NovelToon NovelToon

Cinta Sang Berandal

Bab 1 ~ Dasar Cupu

“Guntur, nih!”

Refan melempar kardus berisi ponsel terbaru. Guntur menerimanya sambil terkekeh. Ponsel dengan icon buah tergigit keluaran terbaru dengan harga di atas dua puluh jutaan berhasil Gundur terima karena menang taruhan dari Refan.

Guntur, bukan siswa kekurangan uang sampai tidak mampu beli ponsel terbaru. Saat ini mereka berada di kantin SMA Bina Bangsa, SMA swasta di Jakarta dengan biaya pendidikan bukan kaleng-kaleng. Bahkan ada kalangan orangtua siswa terkadang berlomba-lomba untuk memberikan dukungan fasilitas dan bantuan untuk sekolah tersebut.

Orangtua Guntur termasuk salah satu donatur tetap sekolah, jadi masalah ponsel terbaru tadi bukan sebuah pencapaian. Hanya sebagai hiburan saja.

“Ayo, kita mau dengar,” ujar Refan didukung oleh antek-anteknya.

“Lo yakin, mau lakuin di sini. Arba tuh cewek,” bisik Jati pada Guntur.

“Emang gue ada bilang, Arba itu benc*ng?” Guntur menatap perempuan yang baru saja bergabung di kantin. Perempuan itu bernama Arba, yang akhir-akhir ini selalu menempel kepadanya seperti perangko.

“Semangat ya, ponselnya kalau nggak kepake buat gue aja,” usul Kanta.

“Tuh lihat, nggak usah gue cari dia datang sendiri. Udah kayak magnet nggak sih gue sama dia,” canda Guntur.

“Hai sayang,” sapa Arba yang ingin memeluk Guntur tapi tidak jadi karena pria itu mengangkat tangannya seakan mengatakan “Jangan dekat!”.

Arba tidak habis ide untuk dekat dengan Guntur dan lengan pria itu menjadi pilihan berikutnya. Arba memeluk lengan Guntur, membuat bagian depan tubuhnya menempel pada pria itu.

“Gaes, perhatian sebentar,” ujar Guntur sambil membunyikan gelas dengan sendok.  “Ada yang mau gue sampaikan buat lo-lo semua.”

Arba tersenyum, dia menduga apa yang akan disampaikan oleh Guntur tentang dirinya. Entah itu Guntur semakin serius dengannya atau apalah. Yang penting, Guntur menjadi dunianya.

“Gue Guntur dan lo semua pasti sudah kenal. Siapa yang nggak kenal dengan gua. Di sebelah gue ada Arba dan kalian semua juga udah kenal,” tutur Guntur. Arba masih tersenyum mendengar penuturan pria yang masih dia peluk. “Mulai saat ini, gue umumkan kalau gue dan Arba tidak ada hubungan apapun.”

Seisi kantin bersorak karena pengumuman Guntur tidak penting.

“Hah, kok gitu. Maksudnya apa?” Arba melepaskan pelukannya, heran dengan keputusan Guntur.

“Putus ya putus, masa nggak ngerti. Gue, elo kita end. Udahan. Selesai. Tamat,” tutur Guntur lagi.

“Tapi kenapa? Sedangkan semalam kita habis enak-enak. Lo lupa kalau semalam kita ….”

“Make love maksud lo. Justru karena itu kita udahan. Urusan kita Cuma sampai berbagi peluh, terus gue menang dan dapat ini.” Guntur menunjukan dus ponselnya yang baru. “Sebenarnya gue bisa beli berlusin-lusin pake duit gue sendiri, tapi rasanya beda dari gue menang taruhan.”

“Bang sat, jadi gue dijadiin taruhan.”

Suasana kantin semakin riuh, karena perdebatan Arba dan Guntur. Refan bertepuk tangan melihat drama percintaan ala Guntur.

“Memang lo pikir gue beneran suka sama lo? Mimpi ….”

“Bro, udahlah,” ujar Jati sambil menepuk bahu Guntur.

“Tapi, gimana kalau gue hamil karena perbuatan lo semalam,” teriak Arba.

Bukannya takut atau malu, Guntur malah terbahak mendengar kemungkinan yang disampaikan Arba. Kalau dipikir hal itu mungkin saja, Arba hamil karena pergulatannya dengan seorang pria.

