Saat ini Alaska dan Gevan berada di salah satu kampus yang ada di kota Jakarta. Di sinilah Alaska akan menempuh pendidikan untuk gelar S1.
Alaska dan Gevan berjalan di lorong kampus mencari tempat untuk daftar ulang mahasiswa baru. Dari tadi mereka bolak-balik membuat Gevan marah karena setelah ini ada kesibukan penting.
“Lo tahu tempatnya gak?” tanya Gevan.
“Gue juga gak tahu.” Alaska melihat sekitar, tiba-tiba melihat 2 orang wanita yang ingin melewatinya.
Gevan langsung mendorong Alaska mendekati kedua wanita itu.
"Ekhem...." Sesaat Alaska berdehem. "Kalau boleh tahu untuk pembayaran daftar ulang tempatnya di mana ya?"
“Kakak ganteng tinggal berjalan lurus ke depan lalu belok kanan.”
Alaska hanya bisa menelan saliva ketika mendengar wanita itu memangilnya dengan sebutan kakak ganteng.
“Terima kasih.” Ucap Gevan.
“Sama-sama kak, kami permisi dulu.” Berjalan melewati mereka.
Gevan terkekeh sambil merangkul Alaska. “Kakak ganteng.” Ledeknya.
“Gue emang ganteng, mau apa lo?”
Gevan menepuk-nepuk bahu Alaska. “Lebih ganteng gue dong.” Tidak terima.
Alaska melepaskan tangan Gevan sambil mendengus kesal karena ngeledek nya. Alaska berjalan duluan di susul Gevan menuju tempat pendaftaran ulang.
Terlihat banyaknya antrian di depan salah satu ruangan, membuat Gevan menghela nafas panjangnya. Sementara Alaska hanya bisa pasrah karena kalau bukan dia siapa lagi yang akan membayar daftar ulang? Orang tuanya? Mereka sangat sibuk tidak ada waktu untuk itu.
“Gue kayaknya gak bisa menemani lo sampai selesai.” Bisik Gevan.
“Gue malas sendiri." Alaska tidak peduli.
“Gak bisa atau gue panggilin teman gue buat nemani lo?”
“Cewek atau cowok?”
“Cewek, dia….”
“Gak, gue bisa sendiri.”
Dengan tegas Alaska menolak Gevan, Alaska memang paling malas jika berurusan dengan wanita.
“Kenapa lo jadi alergi cewek?” Gevan terheran. "Teman gue cantik, bahkan sangat cantik."
Alaska bersandar ke dinding. “Pergilah, gue bisa sendiri.”
Gevan menarik ujung bibirnya lalu menepuk bahu Alaska. “Gue pergi dulu.” Beranjak pergi.
Alaska mengantri lumayan lama hingga 1 jam kemudian giliran Alaska untuk bayar daftar ulang. Selesai daftar ulang, Alaska memutuskan untuk ke Basecamp mendatangi teman-temannya.
.
.
.
Breuum…. Breuum…. Breuum….
Motor Alaska mulai memasuki halaman Basecamp, mereka yang tadinya duduk santai langsung berdiri untuk menyambut kedatangan Alaska.
Basecamp Redwolf ini adalah tempat berkumpulnya geng motor Redwolf bisa di bilang rumah kedua, tapi ada juga yang memang tinggal di basecamp karena malas pulang atau masalah keluarga yang membuat mereka pusing mendengarnya.
“Dimana ELANG?” Alaska berdiri didepan mereka sambil melepaskan helm.
ELANG adalah sebutan untuk Zen, Vino dan Carlos. Mereka teman yang paling dekat dengan Alaska.
“Mereka ada di lantai 2.” Jawab Ken.
Sesaat Alaska melihat ke atas. “Ambil minuman di motor gue.” Berlari masuk ke dalam Basecamp.
Basecamp Redwolf ada di ujung jalan dekat hutan. Dan disana ada jalan pintas yang menghubungkan ke jalan utama. Beberapa kali mereka ganti tempat karena para warga risih mendengar suara motor mereka yang nyaring.
Sebelumnya Basecamp mereka lebih besar dari yang sekarang tapi karena tidak di terima oleh warga setempat membuat mereka merelakan basecamp itu.
“Kenapa lo baru datang?" Tanya Zen.
Alaska duduk di depan mereka. “Gue tadi daftar ulang dulu.”
“Ka, katanya malam ini ada pertandingan di jalan Rotan.” Sahut Carlos.
“Gue ikut.”
Dengan santai Alaska mengatakan itu tanpa berpikir panjang dan banyak bicara, Alaska paling suka kalau ada balapan.
“Jangan, lo baru sembuh lebih baik….” Ucap Vino terpotong.
