Bab 1
Baru saja jam dinding berdentang dua kali. Kesepian malam bagai menjeritkan hening yang mampu menembus jiwa. Di ujung puncak itulah, tiba-tiba sebuah jeritan melengking terdengar menyentakkan jantung Pandu. Jelas itu suara jeritan Agnes.
Pandu nekat melompati pagar rumah Agnes. Ia tak menghiraukan suara adiknya, Dhamayanti yang berseru dengan suara tertahan, "Jangan ikut campur Pandu!.. Hei..! itu urusan keluarga orang lain"
Pintu rumah Agnes diketuknya dengan kasar. Pandu tak sabar, sangat cemas. Maklum belakangan ini ia sering melihat Agnes cekcok mulut dengan mamanya. Pandu Khawatir kalau mamanya khilaf dan menyakiti Agnes dengan cara keji.
Tetapi, waktu itu mamanya Agnes yang membukakan pintu pintu dengan wajah tegang. Perempuan separuh baya yang masih gesit mencari nafkah sendiri itu kelihatan panik. Ia bicara dengan tergagap ketika Pandu bertanya,
"Ada apa Tante? Ada Apa?" Tanya Pandu
"Ag... Agnes menjerit" Jawab ibunya Agnes
"Iya, ada apa dia menjerit?"
"Eh.. Entah.. Di.. dia ada didalam kamarnya.. Pin.. Pintunya terkunci" jawab ibunya Agnes yang masih kelihatan panik
Tanpa dipersilahkan, Pandu lansung saja masuk ke rumah itu dan menuju kamar Agnes. Ia menggedor pintu kamar sambil berseru, "Agnes...! Nes... ! Buka pintunya"
Terdengar suara Agnes yang menangis terisak. Pandu melirik mamanya Agnes, perempuan yang mengenakan gaun tidur tipis warna merah muda itu semakin kelihatan pucat wajahnya. Ia tampak ketakuatan dan cemas sekali. Pandu segera menyimpulkan, bahwa jeritan Agnes itu tidak ada hubungannya dengan mamanya
"Dengan siapa dia didalam tante?" Tanya Pandu
"Ssse setahu tante dia sendirian" Jawab ibunya Agnes yang masih kelihatan pucat
Tak sabar Pandu setelah mendengar Agnes menangis sambil menyebut namanya, "Panduuuu.... Tolooong"
Brakk.. Brak... Brakkk.. Pandu berusaha mendobrak pintu kamar Agnes. Pintu itu cukup kokoh. Terpaksa Pandu mengerahkan tenaganya dengan mundur beberapa langkah, kemudian berlari kearah pintu kamar sambil melompat. "Hiiiiaaaahh...!" Pintu itupun ditendangnya dengan kaki kanan, Braaaakkk !
Pintu berhasil terbuka jebol pada bagian kuncinya. Suara jebolan pintu itu semakin Membuat Agnes makin menjerit, pertanda semakin dicekam rasa takut.
Pandu dan mamanya Agnes segera masuk ke kamar itu, lalu keduanya sama-sama berhenti melangkah dan mememik. "Haaaahhh ?"
Sekujur tubuh mereka merinding. Jantung mereka bagai tidak berfungsi lagi. Berhenti, entah untuk berapa detik. Mata mereka tidak bisa berkedip. Membelalak lebar bersama mulut mereka.
Brukk... ! Mamanya Agnes jatuh pingsan. Agnes masih bisa berseru, " Mamaaa...!" Lalu, tangisannya kian menjadi. Sedangkan Pandu masih mendelik di tempat, tak mampu bergerak dan berbicara.
Apapun kengerian di dunia, mungkin tak akan ada yang mengalahkan kengerian yang ada di depan mata Pandu. Dengan jelas sekali, melihat Agnes menangis di atas ranjang. Kepalanya miring ke kiri, memandang ke arah Pintu
Ya. Hanya itulah yang ada di atas ranjang, hanya kepala Agnes. Kepala tanpa raga, tanpa bagian tubuh lainnya. Setitik darah juga tak ada di atas ranjang itu.
"Panduuu....!" Rengek Agnes di sela tangisnya yang menyayat dan mengharukan. "Panduuu.... dimana ragaku...! Oh, tolonglah aku..!"
