Freya membawa toples bulat transparan yang terlihat tumpukan kertas lipat didalamnya. Alea duduk bersila diatas karpet bulu rasfur yang tergelar disamping ranjang. Freya duduk bersila menghadap Alea sambil meletakkan toples transparan itu diantara mereka.
"Drum... drum... drum... drum... drum... waktunya Blind Choice". Tangan Freya menabuh toples sedangkan mulutnya membuat suara tiruan drum. "Akhirnya moment yang paling kita tunggu". Freya tidak bisa menyembunyikan wajah sumringahnya.
"Lo nggak bikin misi yang aneh lagi kan Fre? " Alea memasang wajah curiga pada sahabatnya itu. "Gue masih trauma sama misi tahun lalu tau". Bibir Alea manyun mengingat kenangan tak terlupakan yang menemani akhir masa SMP nya itu.
Bagaimana Alea nggak trauma sebagai siswi genius dan pemilik nilai sempurna yang waktunya di habiskan dengan belajar, belajar dan belajar, tiba-tiba dia harus mendaftar menjadi anggota paduan suara. Bahkan selama ini Alea tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun atau mendaftar menjadi anggota OSIS karena waktunya dihabiskan untuk belajar. Menjadi anggota paduan suara sebenarnya tidak terlalu masalah bagi Alea, tapi yang menjadi masalah adalah karena Alea harus mendaftar menjadi paduan suara di semester kedua kelas 9 nya.
Pihak sekolah bahkan menolak pendaftarannya menjadi anggota paduan suara, karena seluruh siswa siswi kelas 9 dilarang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler atau sejenisnya dan harus fokus belajar untuk menghadapi Ujian Nasional. Namun, karena misi yang dia pilih harus dijalankan sesulit apapun selama hal itu tidak melanggar hukum, sehingga Alea harus berusaha dengan sekuat tenaga membujuk pihak sekolah agar mengizinkannya menjadi anggota paduan suara.
Setelah dia membujuk wali kelasnya dengan susah payah dengan berjanji bahwa paduan suara tidak akan mempengaruhi nilai sempurnanya, Alea diizinkan menjadi satu-satunya anggota paduan suara dari kelas 9. Selain itu untuk membuktikan nilai Alea tidak turun dia harus melakukan simulasi ujian nasional sebanyak 3 kali diawal semester kedua. Alea menjadi siswa paling sibuk disekolah dimana dia harus membagi waktunya untuk les dan latihan paduan suara karena paduan suara akan tampil di acara perpisahan akhir tahun.
"Tenang aja Le, misi yang gue buat pasti seru-seru". Mata kanan Freya berkedip meledek Alea. "Gak kaya misi yang lo buat, mbosenin, intinya cuman belajar belajar dan belajar". Freya bergidig mengingat misi yang harus dia selesaikan.
Bagaimana tidak, entah kebetulan atau memang nasibnya, selama 3 tahun berturut-turut, bahkan di ulang tahunnya pada 1 bulan yang lalu, Freya memilih kertas bertuliskan MENDAPAT RANKING 10 BESAR. Alhasil, Freya yang tidak terlalu suka belajar harus berkutat dengan buku-buku setiap hari ditengah kesibukan latihan silatnya. Kenyataan yang lebih pedih dalam satu tahun kedepan dia harus belajar lebih keras karena materi pelajaran SMA semakin sulit baginya. Namun, Freya tidak dapat mengeluhkan pilihannya karena itu sudah menjadi konsekuensi Blind Choice yang mereka berdua telah sepakati.
"Tapi berkat gue, bokap nyokap lo jadi bangga sama lo, dan semua yang lo minta dikabulin kan". Alea tersenyum bangga dengan misi yang telah ditulisnya.
"Iya bawel, semua berkat lo hidup gue jadi semakin mudah". Freya mencubit pipi kiri Alea gemas.
"Aaaaa... sakit woy lah". Alea meringis kesakitan.
"Sorry,,, sorry,,, ". Freya melepas cubitannya dengan cepat.
"Udah jam sembilan nih, cepet lo pilih misinya". Freya menyodorkan toples kaca ke tangan Alea.
"Perut gue mules tau Fre setiap pegang ni toples". Alea menerima toples dengan malas. "Perasaan gue gak enak".
"Hahahaa, lebay lo Lea, cepet buruan". Freya geli melihat tingkah sahabatnya.
