NovelToon NovelToon

Yellow Flag

Pertemuan Tak Disengaja

🌻Winona Pov.

Obrolan riuh di sekeliling menjadi latar menjengkelkan, saat aku terpaksa menunggu Sepia. Gadis itu sudah berjanji sekitar empat puluh lima menit yang lalu, sebentar lagi dia akan sampai!

Entah berapa lama waktu untuk kata ‘sebentar’ itu.

Namun lagi-lagi, aku dibuat kesal dengan jam karet sahabatku itu. Selalu saja begini! Aku selalu membuang waktu berharga demi menunggu gadis itu.

Apa alasannya kali ini? Menjemput anak suaminya dari tempat les musik? Ya, Sepia sudah menikah dua bulan lalu dengan duda kaya beranak satu. Pria itu mapan, meski tidak terlalu tampan.

Hmm, mungkin seleraku saja yang berbeda dengan Sepia. Karena bagi sahabatku yang manis itu, Gema sangat tampan dan hot. Aku akui, tubuhnya memang kekar. Wajah tirus dengan mata sipit. Dia bisa tampak seperti oppa Korea. Dan akan laris manis, jika saja warna kulitnya putih seperti standar ideal orang Indonesia. Alih-alih Gema memiliki kulit sawo matang khas wilayah tropis.

Poin pentingnya adalah, dia kaya. Memiliki saham di salah satu retail ternama di Indonesia. Dia juga mengembangkan bisnis beach club yang sudah memiliki lima cabang. Angka lima masih tergolong sedikit, tapi jika kelimanya sudah memiliki bintang lima?

Memikirkan kekayaan suami temanku itu, tidak membuatku iri. Ataupun berhasrat untuk menikung temanku. Meskipun sebelum menikah dengan Sepia, Gema sempat menghubungiku.

Menggelengkan kepala dengan pelan, aku mencoba mengenyahkan memori itu! Mencoba menghapus isi chat manis yang aku akui, sempat membuatku merona.

Ini tidak baik!

Jelas melanggar moral yang harus dipegang dalam menjalin hubungan persahabatan. Namun perilaku Gema membuatku merasa waspada. Takut jika dia bermain di belakang sahabatku. Jika dia berani menyatakan perasaan padaku, bukan tidak mungkin, dia juga berani bermain di luar sana dengan perempuan lain!

Menggigit pelan bibir bawah, aku kembali mengecek layar di ponsel. Aku menatap nyalang pada angka 9.15 PM!

Oh, bagiku ini sudah larut!

Jika saja Sepia tidak mengiming-imingi pekerjaan baru di kantornya, aku tidak akan rela menunggunya selama ini!

Aku begitu frustasi ingin resign kerja dari tempatku yang sekarang. Merasa muak dengan lingkungan kantor yang banyak menuntut, namun pelit memberi uang lembur. Di masa-masa seperti ini, rasa ingin mencari pasangan yang bisa menghidupi dan membiayai, tak bisa aku kubur.

Mengembuskan napas berat, aku mencoba mengenyahkan segala pikiran yang berkecamuk di dalam kepala. Overthinking selalu membayangi malam hariku.

Membuka aplikasi chat, aku menekan keyboard di layar touch screen itu dengan sedikit keras. Aku kembali merasa geram dengan Sepia!

^^^| Sep, lu di mana sih? ^^^

^^^| Gue pulang, ah!^^^

Pesanku ceklis dua, namun warna pudar itu menghilangkan harapanku agar pesan itu segera dibalas.

Memasukkan ponsel ke dalam sling bag, aku mengambil cangkir kopi yang masih berisi separuh. Selagi aku meneguk cairan cream itu, sudut mataku menatap sosok yang tidak asing.

Mengalihkan wajahku ke depan, sepenuhnya menatap ke arah makhluk yang berjalan sekitar lima meter dariku.

Napasku tertahan. Dadaku kembali terasa sesak. Dunia rasanya bergerak lamban. Di kala kenangan di pikiranku kembali menyeruak.

Pikiranku yang penuh dengan kekesalan dengan Sepia, mendadak hilang.

