Hari ini Mbah Kakung akhirnya tutup usia juga setelah mengalami sakit yang cukup lama. Gondo Sasmita, itulah nama Mbah Kung yang sangat terkenal di kota tempat tinggal kami sebagai salah seorang konglomerat di sebuah kota di Jawa Tengah.
Mbah Kung meninggal di usia 103 tahun. Ia bahkan masih terlihat gagah dan awet muda di usianya itu sehingga membuat beberapa orang sempat menanyakan kepadanya apa resep awet mudanya itu.
"Rajin bangun pagi," itulah jawaban Mbah Kung setiap kali orang bertanya apa resep awet mudanya
Sebagai seorang yang meninggal dengan aset kekayaan yang berlimpah tentu membuat anak keturunan Mbah Kung saling berebut warisan. Sudah hal yang umum jika manusia mati meninggalkan harta pastilah ahli warisnya akan berebut harta warisan.
Begitulah sifat manusia, sikap serakahnya akan muncul saat melihat harta benda. Padahal saat Mbah Kung sakit, tak ada satupun yang mau mengurusnya kecuali ibuku.
Sebagai anak perempuan satu-satunya Ibuku harus merawat Mbah Kakung yang mengalami sakit cukup lama, namun sedihnya ia malah mendapatkan harta warisan paling sedikit diantara anak-anak Mbah Kung lainnya.
Mereka bahkan hanya memberikan ibu sebuah warung makan yang sepi dan tak terurus dengan rumah tua Mbah Kung yang sudah tak terawat semenjak beliau sakit.
Namun Ibu tetap tak mengeluh dan menerima semuanya dengan Legawa.
"Kamu itukan anak bungsu Sri, jadi aku rasa hanya kamu yang cocok mewariskan usaha keluarga kita," ucap Pak De Danu
"Iya, lagian kita ini kan laki-laki gak cocok kalau jadi bakul nasi," imbuh Pak De Seto
"Iya, gak papa Mas, biar aku aja yang melanjutkan usaha Romo. Lagipula Romo sudah menitipkan sama aku dan aku juga sudah menyanggupinya," jawab Ibu
"Yaudah kalau begitu, sekarang semuanya sudah jelas jadi silakan bubar," pungkas Pak De Danu kemudian meninggalkan ruang keluarga diikuti oleh yang lainnya.
Hanya ibu yang masih duduk termangu menatap lukisan Mbah Kung yang terpajang di ruang tamu.
...🍀🍀🍀🍀...
Pukul setengah lima pagi ku dengar suara seseorang menumbuk padi dengan lesung. Suaranya begitu nyaring hingga membuatku tak bisa memejamkan mata lagi. Aku Pun bergegas keluar dari kamar tidur ku dan menuju ke belakang tempat asal suara itu.
Aku melihat Ibuku sedang mengayunkan alu dan menumbuk padi-padi yang tergantung di belakang rumah dengan begitu bersemangat.
Melihat ibu sendirian mengerjakan itu akupun berniat membantunya, tapi sayangnya ibu melarangnya dengan halus. Ibu malah memintaku untuk mengerjakan pekerjaan lain saja.
Aku melihat Ibu tampak bahagia saat memukul lesung itu, senyumannya tampak mengembang seperti seorang yang sedang bertemu dengan pujaan hatinya.
Selesai menumbuk Padi, ibu kemudian membawa beras itu ke warung makan kami yang berada tak jauh dari rumah.
Ternyata Ibu menggunakan beras yang ia tumbuk sendiri untuk nasi yang dijualnya.
Aku pernah menyarankan untuk mempekerjakan orang untuk menumbuk padi atau membeli beras saja yang kualitasnya bagus untuk nasi jualan Ibu, tapi ia selalu menolaknya dengan alasan itu adalah resep rahasia warungnya yang diturunkan oleh Mbah Kung.
Ibu juga mengatakan jika resep itu gak boleh hilang jika mau warung makan mereka tetap laris.