"Awas aja kalau misinya gak masuk akal". Mata Alea menatap Freya dengan tajam.
"Ingat semboyan Blind Choice, menerima dengan ikhlas apapun misi yang kita dapat". Bibir Freya mengulum senyum.
"Iye,,, iye,,, ". Alea pasrah.
Tangan Alea masuk kedalam toples yang berisi kertas misi sekira 20 lembar. Tangan Alea mengacak kertas dan tak lama kemudian mengambil satu lipat kertas dan menyerahkannya ke Freya.
"Wah,,, degdegan gue". Jantung Alea berdetak tak beraturan.
"Okey,,, gue buka ya". Freya tersenyum sambil tangannya mulai membuka lipatan kertas pilihan Alea. Pelan-pelan Freya membaca dalam hati isi kertas putih di tangannya.
"Wah gila". Freya berseru hampir meloncat.
"Apa Fre, lo jangan nakutin gue". Alea penasaran sekaligus takut.
Freya membalik kertas putih dan menunjukkannya ke arah Alea. "Le, tahun ini hidup lo gue jamin gak ngebosenin".
Alea mengeja pelan tulisan pada kertas putih yang di pegang Freya. "MENJADI PACAR DEWA SELAMA 1 TAHUN"
Alea hampir meloncat "Gila lo Fre, gue gak salah baca kan".
Alea merebut kertas dan membacanya berulang kali.
"Fre,,, lo bener-bener gila". Seru Alea sambil matanya masih tidak percaya dengan misi yang dibacanya.
"Sorry Le, gua gak nyangka lo bakal ngambil kertas ini". Freya masih terkejut sekaligus merasa bersalah. "Tadinya gue cuman iseng aja nulis misi itu".
"Gue kayaknya gak bisa ngejalanan misi ini". Alea frustasi.
"Tapi misi itu gak melanggar hukum Le, jadi lo kayaknya gak bisa ganti deh". Freya mengingatkan syarat mengganti misi adalah jika misi yang didapatnya berkemungkinan melanggar hukum.
Alea melompat ke arah Freya, lengannya secepat kilat mengunci leher Freya. "Lo sengaja kan bikin misi absurd kayak gini, ngaku nggak lo".
"Ampun,,, ampun,,, Le, sakit woy". Freya terkejut, tubuhnya tidak sempat menghindar dari serangan mendadak sahabatnya.
"Ngaku lo, ngaku nggak". Rasa frustasinya membuat Alea mampu melumpuhkan pesilat kawakan seperti Freya.
"Lepas,,, lepasin dulu, ini gue nggak bisa nafas tolong". Freya pasrah dan tidak mungkin melawan Alea si kutu buku dengan tehnik silatnya.
Lengan Alea perlahan melepaskan kunciannya. Freya terbebas dan akhirnya bisa bernafas lagi.
"Fre, gue gak bisa nglakuin itu". Alea memelas.
"Lo pasti bisa Lea". Nafas Freya masih sedikit ngos-ngosan.
"Lo sengaja kan Fre, jujur aja deh lo". Tangan mungil Alea mencekram baju Freya dan mengguncang-guncangkan tubuh Freya.
Tangan berotot Freya memegang cenkraman jari-jari Alea dan berusaha menghentikannya. "Nanti baju gue sobek ya".
Alea melepaskan cengkramannya sambil terduduk pasrah. "Ngaku deh lo".
"Ni ya, jujur gue tadinya nulis misi ini tu cuman iseng doang, tapi malah beneran kepilih sama lo". Freya menahan tawa.
Alea terdiam sejenak sambil menenangkan fikirannya.
"Fre, ini beneran misinya gak bisa di batalin? " Alea masih berharap sahabatnya mengizinkannya mengganti misi.
"Berdasarkan peraturan yang uda kita sepakati sih, nggak ada alasan lo buat ganti misi". Freya membenarkan kaosnya yang melar ditarik Alea.
"Gila banget emang lo". Alea mengeluhkan kelakuan ajaib sahabatnya.
"Tenang aja, gue pasti bantu lo kok". Senyum Freya merekah.
"Gimana caranya gue jadi pacar Dewa, gue aja nggak kenal dia". Alea menyenderkan tubuhnya pada dipan kasur di sampingnya.
"Justru itu Le, ini kesempatan buat lo biar bisa kenal sama Dewa". Freya duduk di sampingnya sambil ikut menyenderkan punggungnya.