Sebagai pemuda bertubuh tegap, kekar, berjiwa keras, tidak selayaknya Pandu menitikkan air mata. Tetapi, peristiwa yang nyaris membuat jantungnya pecah itu adalah peristiwa di luar jangkauan kendali jiwa manusia. Pandu tak dapat menahan kenyataan itu. Ia menangis tanpa suara. Hanya air matanya yang mengalir dipipi.
Rintihan Agnes seperti halnya suara ibunya saat hendak meninggal di rumah sakit akibat kecelakaan. Pandu ingat betul nada rintihan seperti itu. Dan sekarang rintihan tersebut disertai pemandangan yang amat mengerikan.
Apalahdaya Pandu sebagai manusia yang masih mempunyai emosi dan perasaan. Tak tahan ia, dipalingkan wajahnya. Tak mampu memandang Agnes yang tanpa Raga itu.
Tangis dan ratapan Agnes masih menyebut nama Pandu. Namun, Pandu tidak melakukan apa-apa, terengah-engah sambil memunggungi Agnes. Tangannya bersandar padan kusen pintu.
Matanya dipejamkan kuat-kuat. Ia mencoba mengendalikan keadaaan jiwanya yang shock dan jantungnya yang menjadi sangat lemah untuk berdetak.
Ayahnya Pandu yang sudah berusia enam puluh tahun lebih itu akhirnya datang juga bersama Om Harman dan istrinya serta Pak Musa, yang tinggal di seberang rumah Agnes.
Ketika mereka masih diruang tengah, Om Harman menegur Pandu dengan wajah tegang, "Pandu... Ada apa?"
Pandu tak bisa berbicara, Ia mencoba menelan ludahnya sendiri beberapa kali, tangannya bergerak-gerak memberi isyarat agar Om Harman melihat sendiri keadaan Agnes di dalam kamar.
"Astagfirullah....!" Pekik Om Harman dengan mata membelalak Lebar.
Agnes meratap, "Oom... Oom... Tolong Saya...!"
Gemetar suluruh tubuh Om Harman melihata keadaan Agnes. Sedangkan Pak Musa dan istrinya Om Harman terkulai dilantai dalam keadaan duduk, Pak Musa mencoba berpegang pada pundak ayahnya Pandu yang terbengong melongo dengan mata mendelik.
Tetapi keduanya sama-sama tak sanggup berdiri, lalu bergegas mencari tempat duduk. Pak Musa dan ayahnya Pandu menghempaskan tubuh mereka di sofa panjang yang ada di ruang tengah itu. Nafas mereka sama-sama terengah-engah.
Om Harman belum berani mendekat ke ranjang. Ratapan Agnes yang meminta tolong dengan menyebutkan nama Pandu lagi, membuat Pandu berpaling memandang kearah ranjang.
"Tolong Aku....!" suara Agnes mulai serak.
Dengan langkah gemetar dan jantung berdebar tak beraturan, Pandu pun akhirnya mendekati ranjang bersprai biru muda itu. Ada rasa takut dalam hati Pandu, ada rasa heran, sedih, dan curiga.
"Panduu.. dimanakah kakiku?... Mana tanganku ?... Pandu, Tak bisakah kau menolongku? Tolonglah... Tolong, Pandu.." Ratap Agnes
Siapa orangnya yang tahan melihat wujud kepala manusia tanpa raga namun bisa bicara dan meratap seiba itu? Apalagi gadis yang hanya memiliki bagian leher ke atas saja itu adalah gadis yang mejalin hubungan akrab dengan Pandu.
Sudah tentu emosi duka yang ada pada diri Pandu tak dapat ditahankan lagi. Air matanya kembali mengalir diluar kesadaran Pandu.
Pelan-pelan Pandu berlutut dilantai, tepat disamping ranjang. Kepala itu bergerak-gerak bagai hendak menggelinding mendekati tepian ranjang.
"Panduuu... apa yang terjadi pada diriku sebenarnya?"
Pandu menggeleng-geleng samar. Matanya masih tak berkedip, penuh dengan genangan air yang sejak sedewasa itu baru kali ini mengalir.
