NovelToon NovelToon

Istri Sang CEO Yang Tak Diberi Nafkah

Undangan online

Daisy mendongak sejenak dari buku yang dibacanya saat terlihat notifikasi aplikai hijau di layar ponselnya. Matanya membulat berbinar saat membaca nama yang terlihat di layar. Ina. 

Ardina. Sahabat yang hampir 3 Bulan menghilang bak ditelan bumi itu kini menghubunginya lagi. 

Hi.. Semoga kamu bisa hadir ya, sayang~ ucap Ardina di layar yang membuatnya menatap heran. Pasalnya sahabatnya itu kini tengah menjalani kuliah di jepang. 

Terlampir juga sebuah vidio. Dengan senang hati Daisy membukanya. Tapi betapa terkejutnya ia saat melihat ternyata itu adalah sebuah undangan online. 

Awalnya ia menyunggingkan senyum bahagia. Tapi seketika dunianya serasa runtuh saat melihat nama yang tertulis berdampingan dengan nama Ardina. Mohammad Ebra. 

Berkali-kali ia memastikan nama alamat dan nama bin yang tertulis disamping Ebra. Semuanya sama. Ya. Ebra-Nya. 

Ebra yang 2bulan ini begitu mengusik fikiran dan hatinya. Ebra yang selama ini tak pernah lupa memberinya kabar. Setidaknya sebelum ia menghilang. 

"Ebra..?" Gumam Daisy pelan. Seketika bahunya lemas. Matanya memanas. Hati yang baru beberapa menit lalu terasa bahagia kini sakit seperti ditusuk sebilah pisau tajam. 

Perlahan sebutir bening cairan kristal jatuh. Tak berapa lama disusul dengan butir-butir kristal yang lain. Tangisnya pecah tak terbendung sudah. 

Masih dengan ponsel digenggaman tangan yang sudah lunglai kebawah. Ia mendongak. Merasakan sakit yang teramat sangat. 

"Engga mungkin." Gumamnya masih ingin berpikir positif mungkin saja ada Ebra yang lain bukan Ebra-Nya. 

Segera ia mengangkat lagi ponselnya dan segera mencari nama Ardina disana.

"Halo.." Sapa suara di sebrang. Suara yang masih amat sangat Daisy kenali. 

"Hm… Ardina apa kabar?"

"Baik… kamu gimana?"

"Sebelumnya baik. Tapi sekarang kaya nya lagi ga baik-baik aja. Hahaha." Jawab Daisy dengan tawa nyaring yang terdengar hambar. 

"Aku tau kamu mau ngomong apa. Maaf ya sy. Udah lama aku sayang sama Ebra. Kamu baik-baik ya disana. Biar aku jagain Ebra disini. Biar kamu ga khawatir lagi sama keadaannya rutinitasnya dan kesetiaannya. Sekali lagi maaf. Akan kupastikan Ebra sehat dan bahagia sama aku disini. Semoga kamu bisa ketemu orang yang lebih baik dari aku dan Ebra ya…" Jelas Ardina panjang lebar yang seketika membuat tangis Daisy semakin pecah. 

Meski ada banyak pertanyaan dan pernyataan dikepala, tapi Daisy tak mampu mengungkapkannya. Sesak. Ia bahkan sulit untuk menghirup udara dengan benar. 

Tanpa basa-basi Daisy menutup telfonnya dengan melemparkan ponselnya ke dinding sekuat tenaga sampai hancur. 

"Aargh.!" Jeritnya tertahan. Ia pukul-pukul dadanya yang mendadak terasa sesak seolah tak bisa menghirup oksigen dengan benar. 

Ia lampiaskan sakit yang mendadak ia rasakan lewat jerit tangis tertahan. Andai ia sedang berada sendirian dirumah pasti ia sudah berteriak sepuasnya. 

Sampai akhirnya ia tertidur saat kelelahan karena sudah hampir setengah hari menangis tanpa henti. 

****

"Masak apa, Nak?" Panggil Ayah saat Beliau berjalan masuk ke dapur. Semantara Daisy sedang sibuk mengupas terong yang baru saja ia bakar. Sambel terong bakar super pedas emang menu favoritnya saat sedang tidak baik-baik saja. 

