Celia Novalia Sujadi, gadis cantik si kembang desa yang sedang ranum-ranumnya, bukan anak konglomerat apalagi kolongwewe. Ia hanya anak dari keluarga biasa, kaum menengah bersahaja, hanya saja ayahnya cukup memiliki pengaruh di desa tempat ia tinggal, hingga keluarganya begitu disegani dan otomatis ia pun ikut kecipratan kharisma yang dimiliki ayahnya, ikut disegani orang-orang di desa juga teman sepermainannya, hebatnya the power of orang orangtua. Celia memiliki seorang adik laki-laki, namun karena dari kecil adiknya sering sakit-sakitan, orangtuanya menggantungkan semua asa dan harapan di pundak gadis ayu itu. Dari kecil Celia sudah di didik untuk mandiri, serta bermental kuat, ia diharuskan untuk melakukan banyak hal sendiri karena kedibukan orangtuanya. Otot kawat balung wesi dada seng (otot kawat tulang besi dada seng) menjadi semboyannya, raga boleh wanita ayu bak bulan purnama, hati boleh selembut tahu sutra melow-melow manja, tapi mental harus kuat sekuat baja.
Disinilah sekarang celia berada, disebuah aula terbuka salah satu Universitas swasta di kota S yang dipenuhi ribuan calon wisudawan. Jantungnya berdetak cepat, ada rasa haru dan bangga menyeruak di dada, pada akhirnya ia dapat memenuhi salah satu harapan orangtuanya menjadi seorang sarjana, ya meski tidak cumlaude setidaknya ia tidak bercita-cita jadi mahasiswa abadi yang begitu menyayangi dosen-dosennya sampai enggan untuk berpisah.
Celia tampak begitu anggun dengan kebaya merah muda pas body yang ia kenakan. Rambut indahnya disanggul dengan gaya modern begitu selaras dengan sentuhan make up flawless, bibir seksi nan berisi dengan sapuan lipstick nude miliknya terus mengembangkan senyuman. Meski di tutup dengan jubah toga wisuda namun pesona si kembang desa tetap dapat mencuri perhatian para kumbang-kumbang kampus sampai terlena mabuk kepayang. Celia didampingi kedua orangtuanya duduk dibarisan tengah sesuai dengan urutan prodi dan nomor induk mahasiswa, ia duduk berdekatan dengan teman-teman satu genknya yang memang memiliki nomor induk mahasiswa yang berurutan, genk nitip absen, genk bolos berjamaah, genk ghibah, genk mabar, dari ngerjain tugas kuliah sampai milih dosen pembimbing dan ngerjain skripsi mereka kompak sama-sama, katanya sih masuk bareng, lulus juga harus bareng dong, jangan ada yang ketinggalan nanti kesepian. The real definisi dari sahabat bagai kepompong, kemana-mana bergerombol seperti anak itik mencari induknya.
"Celia Novalia Sujadi, S.M" suara merdu MC menyebutkan nama Celia, dan akhirnya perjuangan Celia mengenyam pendidikan sebagai mahasiswa selama 4 tahun selesai sudah dengan digesernya tali pada topi toga dari kiri menjadi disebelah kanan, that's it, sesimpel itu. Acara wisuda pagi itu diakhiri dengan foto bersama keluarga, dan teman-temannya. Ditengah euforia bahagianya wisuda terselip rasa sedih dihati Celia, karena setelah ini ia akan dikirim orangtuanya ke kota J untuk merantau, mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian, mungkinkah ia akan menjadi toyibwati, tiga kali puasa tiga kali lebaran tak pulang-pulang, belum pergi saja ia sudah rindu tanah kelahiran.