"Apakah aku sudah mati Panduuuu?" Ratap Agnes
Pandu menggeleng lagi. Mengigit bibirnya sendiri. Kemudian, dengan gemetar dan pelan-pelan tangan Pandu memegang kepala tanpa raga itu. 'Ohh hangat, kepala itu masih hangat. Masih jelas terasa bisa di pegang' Batin Pandu.
Andai saja saat itu tangan Agnes masih ada, pasti ia akan memeluk Pandu kuat-kuat dengan perasaan takut bercampur sejuta kesedihan. Sayang saat itu sepasang tangan yang berjari lentik itu tidak ada, Maka Agnes hanya bisa menangis, kepalanya bergerak-gerak pertanda ingin dipeluk oleh Pandu.
Kini kedua tangan Pandu memegan kepala Agnes. Rambut gadis itu yang dipotong pendek sedikit diremasnya. Agnes memejamkan mata sambil menangis terisak-isak.
Jari-jemari Pandu mengusap ari mata yang membasahi wajah Agnes. Pelan sekali. Tampak gemetaran. Dan. mata Pandu menyempatkan menatap apa sebenarnya yang ada di depan matanya itu.
Sungguh suatu pemandangan yang nyata. Hanya kepala Agnes yang ada. Kepala itu bisa bicara, bisa menangis, sekalipun tanpa memiliki raga. Bagian lehernya tidak ada bekas potongan sama sekali. Tak ada darah sama sekali di sekitar lehernya.
Hanya saja, bagian leher itu tampak merah semerah daging segar. Urat-uratnya yang berwarna biru keputih-putihan itu melekat pada leher bagian dalam. Menjijikkan, mengerikan, namun juga menyedihkan.
Rupanya Om Harman segera memanggil beberapa tetangga, terutama Ketua RT setempat. ada sekitar tujuh orang yang datang ke rumah Agnes. Pada umumnya mereka memekik sambil berbalik arah begitu melihat kepala Agnes yang tanpa raga.
Makin lama makin gempar peristiwa itu. Makin banyak yang datang, makin gaduh suara mereka di luar kamar. Polisi pun sempat datang setelah dihubungi oleh Pak Musa melalui telepon. Petugas dari kepolisian pun sempat buang muka begitu melihat keadaan Agnes, karena rasa tak teganya.
"Pandu... pangkulah aku...," bisik Agnes ketika ia melihat banyak orang yang berdesak-desakan ingin masuk ke kamarnya.
Dengan hati-hati, kedua tangan Pandu mengangkat kepala Agnes. Masih saja timbul desiran duka di hati Pandu saat mengangkat kepala Agnes.
"Aku ingin memelukmu, Pandu..." bisik kepala gadis itu
Perih sekali hati Pandu mendengar ucapan itu. Maka, ia pun menempelkan wajah Agnes kepipi nya, seakan sedang memeluknya. Saat itu tangis Agnes semakin menderu. "Akuu.... Aku takut Pandu"
Merinding sekujur tubuh Pandu, tapi tak pernah ia hiraukan hal itu. Cukup lama Pandu memeluk kepala Agnes tanpa bisa bicara sepatah kata pun.
Setelah beberapa saat, Agnes minta diletakkan diatas pangkuan Pandu. Permintaannya dituruti, wajah Agnes ada di pangkuan Pandu menghadap ke arah depan.
Seorang petugas polisi berkeringat dingin mengajukan pertanyaan kepada Agnes. "Anda bisa mengenali saya...?"
"Pak Polisi.." Jawab Agnes
"Ya. saya petugas dari kepolisian . Hmmm.. Anda ingat siapa orang yang memenggal kepada anda..?" Tanya polisi itu
"Tid...ti.. tidak." Jawab Agnes dalam dekapan tangis.
"Bi... Bisa menceritakan awal kejadian ini, Non Agnes?"
"Ti.. tidak. saya tidak tahu pak. Sa.. Saya tidur. Begitu saya bangun, Mmmau menggeliat, sa... saya tidak bisa bergerak.
saya merasa kaku. saya... saya kira, saya memandang kearah kaki, saya tidak melihat kaki dan tangan saya. Dan... dan waktu saya memandang kearah cermin.."