Kosong.

Digantikan dengan gambaran dari sosok yang dulu selalu membuat jantungku berdebar tak karuan. Meskipun sekarang, kehadirannya menyisakan desiran yang membuatku membeku kedinginan!

Aku meletakkan cangkir latte sedikit kasar. Entah mengapa, amarah yang tertahan kembali membuncah di dada. Ingin aku berteriak keras, tepat di hadapan pria itu!

Nyatanya, aku tidak memiliki keberanian sebesar itu.

Sudut kecil di hatiku masih menyimpan harapan. Perasaan itu membuatku lemah! Perasaan mendamba yang tak pernah bisa terbalaskan. Dan itu menggangguku hingga membuatku marah.

Marah karena nyatanya aku tidak bisa melupakan pria itu!

Karena kata orang, cinta yang menghilang tiba-tiba akan meninggalkan kenangan tak sampai. Tempat di mana logika selalu mempertanyakan kejelasan, karena belum ada kata usai.

Entah hanya perasaanku saja, atau memang sekilas, lirikan tajam dari pria itu terarah padaku?

Apa dia melihatku?

Oh, betapa aku berharap dia berjalan ke arahku. Jika dia membuka ruang obrolan untuk penjelasan, mungkin ada sedikit rasa bersalah bersarang di hatinya.

Jika dia mengabaikanku, bertindak seolah tidak melihatku….

Aku harus sadar diri, karena dia tidak menganggapku ada!

Hatiku merasakan sedikit kekecewaan. Karena dia tidak menemuiku. Dia di sana, mengobrol asik dengan teman-temannya.

Aku bisa melihat dua orang wanita dan dua lagi pria di meja yang sama dengannya. Si wanita berambut pirang ombre, terus-terusan tertawa. Lirikan matanya terpaku pada pria menyebalkan itu.

Dan aku? Bodohnya aku, mengarahkan pandangan pada wajah itu. Seolah tidak ada artinya, jarak empat meja yang memisahkan kita. Orang-orang yang duduk di antara kami seperti gambaran blur, yang membuatku hanya bisa fokus pada satu titik.

Satu lirikan dari sudut matanya, berhasil mencuri detak jantungku. Rahangnya sedikit mengencang, di kala kesadaran menyerbu pikirannya. Dengan cepat, pria itu berpaling dengan sedikit menegakkan tubuhnya.

Oh, apa dia melihatku?

Lalu lirikan yang pertama tadi, hanya perasaanku saja?!

Si wanita pirang ombre sedikit menjulurkan leher, melirik ke arahku dengan sorot tajam. Bibirnya menyunggingkan senyum paksa.

Oh, apa mereka membicarakan aku?

Aku menghabiskan sisa kopi. Dengan embusan napas kasar, aku memaksa kaki untuk berdiri dan melangkah pergi.

Entah mengapa, di saat khayalanku berubah nyata, aku jadi takut menemuinya. Aku takut emosiku akan hancur, membuka kembali kisah lama. Mempertanyakan segala asumsi yang masih bergelayut di pikiranku yang masih trauma.

Aku berjalan cepat, sambil memfokuskan pandanganku pada pintu keluar. Sudut mataku menangkap sosok tinggi itu berdiri dan memutar tubuhnya.

“Winona!”

Sial!

Sial!

Apa si brengsek tak tahu rasa bersalah itu memanggil namaku?

Aku mendengus kecil, lalu dengan sikap tak acuh melanjutkan langkah kaki menuju pintu.

Ketika tanganku hendak mendorong pintu kaca, sebuah tepukan pelan di pundak, membuatku terdiam.

“Wio…” panggil suara berat itu dengan nada lembut.

Ught! Mengapa dia begitu keras kepala?

Aku menghela napas berat sebelum memutar tubuh, melirik pria tinggi itu dari sudut mata. “Huh?”

Oke. Reaksiku harus terlihat kaget. Aku harus menunjukkan ekspresi terkejut! Jika tidak, sikapku yang berpura-pura tidak mendengar panggilannya tadi akan ketahuan.

