Jam menunjukkan pukul setengah delapan, pagi itu seorang pria dengan kacamata frame yang melindungi matanya, tengah sibuk menyetrika kemeja batik yang akan dipakai dia dan anaknya. Karena kesibukannya, anaknya yang masih berusia tujuh tahun harus menyiapkan sarapan sendiri.
“Uhuk … uhuk … “ Daniel terbatuk-batuk dengan serak di tenggorokannya. Ia segera mengambil sapu tangan yang sudah tersedia di meja untuk menutup mulutnya, berjaga-jaga jika ada bercak darah saat ia batuk. Lalu Daniel menggelengkan kepalanya pada ayahnya yang terlihat begitu khawatir.
Daniel dengan tangan kurusnya mengais beberapa sendok sereal yang belum tentu akan dia habiskan. Melihatnya, Jamie menunda pekerjaannya sejenak untuk mengambilkan susu yang ada di kulkas. Sudah dua bulan sejak istrinya pulang ke rumah orang tuanya, sang suami harus merawat buah hatinya seorang diri.
Dengan penuh hati-hati, anak itu menuang susu yang untungnya sudah habis setengah, jadi dia mampu mengangkatnya.
Anak semata wayang Jamie memekik seperti mau muntah ketika tercium susu yang dia tuang berbau tak sedap. Didorong halus mangkuk itu dengan kedua tangan.
Sejak dia di vonis terkena penyakit tuberkulosis dua bulan yang lalu, Daniel memang letoi. Karena takut tertular, ibundanya memilih untuk pulang ke rumah orangtuanya.
"Kenapa?" Jamie dibelakangnya, berniat mengenakan kemeja batik yang telah digosok rapi pada tubuh mungil anaknya.
"Basi, Ayah!"
"Padahal ini baru kemarin beli." Jamie menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ayah gak rapat nutupnya, ya basi lah ...."
Mendengar logat yang keluar dari mulut anaknya, Jamie seperti melihat kecerewetan istrinya sendiri saat mengomeli keteledorannya. Sesaat, Jamie menatap tubuh kecil anaknya yang terlambat bertumbuh disaat usianya terbilang sudah 7 tahun.
Keduanya sudah siap untuk berangkat. Ayah beranak satu itu sudah tampan dari sananya, lalu ditambah mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja batik coklat dibaliknya.
Tetangga apartemen yang berpapasan dengannya merasa pangling melihat Jamie berpenampilan rapi seperti itu. Apalagi sambil menggendong Daniel yang tidak kalah keren dengan pita dasi di kerah bajunya.
"Ayah ... aku mau jalan aja."
Jamie menolak permintaannya. Daniel mudah sekali kelelahan, meskipun menggunakan lift jarak menuju parkiran cukup jauh.
"Kamu harus simpan energi buat di sana. Kamu gak akan bisa main di sana kalau tenaga kamu cepet abis, Dany."
Daniel memonyongkan bibirnya dan mengangguk dengan ekspresi kesalnya. Ia selalu lupa akan apa yang akan terjadi jika terlalu banyak menggunakan tenaga dan menganggap ayahnya itu terlalu memanjakannya.
***
Semua tamu dan keluarga kedua mempelai sudah duduk di posisi mereka masing-masing, begitu pula dengan mempelai pria yang sudah duduk di kursi akad. Daniel tidak bisa menahan kakinya yang terus bergoyang. Hanya duduk diam di sofa khusus keluarga mempelai bersama ayahnya membuatnya jenuh, ia turun dari sofa yang cukup tinggi dan keluar dari barisan-barisan kursi.
Mempelai wanita telah keluar dari sangkarnya. Gaunnya yang pas memperlihatkan tubuhnya yang elok, tetapi wanita itu terus menatap ke arah tanah. Ketidakpercayaan dirinya membuat para tamu itu sendiri membicarakannya di hari bahagia itu. Rupanya perutnya yang sedikit bengkak itulah yang memancing para tamu berbisik-bisik saling menebarkan gosip.