Meskipun warung makan kami tak begitu rame namun semenjak di pegang oleh Ibu, rumah makan itu menjadi sangat ramai hingga memiliki banyak cabang di seluruh Jawa Tengah.
Usaha warung makan ibu yang berkembang pesat membuat para pak de iri dan meminta ibu untuk memberikan rumah mbah kung kepada mereka karena ibu sudah memiliki banyak warung nasi.
Lagi-lagi ibu tak marah dan membiarkan Pak De Danu dan Seto mengambil rumah Mbah yang seharusnya menjadi milik ibu.
Ia mengalah dan membeli rumah baru sebagai tempat tinggal kami.
Aku bahkan sempat marah sama Ibu karena ia terlalu baik hingga membuat kedua kakaknya itu selalu menindasnya. Tapi ibu hanya menjawab dengan santai setiap aku berdebat dengannya.
"Harta itu tidak dibawa mati Le, jadi untuk apa kita rebutan harta yang bukan milik kita. Toh semua itu milik Mbah Kung jadi biarkan saja mereka mengambilnya," jawab Ibu
Begitulah ibuku, ia selalu legawa dan tak pernah mempermasalahkan semua harta benda miliknya yang diambil oleh kakak-kakaknya.
Hari itu saat aku hendak kembali ke kota karena masa liburan semester sudah habis, kami kedatangan seorang tamu kolektor benda-benda antik.
Pria itu tertarik dengan lesung milik ibuku. Ia bahkan menawar dengan harta tinggi, namu ibuku dengan lantang menolaknya.
"Emangnya kamu berani bayar berapa untuk nyawaku!" seru Ibuku dengan nada tinggi
Mendengar jawaban Ibu yang terdengar sadis membuat para kolektor barang antik itupun bergegas pergi.
Memang lesung itu satu-satunya warisan Mbah Kung yang dimiliki Ibu, jadi wajar saja kalau ibu mempertahankan benda antik itu mati-matian. Apalagi aku pernah mendengar kalau Mbah Kung juga melarang Ibu untuk menjual lesung itu apalagi memberikannya kepada orang lain.
Begitulah keseharian ibuku selama menjalankan warung makan warisan Mbah Kung. Melihat kehidupan kembali berjalan normal aku pun memutuskan untuk kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah.
Beberapa tahu kemudian ayah kembali memintaku untuk pulang karena Ibu sakit.
Setibanya aku di rumah ayah langsung memelukku. Ia kemudian mengantar aku bertemu dengan ibu di kamarnya.
Aku melihat Ibu tampak kurus terbaring di ranjangnya. Wajahnya tampak sayu seperti orang yang kelelahan.
Aku langsung memeluknya erat. Terasa tubuh ibuku hanya tinggal tulang belulang, membuatku merasa iba dengannya.
"Ibu pasti kelelahan karena mengurus warung makan sendirian makanya sakit," ucapku sambil membantunya duduk.
Ibu hanya tersenyum simpul sambil menatap cermin besar yang ada di kamarnya.
Ia kemudian memintaku untuk merapikan rambutnya.
Sambil menyisir rambut Ibu, akupun mengajaknya untuk berbincang dengannya.
Selesai merapikan rambut Ibu, akupun mengajaknya jalan-jalan ke depan rumah.
Karena ibu masih lemah aku sengaja menuntunnya.
Ibu menghentikan langkahnya saat melewati lesung padi yang di letakan di halaman belakang.
"Sudah lama ibu tak memberi makan kalian," ucap Ibu menatap nanar kearah lesung padi itu.
Entah kenapa aku merasa aneh saat melihat ibu mengucap kalimat itu, seolah ia sedang berbicara dengan seseorang.
Tiba-tiba bulu kudukku langsung berdiri saat ibuku mengusap lesung itu. Ia memperlakukan lesung padi itu seperti seorang manusia. Ibu bahkan menyelimutinya dengan kain khusus agar lesung itu tidak kotor.
