-iris.

"Jadi, apa yang mau disampaikan?" Setelah menenangkan Arion, Tomi pun mulai membuka suara.

"Hm, begini, sebenarnya aku mau berbicara dengan anda, empat mata saja." Mengangkat wajah, Yasmin berkata dengan sangat hati-hati.

Riak muka Tomi berubah dingin. "Tidak bisa, istriku harus mendengar apa yang ingin kau sampaikan, bicaralah, aku akan mendengarkan dengan seksama."

Mencelos hati Yasmin mendengarnya. Yasmin tampak serba salah. Dia sangat canggung mengungkapkan siapa Tomi sebenarnya. Apalagi sekarang Yasmin bertambah yakin jika pria di hadapannya adalah Cakra saat melihat sayatan kecil di ujung jari telunjuknya. Dulu, Cakra sempat tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika memotong buah wortel.

"Baiklah kalau begitu, maaf kalau aku lancang."

Tak ada sahutan Tomi menatap Yasmin tanpa ekspresi sama sekali. Sementara Meli tersenyum tipis.

Yasmin menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan maksud dan tujuannya. Meremas blazer putihnya, Yasmin berkata," Maaf sebelumnya Mel, aku datang tiba-tiba menbawa kabar yang kurang baik untuk kau tapi demi kebahagiaanku juga, aku harap kau mengerti."

Sebelah alis mata Tomi dan Meli terangkat sedikit.

"Tiga tahun yang lalu, suamiku yang bernama

Cakra, memiliki misi di suatu tempat, yang aku sendiri pun tak tahu di mana. Dia hilang dalam misi tersebut dan sampai saat ini jasadnya belum ditemukan."

"Aku turut berduka, Yasmin." Meli melemparkan senyum tipisnya.

Anggukan pelan sebagai balasan Yasmin. Lalu Yasmin mulai melanjutkan perkataannya lagi. "Tapi aku yakin sekali dia masih hidup, Mel. Buktinya hari ini aku melihat tanda lahir yang sama di leher suamimu."

"Apa maksudmu?" Ekspresi Meli berubah drastis. Matanya nampak berkaca-kaca. "Maksudmu Tomi adalah Cakra, suamimu?" Suara Meli terdengar bergetar pelan sambil menitihkan air matanya seketika.

Yasmin mengangguk pelan sambil mengigit bibir bawahnya karena Cakra malah menatapnya dingin sekarang.

"Aku sudah menikah dengan Tomi lebih dari 5 tahun dan aku sudah memiliki anak yang sekarang berusia 3 tahun. Apa kau sedang menuduhku, Yasmin?" Meli terisak pelan dengan pundaknya yang bergetar hebat. Dia bangkit berdiri seketika.

"Mel, kau salah paham, aku tidak bermaksud menuduhmu, bisa saja–"

Tomi menyela,"Stop! Jangan mengucap satu patah katapun, aku dan Meli sudah lama menikah. Berani sekali kau mengatakan bahwa aku adalah suamimu yang sudah mati itu–"

"Aku yakin sekali, kau adalah Cakra. Kau pasti hilang ingatan. Aku sempat memeriksa riwayat rumah sakitmu, dulu pernah dirawat di rumah sakit, 'kan?"

"Kau sudah gila. Suamiku operasi usus buntu waktu itu. Sudahlah, Mas. Aku mau pergi dulu, wanita ini sepertinya ingin menghancurkan hubungan kita, terserah kau mau menanggapinya atau tidak, aku pergi, ayo Arion sama Bunda ya." Meli menghapus cepat airmatanya dan menggendong Arion seketika. Namun, Tomi menahan tangan Meli, hendak mengajak istrinya pulang bersama.

"Tunggu dulu Cakra, aku punya bukti!" Yasmin buru-buru mengambil foto yang tersisa satu di dalam tasnya. Namun, sepertinya foto tersebut susah untuk dijangkau. Dia merogoh tasnya lebih dalam lagi.