Sungguh, Jamie ingin menyaksikan pernikahan adik laki-lakinya tetapi kekhawatiran terhadap Daniel adalah perasaan yang tidak bisa diabaikan.
Sementara itu Daniel sendiri,
Bocah itu berjongkok di depan seorang wanita yang terduduk di luar. Wanita itu duduk di lantai menenggelamkan wajah di kedua lengannya yang melipat. Hanya terlihat rambut lurus panjangnya di ikat rendah dan rapi.
"Melly!" daniel memanggilnya dengan panggilannya sendiri. Nama aslinya adalah Melody.
Wanita bergaun hijau itu mengangkat wajahnya. Akibat terlalu lama menaruh wajahnya di kedua lengannya yang melipat, bulu matanya turun sebelah. Ia lepas sisanya menggunakan jari-jarinya.
"Dany ..." pipi dan hidungnya merah, tumpah air yang menggenang di matanya. Rupanya sejak tadi ia masih belum menitikkan air matanya sampai Daniel datang.
Telapak tangan imut Daniel mengusap puncak kepala Melody. Sekali lagi ia memanggil wanita itu dengan panggilannya.
Jamie menyusul keluar dari ruangan acara, ia mengusap dadanya setelah melihat anak ini ternyata belum jauh. Melody menenggak ke atas dan mereka bertemu pandang satu sama lain, keduanya sudah saling kenal.
"Melody ... Kamu datang," ucap Jamie sambil menundukkan kepalanya sedikit.
Melody mengiyakan perkataan Jamie dengan singkatnya. Dengan cepat ia menghentikan tangisan itu karena malu dilihat orang lain. Melody tak mengira ayah Daniel akan datang secepat ini.
"Ayah! Bukan Melody ... tapi Mellow!" Daniel menimpali.
Mendengar kata-kata bocah itu, Melody kembali terisak dan menundukkan kepalanya lagi.
Jamie ikut berjongkok mensejajarkan diri dengan anaknya yang sudah membuat seorang wanita menangis.
"Candaan mu tidak lucu, Dany. Sekarang dengar ayah. karena ini gara-gara Dany, Dany harus temani kak Melly main, tapi ingat di sekitar hotel ini saja."
Jamie memberikan handphone ke-dua nya kepada Daniel untuk jaga-jaga. Jamie mengangguk pada Melody, mengisyaratkan untuk menjaga anaknya baik-baik. Melody mengacungkan dua jempolnya, sudut bibirnya sedikit naik. Ia segera menyeka air matanya dengan ekstra hati-hati menggunakan tissue, khawatir makeup nya rusak.
Berkatnya, Jamie berkesempatan untuk melihat adiknya melangsungkan akad nikah. Ia segera kembali masuk dan duduk kembali di sofa yang barusan dia tinggalkan.
Untuk menghemat energi, Daniel meminta untuk di gendong. Melody menurut saja, padahal saat ini Dany bertugas untuk menghiburnya.
"Dany mau nanya Kak Melly," kata dia, "tapi kak Melly jangan marah ... cuma nanya kok!"
Daniel memutar-mutar telunjuknya di pundak Melody, terbentuk seringai di wajahnya, melihat bocah tengil yang meledeknya merasa bersalah.
"Gapapa. Tanya aja," ucapnya.
Daniel mulai menjelaskan ketidakpahaman dia terhadap situasi sekarang. Dia selalu memahami apa yang terjadi di sekitarnya, termasuk kepergian ibunya yang mendadak setelah dia di vonis sakit parah, Daniel mengerti semuanya bukan dari sudut pandang sebagai anak kecil.
"Dany ngira Kak Melly itu pacarnya om Glenn. Tapi ternyata yang jadi pengantin wanita bukan Kak Melly. Apa selama ini Dany salah paham?" ungkapnya.