Untuk ukuran barang-barang mewah mungkin aku tidak masalah jika ibu memperlakukannya berlebihan karena memiliki nilai jual yang tinggi.
Tapi untuk ukuran sebuah lesung padi yang sudah tua aku rasa ini cukup berlebihan.
Bukan hanya di tutup dengan kain khusus, ibu bahkan membersihkan lesung itu dengan air khusus yang diberi kembang setaman.
Tentu saja perilaku ibu ini membuat ku sedikit bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ibu rahasiakan?..
Keesokan paginya aku dikejutkan dengan suara lesung yang kembali berbunyi, karena penasaran akupun bergegas menuju halaman belakang untuk melihat siapa yang menumbuk padi sepagi ini.
Rasanya aku tak percaya saat melihat Ibu yang kemarin masih terlihat lemah sedang menumbuk padi menggunakan lesung itu.
*Dug, dug, dug!"
Ku lihat wajah ibuku tampak bahagia saat menumbuk padi, seperti biasanya ia memang selalu menyambut kedatangan pagi dengan menumbuk padi.
Suara lesung ibu begitu khas sehingga bahkan selalu menjadi alarm yang membangunkan kami anak-anaknya, termasuk ayah juga.
Namun ada yang berbeda kali ini, bila kemarin ibu masih terlihat kurus dengan mata sayu, kini ia terlihat gagah dengan wajah berseri-seri saat menumbuk padi.
Ia bahkan melambaikan tangannya kearah ku seakan memintaku untuk datang membantunya.
Aku pun menerima alu yang diberikan oleh ibu kemudian mulai menumbuk padi-padi itu.
Aku hanya sedikit heran kenapa hari ini ibu menumbuk padi begitu banyak bahkan lebih banyak dari hari-hari biasanya.
"Kenapa hari ini ibu menumbuk padi banyak sekali, bukankah biasanya ibu hanya menumbuk satu bakul nasi saja?" tanyaku penasaran
"Karena sekarang warung nasi ibu kan banyak jadi ya numbuk padinya harus banyak," jawab Ibu dengan logat Jawanya yang kental
"Kenapa ibu tidak mengunakan beras yang sudah jadi saja Bu," jawabku
Ibu tersenyum simpul menatapku, "Semuanya sudah ada le. Nasi untuk manusia, rumput untuk rojo koyo (hewan ternak berkaki empat) , bekatul (pakan ayam dan bebek) untuk ayam. Memangnya kamu mau makan bekatul?" jawab Ibu
"Kok begitu perumpamaannya?" jawabku sedikit menyangkalnya
"Ya memang begitu le, setiap mahluk ciptaan Gusti Allah itu memiliki makanan yang berbeda-beda, jadi jangan di samakan," jawab Ibu lagi
Jawaban kali ini benar-benar absurd hingga membuat ku merasa kesal mendengarnya. Tapi kali ini aku tak mau menyangkalnya lagi karena ibu itu tipe orang yang sangat keras dan teguh pendirian. Jadi kalau sudah ngomong A ya harus A gak bisa di ganggu gugat.
"Yowes kalau gitu gimana kalau ibu bayar orang saja buat numbuk padi, soalnya ibu sudah terlalu tua untuk mengurus semuanya sendirian. Sekali-kali berbagi rezeki sama orang-orang yang membutuhkan gak apa-apa kan?" jawabku
"Gak bisa gitu le, perkoro nyowo gak iso di pindahke wong liyo. Lagian kenapa harus minta bantuan orang lain kalau ada kamu yang bisa bantuin ibumu!" sahut Ibu
"Fikri, fik, dimana kamu le!"
Kudengar sayup-sayup suara bapak memanggil ku.
"Aku dibelakang Pak!" jawabku dengan suara yang sengaja ku tinggikan agar bapak denger.