Aku membulatkan mata, sembari menarik napas tajam. “Oh! Jacob!” ujarku dengan nada terkejut. Bibirku sedikit terbuka, memberikan efek ekstra pada ekspresi kaget.

Senyum kecil tertarik di sudut bibirnya yang…

Astaga…

Aku harus menghapus kenangan itu!

Namun aku tidak bisa memungkiri, dia masih meninggalkan bekas yang mendalam di dalam ingatanku.

Pelukan hangatnya di kala hujan. Janji manis yang diucapkan bibir itu. Aku begitu terkecoh. Begitu terlena. Sehingga membiarkannya mencium diriku.

“Aku panggil kamu tadi.”

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Ah, ya?” ujarku dengan kekehan pelan.

“Gabung yuk, sama anak-anak sinema dulu.”

Anak sinema dulu? Aku menjulurkan leher, mencoba melihat ke balik tubuhnya yang menjulang tinggi di hadapanku.

Waktu mengubah segalanya. Begitupun tampilan teman-teman kuliahku.

Aku tertawa gugup. Kembali menatap wajah menawan hati itu. Mata almond dinaungi bulu mata lentik itu begitu indah. Hidung mancung dan rahang tegas itu mempertegas struktur wajahnya yang rupawan.

Ya, ayahnya orang Jerman. Menyumbangkan genetika yang membentuk struktur asing pada wajah itu. Bukan hanya wajah, postur tubuhnya juga tinggi dan tegap.

Aku memutus kontak mata. Takut jika terlalu lama menatap, akan menciptakan mantra yang tidak bisa membuatku lupa. Karena aku tahu, segala kenangan akan kembali berputar di kepala.

Tiba-tiba ide brilian muncul di pikiran. Aku menguap, lalu mengedipkan mata beberapa kali. “Gue ngantuk. Mau pulang.”

Senyum kecil itu masih setia mengukir wajah rupawan itu. “Hmm… nggak nyangka ketemu kamu di hari pertama aku kembali ke Indonesia.”

Kembali ke Indonesia?

Kalimat itu seperti kata kunci yang membuka sebuah ruangan penuh kenangan. Bukan kenangan yang hangat dan penuh cinta. Namun kenangan suram yang penuh derita.

“Oh?” aku tertawa mengejek. “Gue pikir lu hilang di telan bumi. Alias sudah tertimbun tanah. Tapi…” aku mengibaskan tangan, menunjuk pada tubuh bugar dan atletisnya. “Sehat sekali! Tanpa ada rasa patah hati.”

Senyum kecilnya perlahan memudar. Kedua mata itu menatap seolah ada rasa bersalah. “Sorry ya. Gue nggak maksud…”

Aku mendengus. “Nggak maksud?” selaku. “Lu pikir hati gue apaan? Seharusnya gue sadar, kalau cowok modelan lu nggak bakal pernah menghargai perasaan cewek!”

Keluar sudah emosiku! Bahkan pria ini membuatku menjadi bahan tontonan seisi café! Mereka mendapatkan cuplikan dari hati wanita yang tersakiti oleh f-boy.

Ia menghela napas, “bisa kita bicara? Kasih aku kesempatan untuk mengutarakan…”

“Alasan?” potongku. Emosi ini membuat wajahku memanas.

Wajahnya tertunduk. Sudut bibirnya melengkung sendu. “Kalau kamu berubah pikiran, aku menunggu kamu besok di perpustakaan pusat. Coffee Time.”

Jacob mengulurkan tangannya, membuka pintu kaca untukku.

Ah, sial! Kenapa sikapnya manis begini?

Dan di saat aku marah padanya, dia hanya mendengarkan. Selalu seperti ini!

Aku tahu, dia memang tidak menyukai perdebatan.

Apa Jacob benar-benar merasa bersalah telah meninggalkanku?

Kembali Bertemu

🚩Jacob PoV

Lampu kabin perlahan menyala. Aku meregangkan tubuh, merasakan persendian berdekuk pelan.

Suara lembut mengalun dari speaker. Pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan landing.

Aku melirik jam digital di pergelangan tangan. 12. 32 PM.