Daniel melanjutkan. "Selama ini kalian semua bohong sama Dany, agar Dany salah paham dan terlihat bodoh?” Mengernyitkan dahi.
Melody ingin tertawa dan menangis di waktu yang sama. Daniel sampai dibuat bingung oleh situasi yang sebenarnya tidak rumit, Daniel mampu berpikir logis, tapi dia belum mengerti soal 'batas' hubungan dua orang dewasa yang belum menikah.
Melody tidak keberatan menjelaskan semuanya dengan gamblang, tetapi hal seperti ini ia tak berani membahasnya tanpa seijin ayahnya.
"Dany gak salah. Aku pacaran sama om nya Dany bahkan dari sebelum Dany lahir, tapi gak semua yang pacaran itu pasti menikah." Jawab Melody.
Tanpa disadari mereka sudah sampai di depan minimarket. Tidak terlalu jauh, minimarket itu tepat di samping hotel. Karena sudah menggendong anak kecil sepanjang jalan, Melody mampir ke minimarket itu, mengambil sebotol minuman soda untuknya dan susu full krim untuk Daniel.
Melody membuka kulkas eskrim untuk mengambil es krim mangkok kecil rasa stroberi untuk bocah yang menemaninya, sebagai hadiah. Daniel menolak saat eskrim itu di sodorkan padanya.
"Ayah bisa marah kalau liat aku makan es krim." Mundur menjauh.
"Ayah kan gak ada di sini, dia gak akan lihat." Melody tetap membujuknya.
***
Pelaminan sudah mulai dinaiki oleh tamu-tamu yang memberikan ucapan selamat pada pengantin. Jamie tengah dikerumuni oleh kerabat-kerabat yang suka pada kepo, menanyai perihal rumah tangganya. Berlagak khawatir dan peduli padahal mereka cuma ingin mencari bahan gosip saja.
Handphone di sakunya berdering. "Untunglah," katanya dalam hati. Jamie sudah mendapat alasan untuk pergi mengangkat telepon dan berhasil menghindar dari mereka.
"Ya, Dany?" Jamie duduk di kursi pinggiran.
“Anu … ini bukan Daniel, tapi Melody. Emm … sekarang Daniel ada di … rumah sakit.” Ucap Melody terbata-bata.
Jamie terperanjat bangun, ia berusaha agar tidak menunjukkan rasa paniknya demi menjaga kenyamanan para tamu. Pria itu naik ke pelaminan untuk meminta ijin pergi ke rumah sakit pada ibunya.
Mendengar cucunya berada di IGD sontak membuat ibu pengantin cemas, tetapi yang membuatnya terkejut adalah cucu tersayangnya berada di tangan Melody, wanita yang dari dulu tidak pernah dia sukai.
***
Di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, Melody mondar-mandir dengan wajah cemas dan takut sekaligus. Takut akan diminta ganti rugi.
“Kak Jamie pasti udah bilang ke orang-orang kalau aku yang membuat anaknya masuk rumah sakit,” gumam wanita itu.
Rasa takutnya terjawab, Jamie datang menyusul ke rumah sakit bersama ibunya. Wajah marah ibunya terpampang jelas ditujukan pada Melody. Jamie yang datang duluan mengabaikan sekitar dan langsung masuk ke ruang IGD.
Terlihat anaknya terbaring lemas, Jamie mengusap kepala Daniel. Dokter menjelaskan seberapa parah kondisi putra semata wayangnya itu, akibat pengobatan yang didapat Daniel sangat terlambat, penyakit di tubuhnya sudah terlanjur parah.
“Bapak tidak perlu kuatir. Pengobatan harus tetap berjalan, dan anak bapak mudah-mudahan kuat dan bisa sembuh.”
Jamie menurunkan pandangannya ke bawah, memikirkan kondisi Daniel yang memprihatinkan. Dia sama sekali tidak terhibur dengan apa yang dikatakan dokter di akhir perkataannya.
