Sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti tepat di depan pintu masuk gedung yang memiliki 10 lantai.
Seorang pria membuka pintu mobil dan menundukkan kepalanya begitu juga dengan wanita di sebelahnya.
Wanita cantik memakai kacamata hitam dan rambut di kuncir turun dari mobil dengan wajah angkuh.
Berjalan menginjak karpet merah dirinya memasuki gedung dan seluruh karyawan menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.
Si cantik itu bernama Amy Janson, wanita berusia 28 tahun memiliki 2 asisten pribadi. Mereka adalah Tody dan Miley.
Keduanya mengikuti langkah atasannya, menuju ruang kerjanya.
Tak ingin melakukan kesalahan. Dengan cepat, keduanya mampu membaca pikiran atasannya itu sebelum diminta.
Amy duduk di kursi singgasananya dan membuka kacamatanya.
"Panggilkan dia!" perintah Amy kepada kedua asistennya.
"Baik, Nona." Jawab Tody kemudian pergi memanggilkan seseorang yang dimaksud.
Tak lama kemudian, Tody datang bersama seorang pria berusia 33 tahun.
"Tinggalkan kami berdua!" perintahnya kepada Tody dan Miley.
Keduanya mengangguk kemudian pergi.
Amy bangkit dari kursinya dan mendekati karyawannya lalu jemari lentiknya mengelus pipinya membuatnya semakin gugup.
"Siapa namamu?" tanya Amy menatap wajah pria itu dengan menyeringai.
"Kenapa aku tidak asing dengan wajahnya?" batinnya.
"Aku tanya, siapa namamu?" tanya Amy sedikit meninggikan nada suaranya.
"Emil, Nona."
"Apa kamu sudah menikah?"
"Belum, Nona."
"Ciih," Amy tersenyum sinis lalu menurunkan tangannya.
"Apa sudah pernah menikah?" tanya Amy lagi.
"Saya belum pernah menikah sama sekali, Nona."
"Aku tidak suka dibohongi."
"Saya memang belum menikah, Nona."
"Baiklah, aku akan percaya dengan kata-kata kamu hari ini. Jika tidak, tahu akibatnya 'kan?"
"Tidak, Nona."
"Baiklah, aku akan memberitahu hukuman diterima karyawan yang berani berbohong atau menjadi pengkhianat," ujar Amy dengan nada bicara dingin.
Emil menunggu penjelasan atasan barunya itu.
"Pemecatan secara tidak hormat dan kamu juga harus menyerahkan uang sebesar tiga ratus juta ke perusahaan bahkan lebih tergantung kesalahannya."
Emil menelan salivanya.
"Apa kamu paham penjelasan aku?"
Emil mengangguk.
"Keluarlah!" perintahnya.
Emil menundukkan kepalanya lalu pergi.
Amy menjatuhkan tubuhnya di kursi dan memegang dadanya, air matanya hampir saja jatuh. Rasanya sakit sekali mendengar pernyataan Emil jika belum menikah.
Amy mengepalkan tangannya, "Aku akan membalas kalian yang telah menghancurkan hidupku!"
Pintu ruangan terbuka, Tody dan Miley muncul.
Amy dengan cepat memperbaiki posisi duduknya dan memakai kacamatanya.
"Apa Nona sudah memberikan dia hukuman?" tanya Miley.
"Waktunya belum tepat."
"Beritahu kami jika ingin memberikan dia pelajaran," ucap Miley.
Amy mengangguk tanda mengiyakan.
Tody dan Miley pun keluar ruangan.
Amy berdiri dan menghadap ke jendela kaca memperlihatkan bangunan-bangunan pencakar langit dari lantai 7.
Kejadian beberapa waktu lalu muncul dipikirannya.
"Lepaskan aku, Mas!" pekik seorang wanita berusia 20 tahun berkulit sawo matang, namun dekil memegang rambutnya.
"Kamu tuh sudah membuat aku malu!" bentak pria yang merupakan suaminya.
"Aku minta maaf, Mas!" tangisnya.
"Minta maaf, buat apa? Hah! Semua sudah terjadi, mereka pulang karena kamu berkata jujur!" pria itu membentaknya lagi.
"Aku 'kan memang istrimu, Mas!"
"Kamu hanya istri di atas kertas, wajahmu sangat buruk, badanmu bau dan kulitmu tak terawat!" pria itu melepaskan cengkeramannya secara kasar.