"Apa pentingnya gue kenal sama dia". Alea cemberut.
"Lo bilang kemarin hidup lo flat banget, gak ada tantangan dan ngebosenin. Ini waktunya bikin hidup lo makin menarik dan berwarna". Freya menyemangati Alea menggebu-gebu.
"Sadar nggak sih lo, selama satu semester ini gue lewatin masa SMA gue, gue aja gak pernah papasan sekalipun sama cowok yang namanya Dewa itu. Gue cuman pernah denger namanya aja, tapi sekarang gue dapat misi buat jadi pacarnya. Ini tu Mission Impossible banget buat gue". Alea semakin frustasi.
"Ya gimana mau ketemu Dewa, lo sekolah kayak pertapa sih. Kalau nggak semedi di kelas ya di perpustakaan". Keluh Freya dengan keseharian sahabatnya. "Lo tau, lama-lama lo bisa habis dimakan rayap tau".
"Gimana bisa, emang gue kayu". Alea mengerutkan dahi tak setuju.
"Ya bisa lah, lo kan kebanyakan diem kaya patung, trus lo tu udah bau buku. Wajar aja kalau rayap salah makan". Freya menahan tawa melihat ekspresi kesal sahabatnya.
Alea berdiri menuju ranjang, tangannya manarik selimut sampai dadanya. "Tidur dulu gue, bisa gila kalau mikirin misi ini terus".
Freya mengikuti Alea ke ranjang yang tidak terlalu besar itu, lalu tidur di sampingnya. "Happy Birthday Le, jangan lupa bahagia ya".
Alea melirik Freya dengan muka sebal. "Lo juga jangan lupa bahagia".
Seketika keheningan menyelimuti malam kedua sahabat itu, mengantarkan mereka dalam buaiyan mimpi-mimpi yang samar.
...****************...
Alea berjalan di koridor sekolah yang sepi sendiri, disaat murid-murid lain sedang sibuk bersorak menyemangati jagoan kelas mereka yang sedang bertanding dalam turnamen basket antar kelas.
Sudah menjadi tradisi, setelah Ujian Semester berakhir murid-murid SMA Praditya mengadakan turnamen 3 cabang olahraga yaitu Sepak Bola, Bola Voli dan Bola Basket. Turnamen olahraga ini diadakan untuk mengisi waktu luang setelah ujian berakhir sambil menunggu pengumuman nilai ujian.
Turnamen olahraga yang diadakan kurang lebih 1 minggu ini, di organisir oleh OSIS. Meskipun kegiatan ini bukan termasuk agenda resmi OSIS dan merupakan turnamen yang bersifat tidak resmi dan cenderung lebih santai namun antusiasme murid-murid memeriahkan turnamen ini sangat tinggi. Setiap kelas tidak wajib mengirimkan perwakilannya untuk ketiga cabang olahraga, namun bisa memilih salah satu saja dari ketiga cabang olahraga itu.
Berbeda dengan murid-murid lain yang sibuk memberikan support dan semangat untuk perwakilan kelasnya, Alea malah menghindari keramaian. Bahkan Alea sengaja berjalan ke arah perpustakaan melewati jalan memutar yang lebih jauh karena jalan terdekat ke perpustakaan dari arah kelasnya harus melewati stadion Bola Basket yang tentunya penuh sesak dengan murid-murid yang sedang menonton pertandingan Basket, baik di dalam stadion maupun di luar stadion.
Saat Alea sudah dekat dengan ruang perpustakaan, dari arah pintu perpustakaan keluar seseorang yang sangat dikenalnya, siswi tinggi berbadan tegap dengan rambut di kuncir satu. Gadis itu langsung menghampiri Alea dan menghentikan langkahnya.
"Mau ke perpustakaan kan?" Freya merangkulkan tangan kanannya ke pundak Alea.
Alea hanya mengangguk, menanggapi pertanyaan sahabat satu-satunya itu.
Freya memutar tubuh Alea ke arah berlawanan dengan arah perpustakaan. "Hari ini lo nggak perlu ke perpustakaan, ada hal penting yang perlu kita lakuin".
"Emang kita mau ngapain?" Alea hanya pasrah mengikuti Freya.
"Ikutin aja gue, nanti juga lo tau". Freya menarik tubuh Alea melewati koridor sepi yang tadi dia lewati sendiri.
Saat mereka berjalan berdua di koridor kosong itu, Freya melirik kertas terselip dibuku yang sedang digenggam tangan kanan Alea.