“Oh, dan juga katakan pada Nak Melody. Ini bukan salah dia, Nak Melody terus-terusan menyalahkan dirinya karena memberi Daniel es krim.” Tambah Pak Dokter.
PLAKK!
Suara tamparan terdengar nyaring diluar sana, Jamie yang mendengar itu langsung bergegas keluar untuk memeriksa apa yang terjadi. Jamie baru ingat Melody ada diluar bersama ibunya.
Tampak di sana Melody berkaca-kaca memegang pipinya yang memerah.
“Mama tampar dia?” tanya Jamie.
“Gara-gara perempuan itu, cucu kesayangan Mama masuk rumah sakit! Kamu kan ayahnya! Apa kamu tidak marah?” Ibu itu menunjuk-nunjuk Melody dengan tangannya.
Melody meminta maaf sambil menundukkan kepalanya, mendukung asumsi Lena, wanita yang melahirkan Jamie.
“Tuh, liat!” timpal Lena.
Ibu dan anak itu akhirnya berdebat, Melody merasa hanya jadi pengganggu. Berada di sana pun, ia sadar tak akan mampu bertanggungjawab. Jamie memanggil Melody yang berjalan pergi, tetapi dihiraukan.
“Jadi Mama salah, karena nyalahin dia?” Lena masih melanjutkan perdebatan mereka.
“Mama selalu mencari-cari kesalahan dia, agar semua orang membencinya. Karena dari dulu Mama memang tidak pernah suka dengan Melody!”
Pria itu pergi menyusul Melody, Ibunya yang ditinggalkan semakin kesal. Jamie berlari keluar dari rumah sakit, tampak Melody sedang berdiri di pinggir jalan. Jamie dengan segera menghampirinya.
“Mel …” Perkataan Jamie yang belum selesai, terpotong.
“Kak Jamie gak usah khawatir aku akan tanggung jawab. Tapi kalo Kak Jamie maunya tunai aku gak bisa sekarang. Aku akan ke rumah Kak Jamie kalo sudah dapat pinjaman dari bank. Itupun kayaknya gak seberapa. Jadi ….”
“Sssstt!” Telunjuk pria itu menahan bibir Melody yang ocehannya mengalir terus seperti keran terbuka
Jamie mengajaknya duduk di bangku halte untuk bicara sebentar, menjelaskan keadaan Daniel. Dan penyebab Daniel bisa kambuh bukan salah siapapun. Wanita itu sudah dengar dari pak Dokter akan tetapi Melody masih belum bisa menghilangkan rasa bersalahnya.
“Daniel ternyata belum sarapan saat aku memberikan eskrim,” ucapnya.
Pria itu sudah tidak bisa berkata-kata lagi, Melody justru menjadi jauh lebih syok saat mendengar Daniel mengidap penyakit itu. Tiba-tiba terbesit dalam pikirannya tentang perkataan orang di dalam acara pernikahan tadi.
“Kak, kata orang Kak Emily sedang tidak ada. Bagaimana kalau aku mengasuh Daniel untuk sementara?” tanya Melody.
Beberapa minggu yang lalu Daniel memang bikin ulah dan pengasuhnya tidak mau mengasuhnya lagi. Padahal Jamie harus bekerja. Dan Melody sudah lama menganggur, kerjanya hanya menerima orderan joki tugas yang pendapatannya tidak bisa diandalkan untuk kebutuhan sehari-hari.
“Kamu lagi menganggur? Kamu lagi butuh pekerjaan?” Jamie tampak bingung.
Melody mengangguk dan tersenyum membenarkan.
“Gajinya kan gak seberapa. Kalau kamu butuh pekerjaan, saya bisa hubungin teman-teman saya yang punya koneksi di beberapa perusahaan.”
Jamie merasa tidak enak jika memperkerjakan anak yang menurutnya masih terbilang muda menjadi pengasuh. Dia bisa memberi Melody pekerjaan yang jauh lebih baik dari seorang pengasuh.
