Malam ini, tepatnya pukul 23.00 nanti. Seluruh anggota SAVAGE akan melakukan Fun Night Ride, kegiatan yang mereka lakukan ketika ada waktu luang saat weekend. Tujuannya untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama anggota SAVAGE.
Motor Kawasaki Ninja 250 FL milik Abhian baru saja memasuki halaman basecamp Savage. Saat ini baru dia seorang yang ada disana, anggota Savage yang lain mungkin masih dalam perjalanan menuju basecamp.
Abhian Maheswara, merupakan leader Savage angkatan ke-2 yang baru saja terpilih untuk menggantikan Aldi yang melanjutkan kuliahnya di luar kota. Wataknya yang tegas dan cepat mengambil keputusan membuatnya terpilih menjadi pemimpin geng motor tersebut. Abhian sendiri bergabung disana atas ajakan Aldi, kakak kelasnya. Awalnya Abhian tidak tertarik untuk bergabung, tetapi melihat rasa kekeluargaan mereka yang erat membuat jiwa kesepiannya bergejolak. Akhirnya, ia memutuskan untuk ikut menjadi bagian dari mereka.
Malas menunggu sendirian, lelaki dengan potongan rambut undercut itu memilih menuju warung mba Risma yang terletak di depan basecamp mereka. Ia berniat menunggu yang lain seraya minum kopi.
Setelah kepergian Abhian, seseorang yang sejak tadi bersembunyi kini memulai pergerakannya. Dengan hati-hati, pria itu melangkah mendekati motor milik Abhian, yang terparkir di sana. Netra Pria itu tak lepas dari Abhian yang menjadi objeknya, ia selalu memastikan agar lelaki itu tak memergokinya saat menjalankan aksi.
Pria dengan topi hitam bermotif bintang yang menutupi wajahnya itu berjongkok di samping motor sport Abhian. Tangannya terulur merogoh saku hoodienya, untuk mengeluarkan cutter. Cutter itu ia gunakan sebagai alat untuk memotong kabel rem milik motor Abhian.
Kabel itu belum sepenuhnya terpotong, namun aksi pria itu harus terhenti karena mendengar suara motor yang sepertinya sedang menuju basecamp.
Pria itu memilih untuk berhenti, sebelum kehadirannya tertangkap oleh anak Savage. Ia berlari kembali ke motornya yang tersembunyi di belakang basecamp, dan melesat pergi dari sana tepat saat anggota inti Savage tiba di halaman basecamp.
Abhian melihat sudah banyak anggota Savage yang berdatangan, lelaki itu segera menghabiskan sisa kopi di dalam gelasnya dalam sekali tegukkan. Setelahnya, barulah ia menghampiri anggotanya yang sudah mulai memadati halam basecamp.
"Cepet sekali pak ketua datangnya," celetuk Sandi dengan helm yang masih setia menempel di kepalanya.
Abhian masih agak canggung dengan embel-embel ketua yang baru saja di sebut Sandi padanya. Dua hari yang lalu, ia baru saja resmi menjadi leader baru mereka. Menjadi seorang leader geng motor tentunya merupakan tanggung jawab besar, sebab keselamatan semua anggota Savage yang jumlahnya hampir empat puluhan itu menjadi tanggung jawab Abhian sekarang.
"Udah datang semua?" tanya Abhian, menatap Edgar meminta jawaban. Edgar merupakan sahabat dekat Abhian di sekolah, dia juga salah satu anggota inti di Savage.
"Kayaknya Novan dan Raul yang belum datang, dua manusia itu belum keliatan wujudnya," jawab Edgar.
Tepat saat Edgar selesai mengucapkan kata terakhirnya, dua motor baru saja memasuki halaman basecamp. Keduanya adalah orang yang tadi di tunggu, Novan dan Raul.
Novan melepas helmnya. Lelaki itu menyisir rambutnya menggunakan kelima jari dengan gaya sok keren, membuat Sandi yang melihat itu ingin melempar Novan menggunakan helmnya.
"Karet banget nih berdua, kan janjiannya jam sembilan. Ini sudah hampir jam sepuluh baru datang," omel Sandi.
"Sorry, gue lagi apes malam ini. Ban motor gue kempes pas perjalanan ke sini, untung aja ada Novan yang lewat, kalo kagak bisa dorong motor semalaman gue," curhat Raul, raut wajahnya memang terlihat sangat kelelahan.