“Kalau lo hamil, jelas itu bukan anak gue. Takut lo lupa jadi gue ingetin lagi, semalam gue pake pengaman dan minggu lalu lo masih jalan sama Dio anak A3. Dia terkenal player dan nggak mungkin lo nggak macam-macam sama dia. Sebelumnya juga lo jalan sama ….”

“Cukup! Kalian banci. Gue pastiin lo bakal terima karma dan pembalasan, meski itu bukan dari gue.”

“Ohh, takut,” ejek Guntur sambil berlaga ketakutan.

Arba menghentakan kakinya lalu beranjak dari kantin disambut tawa oleh Guntur dan teman-temannya.

“Gokil, emang lo kepa_rat banget dan teman terbej4t yang pernah ada,” ujar Refan.

“Guntur, lo dipanggil ke ruang guru,” ujar seorang siswa.

“Urusan apa?” tanya Guntur.

Siswa yang menyampaikan pesan itu hanya mengedikkan bahu lalu pergi. Entah karena takut pada siswa paling bermasalah di sekolah itu atau memang ada hal lain yang ingin dilakukan.

“Oke, gue cabut dulu.”

“Mau diusir kali, lo udah nggak layak jadi siswa sini,” ejek Refan.

“Bac0t,” teriak Guntur.

Di sudut kantin, seorang siswa yang sosoknya seakan tidak terlihat melihat semua kejadian itu. dia hanya menggelengkan kepala menyaksikan betapa bobrok dan rusak mental teman-temannya. Walaupun tidak bisa dipukul rata bahwa semua siswa sekurang ajar mereka, tapi yang dilakukan Guntur, Refan dan teman yang mendukung taruhan gila itu cukup mengkhawatirkan.

“Mana PR gue?" teriak Mona kekasih Refan pada Alya.

“Ini," sahut Alya sambil menyerahkan buku pada Mona.

Alya, gadis itu bernama Alya Kania. Siswi paling berbeda dari siswi lainnya, mengenakan kacamata dan rambut diikat ekor kuda. Selalu menyendiri dan menjadi korban perundungan. Salah satunya oleh Mona.

“Awas aja kalau ternyata pada salah lagi,” pekik Mona. “Girls, kita balik ke kelas." Mona dan geng nya meninggalkan kantin, setelah melambaikan tangan pada Refan.

Alya pun ikut meninggalkan kantin menuju auditorium. Dia dihukum membersihkan auditorium karena datang terlambat. Terlambatnya bukan karena Alya malas bangun pagi, dia datang tepat waktu tapi salah satu siswa memaksanya untuk beli paket breakfast di salah satu restoran fastfood yang letaknya satu blok dari sekolah.

Tidak punya teman dan selalu dimanfaatkan. Dua hal itu sudah Alya jalani selama dia bersekolah di SMA Bina Bangsa. Berharap waktu cepat berlalu dan dia bisa segera meninggalkan sekolah ini. Mungkin saja dia pindah agar tidak lagi dapat perundungan, tapi Alya tidak ingin memberatkan orangtua. Pindah sekolah artinya perlu biaya, sedangkan dia diterima di sekolah itu karena beasiswa. Ada rasa sesal karena dia tidak memilih sekolah negeri.

Alya berlari menuju kelasnya karena bel tanda istirahat berakhir sudah berbunyi. dia tidak ingin terlambat masuk kelas, apa lagi ada ulangan harian. Fokus pada jalan, tidak sengaja dia menabrak seseorang bahkan keduanya sampai tersungkur.

“Woy, lo buta ya.”

“Maaf.” Alya berdiri dan menunduk, tidak berani menatap orang yang dia tabrak.

“Dasar cupu,” teriak orang itu.

Alya hanya diam.

“Guntur, ayo ah. Nanti lo kena masalah lagi.”

Alya berani menaikan dagunya menatap siswa yang tadi menghinanya, ketika orang itu sudah jauh.

“Kadang cupu lebih baik, dibandingkan tidak beradab,” gumam Alya. 

Bab 2 ~Cupu

“Taruhannya berapa?” teriak Guntur diantara gerungan motor.