Jelas Melody tergiur dengan tawarannya, kenapa tidak dari dulu dia menanyakan soal pekerjaan pada Jamie. Mengingat Jamie seorang arsitektur terkenal yang selalu mendapat klien-klien dari perusahaan besar.
“Boleh banget! Tapi setelah Kak Emily kembali, ya? Tolong biarkan aku bertanggungjawab atas perbuatan ku,” ucapnya. Tatapan lekat Melody tidak menaruh candaan sedikitpun.
Karena dari jauh-jauh hari, Melody sudah sering mengasuh dan bermain dengan Daniel sewaktu masih jadi pacar Glenn, menjadikan Melody sebagai pengasuhnya bukanlah keputusan yang buruk.
Pria itu memalingkan wajahnya.
“Selamat. Kamu lolos interview, Melody Robinson,” ujarnya.
Jamie melanjutkan dalam hati. “Aku juga tidak butuh pengasuh jangka panjang, Melody bahkan tidak perlu repot-repot menghabiskan waktu untuk beradaptasi. Hanya sampai Emily kembali.”
“Yeay!” Melody bersorak gembira.
Setelah itu senyuman lebar di wajahnya tak kunjung pudar.
***
Hari masih gelap, Melody sudah memasuki area dapur. Ia menyusun sandwich dengan bahan seadanya. Dari semalam Daniel terus mengisi kepalanya, ia masih tak menyangka anak sekecil itu sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kenapa pula ibu-ibu bergosip sekeras itu di acara yang berkaitan dengan keluarganya? Bagaimana perasaan Jamie saat menghadiri pesta adiknya sendiri dikelilingi tamu tak berperasaan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.
Felicia yang masih setengah tidur, bangun, hendak ke kamar mandi. Saat melewati dapur, matanya melotot terheran heran melihat kakaknya sudah berdiri mengoprek dapur di pagi buta.
“Kakak ngapain? Belum tidur ya?” lirih Felicia. Matanya kembali sipit
“Tidur,” sahut Melody, “aku kan udah bilang, hari ini mulai kerja.”
Felicia lanjut ke kemar mandi sambil menggosok-gosok matanya dengan ujung lengan baju. Sehabis dari kamar mandi, ia menempatkan dirinya di samping kakaknya.
“Kakak yakin gak bakal ketemu Glenn di sana?” Celetuk Felicia seraya mengambil piring untuk sandwich yang dibuat Melody.
Angguk Melody, “kalau dia udah gak ngontrak aku lagi, katanya dia akan hubungin ordal-ordal perusahaan buat masukin aku ke sana.” Melody mengalihkan pembicaraan.
“Keeren.” Felicia datar.
Gedung apartemen di tempatnya bekerja menjulang tinggi, bukan apartemen biasa. Melody melangkahkan kakinya masuk ke dalam, menghirup AC yang sudah lama tidak dirasakannya sejak lulus kuliah.
Pintu rumah Jamie terbuka setelah Melody mengetuknya beberapa kali. Melody menunduk sopan, terlihat Sepatu di kaki Jamie masih terpasang sebelah dan belum terikat. Rupanya ia masih mengikat tali sepatunya.
Lensa di kacamatanya terlihat kinclong. Jamie menyamping, ada banderol yang masih mengait di batang kacamatanya.
“Kacamatanya baru, Kak Jamie?” ujar Melody tiba-tiba.
Jamie menoleh ke arahnya dengan menaikkan alisnya sebelah. “Tahu darimana dia?” ucapnya dalam hati.
“Bandrolnya masih terpasang,” kata Melody, seolah dia bisa membaca pikiran orang di depannya.
Pria itu memasang ekspresi “Hah” di wajahnya. Kemudian ia membelakangi Melody dan membuka kacamatanya. Dia bergumam, “oh iya.”