"Saya... saya tidak melihat raga saya.. Cer.. cermin itu membuat saya tahu, bahwa leher saya dalam keadaan putus" ratap Agnes dengan mata terpejam dan air mata membanjir lagi
Kasus ajaib itu akhirnya menyebar dengan cepat. Banyak orang berdatangan pada siang harinya. Mereka ingin melihat keadaan Agnes. Pada umumnya mereka tidak percaya, ada kepala tanpa raga namun masih bisa bicara.
Polisi segera mengamankan rumah tersebut selama 24 jam. Para Wartawan yang berjubel dan dengan caranya sendiri berusaha memotret Agnes, tidak bisa bergerak dengan leluasa. Namun ada satu dua Wartawan yang berhasil memotret Agnes, dan beritanya cepat termuat di koran-koran,
Polisi dan beberapa petugas dari kedokteran memeriksa kamar Agnes secara detail. Tiap jengkat tempat itu di selidiki dengan menggunakan kaca pembesar. Ternyata sampai mereka tuntas memeriksa kamar tersebut, mereka tidak menemukan secuilpun sisa daging tubuh Agnes.
Dinas kesehatan memeriksa kepala Agnes dengan berbagai peralatan canggih. Ternyata mereka semua sependapat, bahwa Agnes benar-benar tidak memiliki raga. Tidak ada unsur tipuan mata atau hal-hal yang bersifat penipuan.
Seorang dokter memberi penjelasan kepada beberapa wartawan,
"Dia tidak memiliki jantung, tidak memiliki paru-paru, tapi dia bisa bernafas dengan normal."
"Apa kesimpulan yang diperoleh para medis Dok" Tanya seorang wartawan.
Dokter itu tak bisa menjawab. Dokter yang satunya gelagapan. Dokter yang satunya lagi mengangkat bahu. Semuanya tidak ada yang tahu, apa sebenarnya yang terjadi dan menimpa diri Agnes.
"Saya ingin pulang Dok.. saya tidak mau tinggal di laboratorium, Saya bukan manusia kan? saya bukan hewan percobaan, Dokter....!" Kata Agnes ia menuntut segala.
Berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, akhirnya para dokter mengizinkan kepala Agnes di bawa pulang. selama itu, Mamanya Agnes tak permah berhenti menangis. Bahkan kadangkala ia jatuh pingsan dan sadar kembali, menangis lagi.
"Untuk mencegah gangguan kejiawaan pada mamanya Agnes, Biarla Agnes bersama saya" kata Pandu kepada hadirin yang hadir dalam rapat RW darurat itu.
"Sebaiknya biar polisi yang menyimpan kepala Agnes" kata salah satu peserta rapat.
"Tak bisa !. Agnes tidak akan mau, ia masih ingin diperlakukan seperti manusia. Ia akan semakin sedih jika dia berada dalam suata suasana yang bersifat memenjarakan dirinya" Jawab Pandu Tegas.
"Kalau begitu, biarlah Agnes sendiri yang menentukan dimana dia akan tinggal. Yang jelas jangan terlalu sering dipertemukan dengan Nyonya Mirah, mamanya itu."
Ketika beberapa Staf RW, kepolisian, dinas kesehatan, dan aparat lainnya datang kerumah Agnes, mereka mengajukan pertanyaan kepada Agnes tentang dimana ia ingin tinggal. Waktu itu mamanya Agnes masih menangis dan tak bisa ikut berkata apa-apa.
"Saya tidak mau dipakai sebagai penelitian oleh siapapun. Tolong hargai saya sebagai manusia, sekalipun kehadiran saya tidak normal." Kata Agnes dengan jiwa di kuat-kuatkan.
"Justru kami ingin bersikap seperti yang kamu inginkan itu Agnes." Kata Om Harman, mewakili mereka
Agnes meilirik, dan memang ia hanya bisa melirik kesana-sini. menatap wajah mereka satu persatu. Pak RT menjelaskan tentang efek buruk jika Agnes masih bersama mamanya.
Setelah beberapa saat mempertimbangkan, Agnes memberikan jawaban sambil meilirik Pandu yang sedang menenangkan mamanya Agnes yang masih Menangis.
"Kalau boleh.. saya ingin tinggal beberapa saat bersama Pandu." Agnes memilih Pandu
Mereka menatap Pandu. Mereka menghela napas. Pandu sendiri yang memandang sendu kepada Agnes, menyimpan rasa haru yang sudah berulang kali mengiris hatinya. Akhirnya, mereka menyetujui pilihan Agnes.