“Kenapa? Apa lo meremehkan gue?” memasukkan potongan buah Mangga ke dalam mulut.
“Gak, nanti kami kena marah tante Rani kalau…….” Lagi dan lagi ucapan Vino terpotong.
Akhir-akhir ini Alaska di larang ibunya ikut balap liar pokoknya yang berhubungan dengan balapan.
“Tenang saja, gue berencana mau mengajak kak Gevan.”
Zen yang mendengar itu langsung berdiri. “Kalau kak Gevan ikut, gue bakal dukung lo.”
“Sudah lama gak melihat kak Gevan balap liar.” Sahut Carlos sambil melempar minuman dingin kepada Alaska.
Elang sangat mengagumi Gevan, permainan Gevan sangat bagus membuat mata yang melihatnya terkagum-kagum.
.
.
.
Breeeuuuuummmmm……
Alaska melajukan motornya memasuki halaman rumah lalu memarkir di teras. Penuh semangat Alaska masuk ke dalam rumah.
Semangat membara setelah sekian lama, akhirnya Alaska balapan lagi apalagi jika bersama sang kakak.
“KAK GEVAN.” Teriak Alaska. "GUE ADA BERITA BAHAGIA."
Teriakan suara Alaska yang sangat nyaring membuat Bi Iyem (Pekerja di rumah Alaska) menghentikan aktivitasnya lalu berlari kecil mendekati Alaska sambil membawa kemoceng bulu Merak.
“Tuan Alaska sedang tidak ada di rumah.”
“Kemana dia? Kenapa tidak ada? Atau memang belum pulang ke rumah?”
Bi Iyem mengangguk. “Sepertinya sebentar lagi Tuan Gevan pulang.”
Alaska mengangguk lalu berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.
.
.
.
Klekkkkk....
Alaska masuk ke dalam kamar Gevan, terlihat di dalam sana Gevan sedang memainkan ponselnya.
“Mau apa lo datang ke sini? Gue….”
Alaska duduk di sofa. “Apa? Lo sibuk lagi?”
“Ada apa?” tanya Gevan.
“Malam ini ada pertandingan di jalan Rotan, gue mau….”
“Lo pergi sendiri, gue malas keluar.”
“Yakin lo gak mau ikut?” Alaska berusaha menggoda Gevan agar ikut dengannya.
Gevan menghiraukannya, tetapi Alaska tetap berusaha membujuk kakaknya agar ikut pertandingan bersamanya.
Setelah beberapa menit Alaska membujuk, merayu Gevan akhirnya luluh juga.
“Iya iya gue ikut, jam berapa?”
“Jam 12, urusan papa gue serahkan sama lo.”
“Kyaaa kau….” Kesal Gevan melempar bantalnya ke arah Alaska. “Lo ngajak gue pasti biar lo di izinkan keluar?”
Alaska melempar kembali bantal Gevan. “Serah lo, gue mau tidur dulu.” Beranjak pergi.
.
.
.
Jam menunjukkan 12 malam, Alaska dan Gevan menuruni anak tangga sambil memegang helm mereka. Ketika menuruni anak tangga terakhir terdengar ada seseorang yang berdehem.
“Malam-malam begini kalian mau pergi kemana?” tanya Daren.
“Pa, aku menemani kak Gevan kumpul dengan teman-temannya.”
Alaska menjadikan teman-teman Gevan sebagai alasan agar di izinkan keluar rumah karena kalau mereka bilang balapan liar maka di pastikan tidak bisa keluar.
“Gevan?”
Gevan mencubit lengan Alaska. “Iya pa."
“Pergilah, kalau bisa jam 1 sudah di rumah.”
“Pa, hanya 1 jam?” keluh Alaska.
Gevan langsung menarik paksa Alaska keluar. “Jangan banyak omong, kalau papa berubah pikiran mau apa lo?”
.
.
.
Sesampai di tempat pertandingan yang berada di jalan Rotan. Redwolf berteriak menyambut kedatangan mereka berdua. Dengan heboh suara anak Redwolf membuat Alaska mengibaskan rambutnya untuk tebar pesona.
“Apa kabar, kak?” tanya Zen.
Gevan menepuk bahu Zen sambil mengangguk. “Baik, sebenarnya gue malas keluar tapi Alaska memaksa.”
“Sejak kapan gue maksa lo?” melepaskan helm.
“Gue paling suka kalau lihat kak Gevan balapan.” Ucap Carlos.
Alaska yang mendengar itu pun menendang kaki Carlos. “Heh permainan gue lebih bagus dari dia.”
Sebelum pertandingan di mulai, mereka duduk santai terlebih dahulu sambil bersenda gurau. Banyaknya orang berkumpul untuk menyaksikan pertandingan, terlihat di wajah Alaska kebahagiaan untuk yang tiada tara.