“Kayak biasa,” jawab Jati.

“Oke, gue ikut.”

“Motor lo pasti kalah, motor Refan baru dimodif lagi. Malam ini nggak usah deh, kita nonton aja,” usul Kanta. Merasa motor Guntur tertinggal jauh dengan kecepatan motor Refan.

“Halah, pengecut amat. Kalah emang kenapa, minggir sana,” usir Guntur pada Kanta.

Refan duduk di atas motornya sambil memeluk pinggang Mona yang berdiri berhadapan dengannya.

“Woy, gue ikut,” teriak Guntur.

Refan menoleh lalu tertawa melihat motor Guntur.

“Yakin?”

“yakinlah.”

“Hm, gimana kalau taruhan kita ganti,” usu Refan. “Duit mah nggak asyik. Kalah pun lo nggak akan merasa rugi.”

“Banyak ngoceh, apaan taruhannya?”

“Kita pikirkan nanti.”

Guntur hanya mengedikkan bahu, selama tidak ada urusan dengan keluarganya atau mendekati laki-laki dia nggak masalah.

Apa yang dikhawatirkan Kanta pun terbukti, motor Guntur tidak dapat menandingi laju motor Refan. Padahal jarak mereka tidak terlalu jauh. Sampai di garis finish, Refan mendapatkan dukungan dari peserta geng motor yang hadir.

Brak.

Guntur melemparkan helmnya, ke depan Jati dan Kanta.

“Lo ngomong yang jelas dong, masalah di motor gue apanya. Bukan cas cis cus nggak meyakinkan gitu, yang ada gue kalah.”

Refan mendekati Guntur dan menepuk bahu pria itu.

“Nanti gue info apa yang harus lo lakuin karena kalah dari gue. Tenang aja, tetep bikin lo enak kok. Gaes, cabut dulu.”

...***...

Alya berlari menuju pagar sekolahnya sambil menenteng plastik berisi makanan cepat saji. Lagi-lagi dia diminta membeli sarapan dan tentu saja terlambat tiba di sekolah.

“Pak, tolong buka dong. Saya nggak telat, tas saya sudah di dalam. Cuma beli ini untuk teman saya,” bujuk Alya pada penjaga gerbang sekolah.

“Tidak bisa Neng, pulang aja sana. besok datang ajak orang tuanya, aturan sekolah ‘kan begitu.”

Alya berdecak pelan. Pulang nggak masalah untuknya, tapi besok dia akan jadi bulan-bulanan dan dapat hukuman lebih dari ini karena sarapan Mona masih ada di tangannya. Mau tidak mau, Alya berjalan memutar dan mencoba naik pagar seperti yang dilakukan oleh siswa yang terlambat.

Dia sudah berada di atas pagar dan siap loncat.

“Satu … dua … ti – “

Bruk.

Pritttt

Alya berhasil mendarat, begitu pula dengan siswa lainnya tapi sudah ada Pak Beni yang meniup peluit.

“Kalian ini cocok jadi atlet lompat jauh, ayo ikut Bapak. Kita buktikan kalian lulus seleksi atlet atau pecundang.”

Masalah lagi, urusan dengan Mona aja belum kelar, batin Alya.

Semua yang terlambat diarahkan kumpul di auditorium. Sudah banyak siswa di sana, Alya akhirnya duduk di salah satu kursi menunggu pengarahan dan sanksi yang harus diterima.

Bukan hanya Pak Beni yang bicara tapi kepala sekolah juga. Karena urusan datang terlambat cukup menjadi salah satu masalah yang dihadapi sekolah. Konyolnya alasan keterlambatan siswa cukup klasik dan ada juga yang di luar nalar.

“Guntur, Jati, Kanta kalian lagi, sudah telat berisik pula,” ujar kepala sekolah. “Kenapa kamu terlambat?”

“Saya nggak terlambat Pak, yang pencet belnya aja kerajinan. Masa jam tujuh udah bunyi, iya nggak,” ujar Guntur pada teman-temannya yang disambut setuju dengan pendapat Guntur.

Pak Beni menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Guntur.

“Kamu Refan, apa lagi alasanmu. Jangan bilang, aturan sekolah yang tidak memahami para murid,” ungkap Pak Naryo -- kepala sekolah.

