“Kau sudah dengar kalau hari ini kita kedatangan manajer baru?”
Hmm, Gia Luciella bergumam, menggeleng pelan. Matanya berat, masih mengantuk karena semalam ikut bergabung dalam acara kantor.
“Hai! Semalam kau habis berapa botol?” Jenni, teman kerja Gia tampak bersemangat. “Aku sudah bilang berapa kali, kau hanya perlu menolak para seniormu. Kalau kau terus mengikuti perintah mereka, bisa jadi kau akan selalu menjadi bulan-bulanan mereka. Ingat, kau bekerja di perusahaan ini bukan untuk mereka tapi untuk atasanmu.”
Gia mengusap matanya yang terasa berat. “Ah, menyebalkan. Kepalaku terasa pusing.”
“Pergilah ke toilet, setelah jam makan siang manajer baru kita akan datang. Dengar-dengar manajer kita yang baru nanti sangat kejam. Kau harus terus waspada, Gi!”
“Hmm, aku tahu ... sudah sana pergi. Makan siang masih lama. Biarkan aku tidur sebentar lagi.”
“Dasar!” Jenni melangkah pergi kembali ke meja kerjanya.
Hari-hari terasa berat bagi Gia, lahir bukan dari keluarga kaya membuatnya harus bekerja keras. Ada adik laki-laki serta ibu yang harus dia nafkahi.
Namun Gia memilih tinggal di sendiri di kontrakan susun yang tak jauh dari tempat kerjanya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menghemat pengeluaran setiap bulannya agar sebagian gajinya bisa dia kirim ke rumah.
~♤~
Jam makan siang telah selesai. Semua karyawan kembali ke kursi masing-masing kebetulan saat itu Gia sulit dibangunkan maka dari itu terpaksa dia harus makan roti dengan isian sayur dan irisan daging serta susu kotak di rooftop sendirian.
Gia beruntung memiliki sahabat Jenni yang perhatian, bahkan roti serta susu kotak itu pemberian dari Jenni.
Sluruuuppp ... aaahhhh! “Uuuh, kenyang.” Setelah menghabiskan roti isi dan sekotak susu, Gia membuang kotaknya ke tong sampah.
Tanpa disadari bahwa sejak tadi saat Gia menikmati sepotong roti isinya ternyata ada seorang lelaki melangkah keluar dari pintu. Melihat Gia tengah sibuk menikmati makan siangnya, lelaki dengan postur tubuh yang sangat tinggi itu memilih sisi lain rooftop untuk merokok.
“Aku baru tahu kalau perusahaan ini memperbolehkan pegawainya makan siang di luar jamnya,” ucap lelaki itu.
Gia terpaku. “Siapa yang baru saja bicara? Kenapa aku merasa asing dengan suaranya?” gumam Gia. Menoleh perlahan ke sumber suara itu berasal. Matanya menangkap sosok lelaki jangkung berdiri di tepi gedung.
Kedua lengannya ditekuk, bersandar di plang besi saat lelaki itu bersandar santai. Angin berhembus kencang, membuat jas yang dia kenakan sebagian terbang terbawa angin. Begitu juga dengan dasi serta rambutnya yang lumayan panjang untuk seukuran lelaki. Melambai bak seorang lelaki yang sedang menggoda kaum hawa.
Dia berdiri membelakangi matahari, sehingga wajahnya tak begitu terlihat jelas.
“S–siapa?” ucap Gia terbata.
Lelaki itu menggigit rokoknya, membiarkan kepalanya mendongak menikmati angin yang meniup tubuhnya.
Ssssss, huuuft!
Setelah menyesap rokoknya, lelaki itu menghembuskan asap putih dari mulut dan menghilang terbawa angin.
“Waaah, dia ... dia sangat tampan,” gumam Gia.
“Sesi perkenalan sudah selesai. Dan sepertinya ... kau melewatkan hal itu.” Suara berat keluar dari bibirnya. Lelaki itu melangkah mendekati Gia. Mengambil bungkus roti isi yang telah habis.
Ppssssttt!
Setelah memadamkan rokoknya menggunakan bungkus roti tersebut, lelaki itu mengembalikan apa yang dia ambil dari tangan Gia. “Terima kasih,” ucapnya mengacu pada bungkus roti yang dia gunakan untuk membungkus sisa rokok miliknya. Tanpa rasa berdosa, lelaki itu melangkah pergi meninggalkan Gia begitu saja.