"Aku begini karena melayani keluargamu, Mas!"
Tamparan di pipinya membuat wanita malang itu memegangnya dan menahan perih.
"Harusnya kamu bersyukur, aku mau menikahimu dan memberikan tempat yang layak di sini!"
"Aku bersyukur menikah dengan Mas, tapi tolong jangan siksa aku begini. Apapun aku akan lakukan!" air mata tak henti menetes.
"Harusnya kamu tidak perlu memberitahunya kalau kita sudah menikah, biar mereka dapat menjodohkan anaknya denganku!"
"Aku tidak mau dimadu, Mas!"
Pria itu tertawa sinis.
"Ku mohon, jangan mendua!"
"Aku jijik menyentuhmu, makanya ku ingin menikah lagi," ucapnya.
"Aku janji akan mandi yang bersih dan berdandan agar kamu menyentuhku, Mas."
"Percuma kamu mandi, bau badanmu takkan pernah hilang meskipun sabun habis selusin!"
Ingatan tentang penghinaan itu membuat Amy menjerit sekencangnya, "Argh.........."
"Aku akan membuat kalian menderita!" desis Amy mengepalkan tangannya.
Pintu ruangan terbuka, Amy menghapus air matanya dan membalikkan badannya.
Seorang pria tampan masuk dan melemparkan senyuman.
Amy membalas senyuman itu.
"Kamu habis menangis?" tanyanya.
Amy mendekat dan memeluk pria tersebut.
"Kamu pikir aku tidak tahu," ucapnya.
"Sayang, aku tidak menangis." Amy mendongakkan wajahnya menatap suaminya.
Mendorong pelan tubuh istrinya dan menangkup wajahnya, "Aku tahu kamu sudah berbohong."
Amy tersenyum.
"Apa karena dia?"
Amy terdiam.
"Aku sudah pernah melarangmu untuk melakukan ini, tapi kamu memaksa."
"Aku tidak akan puas jika belum membalasnya, sayang."
"Resikonya ini sangat besar."
"Kamu tenang saja, aku janji tidak akan pernah terjebak dengan rayuannya karena dihatiku saat ini hanya ada Ardan Janson." Kata Amy mengecup bibir suaminya.
Ardan tersenyum.
"Bertahun-tahun aku menunggu waktu ini tiba," ujar Amy.
"Jika kamu mengizinkan, mungkin dari beberapa tahun lalu aku akan membalasnya."
"Tidak, sayang. Jangan kotori tanganmu untuk melukai mereka, biarkan aku yang akan melakukannya. Cukup dukunganmu saja kepadaku," ujar Amy.
"Baiklah, sayang. Aku hanya akan memantau kamu saja," kata Ardan.
"Terima kasih, sayang." Amy memeluk kembali suaminya.
"Aku lapar, ayo kita makan diluar!" ajak Ardan.
"Tunggu sebentar, sayang!" Amy meraih tas di atas meja. Keduanya pun keluar ruangan.
Ardan menggenggam erat tangan istrinya, berpapasan dengan Emil yang menundukkan kepalanya.
Emil melihat pasangan suami istri itu dari kejauhan.
"Istri Tuan Muda sangat cantik, ya."
"Sepertinya sangat kejam."
"Jangan bilang begitu, bisa saja wajahnya kejam tapi hatinya baik!"
"Hari ini kita akan dipimpin olehnya."
"Semoga saja dia baik dan tidak kejam."
Begitulah ocehan para karyawan yang menyaksikan Amy bersama suaminya.
"Sepertinya dia mirip dengan mantan istriku," gumam Emil
Seluruh mata tertuju pada Emil.
"Jangan mimpi deh!"
"Mana mungkin wanita secantik Nona Amy seperti mantan istrimu!"
"Aku tidak berbohong, Nona Amy persis seperti dia," kata Emil.
"Lebih baik kamu bangun dan cuci wajah!" saran rekan kerjanya Emil.
"Aku serius," ucapnya lagi.
"Bukankah kamu sendiri yang mengatakan belum pernah menikah?" singgung rekan kerjanya.
Emil terdiam.
Tiga tahun lalu, Emil pernah bilang kepada teman-temannya jika belum menikah. Karena ada satu karyawan wanita cantik yang menjadi targetnya namun hingga sekarang belum menerimanya.
"Kenapa berdiri saja? Lanjutkan pekerjaan kalian!" tegur Tody.
"Iya, Tuan."