“Motor saya mogok, Pak.”

“Mogok apa? Semangat kamu yang motor, motormu keluaran terbaru. Kalau benar mogok, sudah habis itu toko kamu timpuki,” sahut Pak Beni lagi.

Akhirnya semua siswa yang berada dalam ruangan itu mendapatkan sanksi. Alya kebagian mengepel UKS. Sanksi itu tidak berlaku pada Guntur dan Refan, kedua orang ini sudah meninggalkan tugas tambahan yang diberikan untuknya. Bukan ke kelas,mereka menuju taman belakang sekolah.

“Hahhh.” Guntur merebahkan tubuhnya di atas kursi taman.

Refan mengeluarkan bungkus rokok, lalu meng_hisap dan menyelipkan diantara sela jarinya.

“Perasaan hidup kita begini aja ya, flat. Setiap pagi dihukum, siang enak-enak sama pacar terus malam ngetrack, mabuk, tidur dan terus begitu saja,: tutur Refan. “Monoton,” ujarnya lagi.

“Berisik, kalau mau ngoceh sana jangan di sini. gue ngantuk.”

Setelah menghabiskan satu batang rokok, Refan beranjak meninggalkan Guntur.

Sedangkan di tempat berbeda, Alya baru selesai dengan tugasnya berbarengan dengan jam istirahat. Bergegas dia menuju kelas Mona.

“Makan sama lo,” ujar Mona sambil mengguyurkan soda ke wajah Alya. “Gue minta buat sarapan, kenapa baru sekarang lo anter.”

“Saya udah beli tadi pagi, tapi  saya dihukum karena terlambat. Ini baru selesai …”

“Halah, alasan saja.”

Refan menghampiri Mona dan melirik Alya.

“Ada apa sih?” tanya Refan sambil menatap Alya dari rambut sampai kaki.

“Baiasa, ini si cupu cari gara-gara. Kemarin tugas gue pada salah, sekarang suruh beli sarapan datang jam segini."

Entah mengapa Refan tersenyum melihat Alya yang penampilannya berantakan. Rambutnya lepek karena keringat waktu mengepel UKS. Wajahnya basah karena disiram soda, juga kacamata membuat penampilan gadis itu terlihat sangat tidak menarik.

“Alya,” ucap Guntur lalu menatap Jati dan Kanta.

Refan mengusulkan kalau Guntur harus mendekati Alya, untuk buat gadis itu jatuh cinta atau bisa mendapatkan tubuhnya sebagai imbalan karena kalah dalam balap motor tadi malam.

“Tampangnya kayak gimana? Kalau cantik nggak usah entar-entar langsung gue lakuin di depan lo deh,” cetus Guntur pada Refan. Tentu saja Refan tertawa membayangkan penampilan Alya, karena Guntur belum mengenal dan melihat Alya.

Jati dan kanta pun mencari tahu siswa bernama Alya dan mengajak Guntur menemui gadis itu sepulang sekolah.

“Gimana?” tanya Guntur yang menunggu di parkiran dan duduk di atas motornya.

Jati dan Kanta saling tatap, mereka sudah bertemu Alya dan ragu menyampaikan pada Guntur.

“Kenapa pada diem sih?”

“Alya bukan tipe lo banget deh, mending minta bayaran taruhan yang lain,” usul Jati.

“Nggak bisa, gue nggak mau mohon-mohon ke Refan. Dia pasti bakal minta gue aneh-aneh untuk batalin hasil taruhan ini. Bawa aja anaknya ke sini,” titah Guntur.

“Dia masih di kelas. Di bully sama temen-temennya,” sahut Kanta.

“Hahh, di bully?”

Bab 3 ~ Mana Mungkin Jatuh Cinta

“Biar aku aja Bu.” Alya mengambil alih sapu dari tangan ibunya.

“Kenapa lagi?” Alya tidak menjawab. Walaupun tidak bercerita, Ibunya tahu kalau Alya selalu dirundung teman-temannya. “Kamu diminta apa lagi?”

“Nggak ada Bu, aku dihukum karena tidak kerjakan tugas,” sahut Alya berdusta. Tidak ingin menambah pikiran Ibunya, dia hanya perlu menunggu dan bersabar satu tahun lagi lalu lulus dan bekerja.