“A–apa-apaan ini?” Gia terpaku, menatap bungkus roti di tangannya.
“Kau!” seru lelaki itu, ternyata dia menghentikan langkahnya di ambang pintu. Kepalanya menoleh ke samping saat berucap. “Kalau tidak ingin mendapat hukuman, segera kembali ke meja kerjamu.” Lelaki yang belum diketahui namanya itu mencoba memberi peringatan. Setelahnya melangkah pergi.
Hah! “Apa-apaan dia. Aku akui dia tampan ... tapi kenapa sikapnya sangat menjengkelkan!” Gia beranjak berdiri dari bangku, melempar bungkus bekas roti isi ke tong sampah. “Tunggu! Aku sepertinya pernah melihat wajahnya ... tapi, di mana?” gumam Gia sembari berjalan menuju pintu.
Dalam perjalanan menuju ke meja kerjanya, Gia teringat ucapan Jenni.
‘Kau sudah dengar kalau hari ini kita kedatangan manajer baru?’
“Ah, atau jangan-jangan dia manajer barunya?”
~♤~
Semuanya telah berkumpul di ruang meeting, termasuk Gia dan juga Jenni.
“Kenapa dengan wajahmu?” Jenni menarik kursi, lalu duduk di samping Gia.
“Entah, aku rasa aku sedang tidak enak badan.” Gia terlihat lesu.
“Kau harus banyak minum vitamin. Manajer kita sekarang akan sering-sering mengajak kita meeting. Dan ingat, jangan membuat kesalahan di depannya atau kau akan menjadi incarannya.
“Kau sejak tadi selalu bilang kalau manajer kita itu mengerikan, aku saja belum melihat wajahnya.”
“Aku lupa, tadi dia datang saat kau makan siang di rooftop. Dia sangat tampan tapi terkenal dengan manajer paling mematikan.”
Gia terdiam. “Jangan bilang manajer baru itu benar-benar lelaki yang aku temui di rooftop tadi?” gumamnya dalam hati.
Ceklek!
Suara pintu dibuka dari luar, manajer baru dari tim 8 melangkah masuk ke dalam membawa beberapa map di tangan.
Kreek!
Lelaki itu menarik kursi, duduk di ujung meja. Kharismanya sungguh sangat luar biasa. Manajer tapi auranya sudah melebihi seorang CEO di perusahaan itu.
Gia lagi-lagi terdiam, mendapati bahwa apa yang dia pikirkan memang benar.
“Gia Luciella, apa yang kau kerjakan sepanjang hari ini?”
Gia melamun, menatap sang manajer tanpa menghiraukan panggilannya.
“Gi, Gia!” Menggunakan sikunya, Jenni membuyarkan lamunan Gia.
“He? Kenapa Jen?” Gia menoleh setelah sadar dari lamunan.
“Manajer bicara padamu!” bisik Jenni dengan hati-hati karena Manajer itu berganti menatapnya tajam setelah menatap Gia.
“Apa seperti ini pekerjaanmu setiap hari? Pantas saja kau tidak ada progres selama setahun ini,” sahut Manajer.
“Apa-apaan dia, jangan bilang dia memeriksa laporan pekerjaanku selama ini?” batin Gia.
“Tentu saja!” sahutnya lagi, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Gia. “Sebagai manajer baru aku harus memeriksa penilaian tentang anak buahnya selama satu tahun ini. Aku harus mengetahui bagaimana anak buahku bekerja. Jika kau keberatan, aku bisa merekomendasikanmu ke divisi lain?”
“Astaga! Benar ucapan Jenni ... manajer ini memang kejam!” Lagi-lagi Gia menggerutu dalam hati dan itu terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.
“Apa kau bekerja di sini dan digaji hanya untuk diam?” Suaranya mulai meninggi.
“M–maaf manajer–“
“Apa kau digaji untuk meminta maaf?” sahutnya lagi.
Gia tertunduk, Jenni merasa buruk untuk sahabatnya itu. Entah apa yang terjadi tapi sikap manajer terlalu kejam kepada Gia.
“Jika kau merasa buruk, minta maaflah pada diri sendiri. Karena itu artinya kau telah menjadi orang yang tidak berguna untukmu sendiri. Sebelum meeting dimulai satu jam yang lalu aku sudah mengirim email padamu. Tapi sepertinya kau tidak membaca emailnya.”