Ketika menunggu bagasi turun, aku mengambil ponsel dari dalam tas selempang. Notifikasi pesan masuk berbunyi, ketika aku mengaktifkan koneksi internet. Pesan itu dari Aleia.

...💬...

| J

| A

| C

| O

| B

| Bagasinya udah turun?

Aku tertawa pelan, melihat pesan spam yang kreatif dari gadis manis itu. Sebentar, dia bertanya apakah aku sedang menunggu koperku turun?

...💬...

^^^| Nungguin ya?^^^

| Kok tau sih!

Aku sudah menduganya. Hal itu membuatku mengingat perkataan Eyang dua hari lalu, ketika kami video call.

...📹...

“Apa kamu nggak mau punya istri dokter?”

“Bukan perkara tidak mau, hanya perkara waktu.”

Eyang tertawa pelan, “itu pengorbanan yang harus kamu lakukan demi sebuah hubungan. Aleia gadis yang baik. Dia juga gadis yang perhatian. Jadi…”

“Eyang,” potongku dengan senyum kecil. “Sekarang aku akan pulang dulu. Oke. Nanti masalah Aleia, istri apapun itu…”

“Iya,” sela Eyang. “Kamu sudah 27 tahun! Kamu harus memikirkan tentang dirimu. Juga membangun keluarga.”

...📹...

Membangun keluarga? Keluarga yang hanya bisa bertahan selama tujuh tahun? Seperti yang Eyang ajarkan pada anaknya?

Kenapa menuntutku untuk berkeluarga? Bukannya aku ingin menyalahkan Eyang, karena sejujurnya aku masih takut dengan perpisahan. Para orang tua bisa move on, mencari pasangan baru. Sedangkan anak? Bisakah seorang anak mencari orang tua lain yang utuh?

Akankah kasih sayang mereka sama?

Aku merasakan hantaman pelan di betisku. Reflek membuatku menoleh ke samping.

Rasa kesalku seolah hilang begitu saja, melihat pria tua berompi porter yang sibuk menelisik setiap koper yang berwarna merah. Bapak setinggi bahuku itu melepaskan troli yang sudah berisikan kardus besar berwarna coklat.

Dua puluh menit kemudian, aku mencari sosok cantik yang sudah menungguku.

Aleia tersenyum manis. Mata besar itu bertambah lebar. Wajahnya berbentuk heart shape. Bibir mungilnya mengulas senyum yang berlesung pipi.

Terakhir kami bertemu, Aleia memiliki rambut pendek sebahu. Sekarang, helaian lembut bergelombang itu terlihat menyentuh pinggulnya. Midi dress berwarna peach, memberikan kesan cerah pada kulit putih langsat itu.

Aku merentangkan tangan, memeluk Aleia ke dalam dekapanku. Tubuh itu terasa mungil. Dan wangi. Aroma floral itu begitu segar.

“Oh my God! Long time no see!” ujarnya pelan.

Aku tertawa pelan, “baru juga tiga bulan?”

Awal Maret, Aleia dan adiknya berlibur. Entah ia sengaja, atau murni kebetulan, dia menyempatkan diri untuk menemuiku di lobi apartemen. Membawakan kue dan hadiah ulang tahun.

Aku masih ingat, tatapan malu-malu itu. Saat Aleia menyodorkan kotak persegi yang berisikan jam tangan.

“Lihat ini,” aku mengangkat pergelangan tangan.

Aleia terkesiap kaget. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya. Menyembunyikan senyum yang merekah.

“Suka nggak?” tanyanya dengan mata yang berbinar. Aku melihat rona pipinya sedikit memerah.

“Hmmm, suka apa enggak ya?” tanyaku dengan tawa kecil di ujung kalimat.

“Ish…” rengut Aleia sambil memonyongkan bibirnya.

“Udah makan belum?”

Aleia menggeleng cepat, “belum. Nungguin kamu baru makan!”

...***...

Jet lag membuatku tidur selama tujuh jam!

Usai makan siang di sebuah restoran yang menyediakan makanan laut, Aleia mengantarku pulang.