"Jangan memanggilku Cakra. Aku bukan Cakra!" Tomi melayangkan tatapan tajam pada Yasmin, yang kini sedang panik karena foto yang dia bawa tak juga dapat ditemukan. "Ayo kita pergi," katanya sambil memegang tangan Meli.

Yasmin menyentuh tangan Tomi seketika. "Tunggu!"

"Lepaskan tangan suamiku!" Secepat kilat Meli menghempas kasar tangan Yasmin. Lalu menarik tangan Tomi untuk keluar dari cafe. Meninggalkan Yasmin menuangkan semua isi tasnya di atas meja. Kedua matanya berbinar-binar melihat foto semasa kuliah bersama Cakra. Yasmin bergegas keluar sambil membawa foto tersebut.

"Cakra! Meli! Tunggu, ini fotonya!" Yasmin berlarian mendekati Tomi dan Meli sedang menunggu taksi di tepi jalan.

"Ini fotonya, percayalah Cakra. Kau adalah suamiku. Lihatlah foto ini!" Dengan napas tersengal-sengal, Yasmin menghadapkan foto yang sudah nampak lusuh itu pada pasangan suami istri itu. Yasmin menatap lekat-lekat mata Cakra, berharap Cakra dapat mengingat dirinya setelah melihat foto mereka.

"Mengapa kau sangat licik, aku tak mengenalimu sama sekali, bisa saja ini photoshop yang kau buat sendiri!" Tomi berkata dengan sorot matanya yang tajam.

"Tidak, untuk apa, ini foto asli kita." Yasmin mendekat lalu berusaha mengapai tangan Tomi. Tapi, segea ditepis Tomi. Kini hatinya begitu perih mendapat penolakan dari suaminya. Matanya mulai berkaca-kaca, menahan kepedihan yang merasuk ke relung hatinya.

Tomi melengoskan mukanya lalu mengajak Meli dan Arion untuk masuk ke dalam taksi yang baru saja berhenti tepat di dekat mereka.

"Cakra!" Yasmin menatap nanar kepergian Cakra. Perasaannya begitu kacau sekarang. Padahal dia yakin sekali jika Tomi adalah Cakra. Semuanya sangat mirip, tak ada yang beda. Dari mata, rambut, hidung, warna kulitnya bahkan gaya berpakaiannya sekalipun sama, yang membedakan hanya sikapnya saja.

Semenit pun berlalu, Yasmin masih berdiri di tepi jalan sambil melihat fotonya dan Cakra. Setelah puas menangis ia menghapus cepat jejak air matanya. Dia tidak boleh menyerah dan akan membuktikan bahwa Tomi adalah Cakra. Maka dari itu, Yasmin akan berencana menjalankan misi untuk mengembalikan ingatan Cakra dan dia pun berencana untuk pindah ke tempat tinggal Cakra yang berada di Surabaya, agar lebih dekat dengan Cakra.

Yasmin memutuskan kembali ke cafe, hendak mengambil tas dan ponselnya untuk menghubungi Hendra, meminta bantuan.

Sementara itu, di sisi lain. Tepatnya di taksi yang ditumpangi Tomi.

"Aku tak habis pikir Mas, pelakor zaman sekarang banyak sekali triknya! Padahal aku kasihan dengan keadaannya yang di tinggal mati suaminya," kata Meli sambil sesekali menghapus air matanya yang mulai mengalir lagi.

Tomi tak menyahut. Dia sedang asik melihat tangannya yang disentuh Yasmin tadi. Ada sesuatu yang aneh, tapi Tomi tak dapat menjelaskannya.

"Mas!" Meli menoleh. "Kenapa?"

Tomi melempar senyum tipis. "Tidak kenapa-kenapa Sayang, sudah, kau jangan menangis lagi. Lihatlah Arion bingung melihat Bundanya menangis."

Sedari tadi Arion diam-diam memperhatikan kedua orangtuanya. Bocah berambut tebal itu mengedipkan cepat matanya. Kekehan pelan terdengar dari bibir Tomi seketika.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!