Abhian menepuk pundak Novan tiba-tiba, membuat si empu terlonjak kaget. "Suruh yang lain siap-siap, Van. Gue ke warung mba Risma dulu sebentar," ujar Abhian. Bukan tanpa alasan ia menyuruh Novan, sebab lelaki itu adalah wakilnya. Tenggorokan Abhian terasa seret setelah minum kopi hitam tadi, ia ingin mentralkannya kembali dengan minum air putih.
"Mau ngapain emang?" tanya Novan.
"Beli air, seret tenggorokan gue."
Sandi berdiri di depan Abhian dengan semangat. "Sini gue aja yang beli pak ketua, sekalian nyamperin calon pacar," tawarnya. Calon pacar yang di maksud Sandi adalah Ayu, anak gadis mba Risma.
Mendengar itu, tangan Raul melayang menggeplak belakang kepala Sandi. "Jangan modus, deh!"
"Gue aja, bi. Haus gue, pengen beli minum juga, jadi sekalian aja. Lo sebagai ketua yang harusnya monitor yang lain buat siap-siap," usul Novan.
Ucapan Novan ada benarnya, Abhian pun menitipkan air mineralnya pada Novan. Ia tidak pergi sendirian, ada Sandi yang memaksa ikut, dia sangat ingin bertemu Ayu. Mereka berdua mulai berlari kecil menuju warung mba Risma.
****************
Semua anggota SAVAGE sudah siap di atas kuda besi masing-masing, menunggu pergerakan Abhian yang akan memimpin kegiatan Night Ride mereka malam ini. Motor Abhian melaju lebih dulu, diikuti motor Novan, Sandi, Raul, dan Edgar dibelakangnya, kemudian disusul oleh semua anggota SAVAGE.
Pemandangan malam hari dengan lampu-lampu yang menyinari jalanan kota, serta hembusan angin malam tentunya memberikan kesan yang berbeda, dan membuat tubuh mereka menjadi terasa rilex kembali.
Rute perjalanan mereka lumayan jauh, namun hanya akan memakan waktu tempuh 30 sampai 45 menit saja jika melaju dengan kecepatan penuh. Jalan yang mereka lewati pun tidak begitu ramai, mungkin karena sudah hampir tengah malam jadi tak banyak pengendara lain yang melintas.
Abhian mengerjapkan kelopak matanya yang mulai terasa berat, rasa kantuk membuat konsentrasi mengemudinya menurun.
Dia merasa ada yang aneh dengan dirinya yang tiba-tiba merasa mengantuk. 15 menit yang lalu ia masih baik-baik saja, bahkan sebelum berangkat lelaki itu sempat menghabiskan segelas kopi.
Berniat berhenti, Abhian menarik rem motornya, namun motor itu tetap melaju. Ia manarik kembali kedua remnya secara bersamaan, tetapi hasilnya sama saja, sepertinya ada yang salah juga dengan remnya. Motornya sesekali kehilangan kendali, Abhian memukul helmnya, berusaha agar tetap terjaga.
Novan yang berkendara di belakang Abhian bingung melihat motor Abhian yang beberapa kali terlihat kehilangan kendali dan keluar jalur. Dia menoleh ke arah Sandi yang ternyata juga menyadari hal yang sama.
"Bi, lo gak papa ?!" teriak Sandi, yang tak dihiraukan Abhian.
Telinga Abhian berdengung hebat, tangannya yang mencengkram kuat handle gas motor membuat motornya melaju semakin cepat di luar kendalinya.
Merasa ada yang tidak beres, Novan menambah kecepatan motornya agar sejajar dengan motor Abhian. Dipanggilnya nama lelaki itu berkali-kali namun masih tak di balas, ia melihat Abhian yang terus-menerus memukul helmnya.
"Bi, ada masalah?!" teriaknya setelah berhasil menyusul motor Abhian. "Kurangi kecepatan motor lo, mending berhenti dulu kalau ada yang gak beres," teriaknya sekali lagi, namun tetap tak di hiraukan Abhian.
Sekitar 150 meter dari posisi mereka terdapat perempatan dengan lampu lalu lintas yang sudah berubah jadi merah.
"Sialan," umpat Novan frustasi, ia berharap tidak ada pengendara lain yang melintas ketika mereka menerobos lampu merah di perempatan itu nanti.
Abhian tak kuasa lagi menahan rasa mengantuknya, pandangan berubah remang-remang, tangannya tak lagi menggenggam handle gas dengan kuat, dan motor itu benar-benar melaju tanpa kendali darinya.