"Eh. Ayah.. Daisy mau masak terong bakar yah. Ayah mau lauk ikan apa telor aja?" Tanya Daisy msh tetap dengan pandangan tertunduk menatap terong yang masih ia kupas bagian kulitnya yang gosong. 

Ayahnya diam. Ia perhatikan sejenak  anak kesayangannya yang entah kenapa suaranya terdengar parau. Ia bahkan bisa melihat mata nya yang bengkak seperti habis menangis. 

"Sama kaya adek Isi aja mau yang mana," Jawab Ayah sembari menyiapkan piring dan juga sendok yang akan dipakainya makan bersama Daisy. 

"Ka Hera telfon adek kah? Gimana kabar kakak?" Tanya Ayah lagi saat melihat putrinya diam dan terus tertunduk. Jelas terlihat ia sedang berusaha menyembunyikan mata nya meski tentu saja usahanya sia-sia. 

"Terakhir telfon kemarin, yah. Katanya baik-baik aja.."

"Dek…" Ayah memegang tangan Daisy saat ia akan beranjak setelah menaruh cobek yang berisi sambel dan terong bakarnya. 

"Ya. Yah?"

"Lihat Ayah. Kamu kenapa? Duduk sini cerita." Dani menarik tangan anaknya agar ia mau duduk disebelahnya. Sekarang makin terlihat jelas mata Daisy yang memerah dan bengkak lumayan parah. 

Diam. Daisy masih diam tertunduk. Matanya sayu menatap kedua tangannya yang sibuk saling menautkan satu sama lain. Ia berusaha mengalihkan pandangannya sebisa mungkin dari Ayahnya. 

"Gak mau cerita sama Ayah?"

"Yaudah kalau gitu adek disini aja biar Ayah yang nyiapin makanannya." Baru saja Dani hendak beranjak Daisy menarik tangannya untuk kembali duduk. 

"Maafin adek yah. Adek sama Ebra gabisa nepatin janji buat tunangan 3 Bulan lagi." Suaranya hampir tercekat ditenggorokan saat Daisy mengatakan itu. Sulit. Sulit sekali, tapi Dani harus tahu.

Padahal Dani sudah amat sangat akrab dengan Ebra. Karena dulu hampir setiap hari Ebra main kerumah Daisy bersama Ardina tentunya. Mereka memang bersahabat sejak kecil. 

Ayahnya itu bahkan heboh sekali kemarin saat memilih kain untuk pertunangannya. Dan kakaknya juga berjanji akan tetap menyempatkan pulang meski sedang hamil besar. 

Airmata Daisy kembali jatuh tak tertahan saat mengingat semua persiapannya dan keluarga yang sudah berusaha menyiapkan acaranya. 

"Engga.. Daisy gamau nangisin Ebra, yah. Ebra jahat. Ebra udah jahat sama kita." Ia mengusap air matanya dengan kasar. Tapi justru mengalir semakin banyak. 

"Sudah. Keluarkan jangan ditahan," Ucap Ayahnya berusaha menenangkan putri kesayangannya yang sudah 25tahun ia besarkan sendirian. 

Ia memeluk Daisy pelan sembari menepuk punggung Daisy lembut. Tapi itu justru membuat tangis Daisy semakin kencang hingga sesenggukan. Dani mengusap pipinya cepat saat sebutir airmata tiba-tiba ikut jatuh. Ia kemudian mendongak agar airmatanya tidak ikut berjatuhan. 

Ia menatap muka Daisy nanar. Daisy  masih sibuk mengusap airmatanya, padahal sudah hampir satu jam ia menangis. Dan Dani pun masih setia menemaninya. 

Perlahan muka nya yang tadi sayu dipenuhi amarah. Padahal beberapa hari lalu Daisy masih begitu semangat saat membahas hari pertunangannya meski memang airmuka nya terlihat berbeda tapi tak ia sangka masalahnya sebesar ini. 