Aku memberikan alu kepada Ibu dan menoleh saat ku dengar langkah kaki Bapak mulai mendekat.
"Haduh, ngapain Le kamu di sini, dari tadi ibumu nyariin kamu," ucap Bapak sambil mengatur nafasnya
"ngapain Ibu nyari Fikri Pak Wong dari tadi ibu sama Fikri kok," jawabku kemudian menoleh kearah Ibu
*Deg,
Aneh bin ajaib tiba-tiba aku tercengang saat melihat ibu tiba-tiba menghilang. Aku reflek langsung mencarinya sambil memanggil namanya.
Melihat aku yang kebingungan membuat bapak langsung menegurku.
"Ibu di kamarnya le, ngapain kamu nyari di sini," ucap Bapak kemudian menarik lenganku
Namun aku segera menjelaskan kepadanya jika Ibu tadi ada bersamaku di belakang. Aku mengatakan jika kami baru saja menumbuk padi bersama, bahkan aku baru saja menggantikan ia untuk menumbuk padi.
Saat aku menoleh kebelakang untuk menunjukkan lesung yang masih berisi padi kembali aku di buat terperanjat saat melihat lesung itu masih tertutup kain hitam.
"Aneh, kok bisa begini," ucapku penasaran
Yang lebih aneh lagi aku melihat alu ( sejenis tongkat panjang untuk menumbuk padi ) yang ternyata masih tergantung diatas lesung.
Seketika aku merasa tubuhku begitu lemas hingga nyaris ambruk. Beruntung bapak langsung menangkap ku dan membawaku masuk.
"Makanya pagi-pagi jangan ngelamun di sini le, bukannya sholat malah ngelamun?" ucap Bapak membuatku semakin bingung
"Ngelamun, bukankah dari tadi aku menumbuk padi bersama ibu, lalu siapa yang bapak lihat sedang melamun??"
Belum selesai rasa bingungku kembali aku di buat tak bisa berkata-kata saat melihat ibuku tampak pucat memanggil-manggil namaku.
Sial, dia memang ibuku??
Aku memberanikan diri bertanya kepada bapak dimana ibu tadi.
"Dari tadi ya Ibu di sini sama bapak, wong ini aku baru selesai membersihkan tubuhnya," jawab Bapak kemudian menyingkirkan baskom tempat air yang ia gunakan untuk membasuh tubuh ibu.
Jika dari tadi ibu di sini, lalu saipa yang bersamaku, tadi. Siapa wanita yang begitu mirip dengan ibu dan menumbuk padi bersamaku?
Seketika ibu menarik lenganku dan menunjuk kearah cermin besar yang menempel di dinding kamar ibu.
"Kenapa kacanya?" tanyaku saat melihat raut wajah ketakutan ibu
Ibu tak menjawab, ia hanya menunjuk kearah kaca itu dengan raut wajah ketakutan dan akhirnya menangis tersedu-sedu.
Melihat ibuku menangis akupun memeluknya.
Kembali ku rasakan tubuh ibuku yang tinggal tulang belulang, rasanya aku merasa bersalah karena bertahun-tahun meninggalkan beliau sendirian mengurus warung makan.
Pukul delapan pagi, Bapak mengajak Ibu untuk berobat ke rumah sakit. Akupun ikut mendampingi Ibuku ke rumah sakit.
Aku bahkan menemaninya saat ia melakukan medikal cek up untuk memastikan sakitnya.
Karena seperti yang Bapak katakan Ibu sudah mengalami sakit-sakitan selama hampir dua bulan. Ia sudah membawanya ke beberapa rumah sakit besar namun setiap kali di bawa ke rumah sakit dokter selalu mengatakan jika ibu tidak menderita penyakit apapun. Semua dokter mengatakan jika Ibu hanya kelelahan saja dan menyarankan untuk beristirahat.
Benar saja, bahkan hari ini aku sendiri benar-benar membuktikan ucapan Bapak.