Jika Celia bisa memilih, ia pasti akan lebih memilih untuk mencari pekerjaan di kota kelahirannya saja, kenapa harus merantau, jauh dari orangtua dan teman-temannya, namun sayangnya Celia tak punya pilihan, orangtuanya begitu menginginkan agar Celia bisa bekerja di kota J, dengan harapan masa depan yang lebih menjanjikan untuk putrinya. Selain itu orangtua Celia juga berharap dengan ia bekerja di kota J, Celia akan mendapatkan jodoh yang baik, laki-laki dengan pendidikan tinggi dan pekerjaan mapan.
Tak butuh waktu lama kaya jagain jodoh orang, hanya selang satu bulan setelah wisuda Celia benar-benar dikirim orangtuanya ke Kota J. Bukan tanpa penolakan, negosiasinya bersama ayahnya gagal, sang ayah tetap pada pendiriannya, masa depan anaknya akan lebih baik jika ia berada di kota J. Derai air mata mengantar keberangkatan si kembang desa, anak gadis satu-satunya Bapak Sujadi, pupus sudah harapan para kumbang desa untuk menjalin kasih dengannya, terpotek hati. kangmas dek.
Terminal hari ini ramai seperti biasanya, penjual asongan hilir mudik menjajakan barang dagangan mereka yang mayoritas adalah camilan dan minuman segar. Celia membeli sebotol air mineral dingin, siapa tau setelah minum air dingin pikirannya akan adem, dan sesak dihatinya akan berkuran. Celia menyandarkan kepalanya dipundak sang ibu, meski tak kokoh namun begitu nyaman. Ibu mengelus kepala Celia dengan lembut. "Nduk, sing ngati-ati, kerja sing temen, sing telaten, nurut budhe lan pakdhe ya nduk. Adoh seko wongtua kesehatane dijaga, ibu lan bapak mung bisa nyangoni donga pangestu, muga-muga awakmu olehe kerjaan sing kepenak, dadi kebanggaane Bapak lan Ibu sing bisa ngangkat derajate wongtuo (Nduk, yang hati-hati, kerja yang bener, telaten, nurut sama budhe dan pakdhe. Jauh dari orangtua kesehatannya dijaga, bapak dan ibu hanya bisa membekali dengan doa restu, semoga kamu mendapatkan pekerjaan ditempat yang enak. Kamu adalah kebanggaan ibu dan bapak, yang bisa memgangkat derajat orangtua)". Suara ibu bergetar, berusaha sekuat mungkin untuk menahan airmatanya agar terlihat tegar di depan putrinya. Tak ada Ibu yang ingin jauh dari anak-anaknya bukan?, terlebih Celia adalah anak gadis satu-satunya. "Inggih buk" (iya buk), hanya dua kata itu yang bisa keluar dari Celia, selebihnya semua kata yang ingin ia ucapkan seakan tertahan ditenggorokan dan terasa begitu sesak juga sakit saat ingin diucapkan.
Seandainya bapak dan ibuk tahu apa yang Celia inginkan, Celia hanya ingin bekerja disini, menemani kalian disini, Celia tidak mau jauh dari bapak dan ibu. Celia takut buk ... pak ... akan seperti apa dunia diluar sana, apakah akan sekejam kehidupan di kota-kota besar seperti yang sering aku lihat di TV? banyak yang jahat, berkelompok, intoleran, senior - junior, saling sikut, aaarrgghhh....ya Allah belum apa-apa Celia udah merasa takut dan minder pak ... buk.
Bus yang akan dinaiki Celia sudah akan berangkat, ia memeluk ibunya erat kemudian mencium tangan beliau, sementara ayahnya sudah menunggu di depan pintu bus, beliau akan mengantar Celia sampai di kota tujuan dan sekaligus akan menitipkan Celia dirumah budhenya.
Celia berpamitan pada adiknya, adik satu-satunya yang selalu meramaikan hari-harinya dengan canda dan tawa, saling menjahili, dan kadang berdebat hingga membuat ibu sampai mengangkat sendal jepit kebanggaannya agar mereka berdua berhenti bertengkar.