Novan menarik rem kanan dan kirinya bersamaan, membuat motornya jatuh dan tergesek di aspal. Matanya membulat, melihat motor Abhian menabrak kuat pengendara yang melintas dari arah kiri hingga si pengendara terpental jauh dari motornya.
Semua anggota SAVAGE tentu kaget melihat kecelakaan Abhian di depan mata mereka, semuanya berhenti dan bergerak turun dari motor untuk menghampiri Abhian juga pengendara yang tergeletak tak berdaya di atas aspal.
"Van, Lo gak papa?" Sandi menghampiri Novan terlebih dahulu yang masih terduduk lemas dengan motor yang menimpa kaki kanannya.
Novan mengangguk, "Abhian dulu San, cepet bawa kerumah sakit," ucapnya menunjuk Abhian, lelaki itu terbaring tidak jauh dari motornya yang rusak parah.
Sandi kemudian segera menelpon rumah sakit meminta mereka mengirim kan ambulance untuk pasien kecelakaan motor. Tidak butuh waktu lama, dua ambulance yang mereka kirim tiba di lokasi kecelakaan.
Petugas ambulance turun membawa kotak medis dan Tandu Skop masing-masing ke arah Abhian dan pengendara motor itu untuk memberi pertolongan pertama, setelah itu mengevakuasi mereka ke rumah sakit.
Tak jauh dari posisi Abhian terbaring kesakitan, ada seseorang yang menatap leader Savage dan pengendara motor itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Di satu sisi, ia puas karena rencananya berhasil. Namun, ada rasa takut saat melihat orang lain yang jauh diluar prediksinya ikut terlibat dalam kecelakaan yang ia rencanakan itu.
...****************...
*❗**Picture by Pinterest* ❗
Halo semua, selamat datang di cerita ABHINAYA. Jangan lupa like, subscribe dan komen ya!!
Nabil merapikan berkas yang awalnya berserakan di atas meja kerjanya, ia juga memastikan mesin komputer sudah mode off sebelum ia tinggal pulang setelah berkerja lembur hari ini.
Lelaki itu mengambil ponselnya, mencari nomor Naya, adiknya. Sebelumya Naya memberinya kabar akan telat pulang karena sedang di rumahnya temannya mengerjakan tugas. Tak ingin membiarkan adik perempuannya pulang sendiri malam-malam begini, Nabil berniat sekalian menjemput Naya untuk pulang ke rumah bersama.
"Kenapa kak?" Suara Naya terdengar dari sebrang sana.
"Masih di rumah temenmu?"
"Iya, ini tugasnya baru aja selesai."
"Yaudah, tunggu disana kakak jemput."
"Loh, ga perlu kak, aku naik ojol aja. Masih ada kok jam segini ojolnya."
"Gak aman Nay, udah tunggu disana kakak otw jemput."
"Hmm, iya iya, aku tunggu. Hati-hati naik motornya."
"Oke, tuan putri."
Nabil memakai earphone bluetooth ke telinganya, berniat mendengarkan musik selama berkendara. Sebenarnya mendengar musik sambil berkendara merupakan hal berbahaya apalagi ketika jalanan sedang ramai. Namun karena sudah tengah malam, jalanan yang di lewatinya pasti sepi, jadi tidak terlalu bahaya pikir Nabil.
Handphonenya ia masukan kembali kedalam saku, ia pun memakai helm, setelah itu motor Nabil melaju di jalanan.
Saat di perempatan dengan lampu lalu lintas yang masih di posisi warna merah, Nabil menghentikan motornya. Selama menunggu, tak ada motor yang ia lihat melintas. Lampu itu pun berubah menjadi hijau, Nabil menarik kembali gas motornya.
Saat posisinya berada di tengah penyebrangan, sebuah lampu motor terlihat dari arah kanannya. Motor itu menghantam motor matic milik Nabil, membuatnya terpental jauh dan kepalanya terbentur trotoar jalanan dengan keras.
Pandangan Nabil kini memburam, kepalanya terasa sakit sekali akibat benturan itu. Samar-samar, ia melihat beberapa remaja mengerubunginya. Setelah itu, penglihatannya menghitam dan akhirnya kehilangan kesadaran.
...****************...
Naya melirik jam tangan hitam yang melingkar di lengan kirinya, sudah hampir satu jam ia menunggu namun Nabil, sang Kakak belum juga datang menjemputnya.