Beberapa hari lalu pun Ayahnya berusaha menghubungi Ebra, karena melihat putrinya yang berubah pendiam dan seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Pun saat ia tanyakan tentang Ebra ia selalu berusaha menghindar. 

Tapi nihil. Terakhir ia hubungi kemarin malam justru tidak aktif. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua. Tapi memang sepertinya Daisy lah korbannya. 

"Daisy? Makan dulu, ya. Nanti dingin gaenak." Ucap Dani mengusap pelan lengan putrinya. 

"Maaf Yah. Gara-gara aku ya makanannya jadi hampir dingin."

"Engga dong sayang. Masakan kamu tetep enak,"

"Meski aku masak rumput juga kata Ayah pasti tetep enak."

Dan merekapun tertawa bersama. Sungguh ditengah banyaknya drama keluarga. Daisy merasa sangat beruntung memiliki Ayah yang begitu menyayanginya. Rasanya apapun masalahnya akan terasa ringan asal Ayahnya ada disampingnya. 

"Ayah gamau tanya aku dan Ebra kenapa?" Pancing Daisy hati-hati. 

"Sudah. Kamu masih punya Ayah. Ayah dukung apapun keputusan kamu." Jawab Dani membelai pelan puncak kepala Daisy. Daisy pun segera berhambur ke pelukan Dani. Lega rasanya. Perasaannya jadi jauh lebih tenang. 

~Happy Reading. ~

Mohon untuk tidak Boom Like dan Spam Like ya.! Demi kebaikan karya dan Author. ❤

Aku Harus Bahagia

"Hati-hati dijalan." Ucap Dani mengecup pelan dahi Daisy penuh sayang. 

"Pasti yah. Aku berangkat dulu, ya. Nanti kalau udah sampai dirumah kak Hera aku hubungi Ayah," Jawab Daisy dan segera masuk ke dalam mobil. 

Kini ia sedang ingin pergi ke rumah kakaknya yang katanya ngidam ingin bertemu Daisy. Padahal ia tahu. Dani pasti sudah sedikit banyak bercerita tentang drama tangisnya kemarin. 

Hera memang se over itu. Ia selalu ingin melindungi Daisy. Bahkan dulu saat masih bersekolah di SMA yang sama, Hera sempat menonjok teman sekelasnya hanya karena ia tidak meminta maaf karena sudah menyenggol Daisy sampai jatuh saat di kantin. 

Kini ia penasaran sekali respons apa yang akan Hera berikan. Tapi mengingat Ebra ada di Jepang selamatlah kau Ebra. Karena gak mungkin juga Hera menyusul Ebra sampai kesana. 

Butuh waktu 3jam untuk sampai ke kota Batu. Daisy harap ia bisa menenangkan diri disana. Apalagi kota batu terkenal sebagai kota wisata. Ia bisa lupakan sejenak semua masalahnya disana. 

Setelah 2jam perjalanan akhirnya Daisy istirahat di salah satu minimarket. Demi menghilangkan kantuk yang mulai menyerang. 

Kebiasaan Daisy selalu ngantuk di perjalanan. Padahal tinggal 1jam lagi perkiraan sudah sampai dirumah Hera. 

Ia pun turun dan membeli 2 botol kopi. Tak lupa beberapa camilan kesukaan Freya keponakan manisnya. Jadi makin tak sabar untuk sampai saat ia ingat kembali segala tingkah lucu freya yang baru berusia 2 tahun.

Ia duduk di depan minimarket dan istirahat sejenak sambil menghabiskan kopi yang tadi ia beli. Saat membuka ponsel ia langsung di suguhi beberapa chat dan miscall dari Dani dan Hera. Dua orang itu memang selalu tak sabaran. 

Setelah membalas chat Hera dan Dani, ia pun langsung melanjutkan perjalanan. Karena hari semakin siang. Takut macet kalau sampai di kota saat jam makan siang. 

***

"Tantyeeeee" Aurora berlari kearahnya saat ia baru saja menutup pintu mobil. Ia pun segera berhambur memeluk kaki Daisy meminta gendong. 

"Hai keponakan manis tantee. Iih gemes." Daisy segera menggendongnya dan menghujani Aurora dengan ciuman. Sementara Hera terlihat sedang berdiri di teras. Tatapannya tampak menahan marah. 