Seluruhnya pun membubarkan diri.
"Emil!" panggil Tody.
Emil membalikkan badannya.
"Setelah Nona Amy selesai makan siang dengan suaminya, kamu di suruh ke ruangannya!" perintah Tody.
"Baik, Tuan."
"Sekalian bawa laporan kamu!" lanjut Tody.
Emil mengangguk mengiyakan.
Sejam berlalu, Emil kini sudah berada di ruangan kerjanya Amy dengan posisi berdiri.
Amy memeriksa laporan kerja, lalu merobeknya di depan Emil membuatnya mendelikkan matanya.
Amy menghamburkan kertas yang telah dirobeknya menjadi 4 bagian di depan wajah Emil.
"Kamu bisa kerja tidak!" bentak Aileen.
Galih mengepalkan tangannya atas penghinaan Amy, selama bekerja di perusahaan ini kinerjanya sangat diperhitungkan.
"Ulangi lagi!" perintah Amy dengan mimik wajah marah.
Amy tersenyum puas melihat wajah Emil yang memerah menahan amarah keluar dari ruangannya.
"Ini baru pembukaan Tuan Emil Sudrajat, sebentar lagi kamu akan merasakan yang lebih sakit," batin Amy.
Amy melempar kertas yang sudah sobek ke dalam tong sampah, dirinya begitu kesal. Karena di bawah kepemimpinan Amy, pekerjaannya menjadi tambah banyak.
Emil menjambak rambutnya, "Argh....sial!" makinya.
"Kenapa marah-marah?" tanya rekan kerja Emil yang satu ruangan dengannya.
"Disuruh ulang buat laporannya," jawabnya.
Sontak, temannya Emil itu tertawa.
Emil menyipitkan matanya.
"Baru hari ini aku melihatmu begitu frustasi," ucap temannya.
"Bagaimana aku tidak stress? Dia belum membacanya sampai selesai tapi sudah merobeknya," ungkap Emil.
"Mungkin dia memiliki dendam padamu," celetuknya.
"Baru hari ini kami bertemu, bagaimana mungkin dia memiliki dendam padaku," ujar Emil.
"Siapa tahu kalian bertemu dalam mimpi," ucapnya asal sembari tertawa.
"Puas... sekarang meledekku!" Wajah Emil makin kesal.
Rekan kerja Emil bernama Dion semakin tertawa lebar.
"Jangan mengajakku berbicara, kerjakan pekerjaanmu!" ketus Emil.
"Iya, aku akan lanjut bekerja. Jangan lupa laporan yang diminta Nona Bos!"
"Berisik!" umpatnya.
Dion masih tertawa walau kecil.
Tepat jam 3 sore, Emil kembali mengantarkan laporan yang diminta Amy ke ruangannya.
"Jika tidak sesuai yang saya minta, siapkan sampai benar-benar saya setuju dengan laporan kerjamu," kata Amy tanpa menatap.
"Iya, Nona."
Meraih cangkir kopi dan menyesapnya tepat di atas kertas laporan. Dengan sengaja, Amy menumpahkan sedikit minumannya.
"Upss...." Amy lantas berdiri.
Emil melihat kertas laporannya basah, ia pun berdecak kesal.
Amy lalu menyerahkan laporan tersebut kepada Emil, "Tolong, ulangi!"
Dengan rasa marah yang dipendam, Emil menerimanya dan mengiyakan.
"Jangan pulang sebelum selesai!" ucap Amy.
"Tapi, Nona..."
"Apa ucapan saya kurang jelas?" tanya Amy.
"Sangat jelas, Nona." Emil menundukkan kepalanya.
"Pergilah!"
Emil pun meninggalkan ruangan, dalam hatinya berkata, "Jika aku tidak membutuhkan pekerjaan, mungkin aku akan melemparkan kertas ini ke wajahnya!"
"Emil, aku duluan!" pamit Dion.
"Iya," jawab Emil tak semangat.
"Disuruh ngulang lagi?" tanya Dion.
"Iya, kertasnya basah."
Dion tertawa kecil lalu berkata, "Selamat pulang larut malam!"
Emil mendengus.
Sejam kemudian, Emil kembali ke ruangan atasannya namun tampak gelap. Meja kedua asisten Amy juga telah rapi.
Emil akhirnya bertanya kepada petugas keamanan yang biasanya keliling di setiap lorong untuk memastikan apakah masih ada karyawan atau tidak. "Apa kamu melihat Nona Amy?"