Beberapa menit kemudian pertandingan pun di mulai, Alaska dan Gevan berjalan mendekati motor mereka melewati cewek-cewek cantik yang sedang tertawa bersama.
Alaska dan Gevan naik ke atas motor lalu menuju garis start, tiba-tiba Gevan terkejut melihat kehadiran seseorang yang akan tanding malam ini.
Arnold mendekati Gevan. “Wah ternyata lo ikut tanding, gue pikir lo sudah gak tertarik."
Alaska mendorong Arnold. “Jaga jarak lo dari kakak gue.”
“Ka, diamlah. Jangan ikut campur dengan urusan gue!”
Alaska menatap kesal Gevan.
“Kenapa? Apa lo takut kalah lagi melawan gue?”
Arnold terkekeh nyaring. “Bagaimana mungkin? Apa lo gak tahu berita terbaru gue?”
Salah satu teman Gevan memberikan beberapa gelas yang berisi minuman dingin kepada mereka yang akan tanding.
Mereka semua minum sampai habis, tanpa sengaja Gevan melihat Arnold menyeringai.
“Ka, hati-hati.” Ucap Gevan.
Setelah melihat Arnold menyeringai, tiba-tiba perasaan Gevan berubah menjadi tidak enak atau gelisah.
“Kak Gevan tenang saja, malam ini kita harus menang.” Ucap Alaska.
Gevan hanya mengangguk cuek.
Kini mereka sudah berbaris rapi di garis start menunggu aba-aba, sesaat Gevan menoleh Arnold untuk memastikan sang adik aman-aman saja.
Priittttt….
Peluit berbunyi, pertandingan pun di mulai. Mereka semua langsung melajukan motor keluar dari garis start.
“Ka, hati-hati.” Teriak Gevan sedikit mengkhawatirkan Alaska karena merasa tidak enak melihat Arnold menyeringai.
“Kak Gevan tenang saja.”
Alaska meyakinkan Gevan bahwa dirinya baik-baik saja, justru Alaska terheran kenapa Gevan tiba-tiba seperti ini karena sebelumnya kalau mereka tanding Gevan tidak pernah memperhatikan Alaska malahan suka menantang Alaska.
Gevan pun melajukan motornya meninggalkan Alaska, tiba-tiba dengan jarak yang tidak jauh dari Alaska. Motor Gevan hilang kendali hingga menabrak pembatas dengan keras membuat Gevan terpental jauh dari motornya.
Semua orang tercengang melihat kejadian itu, bahkan anak motor yang ada di depan langsung berhenti.
“Kak Gevan.” Teriak Alaska melajukan motornya mendekati Gevan.
...Bersambung……....
"Kak Gevan." Teriak Alaska melajukan motornya mendekati Gevan.
Alaska langsung turun dari motornya lalu berlari mendekati Gevan sambil menangis.
Di bawah sama Gevan sudah tidak berdaya, sesaat Gevan mencoba menggerakkan kakinya tetapi kesusahan. Beberapa orang menghampiri mereka dengan penuh kekhawatiran.
"Kak Gevan." Berjongkok di depan Gevan. "Kak." Meletakkan kepala Gevan di atas pahanya. "Kak, bangunlah."
Kekhawatiran di wajah Alaska terlihat sangat jelas, bagaimana tidak khawatir Alaska yang mengajaknya untuk balap liar dan Alaska juga yang melihat secara langsung kecelakaan Gevan di depan matanya
"Ka, tenanglah."
Walaupun Gevan kesakitan di bagian kaki dan kepalanya tetapi berusaha menutupinya di depan Alaska. Mereka kakak beradik yang saling menyayangi dan mengasihi walaupun sering bertengkar tetapi saling perhatian juga.
"Cepat panggil ambulans."
"Kami sudah menghubungi ambulans, mereka sedang dalam perjalanan kesini." Ucap Zen.
"Apa yang terjadi? Bagaimana bisa kak Gevan…."
Carlos menyenggol lengan Vino. "Diamlah, doakan saja semoga kak Gevan tidak kenapa-kenapa."
Vino mengangguk. "Semoga saja."
"Kak, ini Alaska." Menyentuh helm Gevan. "Kak, bertahanlah. Sebentar lagi ambulans datang, kita ke rumah sakit."
Perlahan Gevan membuka matanya yang hampir terpejam lalu menatap Alaska. Tiba-tiba dari dalam helm Gevan mengeluarkan darah, membuat Alaska semakin panik.
"DI MANA AMBULANS?" teriak Alaska.
Vino yang melihat Alaska seperti itu pun langsung menghubungi ambulans lagi untuk menanyakan keberadaan mereka. Karena kondisi Gevan semakin memburuk.