"Assalamualaikum kak." Baru saja Daisy menyodorkan tangan untuk bersalaman, Hera justru menatap heran dan penuh tanya padanya. 

"Waalaikumsalam." Jawabnya singkat sembari masuk ke dalam rumah. Langsung saja Daisy mengikuti Hera yang sedang berjalan kearah meja makan. Seperti biasa. Hera langsung menyendokkan beberapa centong nasi dan lauk, mengambil alih Aurora. Meski sempat berontak akhirnya bayi mungil itu mengalah. 

"Tante makan dulu ya sayang. Laperr hihihi."

"Matamu abis ditonjok preman?" Ucap Hera tiba-tiba tanpa babibu. 

"Tapi preman nya ganteng, Kak." Daisy membalas candaan Hera dengan muka tengilnya. 

"Ebra? Ganteng? Katarak kali mata kamu."

Daisy cuma senyum-senyum sambil terus menyuapkan makanan ke dalam mulutnya agar perut laparnya segera terisi. 

"Ayah telfon, khawatir sama kamu. Padahal udah beli kain dan segala macem. Untung belum pesen catering dan ngundang keluarga," Ujar Hera saat Daisy memasukkan suapan terakhir ayam bakar kedalam mulut mungilnya. Ayam bakar kakaknya emang yang terbaik. 

Daisy diam tak menanggapi ia berjalan ke dapur mencuci tangan dan piring kotornya. Lalu menyerahkan ponsel kepada Hera dan menunjukkan isi chat Ardina pada Hera. 

Seketika Hera menautkan alis dan melotot, mukanya merah padam menahan marah. "Ardina?!" Hanya kata itu yang mampu ia ucapkan. Sungguh tak habis fikir. Hera pun mengenal Ardina. Cukup baik. Karena ia sering main kerumah Daisy. 

"Aku gatau, kak. Ebra memang 2bulan ini sama sekali gabisa di hubungi. Jadi setelah dia dan orangtuanya vidio call dengan Ayah, beberapa minggu kemudian ia seolah hilang." Daisy menarik nafas dan menghembuskan perlahan. Hera mengenggam erat tangan Daisy memberi kekuatan. 

"Lalu kemarin, 3hari lalu tiba-tiba Ardina chat. Ardina dan Ebra sama-sama gabisa dihubungi. Bedanya Ardina menghilang saat aku memberi kabar akan bertunangan."

"Aku sudah coba hubungi ibunya. Ibunya cuma bilang, akan menyampaikan pesanku ke Ebra." Daisy mendongak saat ia merasakan buliran beningnya mulai mendorong keluar. Tidak. Sudah cukup. Sudah cukup 3hari ia menangisi Ebra tanpa henti. Ia harus bahagia. Masih ada Ayah dan Hera yang harus ia bahagiakan. 

"Sudah. Yang pergi biarkan pergi. Nanti  kakak cariin cowok seganteng Taehyung buat kamu."

"Gamau Taehyung. Maunya jungkok."

"Adanya jongkok. Mau?"

Tawa mereka pun pecah. 

"Kak rion kerja?"

"Iya. Dinas lagi di Banyuwangi."

"Padahal kalau di Surabaya enak, kak. Kalau gaada kak Rion masih ada Ayah sama aku."

"Terus gunanya kakak beli rumah buat apaaaa. Iiih." Ucap kakaknya gemas dan mencapit hidung mungil adiknya. 

"Yaudah istirahat dulu. Besok pagi kita berangkat. Terserah kamu mau kemana,"

"Auroraaa. Hiiii cantik mandi, yuuu." Ucap Hera seraya mengangkat bayi manisnya ke kamar mandi. 

Sementara Daisy masih diam ditempat. Ia mengunyah apel ditangannya pelan. Tapi lagi. Buliran bening itu memaksa untuk keluar. Padahal ia hanya ingin tenang. 

"Semangat Daisy. Percuma kamu capek-capek nyetir kesini kalau cuma buat nangis."