Melody cemberut, sayang sekali, dia penasaran dengan wajahnya tanpa kacamata.
Persiapannya berangkat kerja sudah siap. Tak lupa sebagai seorang ayah, Jamie menghampiri anaknya yang masih tertidur. Satu kecupan mendarat di dahi lebar Daniel. Ia berpamitan dengan Melody setelahnya.
“Aku tak bermaksud mensyukuri penyakit yang menimpa Daniel. Tapi, terimakasih bocah! Berkat dirimu ….” Ungkapnya pada diri sendiri dalam hati.
***
Sudah dua jam berlalu, Daniel masih belum keluar dari kandangnya. Anak kecil memang lama tidurnya, tapi untuk yang satu ini Melody gelisah. Ia pegang gagang pintu dan mencoba membukanya.
“Dikunci?” gumamnya, pintunya tidak bisa dibuka padahal tadi ayahnya bisa masuk.
“Dany?” ucap Melody, menempelkan daun telinganya ke pintu.
Tak ada jawaban. Tapi bisa disimpulkan kalau Daniel tidak mau didekati olehnya.
“Daniel … aku minta maaf. Kamu tidak mau memaafkan aku?” ujar wanita berusia dua puluh enam tahun.
“Gak!” teriak Daniel dari balik pintu.
Dari tadi hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, kemana perginya bocah lancang dan cerewet kemarin? Melody harusnya jangan senang dulu. Ia terlalu percaya diri sampai lupa dengan kejadian kemarin, walau bukan salahnya.
Lama-lama bocah itu bosan juga, ia menurunkan kaki kurusnya ke lantai mendekati pintu. Perasaan takut dan prasangka buruk terhadap Melody begitu kuatnya, membuatnya tak berani bertemu dengan wanita itu. Tetapi dia tak ingin memperlihatkan rasa takut itu.
“What you ….”
(Apa kamu ….)
Melody tidak mendengarnya dengan jelas. Lalu Daniel mengulangnya dengan nada tinggi.
“What-you-plead!”
(Apa permohonan kamu)
Yang ia dengar,
“How … do you plead?”
(Bagaimana permohonan mu)
Melody terkejut dengan kepintaran bocah kecil di depannya. Ia hendak mengeluarkan kata-kata yang tidak akan dipahami seorang bocah. Namun, Melody berpikir dua kali.
Melody menyusun kata yang lebih baik agar tidak menyinggung perasaan. Anak kecil yang pintar sensitif sekali terhadap perkataan orang lain.
Melody bersimpuh menghadap pintu. “Aku memaksa Daniel makan eskrim kemarin sekitar pukul sebelas siang. Aku tidak tahu Daniel belum makan sebelumnya, kalau Daniel belum makan itu bukan sa … itu salahku harusnya aku bertanya dulu.”
Nyaris terpleset, Daniel menyadarinya. Walau faktanya Melody melakukannya dengan sengaja.
“Lalu?” ucap Daniel.
Melody mengaku. “Aku minta maaf sudah memanfaatkan situasi. Melody memang jahat.”
Hanya dengan itu saja Daniel masih belum puas. Dan dia mengatakannya sekali lagi, “lalu?”
“Aku janji akan mencari tahu dulu ke internet sebelum memberimu makanan atau minuman.”
Gagang pintunya turun, Daniel membukanya tetapi ia masih memegang pintu alumunium itu.
“Pfft … kamu mengandalkan informasi dari internet?”
Mengembang bibir Melody melihat tawa Daniel begitu keluar dari kamarnya. Tampaknya ia berhasil, hampir. Saat Melody mencoba mendekat, anak itu mundur selangkah menjauh.
“Oke, aku tak akan mendekat. Jangan masuk lagi!” Pintanya.
“Uhuk … uhuk …” Batuk Daniel kali ini mengeluarkan bercak darah, terlihat di tangan yang dia pakai untuk menutupi batuknya.