Notifikasi di ponselku sudah dibanjiri dengan wacana. Entah siapa yang mengatakan kepulanganku ke Indonesia, yang jelas teman-temanku mengajak untuk bertemu muka.

Enam grup chat, dengan namaku di-mention pada masing-masing pesan. Jariku menggulir pesan ke bawah. Begitu banyak pesan pribadi dari temanku yang lainnya.

Well, rata-rata perempuan.

Hanya ada satu pesan grup yang tidak akan pernah aku abaikan.

...💬...

...Cinema Cloud 14...

...➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖...

🟠Jeju Orang.e

Bang Jek pulang ya!

Bawain oleh-oleh nggak? @jac

🔴Kimono

@jac Seperti biasa!!!

Gue cuman pengen COKLAT!

🔵Elang

Gue malah pengen kita tu ketemuan!

@Jeju Orang.e lu belum balikin jas gua ya?

🟣Kinanti

Sabi lah! Gue bisa banget

Kan udah lama nggak ketemuan

🟠Jeju Orang.e

Baru lusa maren kita ketemu yang…

@Elang kata lu buat gue aja.

Sekarang dimintain lagi, gimana sih.

🔵Elang

Bukan ama lu! Kepedean banget jadi orang.e

Enak aja lu! Kapan gua bilang buat elu?!

🟠Jeju Orang.e

Idih, emang gue suka benar! Lagian si Jek wolf nggak keluar-keluar

Woi! @jac

@Elang Ada maren itu. Waktu nungguin hujan di midi.

...💬...

Aku tertawa pelan membaca pesan teman-temanku itu. Jariku mulai mengetik, membalas pesan dari Elang.

Satu jam kemudian, aku sudah menunggangi motor menuju pusat kota. Banyak kenangan yang melintas di kepala. Namun satu nama kembali mengusik jiwa dan raga.

Aku mengembuskan napas dalam. Mencoba menghapus memori akan senyum manis itu di pikiranku.

Dari sekian banyak mantan kekasihku, hanya satu itu yang berhasil membuat kenangan berarti. Dia gadis yang menyenangkan. Begitu mudah tertawa oleh lelucon datar yang sering aku lontarkan begitu saja. A lovely girl with vintage heart.

Hanya dua bulan kami berpacaran. Dan aku menyesali itu.

Menyesal karena sudah membuatnya kecewa padaku. Jika Winona menuliskan namaku di daftar Big Mistake…

Aku tidak akan menyalahkan gadis itu.

Pukul sembilan malam, aku sudah berada di parkiran. Mall selalu saja bisa menarik lautan manusia di akhir pekan.

Langkahku langsung menuju coffee shop yang terletak di sisi kanan.

Aroma kopi memenuhi penciumanku. Obrolan ringan terdengar riuh di sekeliling. Senyum kecil tertarik di sudut bibirku, di saat aku melihat lukisan Picasso selebar lima puluh centimeter menghiasi dinding seberang.

Lukisan itu tiruan, pastinya.

Tangan Elang melambai di udara. Senyum merekah di wajah perseginya. Di sisi kiri pria itu, aku melihat Kinanti melebarkan mata. Gadis berambut pirang itu sedikit menundukkan wajahnya.

Aku melihat Kim mengangkat ponsel, mengarahkan kamera itu padaku.

“Nggak nyangka si ayang Jek mau aja diajak ketemuan guys!!” ujar Kim histeris. Ia menaikkan letak kacamatanya. Di tengah-tengah rekaman, Kim melirik ke arahku dan ponselnya secara bolak-balik.

Heru tertawa, ia menarik kursi di sebelahnya. “Duduk dulu dong bro!” ujar pria berjambang itu.

“Makin tua aja lo!” ujarku dengan kekehan kecil.

Tawa teman-temanku terdengar. “Beda tampilan kalau udah jadi bapack-bapack,” komentar Kim. “Mana coklat gue?” Kim menadahkan tangannya.

Aku membuka tas, lalu mengambil bungkusan sebesar ibu jariku. “Nih satu-satu makannya.”