"Mereka baru saja pulang, setengah jam yang lalu," jawabnya.
Emil berdecak kesal.
Petugas keamanan itu pun bergegas pergi.
Emil dengan langkah malas kembali ke ruang kerjanya mengambil tas dan menyimpan laporan tersebut di laci meja.
Tanpa dirinya tahu sepasang mata memantaunya dari kejauhan.
"Jika tahu dia pulang, lebih baik besok saja mengerjakannya!" gumamnya.
***
Esok paginya, Emil begitu panik karena melihat laporan kerjanya di laci yang terkunci malah menghilang.
Emil mengacak rambutnya mencari laporan kerjanya, "Tidak mungkin hilang, aku benar-benar meletakkannya di sini!"
"Pagi-pagi sudah stress, cari apaan 'sih?" tanya Widya.
"Kamu lihat laporan kerjaku?" tanya Emil.
"Tidak, tuh."
"Tidak mungkin laporan itu jalan sendiri, kunci aku yang pegang," ujar Emil.
"Mungkin salah letak," kata Widya.
"Aku yakin meletakkannya di sini!" ucap Emil.
"Buat saja yang baru," saran Dion.
"Itu hanya menghabiskan waktuku," ujar Emil.
"Kalau begitu tinggal pilih saja, mau di kurangi gaji atau buang waktu untuk membuatnya," kata Dion.
Emil akhirnya mengikuti saran dari temannya.
Jam 10 pagi, Emil datang ke ruangan atasannya. Begitu membuka pintu, gegas menundukkan pandangannya. "Maaf!"
Amy sedang berciuman dengan suaminya di kursi singgasananya.
Amy melepaskan tautan bibir suaminya lalu berdiri dari pangkuan.
"Kenapa masuk tidak mengetuk pintu?" tanya Amy dengan wajah kesal.
"Saya disuruh masuk oleh Tuan Tody, Nona." Jawab Emil.
Padahal Amy memang sengaja menyuruh asistennya itu untuk mempersilakan Emil ke ruangannya.
"Lain kali ketuk pintu, apalagi saya sekarang atasan kamu!" sentak Amy.
"Saya minta maaf, Nona!"
"Berikan laporan kamu!" pinta Amy.
Emil menyerahkannya.
Amy membacanya dengan posisi berdiri karena suaminya duduk di kursinya dan mencoba tak mendengarkan percakapan dirinya dengan Emil.
"Mengerjakan hal semudah ini saja, sampai dua hari. Bisa kerja atau tidak?" tanya Amy dengan marah.
"Baru dengan Nona Bos saya disuruh mengulanginya," Emil menyela.
Amy menutup berkas dengan kasar lalu melemparkannya ke arah Emil dan berkata penuh emosi, "Kamu pikir, saya bodoh. Tak dapat membaca laporan yang kamu buat!"
Emil tak menjawab.
"Ulangi lagi!" perintah Aileen.
"Tapi, Nona..."
"Kalau tidak mampu, jabatanmu akan saya turunkan!" ancam Amy.
"Tidak, Nona. Saya akan mengulanginya," janji Emil.
"Pergilah, jangan lupa mengetuk pintu. Kamu mengganggu waktuku dengan suamiku saja!" singgung Amy.
"Sekali lagi maaf, Nona. Permisi!" Emil pun berlalu.
Selepas Emil pergi, Ardan berdiri menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana.
Amy menghela napas.
Ardan mendekati istrinya dan memeluknya, "Aku tahu ini takkan mudah bagimu, kamu bukan seseorang yang pemarah."
"Aku bukan yang dulu, sayang. Mereka menganggap diriku lemah, tak sanggup melawan kedzaliman."
"Semoga sifat ini kamu tunjukkan kepada mereka saja," harap Ardan.
"Tentunya, sayang." Kata Amy dengan lembut.
Di ruang kerjanya, Emil meletakkan berkas di meja secara kasar membuat Widya dan Dion beserta 2 rekan lainnya tersentak.
"Bisa tidak kalau melakukan apa-apa tak mengagetkan orang," omel Widya.
"Sorry," ucap Emil lirih. Duduk dan meremas wajahnya.
"Ditolak lagi?" tanya Dion.
Emil mengangguk.
"Apa alasan Nona Bos menolak laporan kerjamu?" tanya Widya.
"Aku juga tidak tahu, dia melemparnya tanpa memberitahu alasannya," jelasnya.