"Te-tenanglah, gue masih bisa tahan kok."
"Kak jangan tinggalin gue." Perlahan Alaska menetaskan air matanya hingga membasahi pipi
Ninu... Ninu... Ninu...
Terdengar dari kejauhan suara ambulans lalu berhenti di dekat mereka. Kedua suster pun mengangkat Gevan penuh hati-hati lalu memasukkan ke dalam ambulans.
Zen memegang bahu Alaska. "Masuklah, gue yang pakai motor lo."
Carlos dan Vino mengangguk. "Kami akan menyusul."
Alaska langsung masuk ke dalam ambulans, ketiga temannya naik ke atas motor lalu mendekati Redwolf yang masih berkumpul di dekat garis start.
Mereka bertanya-tanya bagaimana kondisi Gevan. Vino hanya bisa menyuruh mereka untuk segera bersiap menyusul ambulans.
.
.
.
Di dalam ambulans, suster berusaha mempertahankan nyawa Gevan. Dari tadi Alaska memegang tangan Gevan. Tidak berhenti Alaska menetaskan air matanya, hatinya sangat sakit melihat kondisi Gevan.
"Kak, maaf... Ini salah gue." lirih Alaska penuh penyesalan.
Gevan menggeleng pelan. "Gue gak papa." Tersenyum.
Walaupun wajah Gevan terhalang oleh helm tapi ketika tersenyum terlihat jelas bahwa Gevan sedang tersenyum, tetapi malah membuat Alaska semakin merasa bersalah.
"Berhentilah menangis, lo cowok ganteng kenapa harus menangis karena gue."
"Kak, bukan waktunya bercanda." Kesal melihat Gevan yang masih sempat-sempatnya bercanda dengannya. "Gue takut lo…."
"Darahnya semakin berkurang." Ucap suster.
"Lakukan sesuatu, jangan sampai terjadi sesuatu kepadanya." Teriak Alaska.
"Tenanglah, nanti juga darah gue bertambah lagi." Gevan berusaha menenangkan Alaska, walaupun sebenarnya sudah tidak kuat menahan sakit di kepalanya akibat benturan keras.
"Kak sumpah candaan lo gak lucu."
Terlihat di depan ambulans Zen memakai motor Alaska untuk membuka jalan agar tidak terkena macet. Dan di bagian belakang ambulans juga anak Redwolf beriringan ikut ke rumah sakit.
"Lo harus bertahan." Mengusap air mata. "Pak, lebih cepat lagi."
Tiba-tiba Gevan susah untuk bernafas dengan cepat suster memasang alat oksigen di hidungnya.
"Apa yang terjadi kepadanya?" tanya Alaska kepada suster memastikan bahwa Gevan tidak apa-apa.
"Sepertinya tidak akan bisa bertahan."
Alaska menarik baju suster. "Apa maksud lo? Jangan berbicara sembarang!! Kalau terjadi sesuatu kepada kakak gue, lo....!"
"Ka…." Panggil Gevan. "Jaga sikap lo."
Alaska melepaskan tangannya dengan wajah yang masih kesal, sangat tidak terima dengan ucapan suster. Bagi Alaska Gevan masih bisa bertahan dan sembuh.
Tidak lama kemudian ambulans memasuki rumah sakit menuju ruang UGD. Dengan cepat suster menurunkan brankar pasien lalu masuk ke ruang UGD.
Sepanjang jalan menuju ruang UGD, Gevan semakin susah bernafas membuat Alaska gelisah. Gevan mulai masuk ke ruang UGD, Vino menahan tangan Alaska yang ingin masuk ke dalam.
"Tenanglah, kak Gevan pasti selamat." Vino mencoba menenangkan.
"Kami sudah menghubungi orang tua lo, mereka dalam perjalanan ke sini." Zen menyerahkan kunci motor kepada Alaska.
Semua anak motor Redwolf datang ke rumah sakit, tapi hanya Elang yang berdiri di depan ruang UGD.
Terlihat dari kejauhan Daren dan Rani berjalan mendekati mereka. Alaska langsung mendekati Rani lalu memeluknya.
"Aku menyesal mah mengajak kak Gevan." Menangis.
Rani mengelus punggung Alaska. "Apa yang sebenernya terjadi?"
"Apa kalian balapan lagi?" tanya Daren. "Bukankah papa melarang kalian balap motor? Kenapa tidak pernah mendengarkan papa?" mulai kesal.
Seketika Elang terdiam membisu menjadi patung, tangan saling menyenggol takut Daren akan memarahi mereka juga. Daren sangat tegas terhadap Alaska tetapi Elang selalu membantu Alaska agar bisa balap liar hingga akhirnya mereka ketahuan, Daren memberi efek jera kepada Elang membuat mereka sedikit takut.