Kim mengerutkan keningnya, menatap coklat itu dan wajahku bergantian. “Pelit banget sih jadi orang! Gue nggak mau permen coklat! Maunya yang…”

“Sini gue aja.” Heru mengambil coklat itu dari tangan Kim.

Sementara mereka heboh, aku mengangkat tangan, ingin memesan minuman.

Aku melirik singkat, pada menu di papan yang terletak di dinding meja order.

“Tau nih… masa iya ekspektasi selalu dihancurkan oleh realita.” Kim menarik tasku, “nggak ada yang lain nih lo sembunyiin!”

Kinanti mendorong lepas tangan Kim, “lu main tarik-tarik aja. Ada yang marah ntar lihat lu dekat gitu ama Jacob.”

“Siapa?” tanya Kim terdengar kesal.

“Ya Kinan lah!” Heru tertawa geli usai mengucapkan jawaban itu.

Kinan mendecih pelan. “Apaan sih! Bukan gue…” Kinan menaikkan dagunya, menunjuk ke arah kiriku.

Napasku tertahan saat menatap kembali mata itu.

Dunia terasa berhenti berputar. Hanya menyisakan detak jantungku yang berdegup pelan. Seolah setiap detaknya, menjadi hitungan mundur untuk memutus kontak mataku dengan Winona. “

Dari sudut mata, aku melihatnya berdiri.

“Bentar ya!” ujarku sambil berdiri.

“Si Jek sparrow masih belom move on!” seru Heru dengan tawa mencemoohnya.

Aku tidak memperdulikan apapun kicauan teman-temanku. Fokusku berada pada satu subjek.

Dan wanita itu kini sudah semakin mempercepat langkahnya ke pintu keluar.

“Winona!” panggilku cepat.

Mengucapkan nama itu secara lantang memberikan kesan yang berbeda. Dan aku tahu, masih ada sedikit rasa yang tinggal di dada.

Sisa Rasa

🌻Winona

Angin malam menerpa tubuh, membuatku mengusap pergelangan tangan dengan gerakan cepat. Perasaan marah dan kecewa menyatu, membuatku dengan mudah meluapkan kekesalan pada pria itu.

Anehnya, mengapa sorot mata itu terkesan kaget?

Aku mendengus, mengingat kalimat terakhirnya. Coffee time?

Aku benci mendengar kata itu keluar dari mulutnya! Benci karena Jacob masih mengingat kata itu. Jika besok dia benar-benar menungguku di perpustakaan dengan segelas Cappuccino, aku….

Ugh!

Tempat itu, di mana Jacob memintaku menjadi pacarnya. Waktu itu aku bingung, sekaligus bahagia. Karena kami baru mulai dekat sekitar dua bulan, karena disatukan oleh projek artikel ilmiah.

Aku tidak terlalu mempertanyakan alasannya menyukaiku. Dia hanya mengatakan, ‘kamu membuatku lupa waktu. Dan bersamamu, aku bisa menjadi diriku. Tidak perlu berpura-pura.’

Dan alasanku sendiri? Huh…

Dia pria tampan dan memiliki kehidupan sosial menengah ke atas. Aku tidak tahu seberapa kayanya keluarga Jacob, atau seberapa besar pendapatan pria itu. Karena yang jelas bagi otak kurang mampuku ini, dia pria yang kaya.

Lantas, mengapa aku menolak menjadi pacarnya?

Ah, aku teringat apa yang Sepia katakan. Bahwa Jacob ‘terpaksa’ berpacaran denganku. Hanya karena dia menolak perjodohan oleh kakeknya. Dan aku sama sekali tidak memperdulikan apa kata sahabatku itu!

Aku pikir, dia hanya iri karena pacarku lebih tampan daripada pacarnya waktu itu.

Memang hubungan itu, tidak mudah untuk aku jalani. Berbagai komentar pedas terus muncul di postingan Instagram, ketika aku mempublikasikan hubungan kami.

...📱...

| Paling cuman buat ‘dipake’ doang! U know what I mean 😌

| Emang dia siapa? Serius nanya…

| Cantik sih, tapi kasian Jacob. Hati-hati black card kamu hilang sayang😘

| Paling lama tiga bulan. Habis itu putus.