"Itu formulir penjurusan kelas?" Freya menunjuk kertas putih seukuran folio yang diselipkan dibuku fisika.
"Iya". Alea melirik sekejap pada kertas yang ditunjuk Freya.
"Lo uda isi formulirnya?"
"Tadinya sih mau gue isi diperpustakaan".
Freya manggut-manggut mendengar jawaban Alea. "Lo jadi masuk jurusan Science? "
Lagi-lagi Alea menjawab pertanyaan Freya hanya dengan anggukan. Sebenarnya Alea memang termasuk seseorang yang jarang bicara, bahkan saat dengan Freya, dia biasanya bicara hanya sekedarnya. Apalagi saat dengan orang yang tidak terlalu dekat dengannya atau orang yang tidak dikenalnya, dia hampir tidak mengeluarkan kata-kata. Namun, ada kalanya Alea banyak bicara yakni disaat-saat tertentu, terutama saat dia terpojok atau harus membela diri.
Mereka berdua berjalan santai di koridor kelas yang sepi. Beberapa saat mereka hanya berjalan tanpa mengobrol. Mereka menikmati ketenangan koridor yang biasanya di penuhi murid-murid yang lalu lalang, duduk, jongkok, tertawa, kejar-kejaran, mengobrol, dan ada juga yang bengong.
"Bagus kalau gitu". Freya tiba-tiba berseru.
"Apanya yang bagus?" Alea sedikit terkejut.
"Bagus, karena formulir lo belum di isi". Freya tersenyum cerah.
"Emang kenapa?" Alea sedikit bingung dengan sikap Freya.
"Lo percaya sama gue kan?". Tangan Freya masih merangkul pundak Alea dengan nyaman.
"Jelas engga lah, percaya lo nanti musyrik". Bibir Alea tersenyum tipis.
"Yeee... bukan percaya yang itu". Muka Freya sebal.
"Pokoknya lo jangan dulu isi formulir itu, ada yang perlu gua pastiin dulu".
"Apaan?" Alea sedikit penasaran.
"Ada hal penting, pokoknya lo tunggu aja". Freya memasang muka serius.
"Iya kalau gue gak lupa". Senyum manis Alea menghiasi bibirnya.
Setelah berjalan agak lama, mereka sampai didepan kelas Alea, tapi Freya masih menarik tubuh Alea terus berjalan ke arah stadion bola basket yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kelas Alea. Jarak stadion bola basket itu sekitar lima kelas dari kelas Alea dan di samping kiri dan kanannya terdapat area santai yang di penuhi kursi-kursi duduk untuk para murid-murid. Karena jaraknya yang begitu dekat, bahkan riuh ramai sorakan dan tepuk tangan terdengan dari kelas Alea.
Curiga jika tujuan Freya adalah stadion bola basket, Alea tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Jangan bilang kita mau ke stadion basket". Tanya Lea spontan sambil menurunkan tangan Freya dari pundaknya.
"Ting tong teng, jawaban anda benar". Jawab Freya dengan candaannya.
"Gak ah, brisik". Lea membalikan badan cepat ke arah kelasnya.
Dengan cepat tangan Freya berhasil menarik lengan sahabatnya dan menghentikan langkahnya.
"Lo uda lupa sama misi Blind Choice".
"Emang apa hubungannya? ". Alea keheranan.
"Hari ini Dewa tanding, lo katanya pingin tau yang namanya Dewa". Tangan Freya menggandeng lengan kiri Alea.
Alea terdiam sambil membuang nafas berat, dia hampir lupa dengan misi yang harus diselesaikannya karena satu minggu sebelumnya disibukan dengan ujian semester 1.
"Besok aja lah, hari ini males". Alea mencoba mencari alasan.
Freya menarik tangan Alea, menuntunnya ke stadion basket dengan paksa. "Sekarang aja, keburu habis waktunya".
Hari ini stadion penuh sesak, pasalnya semua murid-murid tidak ingin melewatkan pertandingan basket antara kelas 10-C dengan kelas 11-A Science. Pertandingan ini sangat menarik karena masing-masing grup memiliki satu anggota yang sangat populer di sekolah.