"Pasti kamu pernah melakukan kesalahan besar, makanya Nona Bos sangat membencimu," celetuk Widya.
"Kesalahan apa? Baru dua hari bertemu dengannya," kata Emil.
"Kalau begitu, buat saja yang baru," usul Dion lagi.
"Nanti saja aku membuatnya, tunggu Tuan Bos pergi," ucap Emil.
"Memangnya kenapa kalau ada dia? Bukankah dapat menjadi penolongmu?" tanya Widya.
"Tuan Bos hanya duduk diam, tak peduli aku dimarahinya. Apalagi kalian tahu, bisa-bisanya mereka ciuman di ruang kerja. Gila banget!" ungkapnya.
Dion dan Widya tertawa.
"Biarkan saja mereka ciuman, Lagian ini perusahaan miliknya. Kamu saja yang iri melihat kemesraan Tuan Bos dengan istrinya," sindir Dion.
"Aku cemburu? Buat apa? Kenapa harus di kantor? Apa mereka sebenarnya pasangan yang menikah siri?" tanya Emil kepada rekan-rekannya.
"Jangan asal fitnah, nanti kualat!" celetuk Widya.
"Aku tidak fitnah, lagian mereka memiliki rumah. Buat apa melakukannya di kantor. Oh, atau bisa jadi mereka adalah pasangan selingkuh terus menikah. Buktinya, kita sebagai karyawan tak pernah ada undangan dari Tuan Bos," tutur Emil.
Widya dan Dion saling pandang.
"Kalian berpikir sama dengan aku, 'kan?" tanya Emil.
"Aku sudah tiga tahun di sini, tiba-tiba saja tanpa ada acara perkenalan. Nona Bos muncul dihadapan kita menggantikan suaminya, padahal tak pernah mendengar kabar pernikahannya," ungkap Emil.
"Jangan pernah menyebarkan berita buruk tentang Nona Bos!"
Mendengar suara bariton, membuat Emil dan rekan kerja lainnya terperanjat. Gegas mereka menoleh dan begitu ketakutan melihat yang berbicara.
Tody berdiri dengan wajah marah dan dibelakangnya ada Amy yang bersedekap menyilang tangannya.
"Kalian tahu akibatnya 'kan jika berani menyebarkan berita buruk tentang Tuan Bos dan istrinya?" tanya Tody memperhatikan satu persatu karyawan yang menunduk.
"Pemecatan secara tidak hormat dan gaji di kurangin!" lanjut Tody berucap.
"Lanjutkan pekerjaan kalian, ini kantor bukan tempat untuk menggosip!" sahut Miley.
"Baik, Tuan, Nona!" ucap Emil dan rekan kerja lainnya.
"Kamu!" tatapan tajam Amy ke arah Emil.
"Saya minta kamu mengerjakan tugas yang diminta, bukan menjelekkan atasanmu!" singgung Amy.
"Maaf, Nona!" Emil menundukkan kepalanya.
"Tody, potong gajinya bulan ini sebesar tiga puluh persen!" titah Amy.
Emil mendongakkan kepalanya seakan ingin berkata menolak keputusan atasannya itu.
"Baik, Nona Bos. Dengan senang hati!" kata Tody tersenyum menyeringai.
Amy lalu meninggalkan ruangan karyawannya, di susul Tody di belakangnya.
"Sial!" Emil merutuki.
Dion dan rekan lainnya mengelus dada, mereka selamat dari hukuman.
Emil duduk, menjambak rambutnya. Ingin marah dan memaki dirinya yang tak mampu apalagi posisinya di kantor terancam. Bisa saja, dipecat hari ini juga secara tidak hormat.
"Aku akan membalas kamu, Amy Janson!" batin Emil kesal.
Amy kembali ke ruangannya dengan hati yang senang, perlahan tetapi pasti dendamnya kepada sang mantan suami segera terbayar.
"Sudah main-mainnya, sayang?" tanya Ardan.
"Untuk saat ini sudah, sayang." Amy tersenyum puas.
"Kalau begitu, ayo kita keluar dan bersenang-senang!" ajak Ardan.
"Tidak, sayang!" tolak Amy lembut.
"Kenapa?"
"Bagaimana dengan pekerjaan aku disini?" tanya
"Aku berada di belakang kamu, jadi semua keputusan ada padaku. Kamu hanya memainkan peran saja. Jangan terlalu pusing memikirkan perusahaan, aku cuma ingin dirimu menjadi istri dan ibu yang selalu menunggu dan menyambut aku penuh cinta di rumah."