Dengan cepat Gia membuka ponselnya untuk memeriksa email yang dibicarakan manajer.
“Terlambat, jika kau memang bertanggung jawab terhadap pekerjaanmu seharusnya kau tahu jika ada email masuk! Lirikannya mematikan, penuh arti kepada Gia. “Kita mulai meeting!” ucapnya sinis.
~♤~
Huuuft! Gia menarik napas panjang. Hanya bisa menangis sendirian di pantry. Tidak ingin membuat Jenni dan yang lain khawatir, maka dari itu Gia memilih menyendiri.
Hiks! “Sungguh, ini hari paling menyebalkan selama aku bekerja di sini. Apa yang sudah aku lakukan sampai-sampai dia memperlakukanku sejahat itu. Kenapa hanya padaku, apakah hanya aku anak buahnya? Masih banyak yang lain yang lebih tidak teliti dariku.” Gia bergumam, mengeluarkan keluh kesahnya. “Aku tidak akan menangis jika dia memarahiku, tapi aku jadi lemah ketika dia marah-marah di depan semua anak buahnya, apa lagi dia marah hanya padaku!” Gia kesal. “Itu terkesan seperti dia sengaja mempermalukanku di depan umum!”
“Jadi seperti ini kebiasaanmu ... Menangis di pantry dan mengutukku?” sahut Lian, sang manajer yang tiba-tiba masuk.
“Jadi seperti ini kebiasaanmu? Menangis di pantry dan mengutukku?” sahut Lian, sang manajer yang tiba-tiba masuk.
“Hah, tidak lagi,” batin Gia. Secepat kilat mengusap matanya yang basah. “Tidak manajer, aku di sini hanya sedang membuat kopi. Gia tak berani menoleh ke belakang. Memilih bertahan, memunggungi Lian yang baru datang.
Lian melirik jam yang melingkar di tangan. Melangkah mendekat, membuat Gia tak bisa bergerak karena Lian sengaja berdiri tepat di belakangnya. Mengurung Gia menggunakan tubuhnya yang kekar.
Gia sampai merinding, hanya meringkuk ketakutan di bawahnya. Bahunya terenyak ketika Lian membungkuk, berbisik di telinga.
“Jadi kau masih memiliki waktu untuk minum kopi?” Lian tersenyum sinis. Matanya terbelalak melihat telinga serta wajah Gia memerah akibat ulahnya. Jelas, napas panas yang keluar dari mulutnya saat Lian berucap menyapu telinga dan wajah Gia, seolah menggelitik hingga membuatnya merona.
Deg!
Seketika saja, Lian melangkah mundur menjauh waspada. Ghm! “Sepuluh menit lagi aku tunggu di mobil, kita akan pergi meeting keluar.”
“Apa?” Gia memutar tubuhnya cepat, tanpa menyadari bahwa Lian masih berada di sana.
Byur!
Kopi yang baru saja dia buat tumpah mengenai kemeja Lian.
“Eh, manajer? Maaf.” Setelah meletakkan gelas di meja, Gia mengambil lap bersih yang akan dia gunakan untuk membersihkan kemeja Lian yang telah kotor.
Kemeja putih bersih itu telah berlumuran kopi di bagian dada.
“Maaf manajer, aku tidak sengaja.” Tangannya sibuk mengusap dadanya yang basah.
Sementara itu, Lian masih diam mematung. Menggertakkan giginya menahan perih. Bagaimana tidak karena Gia membuat kopi menggunakan air mendidih.
“Maaf, ini pasti sakit.”
Lian terdiam, matanya menatap ekspresi khawatir di wajah Gia saat mengusap bahkan meniup dadanya. “Stop!” Lian terkejut sampai mencengkeram tangan Gia. “Apa yang ingin kau lakukan?”
“Aku tidak bermaksud ... eum, aku hanya ingin melihat lukanya. Kulitmu pasti terbakar manajer, karena aku membuat kopi menggunakan air yang baru saja mendidih.” Gia nyaris menarik dasi dan membuka kancing kemejanya tapi Lian menolak.
“Apa aku menyuruhmu untuk membukanya?”
“E, maaf.” Gia meringis merasakan cengkeraman tangan Lian semakin kuat.