"Auroraaaaa tante ikut mandii yaaa." Dan ia pun beranjak dari kursi menyusul Hera dan Aurora yang sibuk bermain air di bath up.

***

"Mbak. Maaf kunci mobilnya jatuh." Daisy menoleh pelan saat ada seseorang yang memanggilnya di belakang. 

"Eh iya ta. Bentar mas."

"Cari yang bener." Ucap Hera menimpali. 

"Bener, loh. Gaada. Makasih banyak ya mas." 

"Sama-sama, Mbak. Duluan ya monggo.. " Pamit orang yang tadi menemukan kuncinya. 

Hera dan Daisy baru saja tiba di salah satu pantai di Malang. Meski butuh waktu hampir 3jam tapi Hera tetap menemani Daisy. Padahal sudah sejak dulu Daisy minta ditemani kesini. Tapi Hera selalu menolak. 

Aurora berteriak girang saat ia melihat pantai. Bayi mungil itu memang sangat senang sekali melihat air dan pasir. Ia pun segera berlari ke arah pantai disusul Hera dan Bu Yati panik. 

Daisy cuma berjalan pelan. Ia nikmati setiap hembus angin yang menerpa wajahnya dan suara ombak yang menggelitik telinganya. 

Ia ingat saat pertama kali kesini Ia bersama Ebra dan Ardina. Mungkin Daisy yang kurang peka. Betapa jahatnya ia pada Ardina. Pasti sudah lama Ardina menyimpan perasaannya untuk Ebra. 

"Nangis lagi?" Ucap Hera yang sudah ada di depan Daisy. 

"Hehe udah cape kak." Jawab Daisy seraya menerima tissu yang e ulurkan Hera. 

"Aku yang salah, kak. Harusnya aku peka dikit sama Ardina. Pasti dia sudah nyimpen perasaannya dari lama."

"Jangan bikin kakak marah, Sy. Yang harus disalahkan itu Ebra sama Ardina. Apalagi kamu kan tahu sendiri gimana sikap Ardina. Dari awal kamu pacaran sama Ebra, coba hitung sudah berapa kali Ardina gonta ganti pacar?"

"Tapi, kak. Kalau aku tau Ardina suka sama Ebra aku pasti ngalah dan dari awal mereka berdua pasti jadian. Aku pun ngga akan ngerasa sesakit ini."

"Daisy. Denger kakak. Apa jaminannya kalau Ardina bakal setia sama Ebra? Kita sama-sama tahu. Bahkan kamu jauh lebih mengenal Ardina daripada kakak." Hera  memeluk Daisy dari samping. Mencoba menutupi muka Daisy yang lagi-lagi menahan tangis. 

Daisy diam. Ia sekuat tenaga mencoba menahan airmata yang sudah menyeruak keluar. 

Saat Hera sibuk bermain dengan Aurora dan Bu Yati. Daisy sibuk dengan pemikirannya sendiri. Ada banyak hal yang ia pendam. Padahal 3bulan lalu hidupnya masih baik-baik saja. 

Meski ia pengangguran tidak kuliah dan tidak bekerja, tapi ia bahagia dengan pekerjaan freelance nya yang bisa ia kerjakan kapan saja. 

Ia punya Ayah dan Kakak serta Keponakan yang luarbiasa cantik dan manis dan juga…. Ebra dan Ardina. Ya. Hidupnya sempurna. 

Perlahan Daisy beranjak dari duduknya. Tanpa ada yang menyadari Daisy mulai berjalan pelan menuju air laut dengan ombaknya yang terlihat tenang tp menghanyutkan. 

Dari sekian banyak manusia di tepi pantai tak ada yang menyadari Daisy dengan tatapan kosongnya telah berjalan semakin ketengah. Hingga ketinggian air sudah sampai ke dadanya. 

Ia terus berjalan pelan. Hera yang menyadari Daisy tak berada ditempatnya semula mengira ia hanya berjalan-jalan. Sampai sepasang mata mulai menyadari keanehan Daisy. 