"Pa, tenanglah. Alaska juga tidak ingin semuanya terjadi." Rani berusaha menenangkan Daren yang mulai kesal kepada Alaska.
"Ma, aku menyesal mengajak kak Gevan balap liar."
"Kak Gevan pasti selamat, kamu tenang saja."
Rani memang sangat menyayangi ke dua anaknya ini, apapun yang akan terjadi kepada mereka apapun kesalahan mereka Rani selalu lemah lembut. Begitu juga Daren, ia juga sangat menyayangi mereka hanya saja lebih tegas di bandingkan Rani.
Alaska pun menangis sesenggukan di dalam pelukan Rani. Ketiga teman Alaska memutuskan keluar dan ikut berkumpul dengan anak yang lain.
"Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepada Gevan?" Daren mulai gelisah.
"Pa, diamlah."
Tiba-tiba ada yang keluar dari ruang UGD, Daren langsung mendekatinya.
"Bagaimana keadaan anak saya dok? Apa sangat parah?"
Dokter menghala nafas sambil mengangguk pelan. "Berdoalah, semoga takdirnya masih panjang."
Alaska yang mendengar itu langsung berlari masuk ke dalam, terlihat di dalam sana Gevan di pasang berbagai macam alat medis.
"Kak Gevan."
Seketika Rani menangis melihat kondisi Gevan. Daren membawa Rani ke dalam pelukannya di iringi air matanya yang turun membasahi pipi.
"Gevan, pa."
"Mama tenang saja, Gevan pasti bisa bertahan." Daren mencium kepala Rani.
Alaska berdiri di samping Daren. "Mama dan Papa lebih baik istirahat dulu, biar aku yang menjaga kak Gevan."
Rani menggeleng pelan. "Kamu yang harus istirahat, mama yang akan menjaga Gevan."
"Ikuti saja apa kata mama." Ucap Daren.
Alaska pun keluar dari ruang UGD dengan matanya yang sangat merah. Alaska berjalan keluar mendekati anak motor Redwolf yang masih berkumpul di sana menunggu Alaska.
"Lebih baik kalian kembali ke basecamp, aku harus berjaga disini."
"Bagaimana kondisi kak Gevan?" tanya Carlos.
"Apa kata dokter?" Vino juga ikut bertanya.
Alaska hanya diam tidak menjawab pertanyaan mereka.
"Apa terjadi sesuatu kepada kak Gevan?" tanya Zen.
Alaska mengangguk pelan. "Kalian kembali lah, nanti besok pagi datang lagi kalau kalian mau."
"Kalau begitu kami kembali dulu, kalau terjadi sesuatu langsung hubungi kami." Ucap Carlos.
Alaska hanya mengangguk lalu masuk lagi ke dalam, mereka pun bubar.
.
.
.
Pukul 2 malam, Alaska sedang duduk di bawah dekat tangga kecil. Hening, sepi tidak ada orang yang berlalu lalang walaupun ada tapi hanya beberapa orang saja.
"Minumlah."
Tiba-tiba ada seseorang yang memberinya minuman dingin.
Alaska menoleh, terlihat seorang dokter berdiri di sampingnya.
"Apa kamu tidak tidur?"
Alaska mengambil minuman itu dari tangan dokter. "Belum mengantuk, dok."
"Kenapa? Memangnya di dalam ruang UGD itu siapa?" tanya dokter.
"Kakak saya dok." Membuka minuman.
Dr. Dodi sepertinya saya harus memberitahu mu satu hal."
Alaska yang mendengar itu berdiri. "Memberitahu apa?"
"Siap tidak siap, kamu harus siap."
"Maksud dokter, kakak saya tidak bisa selamatkan?"
Dr. Dodi mengangguk pelan. "Kecelakaannya sangat parah, di bagian kepala terkena benturan keras."
Seketika Alaska lemah mendengar pernyataan Dr. Dodi.
"Apa tidak bisa selamatkan? Dokter harus melakukan sesuatu agar kakak saya selamat."
"Tenanglah, saya pasti melakukan yang terbaik tapi ini benar-benar sangat parah."
Sesaat Alaska melihat ke arah ruang UGD lalu menetaskan air mata.
"Kalau kamu tidak bisa merelakan, kasihan dia menahan sakit."
Alaska menggeleng cepat. "Kakak saya pasti bisa diselamatkan dok."
"Dulu juga saya kehilangan istri saya, anak saya sangat terpukul dengan kepergian istri saya tapi mau tidak mau anak saya harus merelakan ibunya agar bisa tenang."
Alaska semakin menangis mendengar cerita dari Dr. Dodi.
"Beristirahatlah, saya permisi dulu."