Menyadari bahwa dia telah melukai tangan Gia, Lian pun menepis tangannya. “Aku bisa mengurus diriku sendiri, kau bersihkan saja kekacauan ini. Waktumu tersisa 5 menit, aku menunggu di mobil.” Lian kemudian melangkah pergi.
~♤~
“Lian tak peduli lagi dengan luka bakar di dadanya, saat ini dia sedang melamun di dalam mobil. Menunggu Gia yang tak kunjung datang.
Lian melamun memikirkan tangan Gia. Sebelum dia pergi meninggalkan pantri, Lian sebenarnya melihat bekas merah di pergelangan tangan Gia karena cengkeramannya.
Tok, tok, tok!
Lamunan Lian ter buyarkan oleh suara ketukan pintu.
“Maaf Manajer, membuatmu menunggu.” Gia tergesa-gesa masuk ke dalam sampai lupa meletakkan dokumen di kursi belakang dan memilih untuk memangku semua dokumen tersebut di atas paha.
Bukannya segera mengemudikan mobilnya, Lian justru diam melirik kesal.
“Eum, manajer ... kita bisa berangkat sekarang,” ucap Gia ragu.
“Kau ingin membuat dokumen berantakan nantinya?”
Gia tak paham dengan ucapan Lian. Yang pasti saat ini Gia sangat terkejut ketika manajernya itu tiba-tiba mendekat seperti hendak menciumnya. Tetapi ternyata Lian hanya mengambil tumpukan dokumen dari pahanya lalu memindahkan semua dokumen ke kursi belakang.
“Kenapa ekspresimu seperti itu?” Kening Lian berkerut.
“Ti–tidak apa-apa manajer.” Pipi Gia merona.
Pfftt! “Kau pikir aku akan menciummu?” Hahaha .... “Mimpi, hal itu tidak akan pernah terjadi.” Hahaha.
“Tidak, lagi pula siapa yang berpikir seperti itu.” Gia tidak menyangka akan melihat Lian tertawa. Sejak mereka bertemu siang tadi, Gia hanya bisa melihat raut wajah serius serta suaranya yang galak. Dan kini saat melihat tawa Lian, Gia merasa sedikit tenang. “Syukurlah, aku pikir dia lupa bagaimana caranya tertawa.”
Ghm! Lian berdehem menetralkan suasana.
“Oh ya, manajer. Bagaimana dengan pakaianmu?”
“Memangnya mau bagaimana lagi? Karena kau sudah mengotorinya jadi kau harus bertanggung jawab!”
“He?” Gia kebingungan.
Lian telah menyalakan mesin mobilnya. “Kita harus ke butik dulu ... dan kau yang harus memilih kemeja untukku!”
Akhirnya mereka sampai di sebuah butik.
Gia masih diam memikirkan butik yang dipilih oleh Lian sangatlah istimewa. “Mampus, aku saja belum pernah masuk ke tempat seperti ini. Sekarang dia kemari dan memintaku untuk mengganti kemeja yang kotor? Yang benar saja. Jika dilihat dari sikapnya padaku, manajer pasti akan memilih kemeja mahal. Bagaimana kalau tabunganku habis hanya untuk satu kemejanya saja? Ah ya ampun.” Gia terus bergumam, tak lupa menggaruk rambutnya frustasi.
“Kenapa kau diam saja?” Oh Lian telah melepas sabuk pengamannya tapi terdiam setelah menyadari Gia terus melamun. Melihat dari ekspresi wajahnya saja, Lian tahu jika Gia sedang memikirkan sesuatu. Ujung bibirnya terangkat, Oh Lian tersenyum miring. “Butik ini terkenal mahal karena kualitasnya. Jadi siapkan dompetmu dengan tebal sebelum masuk. Ayo cepat turun kau harus memilihkan kemeja untukku.”
Belum juga masuk, wajah Gia sudah lesu. Berpikir keriput di wajahnya akan bertambah banyak jika terus menghadapi Oh Lian.
Gia hanya diam, mengikuti langkah Lian ke mana pun lelaki itu melangkah.
Lian telah mengambil beberapa kemeja di tangan, lalu memamerkannya kepada Gia. “Bagaimana menurutmu? Lebih cocok yang mana?” Kedua alisnya terangkat sembari menempelkan kemeja yang dia pilih sebelumnya ke dada secara bergantian.