Kelas 10-C merupakan kelas dari siswa bernama Dewa yang kegantengannya sudah diketahui seantero sekolah. Dewa sendiri juga merupakan pemain basket andalan di sekolah. Sedangkan kelas 11-A Science merupakan kelas dari Kevin, murid yang tampan, pintar dan juga baik hati. Dia juga merupakan Ketua OSIS baru yang akan mulai menjabat mulai semester depan.
Kolaborasi dari kedua siswa yang sangat populer di sekolah ini telah menjadi magnet yang sangat kuat, yang mampu menarik hampir semua murid SMA Praditya untuk berkumpul di stadion basket.
Freya menggandeng Alea memasuki stadion yang ramai dan penuh sesak. Matanya berkeliling mencari tempat duduk yang masih kosong. Freya melihat beberapa kursi kosong di sebelah pojok agak belakang. Mereka berjalan pelan-pelan menuju kursi kosong itu, meskipun tempat duduk itu lumayan jauh dari lapangan dan tentu kurang jelas untuk menonton para pemain. Namun, tidak ada pilihan lain karena hampir semua kursi dipenuhi oleh murid-murid, terutama kursi dibagian depan.
Dua sahabat itu duduk bersampingan menghadap lapangan yang berisi para pemain basket yang akan memulai pertandingannya. Grup 10-C memakai seragam merah sedangkan Grup 11-A Science memakai seragam putih.
"Kita datang di waktu yang tepat". Suara peluit wasit melengking di stadion, Freya berdiri dan ikut bersorak-sorai menyemangati para pemain yang mulai mendrible bola di lapangan. Suara gaduh bergemuruh mengikuti gerakan para pemain. Sementara Alea hanya duduk mengamati permainan dengan tenang.
Freya mundur selangkah lalu duduk di samping Alea, wajahnya masih menampakan semangat suporter yang membara. "Pertandingannya seru banget kan? ", celetuk Freya dengan sedikit mengeraskan suaranya, sedangkan matanya masih sibuk mengikuti pergerakan para pemain basket di lapangan dan sesekali bersorak heboh ketika para pemain mendapatkan skor nilai.
Alea menonton pertandingan dengan khidmat diantara ratusan siswa yang terus bersorak dengan menyanyikan yel-yel, menyerukan nama para pemain jagoannya atau sekedar heboh dan bertepuk tangan. Awalnya dia merasa tidak nyaman berada dalam keramaian dan kebisingan, namun saat dia mulai fokus menyaksikan para pemain yang bermain apik dilapangan, Alea hanyut terbawa pada permainan dan menikmatinya. Jantungnya pun ikut berdegub kencang saat melihat para pemain sibuk berebut bola dan berusaha menembakan bola ke ring meskipun dia sama sekali tidak menjagokan salah satu grup.
Permainan berjalan sangat apik dan sengit, grup kelas yang melakukan pertandingan kali ini memang terdiri dari beberapa pemain basket yang hebat. Beberapa diantaranya merupakan anggota inti klub basket SMA Praditya, bahkan Dewa sendiri adalah kapten dari klub basket itu dan Kevin merupakan salah satu anggota klubnya.
Meskipun Dewa masih kelas 10, namun karena kehebatannya dalam bermain basket dia sudah menjadi kapten klub basket sekolah. Pasalnya untuk menjadi kapten klub basket dia harus mengalahkan anggota klub inti dan kapten sebelumnya yang merupakan siswa kelas 12. Memang dalam klub basket tidak ada perbedaan perlakuan berdasarkan kelas, siapapun yang memiliki kemampuan basket yang handal maka dia dapat menjadi anggota klub tersebut.
Kuarter babak pertama berlalu dengan skor tipis yakni 11-10, dengan grup kelas 10-C lebih unggul. Para pemain beristirahat di kursi pemain, beberapa meminum minuman dingin yang sudah disiapkan oleh OSIS, ada juga yang menyeka keringatnya dengan handuk.
Freya dan penonton di stadion yang sejak tadi tak berhenti bersorak selama pertandingan sejenak ikut mereda. Suara yang sangat bising berganti dengan bisikan dan gumaman antar penonton yang saling bercanda, tertawa bahkan mengomentari permainan yang baru berlalu.
"Dewa keren banget kan? wah gila, didetik terkhir pas dia cetak Tri poin keren banget". Oceh Freya sambil tangannya mengipas-ngipas ke arah wajahnya karena kepanasan.
Alea hanya menatap sahabatnya tanpa bereaksi.
Melihat sahabatnya hanya diam tanpa menjawab ocehannya, Freya teringat bahwa tujuannya membawa Alea ke stadion adalah untuk memberi tahu siapa Dewa.