...📱...

Aku mengusap wajah, mengenyahkan sisa-sisa pikiran mengenai Jacob. Bahkan menyebut namanya kembali meninggalkan desiran aneh di hatiku.

Senyum kecil tertarik di ujung bibirku. Jika aku jujur pada diri sendiri, aku merasa senang jika Jacob masih mengingat apa yang aku suka!

Tadi dia juga ingin mengutarakan alasan, jika saja aku memberinya kesempatan berbicara. Namun aku tidak memberinya celah untuk membela diri.

Bagaimanapun, pria itu pacar pertamaku. Dan setelahnya, tidak ada yang bisa menggantikan posisi pria itu di pikiranku! Ya, wajahnya memang tampan luar biasa. Suara beratnya meninggalkan mantra yang membuatku mengingat betapa manisnya kalimat yang keluar dari bibirnya.

Saat aku sudah berada di lobi, aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sudah pukul 9.45 malam!!

Oh, tidak! Jarak dari Mall ini ke kosanku sekitar 25 menit. Area di dekat sana juga sepi jika lewat jam sepuluh malam.

Aku bersedia menunggu Sepia, karena dia akan mengantarku pulang! Sekarang bagaimana?

Bahkan Sepia tidak membalas pesanku!

Ketika layar ponsel masih memuat beranda, sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapanku. Kaca mobil diturunkan, membuatku dengan cepat berpaling muka dan menjauh. Aku merasa risih saat dihadapkan dengan situasi seperti ini!

“Winona!” panggilan dari suara serak itu membuat punggungku menegang.

Perlahan, aku memutar wajah. Aku mengambil napas tajam, menatap dengan mata lebar ke arah pria di balik kemudi. “Gema!” desisku.

Senyum pada wajah itu membuatku merinding. “Udah larut gini, kamu ngapain di sini?” tanya Gema, terdengar santai.

“Kamu sendiri ngapain di sini?” ujarku cepat.

“Aku ada meeting di hotel sebelah.”

“Oh! Trus ngapain lewat sini?”

“Ehm…” Gema tertawa gugup. “Ya tadi aku di telpon sama Sepia. Katanya kalian ketemuan di sini. Trus aku rencananya mau nyamperin aja.”

“Kita nggak jadi ketemuan,” ujarku sambil mengembuskan napas kesal. “Sepia juga nggak bisa dihubungi.”

“Oh, ya? Bentar ya, aku tanya dulu…” Gema mengambil ponselnya.

Ini aneh! Tadi awalnya, Gema bertanya mengapa aku di sini! Lalu dia mengatakan bahwa Sepia menelponnya, mengatakan aku akan bertemu dengan wanita itu di sini. Jelas Gema tahu keberadaanku di Mall ini. Dan ekspresi terkejut pada wajah itu hanyalah akting belaka!

Jelas ada sesuatu yang tidak biasa di sini!

Sesaat kemudian, Gema kembali melirik ke arahku. “Trus kamu mau pulang sekarang?”

Aku mengangguk cepat. “Ya. Ini lagi nungguin oj…”

“Aku anterin aja,” sela Gema. Sebelah alis pria itu terangkat, “gimana?”

Aku menggeleng cepat. “Nggak usah repot-repot! Rumah kita juga beda arah.”

“Padahal kita bisa satu rumah…” gumamnya pelan. Suara itu rendah, namun masih masuk jarak dengarku.

“Apa?”dengusku kesal.

Gema menggaruk pelipisnya, “udah malam Wio sayang. Kalau tukang ojolnya macam…”

Aku terkekeh pelan. “Justru kalau gue pulang sama lo, malah gue mikir yang aneh-aneh!”

Gema menggeleng cepat. “Nggak… nggak! Kamu sahabat istri aku. Mana mungkin aku berani macam-macam sama kamu. Lagian aku bukan tipe cowok yang ‘maksa’ cewek untuk…”

Seringaian kecil timbul di sudut bibirnya. Mata itu sedikit lebih lama menatapku. Bukan balas menatap mataku, tapi ke arah bibirku.