Dr. Dodi berjalan beranjak pergi, sementara Alaska hanya bisa menangis sambil memukul tembok.
"Kak jangan tinggalin gue."
.
.
.
Keesokan paginya, Alaska dan kedua orang tuanya menunggu di luar karena dokter sedang memeriksa kondisi Gevan.
Hampir 1 jam dokter tidak keluar dari ruangan Gevan, hingga beberapa menit kemudian keluar lalu berjalan mendekati mereka.
"Ikhlaskan." Ucap Dr. Dodi.
"TIDAK." Teriak Alaska berlari masuk ke dalam disusul Elang.
Terlihat wajah Gevan sudah di tutupi dengan kain putih dari rumah sakit.
"Kak Gevan." Alaska membuka kain lalu melihat wajah Gevan yang sangat pucat. "Jangan tinggalin gue."
"Gevan." Teriak Rani histeris.
Daren hanya bisa memeluk Rani tanpa berbicara apapun.
"Ka, ikhlaskan. Biarkan kak Gevan tenang." Ucap Vino.
"Salah gue, semuanya salah gue." Menangis.
Rani yang melihat Alaska pun langsung memeluknya. "Bukan salahmu, berhentilah menyalahkan diri sendiri."
"Ma….."
...Bersambung….....
1 Minggu berlalu, setelah kepergian Gevan membuat Alaska mengurung diri di kamarnya dan menyalahkan diri sendiri.
Bi Iyem berusaha membujuk Alaska tapi tidak bisa, Alaska bersikeras tidak ingin keluar dari kamar.
Kedekatan Alaska dengan Gevan memang sangat sangat dekat walaupun sering bertengkar tapi Gevan selalu perhatian kepadanya.
Saat ini Alaska sedang duduk di balkon kamarnya melihat pemandangan pagi kota Jakarta. Kota yang sangat ramai akan penduduk, di beberapa titik sudah ada yang macet karena dari mereka ada yang berangkat kerja, pergi ke pasar dan lain-lain.
"Kak, lo pasti menyesal mempunyai adik seperti gue." Terkekeh kecil. "Gue pikir semua ini hanya mimpi, ternyata lo benar-benar ninggalin gue."
Selama 1 Minggu Alaska menghabiskan waktunya di dalam kamar. Makanan hanya di antar sampai depan pintu kamar, Alaska sendiri yang mengambilnya.
Perpisahan yang paling menyakitkan ialah kematian seseorang yang sangat dekat dengan kita.
.
.
Pukul 9 pagi, Alaska memutuskan untuk keluar dari kamar ketika ingin menuju dapur tiba-tiba terdengar orang tuanya sedang bertengkar.
"Kenapa papa mengajak wanita lain ke kantor?" teriak Rani. "Apa papa sudah tidak mencintai mama lagi?"
"Rani, berhentilah berbicara omong kosong." Kesal Daren.
Alaska yang mendengar pertengkaran orang tuanya pun berlari mendekati kamar mereka.
"Ma, pa?"
Alaska masuk ke dalam kamar orang tuanya, terlihat Rani sedang menangis.
"Kenapa mama menangis? Apa papa melakukan sesuatu kepada mama?"
Keluarga yang dulunya sangat harmonis tiba-tiba mendengar pertengkaran orang tua.
Alaska sangat terkejut mendengar teriakan suara Daren sampai tangga.
"Alaska, keluarlah! Jangan ikut campur dengan urusan orang tua." Titah Daren.
"Tidak, aku tidak akan keluar." Bantah Alaska.
"Ka, kamu sudah menghilangkan nyawa Gevan."
Seketika hati Alaska seperti di sambar petir setelah mendengar ucapan Daren, seolah-olah yang menyebabkan kematian Gevan adalah Alaska.
Sebagai hubungan adik dan kakak yang sangat dekat, siapa yang tidak bersedih jika di tinggalkan oleh salah satunya? Alaska hanya ingin balap liar bersama sang kakak tetapi takdir berkata lain.
"Berani-beraninya papa berbicara seperti itu kepadaku? Siapa yang menghilangkan nyawa kak Gevan? Siapa?" teriak Alaska mulai emosi.
Deg....
Rani terdiam mendengar pertengkaran Daren dengan Alaska. Dari dulu hubungan mereka memang kurang akrab terapi Daren tidak pernah membedakan antara Gevan dan Alaska. Hanya saja Daren lebih tegas kepada Alaska, karena Alaska sifat Alaska yang keras kepala.
"Kamu!! Kalau kamu tidak mengajak Gevan balap liar, tidak mungkin Gevan kecelakaan dan kehilangan nyawanya."
"Aku juga tidak ingin semuanya terjadi, bukan hanya papa yang sayang dengan kak Gevan!!! Aku dan mama juga!!!"