"Coy, aku titip ibuk karo bapak ya, koe ya kuliah sing tenanan ben cepet lulus, ojo pacaran wae (coy, aku titip ibuk sama bapak ya, kamu juga kuliah yang sungguh-sungguh biar cepet lulus, jangan pacaran terus)".
"iyo mbak, ati-ati, ojo nangis wae, arep merantau kok kaya arep ditinggal rabi mantan, isin karo umbel, nek tiba tangi dewe ya, awakmu gedhi raenek sik dasi ngangkat mbak (iya mbak, hati-hati, jangan nangis terus, mau pergi merantau kok kaya mau ditinggal mantan menikah, malu sama ingus, kalo jatuh bangun sendiri ya, badanmu besar gak ada yang kuat angkat)".
"eh si kamvreeet cupid, body goals ini lho, kutilang damon..kurus, tinggi, langsing, dada mont*k". Kaaan..kan..mereka masih bisa berdebat dan saling ejek, tapi setidaknya itu bisa sedikit mengalihkan kesedihan Celia.
"Ayo nduk, buse wis arep mangkat, bapak mangkat ya buk...le...(ayo nduk, busnya sudah mau berangkat, bapak berangkat dulu ya buk...le...)", suara bapak mengakhiri perdebatan dua anak besar itu.
"iya pak ngati-ati, salam kagem pakdhe budhe, direpoti dititipi anak wedok (iya pak hati-hati, salam buat pakdhe dan budhe, direpotkan dititipin anak perempuan kita)".
"iya bune (iya buk)".
Celia naik kedalam armada yang akan segera mengantarkannya ke kota orang. Pijakan pertama saat ia naik hati rasa terpotek, air mata bak air terjun grojogan sewu, apalagi ingusnya yang dari tadi sudah naik turun naik turun macam hysteria. Saat ia semakin melangkah masuk, berjalan menuju tempat duduknya hati dan langkah kaki Celia terasa semakin berat meski tak seberat dosa-dosanya yang dulu sering ghibahin anak tetangga. Para penumpang lainnya menatap kearah Celia, weitsss...stop! jangan berpikir mereka sedang mengagumi kecantikan gadis itu, karena faktanya penampilan Celia saat ini lebih mirip anak soang yang mau ganti bulu, rambut dikuncir asal-asalan, tanpa polesan make up, dihiasi dengan mata sembab, pipi basah, dan hidung merah semerah tomat, sungguh pemandangan yang paripurna.
Celia duduk disamping ayahnya, dekat jendela. Bus yang ia tumpangi mulai berjalan pelan meninggalkan terminal. Celia melambaikan tangan pada ibu dan adiknya. Dapat ia lihat ibu mengusap airmatanya, mereka nampak semakin kecil dan menjauh seiring laju bus yg semakin cepat meninggalkan terminal.
"Ojo susah nduk, bapak karo ibuk kepengen sing terbaik kanggo masa depan mu (Jangan sedih nduk, bapak sama ibuk ingin yang terbaik untuk masa depan mu)", ayahnya berkata pelan sambil mengusap pundak Celia untuk menguatkan.
Celia hanya mengangguk, sambil masih tetap melihat kearah luar kaca jendela, menikmati pemandangan kota kelahiran yang akan segera ia tinggalkan.
Selamat tinggal kota kelahiranku, tapi bukan untuk selamanya, Celia bukan toyibwati yang tiga kali puasa tiga kali lebaran gak pulang-pulang. Terima kasih kota kelahiranku, kota kecil penuh kenangan.