Refleks rasa cemas Melody membuatnya maju selangkah untuk mendekatinya. Tetapi terhenti karena anak itu melarangnya sekali lagi.
“Jangan mendekat!” Daniel menunjuk orang dewasa di depannya.
Senyuman di wajah Melody turun. Ia mengambil tisu basah yang kebetulan ada di dekatnya. Meskipun Daniel mundur kebelakang, Melody tetap berjalan ke arahnya sampai punggung anak itu menyentuh ranjangnya sendiri, jari berdarah yang menunjuk Melody sampai di genggamannya. Kemudian ia mengelap tangan kecil itu dengan tisu basah.
“Baiklah sebagai hukuman untukku, Dany boleh memanggilku dengan sebutan apapun. Tapi jari ini jangan sekali-kali lagi dipakai untuk menunjuk orang lagi.”
Hormat-menghormati adalah dasar hidup bersosial, tidak memandang bodoh atau pintarnya seseorang. Merasa ditaklukkan, bocah itu merengut menganggukkan kepalanya.
“Sial. Apa yang sudah kulakukan? Saking kesalnya aku pada bocah sok jual mahal ini, bisa-bisa dia jadi makin takut padaku,” bisik sesalnya dalam hati.
Setelah mengamati sekeliling kamar, hiasan kartunnya minim ada dua-tiga poster kartun di ruangan seluas itu. Dekorasinya hanya satu pot bonsai di jendelanya, peta besar terpampang di dinding, bola dunia yang lebih besar dari bola basket, satu rak bacaan kutu buku dan beberapa tumpuk buku di meja belajar. Melody yang menaruh rasa ingin tahu, menghampiri buku-buku yang menumpuk di sana.
“BANK SOAL SMP/MTs”
Judul buku pertama saja sudah membuat Melody membelalakkan matanya. Lanjut dia melihat buku lain, ternyata hanya ada satu buku soal SMP/MTs, yang lain hanyalah soal try out SD/MI. Tetapi buku-buku tingkatan SD di sana sudah terisi semua. Melody kembali pada buku pertama, beberapa soal berhasil dijawabnya, tampaknya belum dikoreksi juga karena ada beberapa yang salah.
“Little Boy, kamu anak genius. Guru les privat yang mengoreksi ini semua?”
“Jangan panggil aku begitu,” sahut anak itu.
“Kalau begitu, little guy?”
“Aku suka panggilan itu. Tapi bukan, maksudnya … jangan panggil aku genius.”
“Baiklah Little Guy.”
Melody tak mengira ada alasan dibaliknya, dia lanjut melihat-lihat kamar khas anak genius itu. Ada beberapa novel remaja di rak. Sesuai dugaan bukan novel eksplisit, apa yang dia harapkan dari anak kesayangan papa yang belum tersentuh era digital itu.
“Kamu tak jawab pertanyaan ku, kamu punya guru les?”
Daniel mengangguk. Perutnya bergemuruh, cukup banyak waktu yang mereka habiskan untuk berbaikan—walau keduanya masih kepala kepala. Melody membuka pintu kulkas, ada banyak bahan vegetarian dan daging di dalamnya.
“Pesan antar saja, tidak perlu masak. Kamu kan tidak bisa masak.”
Tubuhnya tunduk menciut, ia menahan dirinya dengan berpegang pada sudut kulkas. Lemas Melody Mendengar kata-kata yang menusuk harga dirinya sebagai wanita. Kalau soal keburukan, dia memang terkenal di keluarga itu. Mengingat Melody dan Glenn berpacaran cukup lama membuat ibunya risih.
***
Di hari yang sama.
Seorang wanita berbalut dress bermotif bunga elegan di atas lutut. Memasuki lift di gedung perusahaan, pinggulnya yang hanya diam saja menggoda para lelaki di dalam lift apalagi saat ia sampai di lantai tujuannya dan berjalan keluar, mereka tidak mengedipkan mata.