"Belum dateng juga, Nay?" Zulfa meletakkan segelas air putih untuk Naya di atas meja. Pertanyaannya hanya dibalas anggukan kepala oleh Naya.
Saat ini Naya berada di rumah Zulfa, masih dengan seragam putih dan rok biru yang menempel di tubuhnya. Naya berada di sini sejak pulang sekolah tadi, untuk mengerjakan tugas kelompoknya bersama Zulfa.
Karena tidak ingin menunda, mereka berencana membuat tugas itu bisa selesai hari ini juga supaya mereka bisa punya waktu untuk tugas lainnya. Mereka mengerjakan tugas sampai tidak mengingat waktu dan baru selesai pukul 23.30. Untung saja orang tua Zulfa tidak keberatan Naya bertamu di rumah mereka sampai tengah malam begini.
Naya mencoba menelpon Nabil kembali, berharap kali ini ada jawaban dari Kakaknya itu, pasalnya lelaki itu tadi mengatakan akan menjemputnya.
Melihat raut khawatir Naya membuat Zulfa kembali buka suara, "Mungkin ada urusan lain Nay, mau kakak aku anterin aja?" sarannya.
"Jangan Fa, aku gak mau ngerepotin," tolak Naya, merasa tidak enak hati.
Gadis itu mencoba menelpon kakaknya sekali lagi, dan akhirnya panggilan itu berhasil tersambung. Namun bukan suara milik kakaknya yang ia dengar, melainkan suara perempuan asing yang menyebut dirinya adalah seorang perawat di rumah sakit Pelita Harapan.
"Apa benar ini dengan keluarga saudara Nabil?"
"Iya benar aku adiknya, ada apa ya? kenapa ponsel kakak saya ada di mba?" tanya Naya.
Perawat wanita itu menjelaskan pada Naya semuanya, mulai dari kronologi kecelakaan kakaknya hingga keadaannya yang terbaring lemah di rumah sakit. Mereka meminta Naya untuk segera datang ke rumah sakit sebagai wali dari pasien.
Air mata Naya menetes, mana kala mendengar akhir kalimat yang perawat itu ucapkan, bahwa kondisi kakaknya benar-benar menghawatirkan saat ini.
Zulfa yang melihat Naya tiba-tiba menangis mencoba menenangkan gadis itu dan bertanya apa yang terjadi. Naya pun menjelaskan apa yang dia dengar dari perawat itu kepada Zulfa di sela-sela isak tangisnya. Tak banyak bertanya, Zulfa segera memanggil kakaknya untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit.
...****************...
Abhian mengerjapkan matanya, mencoba menormalkan kembali penglihatannya yang sempat memburam. Netranya meneliti setiap sudut ruangan berwarna putih itu, disana ia terbaring dengan selang infus yang menempel di punggung tangan kirinya.
Memorinya terputar kembali pada potongan adegan kecelakaan itu,
"Bi, ada masalah?" teriak Novan, ketika berhasil menyusul motor Abhian. "Kurangi kecepatan motor lo, mending berhenti dulu kalau ada yang gak beres," Novan kembali berteriak, tetapi suaranya terdengar sangat jauh di telinga Abhian.
Dengan mata yang hampir tertutup, Abhian melihat sebuah motor melintas dari arah kirinya. Tepat saat motor itu berada di depannya, motor milik Abhian dengan kuat menabrak pengendara motor tersebut hingga terpental jauh dari posisinya. Motor Abhian pun ikut terseret sampai akhirnya jatuh karena kelihatan keseimbangan. Setelah itu, Abhin benar-benar kehilangan kesadarannya.
Abhian mengerang kesakitan ketika hendak mengubah posisinya dari terbaring menjadi duduk. Ia merasakan sakit yang hebat di seluruh badannya, bahkan kakinya yang terbalut perban juga sangat lemah ketika ia coba gerakkan.
Lelaki itu berusaha berdiri, meninggalkan tempat tidurnya karena ingin mencari tahu bagaimana kondisi pengendara yang ia tabrak. Ia melangkah dengan pelan, seraya menopang pada tiang infus.
Di lorong yang menghubungkan UGD dan ruang inapnya, terdengar isak tangis seseorang, membuat dia memelankan langkahnya. Disana, di kursi yang tersedia di depan UGD, seorang ramaja dengan seragam putih biru duduk menangis seseggukkan. Kemudian seorang wanita dengan tergesa-gesa datang menghampirinya.
"Nay, kakakmu mana? Dia kenapa Nay sampai masuk UGD?" tanya wanita itu, bukannya langsung menjawab, gadis yang bernama Naya itu kembali menangis.