Dokter spesialis penyakit dalam bahkan mengatakan ibuku baik-baik saja. Ia tak mengidap penyakit kronis apapun. Semuanya baik-baik saja. Bahkan hasil CT Scan dan tes darah pun menunjukkan ibuku adalah wanita yang sehat.
"Jadi saran saya mending sekarang istirahat saja dan biarkan anaknya yang menjalankan usahanya. Bila perlu setiap akhir pekan, ajak ibu jalan-jalan, senang-senanglah intinya biar dia gak terlalu stress," tukas Dokter Tama
Akupun mengikuti saran Dokter. Kini aku sudah membulatkan tekad untuk mengurus rumah makan menggantikan Ibu. Aku bahkan mengangkat beberapa orang karyawan untuk mengurus 25 cabang rumah makan yang tersebar di sepanjang Pantura.
Setiap hari minggu aku bahkan sengaja libur dan mengajak ibu jalan-jalan.
Meskipun demikian, tetap saja ibu masih sakit-sakitan. Bahkan kondisinya makin parah.
Setiap malam ia menjerit-jerit kesakitan hingga membentur-benturkan kepalanya ke tembok.
Seperti malam itu, sayup-sayup ke dengar suara ibu berteriak-teriak meminta tolong.
Akupun segera keluar menuju kamar ibu.
Aku segera manarik ibuku yang sedang menggedor-gedor kepalanya ke tembok.
Aku melihat wajah ibuku di penuhi darah, dan aku segera mengusapnya dengan tisu.
Tiba-tiba ibu menyeringai saat melihat aku begitu panik melihatnya.
Entah kenapa aku merasa merinding saat melihat wajah ibuku yang tiba-tiba tampak menyeramkan.
Saat aku hendak mengambil Betadine untuk mengobati lukanya, dadaku seketika langsung sesak saat melihat sosok ibu terbaring di ranjang berusaha menarik lenganku meminta tolong.
Melihat kening ibu yang dipenuhi luka membuatku berpikir untuk mengobatinya.
Ku suruh ibuku duduk di kursi depan meja rias, sedangkan aku membalikkan badan untuk mengambil kotak P3K yang ada di samping ranjang ibu. Saat aku hendak mengambil Betadine tiba-tiba aku kembali dibuat jantungan dengan sosok ibu yang terbaring di ranjangnya menggerakkan tangannya mencoba meraih lenganku.
Rasa penasaran membuatku memberanikan diri menoleh kearah meja rias dimana sosok ibu duduk di sampingnya.
Kembali tubuhku seketika membeku saat mengetahui sosok wanita yang duduk di kursi meja rias menghilang. Tentu saja hal ini membuat bulu kudukku langsung berdiri.
Belum hilang rasa takutku tiba-tiba ibu berhasil menarik lenganku seolah meminta pertolongan dariku.
"Tolong ibu le!" serunya dengan suara serak
Aku langsung menoleh kearahnya. Ini adalah pertama kalinya aku melihat sosok mahluk gaib yang begitu mengerikan hingga membuatku benar-benar takut setengah mati.
Sosok mahluk tinggi besar dengan perut membuncit, dan air liur yang terus menetes tampak duduk jongkok diatas perut ibuku.
Ingin rasanya aku membuka mulutku dan meminta tolong, namun entah kenapa mulutku seolah terkunci. Bukan hanya mulutku yang tak bisa aku gerakkan bahkan kakiku pun ikut mati rasa hingga tak bisa digerakkan.
Kini aku semakin gemetaran saat mahluk itu turun dari tubuh ibuku dan menghampiriku.
Karena ketakutan tubuhku pun tumbang hingga membentur tembok.
*Dug!!
"Alhamdulillah akhirnya bangun juga," ucap Azam kemudian membantuku berdiri
"Mas mimpi apa sih sampai teriak kenceng banget membangunkan semua orang. Pasti Mas mimpi dikejar-kejar setan ya, ayo ngaku?" ucap Azam kembali menyerang ku dengan rentetan pertanyaan.