"Sorry gue lupa, hehehe". Senyum Freya renyah yang di balas dengan tatapan tajam Alea.
Freya berdiri mendongakkan wajahnya, matanya menyipit berkeliling mencari sosok Dewa diantara para pemain berseragam merah yang sedang beristirahat.
"Lo lihat, itu cowok yang cakep, tinggi, seragam merah, yang kepalanya pakai headband hitam terus rambutnya agak pirang". Ucap Freya sambil mangacungkan jari telunjuknya ke arah Dewa. "Itu yang namanya Dewa".
Alea ikut mendongakkan wajahnya, tatapannya fokus mengikuti arah telunjuk Freya. Matanya berhenti saat retinanya menangkap sesosok anak lelaki yang berkarisma, sedang berdiri disamping lapangan dan bersiap memulai kuartal kedua pertandingan basket.
Peluit ditiup, bola dibumbungkan ke atas, Dewa melompat dengan tinggi meraih bola mendahului Kevin. Permainan kuartal kedua telah di mulai dengan sengit, para pemain berlarian memperebutkan bola, penonton riuh mengikuti jalannya pertandingan. Meski Dewa mendapatkan bola pertama namun sayang sekali karena Kevin berhasil lebih dulu mendapatkan poin di babak ini.
Dibandingan dengan Freya yang heboh terbawa euforia pertandingan dua grup yang sama-sama hebat. Alea terdiam, matanya mengikuti pergerakan Dewa yang berlari kesana kemari dilapangan. Alea terus menatap dan memperhatikan Dewa, namun dia tidak fokus pada pertandingan yang sedang berlangsung.
Meskipun pandangannya seperti tertuju pada permainan basket, namun sebenarnya fikirannya sedang melayang entah dimana. Saat ini pikirannya di penuhi dengan kebimbangan dan kebingungan, bagaimana mungkin dia bisa menyelesaikan misinya. Untuk mendekati dan menjadi pacar Dewa yang merupakan cowok paling populer di sekolah bagi Alea adalah sebuah kemustahilan yang nyata.
Pertandingan berjalan sangat ketat, skor terakhir telah dimenangkan oleh kelas 10-C dengan perolehan 70-59. Dewa sama sekali tidak membiarkan Kevin melampaui poin nya. Namun hingga babak terakhir Alea benar-benar tidak menikmati jalannya pertandingan, dia hanya terfokus pada kenyataan bahwa kali ini dia benar-benar mendapatkan mission impossible.
...****************...
Alea berdiri di depan jendela kelas, pandangannya tertuju pada kerumunan murid-murid di lapangan yang sedang sibuk menonton pertandingan sepak bola. Tak berbeda dengan pertandingan basket kemarin, kali ini pun euforia penonton begitu tinggi, sorak-sorai yel-yel, jeritan para penonton dan kehebohan lainnya menyemarakkan pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung.
Alea sedikit demi sedikit memang mulai tertarik pada keramaian, berbeda dengan dirinya dahulu yang begitu menghindari keramaian dan kerumunan orang. Dia mulai bisa menyesuaikan diri sejak mendapat misi menjadi anggota paduan suara, karena dia mau tidak mau harus tampil di depan banyak orang.
Alea sebenarnya menyadari bahwa dirinya terlalu tertutup terhadap dunia luar, dia terjebak dalam dunianya sendiri. Dia memang sangat menyukai ilmu pengetahuan, dan selalu merasa haus dan penasaran dengan banyak hal. Namun terkadang dia juga merasa kesepian, dia iri dengan murid-murid lain yang berlarian di lorong-lorong kelas, menyanyi bersama saat kelas kosong, tertawa terbahak pada hal-hal tidak masuk akal dan menangis saat mereka kecewa atau putus cinta. Segala kegaduhan, kelucuan, kebahagiaan bahkan ketakutan saat di kelas, selalu dia tidak pernah menjadi bagian itu, dia hanya penonton yang mengamati dari pojok kelas.
Alea merasa selama ini selalu sendirian. Dia ingin terbebas dari belenggu yang mengikatnya namun dia tidak punya keberanian dan tidak tau cara melakukannya. Saat dia melihat segerombolan siswa siswi sedang asik mengobrol tentang make up, PR yang belum mereka kerjakan, orang yang mereka suka, acara TV yang mereka tonton, artis atau penyanyi yang diidolakan dan bahkan uang jajan mereka yang dipotong karena nilai mereka turun, dia ingin menjadi salah satu bagian dari mereka. Dia selalu iri pada mereka yang tidak pernah kehabisan topik pembicaraan dan memiliki teman banyak di sekolah.