“Apanya yang berbeda manajer? Perasaan warnanya sama-sama putih.”
Ck! Lian berdecak kesal. “Jelas ini akan terlihat berbeda setelah aku memakainya, ayo!” Lian menarik tangan Gia, membawanya ikut bersama menuju ruang ganti.
“Tunggu, manajer?” Gia menahan langkahnya sebelum masuk ke ruangan.
“Apa lagi?”
“Ke–kenapa kau memintaku ikut masuk ke ruang ganti?” ucap Gia penuh waspada.
“Memangnya kenapa, kau bisa melihat perbedaannya nanti. Ayo!” Oh Lian masih menggenggam pergelangan tangannya tanpa dia sadari, Lian menggenggam tepat di tangan yang sebelumnya sempat memerah akibat cengkeramannya.
“Ta–tapi ....” Tak ada kesempatan bagi Gia untuk menolak. Dia akhirnya masuk ke ruang ganti.
Saat berada di ruangan yang lumayan sempit, hanya berukuran satu kali satu setengah meter itu Gia memilih diam. Perhatiannya tertuju ke punggung Lian yang baru saja melepas jasnya.
“Pegang!” perintah Lian kepada Gia.
Tanpa penolakan, Gia menerima jas Lian begitu saja. Dibalik jasnya yang membuat Lian terlihat gagah, kini Gia bisa melihat jelas bahunya yang lebar.
Sungguh sangat lebar, begitu terlihat nyaman ketika Gia membayangkan saat memeluk dan bersandar di sana. “Ah, sial! Lelaki ini benar-benar idaman wanita. Tinggi, tubuhnya sangat nyaman dipeluk dan tentunya sangat wangi. Ah, aku bisa gila jika terus menatapnya bahunya dari belakang.” Gia terus meracau dalam pikirannya.
Perbedaan tinggi mereka sangatlah kentara. Jika di lihat dari depan, Gia yang berdiri di belakang Lian saat ini pasti tidak akan terlihat karena tubuhnya yang mungil.
Deg!
Jantung Gia serasa mau meledak ketika melihat Lian telah melepas kemejanya.
Permukaan kulitnya mulus tanpa cela, terlalu putih untuk ukuran seorang lelaki. Akan tetapi jangan salah, otot yang menyembul di balik kulitnya terlihat jelas.
Gia bisa melihat sayap di punggung Oh Lian yang begitu besar dan keras. “Kenapa ruangan ini tiba-tiba jadi terasa panas?” batin Gia, mengalihkan perhatiannya dari pemandangan surgawi di depan mata.
Lian yang sejak tadi berdiri tenang, hanya menoleh sedikit ke samping. Seolah mengetahui apa yang ada di pikiran Gia.
Ada dua kemeja yang dipilih Lian, kini dia sedang mencoba satu kemeja. Lian sengaja berputar bahkan sebelum mengenakan kemejanya.
Tentu saja hal itu membuat Gia terkejut karena dengan jelas Gia bisa melihat coco chips milik Lian yang terekspose di depan mata.
Gia merona, pipinya sampai memerah, di samping itu ada hal lain yang jauh lebih menarik. Pemandangan yang tak kalah indah di banding dua coco chip itu. Perut Oh Lian benar-benar membuat kaum hawa lemas.
Jika tidak bisa mengendalikan diri, mungkin Gia sudah meneteskan air liurnya saat ini.
Namun bekas merah karena terkena air panas lebih menarik perhatiannya.
Jika tidak bisa mengendalikan diri, mungkin Gia sudah meneteskan air liurnya saat ini.
Dadanya yang sangat bidang, serta bentuk perutnya sixpack dan terlihat keras menarik perhatian Gia.
Anehnya, Oh Lian justru memberikan kemeja barunya kepada Gia.
“Manajer ... kenapa kau memberikan kemejanya padaku?” Gia kebingungan. “Eh!” Gia semakin terkejut saat Lian mendekat, memaksa dirinya mundur hingga tak lagi bisa bergerak karena pintu di belakangnya. Gia memalingkan wajahnya karena dada Lian berada dekat dan tepat di depan mata.
Lian membungkuk di atas Gia. “Kenapa denganmu? Aku hanya ingin memintamu membuka kancing kemejanya.” Lian tersenyum tipis, seolah sangat menikmati apa yang dia lakukan kepada Gia. Melihat Gia gugup membuatnya merasa senang.