"Oh, suamiku. Aku beruntung sekali bertemu dengan kamu," Amy memeluk Ardan dan mengecup pipinya.
"Aku juga," ucap Ardan.
"Pulanglah, nanti malam kita bertemu lagi di rumah. Aku akan memberikan kejutan buat seseorang," ujar Amy.
"Berhati-hatilah, sayang. Kabari aku jika ada masalah," kata Ardan.
"Baik, suamiku." Amy tersenyum mengangguk.
Ardan lalu pergi.
Delapan tahun lalu, Amy yang benar-benar terpuruk serta babak belur melarikan diri dari rumah suaminya yang telah menikahinya selama 2 tahun tanpa menyentuhnya.
Malam itu di tengah guyuran hujan deras, Amy dengan langkah terseok-seok meninggalkan kediaman mewahnya.
Di jalanan sepi, Amy menyetop setiap kendaraan yang melintas namun tak ada satu pun berhenti sekedar menanyakan dirinya.
Amy tak putus asa, dirinya pun tetap melanjutkan perjalanan. Karena lelah dan tak sanggup akhirnya ambruk.
Sebuah mobil berhenti tepat di tubuhnya yang ambruk. Seorang pemuda berusia 24 tahun turun dan menghampiri Aileen.
"Nona!" panggilnya dengan suara keras.
Amy yang tak berdaya tidak mendengarnya.
Pemuda tersebut menutup payungnya, membuka pintu dan melemparkan ke dalam mobil secara sembarang.
Dengan pakaian basah, pemuda tersebut menggendong tubuh Amy dan memasukkannya ke dalam mobil.
Mengendarai mobil dengan hati-hati, pemuda itu menuju ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya dia turun dan memanggil petugas medis, gegas membuka pintu dan membopong tubuh Amy dan meletakkan di atas brankar.
"Tolong, selamat 'kan dia!" berkata dengan bibir bergetar.
Gegas petugas medis membawa Aileen ke ruangan UGD.
Pemuda tersebut diminta mengurus administrasi rumah sakit.
"Siapa nama pasien, Tuan?" tanya karyawan rumah sakit.
"Saya tidak tahu, dia tergeletak di jalan dan saya menolongnya," jawabnya.
"Baiklah, kalau begitu. Nama Tuan siapa?"
"Ardan."
Sejam setelah pemeriksaan, Amy dibawa ke ruangan rawat inap VVIP.
Ardan kini telah berganti pakaian yang dikirim oleh temannya yang tinggal tak jauh dari rumah sakit.
Amy membuka matanya dan melihat sekelilingnya. Ardan mendekatinya dan tersenyum.
"Siapa kamu?" tanya Amy memundurkan kepalanya.
"Aku Ardan, tadi aku menemukanmu di jalan dengan kondisi pingsan lalu membawamu kemari. Siapa nama kamu?" Ardan balik bertanya.
"Aku pingsan?" tanya Amy terbata.
Ardan mengangguk.
Amy ingat jika dirinya berusaha meminta pertolongan di tengah guyuran hujan dan gelapnya malam.
"Nama kamu siapa?" tanya Ardan sekali lagi.
Amy menatap wajah Ardan lalu menjawab, "Al...ya."
"Alya. Alamat rumah kamu di mana? Biar ku antar pulang karena aku sama sekali tidak menemukan identitas diri di saku rokmu dan kamu juga tak membawa tas."
Bukannya menjawab, Amy malah menangis.
Ardan tampak bingung karena tiba-tiba Amy menangis.
"Aku tidak mau pulang, tolong jangan beritahu siapapun aku di sini," pintanya kepada Ardan dengan air mata mengalir.
"Kenapa kamu tidak mau pulang?" tanya Ardan.
"Mereka akan menyiksaku," jawab Amy.
"Kenapa kamu di siksa?" tanya Ardan.
Amy lalu bercerita alasan dirinya di siksa. Keluarga suaminya tidak menyukai dirinya dan menganggapnya sebagai budak.
Mendengar cerita Amy, Ardan merasa iba lalu berkata, "Hmm, baiklah. Aku tidak akan memberitahu keberadaan kamu di sini."
"Terima kasih, Tuan." Kata Amy begitu lega.
Ardan tersenyum dan mengangguk.