Alea memang memiliki Freya sahabat satu-satunya yang selalu setia padanya, namun dia juga ingin memiliki teman lain yang banyak, dimana saat dia berjalan akan saling menyapa, saat ada hal lucu dia bisa ikut menertawakannya, saat ada yang menangis dia ikut menenangkannya. Dia juga merasa ada tembok yang sangat tinggi yang memisahkan dia dan teman-teman sekelasnya. Memang dia tidak bermusuhan dengan teman sekelasnya ataupun murid lain, namun dia juga tidak dekat dengan mereka. Dia dan teman-teman kelasnya hanya saling mengenal wajah dan nama. Dia memang terkenal genius dan hampir semua orang di sekolah mengenalnya, namun mereka tidak pernah berbicara, bercanda, tertawa dan bahkan saling menjaili seperti layaknya anak-anak SMA lainnya.
Alea merasa ada topeng yang sangat tebal terpasang diwajahnya, sehingga dia tidak mempu menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya. Dia hanya mampu bebas berekspresi dan menjadi dirinya sendiri saat bersama Freya. Entah mengapa saat dengan teman lainnya, hanya ekspresi datar yang terlihat di wajahnya. Dia juga merasa sulit berbicara lancar dengan orang lain, padahal ratusan buku sudah dibacanya sehingga ada begitu banyak kosa kata yang tersimpan di otaknya namun dia tidak mampu mengucapkan sepatah katapun saat berada di samping orang lain seakan lidahnya terkunci.
Sebenarnya dia tidak sengaja untuk menghindari orang lain, hal itu berawal dari dia yang selalu asik sendiri dengan buku-bukunya, menghabiskan waktu di perpustakaan atau dikelas sendirian, tenggelam sendiri dalam keindahan pengetahuan yang begitu luas dan misterius, hingga dia terjebak sendiri dan asing terhadap sekitarnya.
Freya yang mengetahui hal itu merasa kasihan dan tidak ingin sahabatnya terjebak lebih lama lagi dalam kesepian dan keterasingan yang menyiksanya. Sehingga dia berusaha sekuat tenaga agar sahabatnya itu dapat terbebas dari belenggunya dan menikmati lika-liku kehidupan SMA yang begitu berwarna seperti murid-murid lainnya.
......................
"Dor". Freya mengejutkan Alea yang dari tadi masih berdiri di depan jendela kaca kelasnya sambil mengamati pertandingan sepak bola dilapangan seberang kelasnya.
Alea terkejut dengan kedatangan sahabatnya yang tiba-tiba itu.
"Lagi liat apa sih, serius amat". Freya menarik meja ke arah samping jendela dan duduk di atasnya.
"Duduk sini". Pinta Freya pada Alea, tanganya sibuk mengelap bagian permukaan meja untuk diduduki Alea.
Alea menjinjitkan kakinya untuk meraih tinggi meja dan duduk di samping Freya. Dua sahabat itu duduk menghadap lapangan yang sangat ramai itu.
"Lo nggak lagi nyari Dewa dari sini kan". Ledek Freya dengan senyum jailnya.
"Kejauhan, mana kelihatan". Jari-jari lentik Alea membenarkan poninya yang sedikit berantakan.
"Wow, ternyata bener nih lagi nyariin Dewa". Lengan Freya menubruk lengan Alea dengan sedikit keras.
"Enggak lah". Jawab Alea dengan muka sebal.
"Jadi, gimna Dewa menurut lo? "
"Gimna apanya? "
"Ya orangnya lah, dia ganteng kan? "
"Heem". Alea menjawab dengan malas. "Ngomong-ngomong kenapa lo nulis misi buat jadi pacar Dewa sih?". Tanya Alea dengan wajah penasaran nya.
"Emmm,,, iseng aja sih, hahaha". Tawa Freya puas.
"Jangan-jangan lo sendiri yang suka sama Dewa". Selidik Alea dengan ujung alisnya yang saling bertemu.
"Tenang aja, dia bukan kriteria cowok yang gua suka".
"Emang siapa cowok yang elo suka? kok gue gak tau".