Wanita itu memasuki ruangan yang masih kosong, tidak ada karyawan yang mengisinya. Di dalam sana sudah ada laki-laki yang menunggunya sejak tadi, diam memandangi kota dari gedung kaca. Dari sana terlihat betapa kotornya kota yang ia tinggali.
Melingkar dua tangan di perut laki-laki itu dari belakang, ia berbalik dan membelai lembut wajah cantik itu.
“Emily. Kamu membuatku menunggu, jam istirahat hampir selesai.”
Ujar laki-laki bernama Tristan pada Emily, wanita usia dua puluh sembilan tahun yang sudah memiliki suami dan satu anak genius.
“Sudah kubilang jangan pikirkan hal itu. Aku tinggal bicara pada ayahku dan kita bebas melakukan apapun yang kita mau, Sayang.” Emily bersandar pada dada bidang laki-laki manis itu.
Tristan melingkarkan tangannya di pinggang wanita yang usianya lebih tua darinya. Saat ini ia adalah karyawan magang di perusahaan yang dipimpin oleh ayah Emily. Sebentar lagi dia akan berhenti dan mulai memasuki perusahaan ayahnya sendiri, Emily merasa sedih karena hal itu.
“Kita masih bisa bertemu, kan? Berjanjilah kamu tidak akan pernah meninggalkan aku Tristan!” Rayu Emily dengan wajah polosnya.
Tristan mendekatkan wajahnya pada bibir seksi wanita itu. “Tidak akan pernah,” ujarnya. Menautkan kedua bibir mereka, mulut dan tutur kata laki-laki itu sama manisnya.
Hari sudah gelap, menjelang tengah malam. Tristan yang masih memakai baju kerjanya memarkirkan mobilnya di depan warung, ia mampir di warung tersebut dan memesan kopi seduh sachet-an.
Dari gang perumahan, Melody berjalan hanya mengenakan setelan baju tidur dan dilapisi jaket tebal, rambutnya ia cepol bulat di atas, tangannya menggenggam paper bag. Mendapati Tristan sudah ada warung itu duluan saat ia keluar dari gang.
“Hai!” sapa nya.
Melody mengisi bangku di sebelah laki-laki itu. Ia menaruh paper bag berisi makalah yang sudah siap diserahkan kepada dosen. Tristan memakai jasa joki tugas dari Melody.
“Anak magang kok lembur, haha,” ujar Melody berbasa-basi.
Tristan hanya tersenyum. Sebenarnya bukan lembur yang membuatnya pulang larut malam, tapi Emily. Ia kadang curhat soal kekasihnya itu, tentunya tanpa menyebutkan nama atau status menikahnya.
“Oh, bentar lagi aku akan berhenti di perusahaan dia. Aku harus mulai masuk ke perusahaan ayahku setelah lulus. Aku bisa masukin Melody nanti, biar gak nganggur lagi,” Seru Tristan bersemangat.
Ayah Tristan yang saat ini memegang perusahaan sangat tegas dan ketat dalam memilih karyawannya, Tristan ingin membantu Melody dari dulu tetapi tak bisa.
“Woah, beneran? Keren!” ujar Melody, “Makasih tawarannya, aku akan menghubungi kamu kalau aku benar-benar nganggur.”
“Eh? Kamu sudah punya pekerjaan?!”
Matanya langsung bergeser menatap Melody.
Obrolan yang cukup panjang untuk segelas kopi, Melody sudah puas bercerita soal kejadian-kejadian mengejutkan yang terjadi di hidupnya kepada Tristan. Di seruputan terakhirnya Melody pamit pulang karena sudah larut malam.
Tristan adalah pelanggan favoritnya, uangnya besar dan dia cukup sering memakai jasa joki Melody untuk tugas kuliahnya. Melody pulang dalam keadaan muram, karena pelanggan yang menghidupi nya sebentar lagi akan lulus.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!