Keberadaaan Alya di SMA Bina Bangsa, memang terlalu kontras. Di saat teman-temannya diantar mobil mewah bahkan dengan supir atau membawa kendaraan sendiri, Alya datang dan pergi menggunakan angkutan umum.

Ketika para siswa menggunakan gadget keluaran terbaru dan harga fantastis. Alya hanya menggunakan ponsel keluaran lama dengan memory sempit dan harus sering dihapus isinya.

“Kamu mandi gih, udah sore.”

Alya meletakan sapu setelah memastikan lantai sudah bersih. Dia hanya tinggal bersama ibunya, di rumah kontrakan. Sehari-hari, Marni -- ibu Alya -- berjualan kue basah di pasar. Dengan keadaannya, Alya tidak pernah terpikir untuk main ke mall, kuliah di kampus pilihan atau bergaya sesuai trend saat ini. Impiannya hanya ingin bekerja, tidak ingin lagi melihat Ibunya berjualan agar bisa makan.

Sedangkan di tempat berbeda, di mana kondisi yang sangat bertolak belakang dengan keadaan kehidupan Alya. Guntur, pulang ke rumah melempar tasnya lalu menghempaskan tubuh ke atas sofa.

“Bik,” teriak Guntur.

Seorang asisten rumah tangga, tergopoh-gopoh menghampiri Guntur.

“Den Guntur mau makan?”

“Nggak,” jawab Guntur sambil fokus pada games online. “Ada mobil Mami di depan, memang Mami pulang?”

“Iya Den.”

“Hm, aku mau es ya Bik.”

Perempuan paruh baya yang dipanggil Bibi bergegas ke dapur dan membuatkan es yang diminta majikannya. Es jeruk selasih, minuman favorit Guntur jika berada di rumah.

“Yess,” pekik Guntur, dia berhasil menang lagi.

Terdengar langkah kaki dan suara tertawa, Guntur menoleh. Seorang wanita baru saja menuruni anak tangga bersama seorang pemuda, terkejut melihat keberadaan Guntur.

“Sayang, kamu sudah pulang?” tanya Anggi -- Mami Guntur.

Guntur menatap pemuda yang merangkul Maminya. Orangtua Guntur sudah berpisah, keduanya sama-sama sibuk dan sukses di usahanya tapi tidak dengan keluarga.

“Mami kalau mau aku pulang ke sini, jangan pernah bawa laki-laki manapun ke rumah kecuali dia suami sah Mami. Terserah Mami mau main gila dengan laki manapun, tapi jangan di depanku dan jangan di rumah yang aku tempati.”

“Maaf sayang, Rico hanya temani Mami ambil berkas di kamar.”

“Mami pikir aku anak kecil yang nggak tahu apa yang kalian lakukan di kamar,” teriak Guntur. “Heh, gigol*. Terserah lo mau peras nyokap gue kayak gimana, tapi jangan berharap bisa dapatkan semua hak gue,” tunjuk Guntur.  

“Sudah, jangan ribut. Mami balik ke kantor, kamu baik-baik ya sayang,” ujar Anggi pada putranya. “Uang saku kamu, nanti Mami transfer ya.”

Begitulah Guntur, yang selalu mendapatkan kemewahan dan kucuran dana baik dari Mami atau Papinya sebagai pengganti ketidakhadiran mereka. Ada konsep yang salah di sini, karena Guntur bukan hanya butuh uang. Ada yang hilang dari kebersamaan mereka membuat karakter Guntur begitu kua, dia tumbuh dan terbentuk dengan sendirinya tanpa figur orang tua utuh dan keharmonisan keluarga.

Papi Guntur tidak jauh berbeda dengan Maminya, sibuk dengan bisnisnya. Bedanya dia sudah menikah lagi, juga ada istri muda yang mewarnai kehidupannya

...***...

“Anter gue ketemu Alya,” titah Guntur pada Jati dan Kanta.

Padahal saat ini jam istirahat, biasanya mereka akan habiskan waktu di kantin, taman belakang atau auditorium.

“Lo jangan kaget ya,” ujar Kanta lalu tertawa bersama Jati.

“Kaget gimana maksud lo?” tanya Guntur.

“Lihat saja nanti.”