* Nduk : panggilan untuk anak perempuan
* Le : panggilan untuk anak laki-laki
Dari kota S ke kota J akan memakan waktu kurang lebih delapan jam, namun hingga hampir setengah perjalanan terlewati tak semenit pun Celia bisa tertidur. Padahal bus yang ia tumpangi adalah bus kelas eksekutif yang sengaja dipesan oleh ayahnya agar ia merasa nyaman diperjalanan, dengan tempat duduk yang lumayan lebar hingga ukuran 5L (langsing, langsing, langsing, langsing dan langsing), tersa sangat empuk dan nyaman, serta dilengkapi dengan sandaran kaki juga selimut, takut kalau-kalau penumpangnya kedinginan dan lagi nggak bawa pasangan, kan jadi nggak bisa berpelukan kaya Teletubbies. Sayang sekali, simanis jembatan gantung yang sedang gundah gulana ini sama sekali tak menikmati perjalanannya. Ayahnya juga lebih banyak diam, hanya sesekali mengajak Celia bicara.
Pak Sujadi tampak memejamkan matanya, hanya sekedar memejamkan mata, karena ia pun juga tak benar-benar bisa tidur. Pria paruh baya itu juga sebenarnya merasa sedih akan berpisah jauh dari anak gadisnya, merantau di kota besar, jauh dari pandangannya, jauh dari penjagaan dan pengawasannya. Akan tetapi ia yakin dan percaya Celia mampu menjaga diri dan kehormatannya, ditambah disana Celia akan tinggal dengan budhenya, yaitu budhe Rani yang adalah kakak kandung dari pak Sujadi sendiri.
Pak Sujadi sangat menyayangi Celia, bahkan sedari istrinya mengandung ia sudah sangat berharap jika bayi yang dikandung oleh istrinya adalah anak perempuan, dan ketika Celia lahir, ia merasa begitu bahagia dan sangat bersyukur karena keingannya untuk memiliki anak perempuan terkabul. Dalam benaknya kembali terlintas pada Celia kecilnya yang ceria. Saat kecil dulu Celia sangat dekat dengan ayahnya, bahkan ia tidak akan bisa tidur jika tidak di ketiak sang ayah sambil di usap-usap kepalanya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Celia yang semakin beranjak besar mulai memilik dunianya sendiri hingga tercipta sedikit jarak antara ia dan ayahnya. Meskipun begitu, pak Sujadi tetap memantau tumbuh kembang putrinya, memastikan jika putri kesayangannya tidak keluar jalur, tetap berada di circle pergaulan yang aman. Celia juga ia didik menjadi anak yang mandiri agar kelak ia bisa menjadi wanita yang kuat, tidak manja dan ketergantungan pada orang lain. Tak terasa waktu yang telah berlalu terasa begitu cepat, satu persatu tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah telah ia tunaikan, hari ini ia pergi mengantar putrinya menuju gerbang kesuksesan, dan mungkin sebentar lagi ia akan mengantarkan putrinya menuju mahligai pernikahan, yang mana itu akan menjadi tugas dan tanggung jawab terakhirnya sebagai orangtua. Tanpa ada yang menyadarinya, sesekali pria paruh baya itu manarik nafasnya dalam untuk mengurai sesak di dada dan diam-diam mengusap ekor matanya yang berair.
Anakku, maafkan ayah harus mengirimmu pergi jauh dari kami, jadilah wanita yang kuat, wanita yang mandiri, agar kelak tidak akan ada satu orangpun yang dapat meremehkanmu meskipun kamu seorang wanita, dan juga kelak jika kamu sudah menikah, kamu tidak akan dipandang sebelah mata mertuamu, keluarga dan saudara-saudaranya.
Celia masih setia memandang keluar jendela, melihat pemandangan yang silih beganti, sesekali ia akan memejamkan mata untuk menghilangkan rasa perih, pikirannya seperti kosong, mungkin tadi tertinggal di terminal lupa nggak dimasukin bagasi. Tadi saja saat bus yang ia naiki keluar dari batas kota, nona manis ini rasanya ingin lari ke depan, membuka pintunya dan melompat keluar. Untung saja niat tak terpujinya itu tidak terealisasi karena takut, takut jatuh nyungsep nyium aspal, guling-guling, berdarah-darah dan patah-patah, atau mungkin bisa lebih fatal lagi, ditemuin sama malaikat, iya kalau diajak terbang ke langit ketujuh buat ketemu sama bidadara setampan lee min ho, lha kalau malah dijatuhin ke kerak neraka bareng sama kang togel gimana?! Amit-amit jabang kebo.