"Katanya kakak ... kecelakaan, dan tadi saat Naya baru aja sampai di rumah sakit Kak Nabil udah gak bisa diselamatkan karena cedera kepala berat, Ma," tuturnya, raut wanita itu berubah seketika. Ia lalu berlari masuk ke dalam UGD, meninggalkan putrinya yang masih terisak di sana.
Sedangkan Abhian, tubuhnya membeku ketika mendengar percakapan mereka. Abhian tidak tahu jelas siapa orang mereka maksud, namun firasatnya berkata itu adalah orang yang sama dengan yang dibawa kerumah sakit bersamanya. Lelaki itu pun bergegas menyusul wanita tadi ke dalam UGD dan benar saja, orang yang mereka bicarakan adalah orang yang sama.
Bak di hantam ribuan batu, dada Abhian terasa sesak, rasa takut kini mengerubungi kepalanya. Lelaki itu tidak tahu harus apa dirinya sekarang? Ia sudah membuat orang tidak pernah ada kaitan dengan dirinya harus kehilangan nyawa. Hati Abhian berkata ia harus menyerahkan diri, berlutut untuk meminta maaf kepada keluarga korban. Tapi egonya menentang itu, dengan berkata bagaimana jika dia menemui keluarga korban dan mengatakan Abhian adalah pembunuh anaknya?
Abhian berbalik, kakinya terrgerak meninggalkan UGD itu sebelum ada yang menyadari kehadirannya disana. Pada akhirnya, rasa takut itu mendominasi, membuatnya memutuskan untuk mengikuti ego ketimbang hatinya. Pilihan ini, adalah hal bodoh yang suatu saat akan dia sesali.
Setelah meratapi keputusan bodohnya, Abhian kembali ke kamar inapnya. Ketika masuk, ia mendapati laki-laki dengan setelan jas sedang berdiri di sisi ranjangnya sambil berkacak pinggang.
"Pa," panggil Abhian, membuat laki-laki berbalik badan kemudian menatapnya dari kepala hingga kaki.
Juan, laki-laki yang disebut Papa oleh Abhian melangkah mendekat, kemudian secara tiba-tiba sebuah tamparan melayang di pipi kiri Abhian yang sebelumnya sudah penuh luka akibat kecelakaan. Darah segar kembali keluar dari sudut bibir Abhian, pipinya terasa panas karena kuatnya tamparan Papanya.
"Anak sialan," umpat Juan, mendengar itu Abhian hanya tersenyum masam.
Bukan pertanyaan apakah dirinya baik-baik saja, atau bagaimana dengan luka-lukanya setelah kecelakaan yang Abhian terima, melainkan makian dan kata-kata menusuk dari Papanya.
"Sudah berapa kali Papa bilang sama kamu? Jangan buat saya malu sama kelakuan mu itu! Sekarang malah berulah nabrak anak orang sampai meninggal, kalau orang tuanya nuntut kamu gimana? Hah?!" marah Juan, emosinya benar-benar sudah di ujung kepala.
"Kalo mereka nuntut, aku akan tanggung jawab. Tapi kecelakaan ini diluar kendali aku, aku juga sebenarnya gak mau nabrak orang yang gak pernah ada hubungannya sama aku," bela Abhian, kecelakaan memang bukan hal yang bisa diprediksi manusia, itu kehendak Tuhan., tak ada yang tau kapan dan bagaimana menghindarinya. Namun, tanggung jawab katanya? Abhian merutuki mulut bodohnya. Tadi saja ia segera melarikan diri ketika mendengar orang itu meninggal, lalu bagaimana dia bisa bertanggung jawab?
Juan melipat tangannya di depan dada, ia memandang Abhian remeh, "Tanggung jawab katamu? Dengan cara menyerahkan diri lalu dipenjara gitu? Kamu gak mikirin Papa? Harga diri dan bisnis papa bisa jatuh kalo orang-orang tau anaknya napi!" sarkasnya.
Ini lah Papanya, hanya mementingkan harga diri dan bisnis, selain itu ia tidak peduli termasuk keluarganya sendiri. Abhian kini paham perasaan mamanya, yang tidak tahan hidup dengan manusia egois seperti Juan.
"Intinya kamu diam saja, jangan sampai orang-orang yang dengar berita ini tau kalo kamu pelakunya. Masalah hukuman yang akan kamu terima biarkan pengacara papa yang urus," perintah Juan.