Ketiga cowok itu berjalan melewati koridor

“Guntur!”

“Kak Guntur, I love you!”

Teriakan dan panggilan dari para siswi penggemar Guntur sudah tidak aneh bagi Guntur. Selain dikenal karena terlibat dengan geng motor bahkan sering bermasalah, tapi penampilan Guntur bukan kaleng-kaleng. Tubuhnya tinggi rahangnya tegas dan wajah tampan ala-ala badboy.

“Kak Guntur, mau temani aku ke perpus nggak?” tanya seorang siswi dengan suara manja.

Guntur menghentikan langkahnya lalu membelai pipi gadis itu. “Gue nggak bisa, karena lo bukan tipe gue. Sorry ya,” ujar Guntur.

“Tapi aku bisa kasih apa yang Kak Guntur mau loh.”

“Nah ini makin gue nggak suka. Lo murahan, lebih berharga pelacur yang menjual diri daripada lo yang menawarkan diri Cuma-Cuma. Cabut,’ titah Guntur pada kedua temannya.

“Kasian deh lo,” ejek Jati pada cewek tadi.

“Ini kelasnya.” Trio gabut itu sudah berada di depan kelas Alya.

“Eh, lo lihat Alya?” tanya Kanta pada salah satu siswa.

“Ada di dalam.”

Guntur pun melangkah masih dan berdiri di tengah pintu menyaksikan perundungan yang terjadi di kelas tersebut.

"Dia yang namanya Alya, yang lake kaca mata," ujar Jati pelan.

“Gue bilang kerjakan juga yang fisika, lo budek apa gimana sih?” Mona melemparkan bukunya ke wajah Alya. “Awas kalau nggak selesai!”

“Eh Guntur,” sapa Mona yang berpapasan dengan Guntur, tapi Guntur mengabaikannya. Dia sedang menatap gadis bernama Alya. Berkacamata dan kuncir rambut ekor kuda, ditindas oleh teman-temannya.

“Kayaknya Refan udah nggak waras, apa istimewa sampai gue harus buat perempuan itu jatuh cinta atau tidur bareng dia,” gumam Guntur.

“Woi, cupu,” panggil Guntur pada Alya.

Mereka bertatapan dan gadis itu mengernyitkan dahi melihat salah satu siswa populer di sekolah sudah berdiri tidak jauh darinya.

“Lo siapa sih? Kok bisa ada di sekolah ini?” tanya Guntur pada Alya.

Alya tidak paham maksud pertanyaan Guntur, dia malah duduk dan mulai mengerjakan tugas Fisika milik Mona.

Brak

Guntur menggebrak meja Alya, membuat gadis itu terkejut.

“Lo punya kuping dan mulut ‘kan?”

Alya mengangguk.

“Berarti kuping lo denger pertanyaan gue dan mulut lo harusnya jawab,” teriak Guntur.

“Tapi aku nggak ngerti maksud pertanyaan kamu.”

“Pantes aja lo di bully, lo bolot sih. Gue tanya kenapa bisa lo ada di sekolah ini, tampang lo bukan tampang orang kaya.”

“Aku ikut jalur beasiswa, lagipula tidak ada aturan kalau sekolah ini hanya untuk kalian para anak sultan.”

“Wah, dia berani ngoceh di depan Guntur,” cetus Jati.

“Tunggu aja, lo dalam pengawasan gue,” tunjuk Guntur. “Ayo, cabut. Kita cari si bangk3 Refan.”

Refan ada di kantin dan Mona berada di pangkuannya.

“Parah lo Men. Cari yang lainlah, mana ada gue tertariknya sama tuh cewek. Bawaannya pengen ngegas terus,” keluh Guntur.

Refan terbahak. “Bagus dong, kalau mau ngegas. Langsung aja lo deketin, dapat dan selesai,” ujar Refan.

“Nggak gitu juga, nggak yakin gue bisa bergair@h biar kata dia polos.”

“Jangan gitu lo, mana tahu besok-besok lo malah bucin,” ejek Refan lagi.

“Nggak, nggak mungkin. Gue nggak akan jatuh cinta sama perempuan tampang cupu kayak si Alya,” ucap Guntur dengan penuh keyakinan dan jumawa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!