"Lebih baik kamu kembali ke kamar, jangan membuat papa tambah marah."
"Kenapa? Aku disini untuk mama, bukan untuk papa!!"
"ALASKA!!!" teriak Daren. "Keluarlah." Berusaha meredakan emosi.
"DIAMLAH, KENAPA KALIAN JADI BERTENGKAR?" Rani menatap Daren dengan penuh amarah. "JAGA UCAPAN MU!!! KENAPA KAMU BERBICARA SEPERTI ITU DI DEPAN ALASKA?"
"A...aku...."
Rani menatap Alaska. "Kembalilah, mama tidak apa-apa." Tersenyum. "Omongan papa jangan di masukkan ke dalam hati, papa hanya sedang emosi."
Rani berusaha menenangkan Alaska agar tidak terjadi kesalahpahaman akibat ucapan Daren yang sembarang.
Alaska langsung beranjak pergi dengan hatinya yang sangat sakit setelah mendengar ucapan Daren yang menyalahkannya mengenai kecelakaan Gevan.
Begitulah ketika emosi sedang memuncak semua yang keluar dari mulut akan berkata sembarang dan membuat sakit hati kepada orang yang mendengarnya.
Brakkkk….
Bi Iyem terkejut mendengar Alaska menutup pintu kamarnya sangat nyaring.
"Ada apa dengan Tuan Alaska?" dengan cepat menuruni anak tangga.
Alaska menghamburkan semua barang yang ada di kamarnya sambil berteriak tidak jelas.
"Ya semuanya salah gue, gue yang membunuh kak Gevan." Menangis.
.
.
.
Siang ini Alaska sedang duduk di sofa kamarnya. Dari tadi Alaska mencoba menelpon Vino, beberapa saat kemudian Vino mengangkat telponnya.
"Akhirnya lo menelpon gue."
Vino sangat lega mendengar suara Alaska, karena semenjak Gevan di kuburkan, Alaska tidak pernah memberi kabar kepada anak Redwolf atau Elang. Mereka sangat mengkhawatirkan kondisi Alaska tetapi apa boleh buat hanya bisa menunggu kabar.
"Kalian jadi gak tinggal di kos-kosan?"
"Memangnya kenapa? Apa lo mau ikut?"
"Gue ikut kalian."
"Tapi orang tua lo…."
"Jangan pedulikan mereka, gue gak mau lagi tinggal disini."
"Kenapa?"
"Sebentar lagi gue ke Basecamp, tunggu gue." Mematikan telpon.
.
.
.
Sore hari, cuaca yang sangat cerah. Alaska menuruni anak tangga sambil memasang jaket hitamnya.
"Kamu mau pergi kemana?" tanya Rani.
"Aku ingin tinggal di kos-kosan bareng teman-teman."
"Apa kamu ingin meninggalkan mama?"
Alaska meraih tangan Rani lalu mengelusnya. "Bagaimana bisa? Tidak ma, aku hanya ingin tinggal bersama mereka karena sebentar lagi aku masuk kuliah biar lebih dekat saja." Tersenyum.
"Bagaimana kalau mama tidak mengizinkan mu? Mama takut terjadi sesuatu kepada mu."
Alaska mencium kening Rani. "Tidak akan ma, aku bisa menjaga diri sendiri."
"Mau pergi kemana?" tanya Daren berjalan mendekati mereka.
"Pa, Alaska ingin tinggal di kos-kosan." Rani mengadu kepada Daren dan berharap Daren juga melarangnya.
"Biarkan saja dia pergi." Ucap Daren.
"Pa, kenapa papa berbicara seperti itu?" Rani mulai kesal.
"Ma, aku pergi dulu, aku pasti menghubungi mama." Beranjak pergi.
Alaska semakin tidak bisa melihat Daren karena hatinya selalu sakit jika teringat dengan ucapan Daren.
"Alaska." Teriak Rani.
Alaska berjalan keluar rumah di ikuti bi Iyem menuju garasi.
"Bi, tolong ya semua barang saya bawa ke kos-kosan. Nanti saya kirim alamatnya."
"Apa Tuan muda yakin pergi dari sini? Nyonya sangat mengkhawatirkan Tuan Alaska."
Alaska mengangguk. "Saya titip mama, jangan sampai papa melakukan sesuatu kepada mama." Menghela. "Papa juga sudah tidak menyukai kehadiran saya, jadi untuk apa saya masih tinggal disini."
"Tapi Tuan?"
Alaska naik ke atas motornya. "Saya pergi dulu."
Alaska menjalankan motornya keluar dari garasi. Bi Iyem masuk kembali ke dalam rumah.
.
.
.