Abhian tertawa, tawa yang di buat-buatnya. "Kenapa repot-repot ngurusin kasus anak sialan ini Pa?"
"Saya lakukan ini untuk diri saya sendiri, bukan kamu," setelah mengucapkan itu, Juan melenggang meninggalkan Abhian.
...****************...
Naya menatap nisan bertuliskan nama Almarhum kakaknya itu. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa Nabil akan meninggalkan dirinya secepat ini.
Nabil merupakan sosok kakak yang sekaligus berperan sebagai Ayah untuk Naya. Kehilangan ayahnya saat kecil tidak membuat Naya merasa kekurangan kasih sayang, sebab ada Nabil yang menggantikan peran itu untuknya. Namun kini, Naya telah kehilangan keduanya.
Setelah mendoakan, orang-orang yang tadi datang melayat mulai meninggalkan tempat pemakaman Nabil. Beberapa dari mereka ada yang masih menetap, dan mencoba menghibur Naya dan Ibunya agar mengikhlaskan dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Citra merangkul putri bungsunya itu, mengajak Naya untuk kembali ke rumah. Namun Naya bergeming, ia ingin tetap berada di posisinya saat ini untuk beberapa waktu kedepan. Gadis itu masih ingin berada di samping kakaknya.
"Mama duluan saja pulangnya, nanti kalo udah puas disini, baru Naya nyusul Ibu," katanya, dengan suara parau.
Wanita itu mati-matian menahan agar isak tangisnya agar tak terdengar oleh putrinya, ia tak ingin menambah kesedihan Naya. "Oke nak, kalau sudah puas jangan lupa pamit sama kakakmu lalu pulang, ya?" ucap Citra yang dibalas anggukan kepala oleh Naya.
Disisi lain, Abhian berdiri di samping pohon yang letaknya tidak jauh dari tempat Nabil di makamkan. Ia mengikuti ambulance yang membawa jenazah Nabil dengan taksi dari rumah sakit ke rumah Naya kemaren, dan mendengar dari tetangga Naya, bahwa kakak gadis itu akan di makamkan hari ini.
Masih dengan baju pasien yang ia lapis jaket hitam dan dengan kondisi yang belum sepenuhnya pulih, Abhian meninggalkan rumah sakit hanya untuk melihat pemakaman Nabil dari kejauhan.
Rasa bersalah menggerogotinya ketika melihat Naya menumpahkan air matanya di samping makam kakaknya. Gadis itu mengeluarkan semua rasa sedihnya ketika semua orang sudah pergi dari sana.
"Kenapa kakak harus jemput aku hari itu? Kenapa gak biarin aku pulang sendiri aja?, Naya menyeka air matanya. "Katanya mau bawa aku pulang kerumah, tapi kenapa malah kakak pulang sendiri ke tempat yang jauh?" lanjutnya, bermonolog yang samar-samar dapat di dengar Abhian.
Gadis itu mengusap gundukan tanah yang terhias taburan bunga di atasnya, ia mengusap lembut seolah-olah dapat dirasakan kakaknya yang berada di bawah sana.
Setelah merasa cukup, Naya bangkit dari duduknya. "Aku pamit, nanti kalo rindu aku datang lagi kak. Aku .... akan sering-sering kesini untuk ketemu kakak," tuturnya, setelah itu meninggalkan rumah baru kakaknya.
Melihat kepergian Naya, baru lah Abhian menghampiri makam Nabil. Ia menabur bunga yang sebelumnya sempat ia beli ke atas makam Nabil. Lelaki itu memandang nisan yang bertuliskan nama Nabil, tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Nabil tidak pernah mengenal Abhian dan tak ada sangkut pautnya dengan lelaki itu selama hidup. Namun harus kehilangan nyawanya karena Abhian.
"Maaf."
Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Abhian.
Orang-orang mengenal Abhian sebagai sosok yang tidak punya hati, yang tidak peduli siapapun selain orang-orang yang ia anggap penting dalam hidupnya. Tapi hari ini, orang yang tidak punya hati itu menangisi dirinya yang telah mengacaukan hidup orang lain.
"Gue janji, kalo keberanian gue kembali dan gue ketemu sama keluarga lo, gue bakal lindungi mereka dengan semua kemampuan yang gue punya. Jadi kak, gue harap lo tenang disana," ucapnya.
"Dan karena memilih jadi pengecut yang lari dari kesalahan, gue .... benar-benar minta maaf kak," tambahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!