Mimpi, jadi semua yang ku alami tadi hanya mimpi??
Aku masih belum percaya atas apa yang ku alami tadi. Rasanya seperti nyata dan itu bukan mimpi.
Ku ambil segelas air putih dan ku minum untuk menenangkan diriku yang masih gemetaran.
Aku bahkan mengambil beberapa lembar tisu untuk mengusap keringat dingin yang membasahi seluruh wajahku.
Dengan tubuh yang gemetaran aku duduk di bibir ranjangku sambil sesekali aku berdzikir untuk menghilangkan bayangan mahluk menyeramkan itu yang masih terngiang-ngiang di hadapan ku.
"Mas, mas!" seru Azam mengguncang tubuhku
"Iya," jawabku reflek kemudian menatapnya
Azam tersenyum saat aku mulai meresponnya.
"Mas mimpi serem ya?" tanyanya penasaran
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
"Makanya kalau mau tidur doa dulu. Eh iya hampir lupa, tadi bapak pesan kalau Mas suruh mandiin Ibu," ucap Azam
"Emangnya bapak kemana?" tanyaku penasaran
"Gak tahu, tadi abis sholat subuh dia buru-buru pergi. Katanya mau mencari pengobatan alternatif buat Ibu," jawabnya
"Yasudah, nanti Mas ke kamar ibu,"
Aku segera keluar dari kamarku menuju kamar Ibu. Di sana ku lihat Ibu sedang duduk di depan meja rias sambil menyisir rambutnya.
"Kamu sudah bangun le?" sapanya begitu ramah
"Iya Bu, maaf aku kesiangan,"
Ibu kemudian bangun dan menghampiri ku.
Entah kenapa aku merasa aneh dengan ibuku hari ini.
Wajahnya terlihat segar hari ini hingga kecantikannya jelas terpancar di wajahnya.
Meskipun ibu sudah berusia 60 tahun tapi ia masih terlihat cantik dan awet muda.
Mungkin Ibu menuruni Mbah Kung yang juga dikenal sebagai sosok yang awet muda.
"Ibu mau jalan-jalan," ucapnya kemudian menggandeng tanganku
Tentu saja aku tak bisa menolak keinginan ibuku. Aku kemudian mengajaknya keluar rumah.
"Kita mau kemana bu?" tanyaku penasaran
"Kita ke halaman belakang saja le,"
"Katanya mau jalan-jalan kok malah ke halaman belakang?. Kan di sana gak ada apa-apa, terus mau lihat apa?" tanyaku Ibu langsung menghentikan langkahnya dan menatapku
"Tapi ibu mau kesana sebentar," ucap Ibu kemudian kembali melangkahkan kakinya menuju halaman belakang.
Setibanya di sana, ia kemudian membuka lesung yang ditutupi kain hitam.
Ia kemudian memintaku memetik aneka macam bunga yang ibu tanam di pekarangan belakang.
Aku lihat Ibu mengambil air dari gentong yang ada di samping rumah dan memasukkannya kedalam ember.
Ia kemudian menambahkan bunga yang baru aku petik keatas ember yang sudah diisi air.
Ibu kemudian menyanyikan lagu jawa sambil membasuh lesung itu.
Entah kenapa nyanyian yang dinyanyikan oleh ibu bukan seperti tembang jawa pada umumnya.
Karena liriknya yang menggunakan bahasa jawa kuno mirip seperti sebuah mantera.
Namun aku berusaha menepisnya karena aku tahu Ibuku bukan tipe orang yang mempercayai kejawen.
Seperti yang ku ketahui selama ini Ibu adalah wanita yang memegang teguh prinsip dan selalu realistis dalam bertindak.
Selesai berlindung ia kemudian memintaku menurunkan alu yang di gantung di atas lesung.