Bapak kok bisa tidur nyenyak gitu ya, gak sedih apa mau pisah jauh sama Celia, Celia ini anak bapak lho, anak gadis bapak satu-satunya, yang paling demplon sekampung, sedih aku tu.
Gini nih kalo anak kurang micin, bawaannya suka suudzon kalo lagi rumit.
Kurang lebih pukul 18.30 WIB, mereka berhenti di tempat peristirahatan para bus di kota G.
"Bapak/Ibu, saat ini kita sampai di kota G, bus akan berhenti kurang lebih setengah jam, dipersilakan bagi penumpang untuk turun ishoma, makan malam sudah disiapkan di restaurant, dimohon untuk membawa kupon makan yang ada pada tiket masing-masing, toilet dan mushola ada disebelah barat restaurant". Memang tak semerdu suara announcement pramugara, tapi suara serak-serak becek pak kondektur bisa bikin mata para penumpang jadi seger, lumayankan bisa isi perut lanjut ngopi-ngopi mase atau ngeteh-ngeteh mbake, bisa juga jingkrak-jingkrak dulu biar otot nggak kaku.
"ayo nduk midun (ayo turun nduk)".
"nggih pak, niki tasih madosi sendal wau kulo lepas wau dereng ketemu (iya pak, ini masih nyari sendal tadi aku lepas, belum ketemu)". Yaelah pake segala drama sendal ilang dikolong kursi lagi.
Sedih boleh, tapi perut jangan sampai kosong, nangis itu butuh banyak energi, kalau nggak makan nanti nggak kuat nangis, melehoy menghadapi kenyataan yang seringnya tak seindah kukunya para putri.
Delapan jam perjalanan terasa sangat cepat bagi jiwa yang sebenarnya menolak namun terpaksa mengiyakan demi bakti dan rasa sayang. Terpampang jelas tulisan serta icon selamat datang di kota J, kota metropolitan yang katanya lebih menjanjikan masa depan, buktinya makin banyak saja perantau yang datang untuk mengadu nasib.
Begitu mereka turun dari bus, rupanya sudah ada mas Andri, menantu dari budhe rani yang menjemput Celia dan ayahnya.
" Pak lik gimana kabarnya? Lancar ya Pak lik tadi perjalanannya?"
" Alhamdulillah semua sehat mas Andri, perjalanan juga lancar tadi."
" Lho Cel, mata kamu kenapa itu?"
" Ini mata Celia nggak kenapa-kenapa kok mas, kayanya sih digigit semut tadi pas Celia tidur di bus, kan jadi bengkak gini mata Celia."
" Oalah Cel ... Cel ... udah nggak usah nangis, disini kan juga keluargamu semua to."
" hehe ... ketauan banget ya mas kalo Celia abis mewek, malu mas, mata Celia bengkak mana merah gini, ntar dikira budhe mas Andri pulang bawa the head slinging slasher."
" kamu ini ada-ada saja to Cel. Ya sudah ayo ke mobil, mari pak lik saya bantu bawa barang-barangnya ke mobil".
Mobil mereka melaju membelah jalanan kota metropolitan yang tidak pernah tidur 24 jam, selalu ramai dengan berbagai aktivitas penduduknya.
Masih rame aja, udah dini hari gini ya, kalau dikampung jam-jam segini mah yang rame lalu lalang bukan orang, tapi mbak kun dan kawan-kawannya yang mau berangkat dangdutan. Celia malah senyam-senyum sendiri membayangkannya.
- Pak lik : paman (adik dari ayah /ibu)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!