"Eh. Mbak.! Woi.! Awas tenggelam.!" Teriaknya yang membuat beberapa pasang mata mulai melihat kearah Daisy. Tanpa pikir panjang laki-laki itu segera berlari menyusul Daisy yang sudah tenggelam sempurna. Ia bahkan tak berusaha untuk berenang. Padahal Daisy bisa berenang. 

Hera yang panik menyadari bahwa yang diteriaki laki-laki itu adalah Daisy, segera ikut berlari menuju air laut. 

"Mbak Hera jangan, Mbak." Ucap Bu Yati khawatir. 

"Bu.! Itu Daisy dia tenggelam bu. Aku harus nolong."

"Bahaya, Mbak. Udah ada yang nolong. Inget mbak ini kasian Aurora." 

Hera akhirnya diam. sambil terus memantau Daisy laki-laki itu dan 2lifeguard yang berenang ke pantai. 

Ia baru bisa bernafas lega saat salah satu dari 3 orang yang menyelamatkan Daisy itu berhasil membawa Daisy ketepian. 

Saat sampai ditepi pantai Daisy terduduk lemas. Ia memandang heran sekelilingnya. Orang sudah banyak yang berkerumun. 

"Daisy.! Kamu ngapain.!" Bentak Hera tak sabar. Ia memeluk Daisy sambil menangis. 

"Mbak kenapa?"

"Istighfar, Nduk.!" Teriak Hera. 

"Kamu baru aja berjalan ke tengah laut. Tapi kamu masih bilang kenapa ha ?!"

"Maaf." Ucap Daisy tertunduk lesu. Ia beberapa kali terbatuk merasakan hidungnya pengar. 

Daisy sendiri tak tahu apa yang terjadi. Terakhir ia ingat ia seperti melihat Ebra dan Ardina lalu menghampiri mereka. Bahkan ia tak sadar sudah masuk ke dalam laut. Ia cuma bisa menghela nafas panjang lega karena masih diberi umur panjang. 

Hera sibuk berterimakasih pada laki-laki yang tadi menolong Daisy dan 2orang lifeguard berkali-kali mengingatkan untuk berhati-hati dan jangan melamun. 

Tanpa pikir panjang Daisy Hera Bu Yati dan Aurora pun segera pulang kerumah. Hera berkali-kali memaksa Daisy untuk mampir ke klinik. Tapi ia tak mau. Akhirnya Hera pasrah bahkan saat Daisy sudah sampai di depan klinik pun ia tak mau turun. Hampir saja ia menyeret Daisy tapi akhirnya mengalah saat melihat tatapan memelas Daisy.

"Yaudah. Nanti kalau ada apa-apa bilang Mbak. Ya."

Diaa lagi

"Yeeey. Kita pulang kelumah tantye dan Mbah,?" Aurora kegirangan saat dibantu Daisy memakai baju.

"Iya sayang. Aura kangen sama Mbah?" 

"Kangen anget. Aku mau minta gendong."

Tawa Daisy mengembang. Ia mengusap puncak kepala Aurora dengan gemas. 

"Kak Hera udah siap." Tanya Daisy saat melihat kakaknya masuk sambil menenteng 2 koper besar yang akan ia bawa. 

"Iya. Tinggal nunggu Bu Yati."

"Gausah sama Bu Yati juga gapapa lah, kak. Kan udah ada aku sama Ayah."

"Iya. Berarti kejadian kemarin juga gapapa gitu? Kamu aja masih suka melamun." Sungut Hera tak suka. 

"Lagian cowok kayak kain pel aja ditangisin sampe mau bunuh diri." Sambung Hera lagi yang membuat bibir Daisy seketika maju beberapa sentimeter. 

"Yaudah kak. Aku berangkat sendiri aja. Aura dirumah aja sama Mama, ya." Ucap Daisy pada Aurora yang langsung membuat bayi 2 tahun itu menangis. Ia terus mengikuti langkah Daisy yang berjalan keluar rumah. 

"Dasiiiii. Berhenti kamu.!" Teriak Hera saat melihat Daisy masuk ke dalam mobil. 

"Enggak ah. Mau bunuh diri ajaaaa. Daahhh." Rajuk Daisy yang melongok dari jendela mobil. 