"Hahaha, tenang aja orangnya belum muncul".
"Dasar aneh". Alea ikut tersenyum tipis.
"Gue rasa misi ini impossible banget deh". Pandangannya menerawang jauh ke cakrawala.
"Belum juga di coba uda pesimis".
"Gimana caranya gue jadi pacarnya, dia aja gak tau gue hidup".
"Hahaha, lo lucu amat sih"
"Lo hanya perlu hadapin dan perjuangin, dan kita lihat hasilnya".
Jari Freya sibuk merogoh saku bajunya.
"Kalau cuman di omongin emang gampang, tapi susah banget ngelakuinnya".
"Makanya dicoba dulu". Dari dalam saku bajunya dia mengeluarkan dua permen bergagang.
"Gue aja nggak tau mau mulai misi ini dari mana? " Alea tertunduk lesu.
"Tenang aja, gue uda punya ide bagus biar lo bisa deket sama Dewa". Freya memberikan satu gagang permennya ke Alea.
Alea mengambil permen yang disodorkan Freya dengan memasang wajah penasaran sekaligus curiga.
"Rencana gila apa yang uda lo rancang kali ini? "
"Hahaha,,, " Jari Freya sibuk membuka bungkus permen ditangannya.
"Lo belum isi formulir penjurusan yang kemarin kan?
"Iya belum". Alea hanya memegangi permen pemberian Freya.
"Lo uda boleh isi sekarang, tapi lo jangan masuk jurusan science, lo harus masuk jurusan social". Freya memasukan permen yang di tangannya ke mulutnya.
Alea mematung hanya menatap Freya dengan muka bingungnya.
Sadar ekspresi sahabatnya yang kaget dan kebingungan Freya lantas menjelaskan tujuannya.
"Jadi gini", Freya memasang wajah serius sambil mengeluarkan permen dari mulutnya. "Cara cepat agar lo bisa dekat dengan Dewa adalah dengan menjadi teman sekelasnya".
"Gue uda observasi dan wawancara beberapa teman sekelasnya kalau kemungkinan besar Dewa bakal masuk jurusan social". Jelas Freya dengan penuh percaya diri.
Alea hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal saat mendengar ide gila dari sahabatnya itu.
"Kalau lo satu kelas sama doi, otomatis lo juga bakal sering ketemu sama doi. Dengan begitu lo bisa dengan mudah ndeketin doi juga". Freya menyelesaikan penjelasannya dengan wajah bangga sambil memasukkan permen ke mulutnya lagi.
Alea terdiam, bola matanya bergerak ke kanan ke kiri mempertimbangkan ide Freya yang sebenarnya sedikit berlebihan menurutnya.
"Gimana cara gue njelasin masalah jurusan kalau Bokap dan Kak Farrel tanya? " Masalah pemilihan jurusan memang bukan masalah sederhana bagi Alea, karena Ayah dan Kakaknya sangat perduli dan ketat dengan pendidikannya. Ayah Alea sendiri merupakan seorang Dokter dan Kakaknya sekarang sedang belajar di Fakultas Kedokteran terkenal. Kemungkinan besar kedua orang itu berharap Alea mengikuti jejak keduanya, terlebih lagi Alea memang termasuk siswa genius.
Freya melupakan elemen paling penting sebagai seorang anak sekolah, kenyataan bahwa mereka hanya anak-anak remaja yang kehidupannya pasti selalu diawasi dan diatur oleh orang dewasa, terutama keluarganya merupakan sesuatu yang mutlak adanya.
Namun bukan anak remaja namanya jika langsung setuju dan patuh terhadap semua peraturan yang ada, mereka cenderung mengambil keputusan spontan dan tidak memikirkan akibat yang akan terjadi di kemudian hari.
Pembicaraan tentang strategi mendekati Dewa siang itu berhenti sampai di situ, mereka kemudian hanya menceritakan hal-hal random yang terjadi disekolah. Mereka belum menemukan ide bagaimana harus melanjutkan misi tersebut. Alea berencana menanyakan pendapat ibunya terlebih dahulu tentang keinginannya bergabung di jurusan social. Ibunya adalah satu-satunya orang yang tidak terlalu ketat terhadap pendidikan anak-anaknya, dia cenderung terbuka dan fleksibel dengan pilihan yang diinginkan anaknya. Alea berharap ibunya dapat mendukung dan membantu dia untuk dapat masuk di jurusan social.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!