Selesai membersihkan lesung ia juga membersihkan alu untuk menumbuk padi.
"Apa kau serius mau melanjutkan usaha warung makan kita menggantikan Ibu?" tanya Ibuku sambil mengeringkan lesung
"Iya Bu, aku mau ibu istirahat saja. Biar aku yang menggantikan Ibu, jangan khawatir aku pasti akan belajar bisnis agar rumah makan kita tetap laris seperti saat di pegang oleh Ibu," jawabku mencoba meyakinkan Ibuku
"Kalau begitu kau harus belajar menumbuk padi," jawab Ibuku
"Untuk apa Bu, aku bisa membuat nasi yang enak tanpa harus menggunakan beras tumbuk," jawabku yang langsung di sambut tawa ibuku
Ibu tertawa terbahak-bahak.
Ia kemudian segera mengisi lesung dengan dua ikat padi dan mulai menumbuknya.
Entah kenapa suara dentuman lesung kali ini terasa hambar tak seperti biasanya. Meskipun Ibu terlihat begitu bahagia saat menumbuk padi-padi itu namun tetap saja ada yang beda.
Mungkin karena ibu sedang sakit makanya aku merasakan ada yang berbeda dengan suara ibu. Aku segera menghentikan Ibu dan mengambil alu dari tangannya saat ia terlihat batuk-batuk hingga mengeluarkan darah.
"Ibu, sudahlah jangan dilanjutkan," ucapku kemudian mengajak ibu duduk
"Sudah ibu istirahat saja jangan terlalu memaksakan diri," imbuhku
"Kamu tahu kenapa simbah meninggal?" tanya ibu
"Aku gak tahu Bu?" jawabku lirih
"Karena usahanya tidak ada yang melanjutkan?" jawab Ibu
Seketika aku mengernyit mendengar jawaban ibu.
"Bagaimana bisa, kan ada ibu yang melanjutkan usahanya?" jawabku menyanggah ucapannya
Ibu menyeringai mendengar jawabanku.
"Sayang sekali, ibumu telat le!" jawabnya kembali membuatku bingung
Belum sempat aku menanyakan kepadanya kenapa telat ibu justru jatuh pingsan.
Aku langsung menggendong tubuh ibu dan memindahkannya ke kamar.
Ku selimuti tubuhnya yang tiba-tiba saja berubah menjadi dingin sedingin es.
Tidak lama bapak ku pulang dengan wajah lesu.
"Bagaimana keadaan ibumu le?" tanyanya lirih
"Tadi dia udah mendingan tapi setelah ia menumbuk padi malah pingsan dan sampai sekarang belum sadar juga," jawabku
"Semua itu gara-gara lesung itu!" ucap Bapak dengan nada kesal ia segera bergegas ke belakang rumah. Aku yang khawatir dengan kondisi bapak langsung ku ikuti di dari belakang.
Bapak mengambil sebuah kapak yang tergantung di samping rumah. Sepertinya bapak berusaha menghancurkan lesung itu dengan kapak di tangannya.
Mengingat ibu sangat menyayangi lesung itu maka akupun melarangnya.
Ku coba menahan bapak agar tak menyentuh benda keramat peninggalan Mbah Kung itu.
Ku ambil kapak dari tangan bapak dan ku coba untuk menenangkannya.
Bapak akhirnya mau mendengarkan aku dan pergi meninggalkan halaman belakang.
Semenjak kejadian itu bapak berubah menjadi pribadi yang pendiam. Kadang ia bicara sendiri, marah-marah sendiri bahkan suka tertawa tanpa alasan seperti orang gila.
Hingga pada suatu malam ayahku pergi untuk menemui seorang paranormal.
Paranormal itu berjanji akan menyembuhkan ibuku dengan syarat-syarat tertentu, dan bapak menyanggupi semua persyaratannnya.
Namun siapa sangka jika ayahku bunuh diri sepulang dari rumah sang dukun dengan cara yang tragis.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!