"Iya. Iya. Maaf, sini kamu.!"

"Iih masa minta maaf sambil bentak."

"Iya sayangkuuu sini. Nak. Maafin kakak yaaa." Ujar Hera lagi sambil memasang wajah ter imut yang ia bisa. Tawa Daisy pecah.

Bu Yati yang baru saja datang pun tertawa melihat tingkah Hera yang memasang kedua tanganya di dagu. 

Merekapun segera berangkat membelah embun pagi yang begitu dingin. Udara di kota Batu memang tak pernah gagal. Selalu mampu membuat perasaan Daisy membaik. 

Sayangnya ia harus merelakan beberapa hari liburannya di sana. Karena kejadian kemarin sepertinya membuat Hera begitu takut. Hera bahkan berniat membawanya ke psikolog saat sampai di Surabaya nanti. 

Daisy sendiri sebenarnya sudah sangat membaik. Ia masih belum tahu apa yang ia alami kemarin. Perasaannya campur aduk. Tapi yang jelas Daisy bahagia karena ada Hera dan Ayah disampingnya. 

Daisy bertekad untuk tidak akan pernah mengulangi kejadian kemarin. Ia sama sekali tak ada niat untuk bunuhdiri. 

"Tidur?" Tanya Hera sambil melihat Aura yang terkulai lemah di pangkuan Daisy. Daisy hanya mengangguk. Ia pun juga merasakan kantuk tak tertahan. 

"Kamu tidur aja, Sy."

"Nanti kakak sendirian."

"Emang kenapa kalo sendirian? Kan ga mungkin juga kakak tiba-tiba ilang,"

"Yaudaaahh.. Hooaahm,"

"Sini non. Aura biar sama Ibuk aja." Ucap Bu Yati yang ternyata belum tidur. 

"Eh Ibu kukira udah tidur," Tegur Daisy kemudian Ia memindahkan Aura pelan-pelan ke belakang.

***

Akhirnya mereka sampai. Aurora berteriak kegirangan mencari sang kakek. Sementara Dani agak sedikit terkejut saat melihat Daisy justru pulang bersama Hera. 

"Suami kamu dinas?" Tanya Dani yang sedang menggendong Aurora dan menjabat kedua tangan putrinya. 

"Iya, yah. Daripada sendiri dirumah mending disini aja dulu."

Mereka kemudian masuk ke dalam rumah. Saat didalam rumah, ternyata Ayah ]ada tamu. Daisy mengangguk sopan pada kedua tamu Ayah. Sementara Hera menatap mereka bingung. 

"Eh lho mbaknya. Sudah sehat, mbak?" Celetuk salah satu tamu Ayah yang seketika membuat semua orang menatap heran. 

Terkecuali Hera. Ia mengingat-ingat sambil menunjuknya. "Loh. Anda yang kemarin nolong Daisy kan ya?" Tanya Hera memastikan. Sementara orang yang ditunjuk cuma tersenyum sopan sambil mengangguk

"Ya ampun, pak. Maaf ya. Sekali lagi terimakasih atas bantuan bapak kemarin," Tutur Hera sambil mengkode Bu Yati untuk membawa koper-kopernya masuk ke dalam rumah. 

"Ada apa ini? Daisy kenapa?" Tanya Ayah bingung sambil melirik Daisy yang terdiam. 

"Aduh, Ayah. Ini lo kemarin dompet Daisy jatuh. Mas ini yang nemuin." Ungkap Hera membuat Daisy menghembuskan nafas lega.

Sementara orang yang menolong Daisy hanya mengangguk sambil tersenyum. Daisy lega karena Ia bisa diajak bekerja sama dengan baik. 

"Waah. Apakah ini takdir. Hahahaah," Ucap salah seorang teman Ayah. Kayaknya mereka Bapak dan anak. 

"Bisa aja kau Ruslan." Ayah menimpali gurauan temannya yang ternyata bernama Ruslan itu. 

"Gaada yang gak mungkin Dani. Apalagi anakku ini susah sekali disuruh cari calon istri."

"Hahaha. Kalau belum mau menikah ya jangan dipaksa, ntar kabur." Gurau Dani yang membuat keduanya tampak tertawa bahagia. 