Bajingan tidak bermoral!

Apa hanya asumsi sepihakku saja? Atau memang Gema pria mesum tak tahu rasa malu!

Aku merasakan sentuhan hangat di pundak. Reflek membuatku menoleh dari balik bahu.

Tatapan mataku bertemu dengan sorot tajam itu. Rahangnya sedikit mengencang, saat ia menggerakkan kepalanya ke bawah. “Anda siapa?”

“Anda yang siapa!” balas Gema sedikit membentak.

Aku menghela napas kecil, lalu menepis tangan Jacob. “Kamu mau pulang kan? Biar aku anterin,” ucap Jacob penuh perhatian.

Aku terdiam. Namun pikiranku mempertanyakan keadaan, mengapa tatapan itu mampu membuatku bungkam? Seolah bisa membuatku melupakan dendam.

Dan aku benci mengatakan rasa itu dendam!

Pernah aku berpikir, jika Jacob kembali padaku. Aku akan membuatnya mencintaiku, secinta-cintanya dia padaku. Lalu aku akan pergi tanpa kabar.

Sama seperti yang ia lakukan dulu padaku!

“Wio?”

Aku tertegun.

Tidak pernah aku menyangka, rasa itu masih ada di sana. Di dalam relung hati terdalam yang merana. Dan aku masih saja merasakan desiran itu. Saat mendengar suaranya memanggil namaku.

“Lo siapa sih?!” Suara serak Gema dekat dari tempatku berdiri. Membuatku menoleh ke sebelah kiri.

Aku merasakan genggaman hangat di pergelanganku. Jacob menarikku ke sisinya. Dan aku membiarkan pria itu berbuat sesuka hatinya.

Meski aku ingin menolak, hanya saja sebagian dari diriku memilih untuk bersama Jacob. Karena bersama Gema lebih berbahaya!

“Dia Jacob,” ucapku cepat.

Gema menatap pria di sebelahku sedikit lebih lama. Kerutan di keningnya semakin dalam. “Ngapain lo sama Wio?”

“Bukan urusan lo!” Jacob menarik tanganku, memaksa langkahku mengikutinya.

“Ah, sial!” umpat Gema.

Ketika kami sudah berjalan agak jauh, aku menepis tangan Jacob. Membuat pria itu menghentikan langkahnya. “Ada apa?” suara itu terdengar polos.

“Nggak usah sok baik! Gue bisa pulang sendiri.”

“Yakin?” Jacob mengangkat tangannya, menggoyangkan pergelangannya sedikit. Layar persegi kecil itu menyala, menampilkan angka. “Kosan kamu masih di tempat yang sama?”

Aku menggeleng cepat. “Udah dibilangin, nggak usah sok perhatian!”

Jacob tertawa pelan, “bukan sok. Tapi aku memang perhatian.” Senyum lebar itu membuat jantungku berdebar-debar.

“Kamu lupa? Aku marah sama kamu!”

Jacob kembali tertawa. “Ah, iya. Tapi udah pakai ‘aku, kamu’ tandanya…” Jacob menggantungkan kalimatnya.

Aku menggigit bibir bawah, tersadar aku keceplosan mengganti gaya bahasaku!

Jacob berhenti di sebelah motor ninja hitam. Aku menatap motor itu dan wajah tampan itu bolak-balik.

Apa Jacob mengendarai motor ini?

Ia berdehem pelan, melirik ke arahku, sementara tangannya menarik helm gelap yang terletak di atas motor. “Oh, ya… pria yang tadi itu siapa?”

“Gema, suaminya Sepia.”

“Sepia udah nikah?” tanya Jacob kaget. “When?”

“Dua bulan yang lalu.”

Ia mengangguk singkat. “Kamu nungguin siapa tadi di Cafe?”

Aku menghela napas berat, “gue males ngomong ama lo! Mau anterin gue pulang, atau mau cerita? Gue nggak ada waktu buat curhat.”

Embusan napas kasarnya terdengar. Jacob mengusap wajah, lalu ia memutar tubuh menghadapku. Helm itu berayun di udara, kemudian mendarat di kepalaku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!