“Lalu, kau tidak perlu sedekat ini manajer. Menjauhlah ... kau membuat ruangan ini terasa semakin sempit.”
Pffft! Lagi-lagi Oh Lian terkekeh dibuatnya.
Setelah selesai membuka kancingnya, Gia yang jelas-jelas gugup karena Lian terus memperhatikannya pun memberikan kemeja tersebut. “Silakan manajer.”
Bukannya mengambil kemeja itu, Oh Lian justru membuka kedua tangannya. “Bantu aku memakainya.”
Gia melongo, tidak menyangka Oh Lian akan berucap demikian. “Lihatlah sikapnya, apa-apaan ini kenapa aku merasa dia sangat manja?” Ekspresi kesal bercampur bingung terlihat jelas di wajahnya. “Kenapa berbeda sekali dengan saat di ruang meeting? Orang ini sebenarnya memiliki berapa sifat yang belum dia perlihatkan?” lanjutnya dalam hati. “Maaf manajer, tapi kau lihat sendiri kalau aku juga harus memegang jasmu.”
Tanpa banyak berbicara, Lian mengambil jasnya yang diberikan kepada Gia sebelumnya lalu menggunakan jas itu untuk menutupi kepala Gia.
“Manajer apa yang kau lakukan?”
“Dengan begini kau tidak perlu bingung lagi, kan?”
Gia terlihat seperti anak kecil yang tengah berlindung dibalik jas dari hujan. “Apa-apaan dia ini. Hah ... hari ini benar-benar hari sialku!” gumamnya dalam hati. Mau tak mau akhirnya Gia membantu Lian mengenakan kemeja.
Oh Lian yang tak mau menghadap belakang, membuat Gia harus bersusah payah saat menarik kemejanya agar lengan satunya lagi bisa masuk. Akhirnya Gia dipaksa mendekat hingga posisinya terlihat ingin memeluk Lian dari depan.
Deg!
Gia sempat panik saat takut kalau Lian akan mendengar detak jantungnya yang tak mau tenang sejak tadi. Tapi nyatanya Gia justru dikejutkan setelah tanpa sengaja telinganya menempel ke dada Lian dan mendengar detak jantungnya. “Eh, aku tidak salah dengan kan?”
Lian sepertinya tak sadar kalau degup jantungnya bisa terdengar di ruangan yang sempit itu karena fokusnya tertuju ke wajah Gia yang merona.
Sejak tadi perhatian Lian hanya tertuju pada wajah Gia. Melihat wajah kecil yang tertutup jasnya membuat Gia semakin imut.
Lian menggertakkan giginya, menahan diri agar tak lepas kendali. “Aku bisa memakai sendiri.”
“Kenapa tidak dari tadi?” batin Gia.
Cetak!
Oh Lian menghadiahi sentilan di keningnya.
“Ah, manajer! Kenapa kau memukul keningku. Bukankah seharusnya kau berterima kasih?” Gia protes, tangannya sibuk mengusap kening.
“Jika memiliki sesuatu lebih baik kau keluarkan, jangan kau pendam dalam pikiranmu. Aku sampai bisa melihat kerutan di keningmu! Kau ingin wajahmu cepat kusut di saat usiamu masih muda?”
“Kenapa jadi membahas wajah dan usiaku?” Lagi-lagi Gia menggerutu dalam hati.
“Kan? Aku baru saja selesai bicara tapi kau sudah mengulanginya.” Tangan Lian sibuk mengancing kemejanya. “Aku lebih suka mendengarmu mengumpat di depanku dari pada diam, tapi semuanya terlihat di raut wajahmu yang kusut. Oh Lian telah selesai mengancingkan semua kemejanya. Kini dia memilih fokus dengan Gia, langkahnya mendekat membuat Gia lagi-lagi tersudut karena tak bisa bergerak.
Dug!
Tanpa sengaja Gia menabrak sisi pintu di belakangnya, Lian terlalu dekat bahkan mengurung dirinya di dalam kungkungan punggungnya yang kekar.