Selama Amy di rawat, Ardan yang selalu menjaganya. Keduanya sangat begitu akrab dan saling mengobrol.
Amy menceritakan asal usul dirinya yang merupakan anak yatim-piatu lalu di asuh pamannya yang merupakan adik dari ayahnya. Hingga diusia 18 tahun dirinya dilamar oleh keluarga suaminya.
Paman Amy sangat begitu percaya kepada keluarga suaminya sehingga dengan senang hati memberikan keponakannya.
Apalagi keberadaan Amy sangat tidak disukai istri pamannya.
"Apa kamu mencintainya?" tanya Ardan.
"Aku berusaha mencintainya, tapi penyiksaan yang sering dilakukannya membuat rasa itu terkikis."
"Apa kalian memiliki anak?"
Amy menggelengkan kepalanya.
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?"
"Aku ingin menghilang dari pandangan mereka dan mencari pekerjaan agar dapat bertahan hidup."
"Apa sebelumnya kamu pernah bekerja?"
"Tidak."
Ardan terdiam dan berpikir.
"Aku tidak masalah menjadi pembantu rumah tangga asal hasil uangnya berkah," ujar Amy menyakinkan Ardan.
"Baiklah, kamu boleh bekerja di apartemenku. Kebetulan tidak ada yang bersih-bersih di sana."
Amy dengan cepat mengangguk.
"Aku belum bekerja, jika gajinya ku bayar pakai tempat tinggal dan makan gratis tak apa-apa 'kan?" tanya Ardan.
Amy mengiyakan.
"Kalau begitu, setelah dari sini kita pulang ke apartemenku."
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit, Ardan membawa Amy ke apartemennya.
Begitu sampai, Amy tampak takjub dengan hunian minimalis namun mewah tersebut.
"Aku tidur di mana?" tanya Amy.
"Kamu di lantai atas," jawab Ardan.
"Tiap hari kamu tinggal di sini?" tanya Amy.
"Aku ke sini paling seminggu sekali," jawab Ardan lagi.
"Oh."
"Kamu tidak perlu khawatir, aku akan berusaha datang seminggu tiga kali." Kata Ardan dengan cepat.
Amy tersenyum lega mendengarnya.
"Alya...."
"Iya."
"Kamu ini 'kan masih status istri orang lain, aku takut jika..."
"Jika memiliki uang, aku akan menuntut cerai darinya," Amy memotong ucapan Ardan.
"Aku dapat membantumu mengurusnya karena ada teman yang bekerja sebagai pengacara."
"Terima kasih banyak, Tuan." Amy menundukkan kepalanya.
Ardan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Tuan, mau saya buatkan makan malam apa?"
"Di lemari es kosong tak ada bahan masakan, malam ini kita pesan makanan online saja," jawab Ardan.
Amy mengangguk.
"Ayo aku antar ke kamarmu!" Ardan berjalan lebih dulu dan dibelakangnya Amy.
Ardan membuka pintu kamar. "Tidurlah di sini!"
"Terima kasih, Tuan."
"Besok sore, kita akan berbelanja pakaian. Jadi, untuk sementara pakai baju aku saja yang ada di lemari."
Amy mengiyakan.
"Beristirahatlah, aku mau mandi dan memesan makanan," ucap Ardan.
"Baik, Tuan."
Ardan menutup pintu kamar Amy lalu menuju kamar pribadinya.
Selesai mandi, selang 5 menit kemudian pesanan Ardan pun datang.
Ardan berteriak memanggil, "Alya, turunlah! Makanannya sudah datang!"
Amy membuka pintu kamar dan bergegas turun.
Kini keduanya berada di meja makan, duduk saling berhadapan. Ardan membuka kotak yang merupakan roti tipis bulat dengan aneka macam toping di atasnya.
Amy tampak bingung dengan makanan tersebut, pernah melihatnya di rumah suaminya tapi tidak diizinkan untuk mencicipinya.
"Ayo makan!" ucap Ardan sembari mengambil potongan roti dan memasukkannya ke dalam mulut.
Amy menggigitnya dengan pelan, mencoba merasakan makanannya.
"Kamu tidak suka?" tanya Ardan.
"Bukan begitu, aku belum pernah mencobanya," jawab Amy.
"Lama-lama kamu juga akan terbiasa dengan makanan ini," ujar Ardan.
Amy tersenyum nyengir sembari memegang roti yang telah digigitnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!