"Kenapa papa seperti ini? Apa papa sudah tidak menyayangi Alaska?" tanya Rani penuh emosi.
"Bagaimana bisa aku tidak menyayanginya? Alaska sudah besar, biarkan dia mandiri." Ucap Daren.
"Aku tidak ingin kehilangan anak ku lagi, aku tidak tenang kalau Alaska tidak di rumah."
"Kalau begitu apa kamu bisa menghalangi Alaska?" Daren menghela nafas. "Tidak ada yang bisa menghalanginya."
"Kamu juga sudah berubah, malah bersama wanita lain. Kalau mau cerai, cerai saja." Rani beranjak pergi dengan perasaan yang sangat kesal.
"Siapa yang ingin bercerai denganmu?" teriak Daren. "Berbicara apa dia, aku saja sangat mencintainya bagaimana bisa aku berselingkuh?" terheran.
.
.
.
Alaska baru tiba di Basecamp, semua anak motor di sana ikut senang bisa melihat Alaska lagi setelah 1 Minggu tidak datang ke Basecamp.
Alaska berjalan menaiki anak tangga menuju lantai 2 yang di mana anak Elang sedang berkumpul.
Zen berdiri sambil tersenyum. "Akhirnya lo datang juga."
"Bagaimana keadaan lo?" tanya Vino.
"Kenapa lo tiba-tiba ingin ikut dengan kami tinggal di kos-kosan?" tanya Carlos bingung.
"Iya, padahal rumah lo sangat nyaman." Sahut Zen.
Alaska menghela nafas panjang. "Sudah tidak nyaman."
"Apa terjadi sesuatu? Apa lo bertengkar dengan orang rumah?"
"Bokap gue." Merebut minuman dari tangan Vino. "Sudahlah lupakan saja!!"
"Kami sudah menemukan kos-kosan yang nyaman, cocok untuk kita berempat." Vino memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Dimana?" tanya Alaska.
"Di jalan anggrek, kompleknya sepi. Jadi kalau anak Redwolf mampir ke kos-kosan kita aman-aman saja." Jelas Zen.
"Kamarnya ada 4." Carlos memperlihatkan kos-kosan yang berbentuk rumah. "Kami juga sudah DP dengan ibu kos."
Alaska mengangguk cuek. "Berangkat sekarang, biar orang rumah gue mengantar semua barang-barang gue ke sana."
.
.
.
Mereka sudah berada di kos-kosan, dari tadi Alaska menunggu kedatangan bi Iyem yang membawa semua barang-barangnya.
Tidak lama kemudian, mobil hitam datang lalu berhenti didepan kos-kosan mereka. Bi Iyem turun bersama supir.
"Bawa semuanya ke dalam, kamar saya ada di lantai atas nomor 4."
Pak Erik mengangguk lalu berjalan melewati Alaska dan teman-temannya sambil membawa kardus.
Bi Iyem melihat sekitar. "Apa Tuan yakin tinggal disini?"
"Sangat yakin."
Zen merangkul Alaska. "Bibi tenang saja, Alaska pasti sangat betah tinggal disini." Tersenyum.
"Baguslah, saya titip Tuan Alaska."
"Kalau dia macam-macam kami pasti akan kasih dia pelajaran." Ucap Vino.
Alaska memukul kepala Vino. "Lo yang gue beri pelajaran."
"Pelajaran apa? Sekolah?" sahut Carlos.
Seketika Zen terkekeh mendengar candaan Carlos.
Alaska melihat-lihat ke dalam mobil. "Apa hanya bi Iyem yang datang ke sini?"
Bi Iyem mengangguk. " Tuan dan Nyonya masih bertengkar, jadi…"
"Oke terima kasih, kalian kembali saja." Ucap Alaska.
"Kami permisi dulu." Pak Erik masuk ke dalam mobil di susul bi Iyem.
Mobil pun meninggalkan kos-kosan Alaska. Sesaat ketiga temannya menatap Alaska yang tiba-tiba terdiam.
Walaupun Alaska kesal kepada Daren, tapi Alaska sangat berharap kedua orang tuanya datang. Kekecewaan Alaska tidak bisa menutupi dari teman-temannya.
"Ka?" panggil Vino.
Alaska tersadar dari lamunannya. "Hah? Gue ke kamar dulu, badan gue capek."
Alaska masuk duluan ke dalam rumah menuju kamarnya yang ada di lantai atas paling ujung.
"Apa yang terjadi kepadanya? Kenapa dia tiba-tiba seperti itu?"
Vino sangat merasakan perubahan yang ada pada diri Alaska. Alaska memang paling tidak bisa menutupi suasana hatinya entah baik atau pun sedang buruk.
"Biarkan saja, mungkin dia sedang capek." Sahut Carlos.
...Bersambung…....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!