Sementara  anak-anak mereka hanya duduk canggung di samping Dani dan Ruslan. 

Tak berapa lama mereka bertiga mengantar kepergian Ruslan dan Axel yang akhirnya berpamitan untuk pulang.

"Kuharap kita bisa bertemu lagi," Ucap Axel saat berjabat tangan dengan Daisy. Sementara Daisy hanya tersenyum salah tingkah karena Axel memandangnya serius dari atas sampai bawah. 

"Gimana? Lumayan ganteng tuh" Ujar Hera sambil tertawa.

"Gantengan Ebra." Balas Daisy tanpa sadar yang membuat Hera melotot dan Ayahnya menggelengkan kepalanya. Sementara Daisy cuma tersenyum canggung dan berjalan masuk ke dalam rumah. 

Beberapa minggu kemudian Axel benar-benar datang ke rumah bersama dengan Ruslan. 

"Eh.. Axel?" Tanya Hera memastikan

Sementara Axel cuma mengangguk. Dan Ruslan tertawa. 

"Cari Ayah ya, om? Sebentar aku panggilin Ayah." Sambung Hera. 

"Panggil Daisy sekalian ya, Nak." Timpal Ruslan tiba-tiba. Hera cuma mengangguk dan berjalan ke dalam rumah. Sepertinya kali ini ia paham maksud kedatangan dua orang tamu itu ke rumah Ayahnya. 

Daisy berjalan ke ruang tamu dengan terheran-heran. Sementara Hera tersenyum centil. Adiknya memang terlalu tidak peka untuk urusan beginian. 

"Selamat siang, om. Om cari saya?" Sapa Daisy ragu saat ia sudah berdiri di ruang tamu. Melihat kedatangan orang yang sejak tadi dicarinya membuat Axel seketika menoleh. 

Ia tampak terkejut sesaat waktu melihat Daisy berdiri di sana dengan balutan dress biru yang mencetak pinggang rampingnya. Ia tampak cantik meski dengan sapuan make up tipis dadakannya. 

"Ekheem khem.. " Ucap Dani tiba-tiba. Yang akhirnya membuat Axel salah tingkah karena kepergok tengah memandangi Daisy. 

"Duduk dulu, nak." Ucap Ruslan mempersilahkan Daisy duduk. 

"Begini Dani. Selain ada perlu dengan kamu aku juga ada perlu dengan anak gadis kamu ini."

Dani cuma menatap heran dan menamgangguk. Ia diam. Menunggu Ruslan meneruskan ucapannya. 

"Kedatanganku dan Axel kemari ingin menannyakan Mbak Daisy sudah punya pasangan atau belum, ya? Sekiranya belum, Axel mau mengenal Daisy lebih jauh sambil mempersiapkan melangkah ke jenjang yang lebih serius." Ungkap Ruslan serius. 

Hening. Baik Daisy maupun Ayahnya cuma diam. Dani tahu Daisy pasti belum siap untuk menerima laki-laki lain. Apalagi belum genap sebulan semenjak Ebra meninggalkannya. Dani ingin Daisy sendiri yang akan menjawab pertanyaan Ruslan. 

"Ekhem.. Kalau aku terserah Daisy aja Ruslan. Yang menjalani kan juga Daisy, bukan saya. Haha" Balas Dani mencairkan suasana yang sejenak tampak kaku. 

Hera tampak diam-diam menguping di ruang keluarga. Sementara Aura sibuk bermain di dalam kamar bersama Bu Yati. 

Hera sudah tidak heran lagi. Daisy memang cantik. Kejadian seperti ini bukan sekali-dua kali ia lihat dan dengar. Kulit cantik bak salju dan mata bulat Daisy mampu membuat setiap pasang mata laki-laki seolah terhipnotis. 

"Em.. Kalau memang Axel serius Daisy mau, om. Asal dia benar-benar serius dan mau membahagiakan saya nantinya." Tutur Daisy tiba-tiba seketika membuat Axel dan Ruslan tersenyum senang. Sementara Dani justru mengerutkan dahi heran. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!