Lian mendekatkan kepalanya, melewati bibi Gia begitu saja. Menyingkirkan jas yang masih menutupi kepala Gia agar bisa berbisik di telinga. “Ingat, aku tidak suka melihat ekspresi saat kau menahannya.” Bisikan Lian membuat Gia meringkuk menahan geli. Bukannya menjauh, Kesempatan itu Lian gunakan untuk semakin menggoda Gia. Bibirnya semakin mendekat, bahkan menempel ketika Lian berucap di telinga. “Aku harap, ke depannya kau mengeluarkan semuanya di depanku. Teriaklah sepuasmu ... aku menantikan hari itu.”
Perlahan Lian menjauh menegakkan punggungnya, tapi dia terpaku saat melihat Gia tengah memejamkan mata menahan geli akibat ulahnya.
Deg!
Lagi-lagi, Lian menggertakkan gigi menahan diri. “Apa yang sedang kau lakukan? Keluarlah ... aku sudah selesai.”
Secepat kilat Gia membuka mata, kemudian keluar dari ruang ganti karena malu. Akhirnya Gia bisa bernapas lega. Wajahnya sangat merah seperti udang rebus.
Apa yang baru saja diucapkan oleh Lian saat berbisik di telinga terdengar begitu tabu di telinga meski Gia sangat paham betul bahwa ucapan Lian mengacu pada umpatan yang sering tertahan di pikirannya. “Aaarrrh! Sebenarnya siapa yang mesum!” Gia menggerutu saat berjalan menuju kasir.
Tangannya menarik paksa jas milik Lian yang masih menutupi kepala, tak peduli rambutnya menjadi berantakan.
“Permisi, tolong tagihan untuk kemeja yang dipilih tadi.” Gia bermaksud membayar kemeja yang beli Lian, seperti perjanjian di awal bahwa dia diminta tanggung jawab karena telah mengotori kemeja Lian sebelumnya.
“Baik Nona, mohon tunggu sebentar.” Pegawai kasir kemudian membuat struk untuk satu kemeja milik Lian. “Total semuanya 3. 489.999,00 Nona.”
Gia nyaris mati berdiri mendengar tagihan sebesar itu hanya untuk satu kemeja saja. “Be–berapa?”
“Iya, saya ulangi Nona. Semua total untuk satu kemeja putih polos merek Luis Vuitton tiga juga empat ratus delapan puluh sembilang ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah.”
Otaknya langsung ngebul, seakan keluar asap setelah mendengar harga yang begitu fantastis hanya untuk satu kemeja putih polos.
Gia merasa sangat rugi dan itu termasuk pemborosan uang. Dengan uang sebanyak itu dia bisa memberikan sebagian uang untuk ibunya dan sisanya bisa dia gunakan untuk membayar kontrakan. “Kenapa aku merasa sakit hati harus membayar sebanyak itu, sementara aku menabung beberapa bulan untuk dari sisa gajiku saja harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa terkumpul. Ah ya ampun! Apa tahun ini aku akan benar-benar sial?”
Dengan berat hati Gia memberikan kartu atm kepada pegawai kasir untuk membayar tagihan.
Tak lama kemudian Lian keluar dari ruang ganti, kemejanya sangat cocok untuk tubuhnya yang kekar. Tidak kebesaran dan justru terlihat pas sampai terlihat setiap lekukan di dada serta otot di perutnya.
“Maaf Tuan, kekasih Anda tadi sudah membayar tagihannya,” ucap pegawai kasir ketika Lian ingin membayar kemejanya.
“Kekasih?” gumam Lian.
“Iya, dia menunggu Anda di luar.”
Lian menoleh, melihat Gian tengah berdiri di depan butik dengan setia memeluk jasnya. Pfffft! Tawanya lirih, tidak menyangka Gia akan benar-benar membayar kemejanya.
~♤~
Vrooooomm .... Ciiiiiiiiittt!
Gia bertanya-tanya saat Lian menghentikan mobil di tepi jalan. “Manajer? Kenapa kau menghentikan mobilnya?” Perhatian Gia menyapu sekitar.
Setelah melepas sabuk pengaman, Lian kemudian berucap. “Lepaskan pakaianmu!”
Ha!!! Gia menoleh cepat, kedua tangannya menyilang di depan dada. Seolah memberi perisai pada tubuhnya saat mendengar perintah yang tak masuk akal dari manajernya.
“Apa kau tidak mendengarku?” Punggung Lian bergerak maju, mendekati Gia. “Lepas pakaianmu!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!