Dengan susah payah, mamanya Agnes yang dimintai pendapat segera berkata,
"Sa... saya memang tidak tahan dan tidak tega melihat keadaan Agnes yang demikian. Jika dia bersama Pandu, maka itu berarti itu tidak jauh dari saya, tapi juga tidak berada dekat dengan saya. Ohh.. Agnes maafkan mama. Mama masih belum sanggup melihat keadaanmu yang terus-terusan seperti itu. Rasanya Mama lebih baik mati ketimbang melihat kau menderita seperti ini Agnes....!"
Pandu dan ayahnya tidak keberatan. Bahkan keputusan Agnes itu sangat diharapakan oleh Pandu. Cuma Dhamayanti, adiknya Pandu yang tidak setuju dengan rencana itu.
Ia benci kepada Agnes, dan sangat tidak setuju jika Agnes tinggal di rumahnya.
"Kenapa kau selelu bermusuhan dengannya sih..?! Ada apa sebenarnya antara kau dengan Agnes ?" Tanya Pandu Curiga
BAB 2
Waktu Pandu mendesak penuh curiga, Dhamayanti hanya menjawab, “Gara-gara dia aku jadi putus hubungan dengan Erwan !”
Pandu ingat, Dhamayanti pernah pacarana dengan Erwan, teman kuliahnya. Hubungan mereka putus karena Erwan tertarik dengan gadis tetangga Dhamayanti, yaitu Agnes. Tetapi menurut Pandu, itu bukan salah Agnes karena Agnes tidak pernah memberikan respon kepada Erwan.
Dhamayanti sendiri memvonis untuk berpisah dengan Erwan. Begitu lepas dengan Dhamayanti, Erwan memang terus mengejar Agnes, namun Agnes tetap tidak pernah menganggap kehadiran Erwan. Agnes justru sring mengeluh kepada Pandu, dan lewat keluhan demi keluhan itulah akhirnya Pandu sendiri tertarik kepada Agnes.
Timbul beberapa pertanyaan dibenak Pandu. Apakah keadaan Agnes yang menyedihkan itu adalah hasil dari perbuatan Erwan? Apakah Erwan yang memotong kepala Agnes dan mencuri bagian dada sampai kebawah? Dengan apa ia memotongnya? Dan di bawa kemana raga itu?
Misterius sekali. Luar biasa anehnya peristiwa ini.. !
Kasihan sekali si Agnes. Ia di buat mati tidak, tetapi hidup juga tidak. Memang menyedihkan. Kepala Agnes sekarang diletakkan diatas sebuah bantal. Bantal itu berada didalam sebuah lemari kaca tembus pandang.
Bagian atas lemari sengaja di bongkar oleh Pandu supaya ada udara yang masuk. Sebab, sewaktu bagian atas itu belum dibuka, Agnes pernah berkata kepada Pandu, “Napasku sesak. Aku kekurangan Oksigen…!”
Sekalipun dalam hati Pandu merasa heran melihat manusia tanpa paru-paru tapi memerlukan oksigen, permintaan Agnes tetap itu tetap diperhatikan. Itulah sebabnya bagian atas lemari itu dibuka, supaya jika pintu lemari itu ditutup, Agnes tetap bisa mendapat oksigen.
Lemari itu ada di dalam kamar Pandu yang penuh dengan Poster-poster group band metal. Lemari itu mulanya dipakai untuk menyimpan barang pecah belah diruang makan. Sejak ada kasus Agnes, lemari itu dikosongkan dan dipindahkan ke kamar Pandu.
Apabila Agnes sedang memejamkan mata tanda ia sedang tidur, Pandu sering memperhatikan dari luar lemari itu. Ia seperti melihat ikan dalam aquarium. Kadang kala juga sebaliknya, Pandu tidur di ranjangnya, Agnes memperhatikan dari dalam lemari itu.
“Pandu… Aku lapar..” kata Agnes
Dengan penuh kesetiaan, Pandu menyuapinya dengan bubur. Sekalipun hanya makan bubur, tetapi Pandu dan yang lain merasa heran. Karena, dari potongan kepala bagian leher. Bubur itu tidak keluar lagi. Bubur itu Bagai telah di telan kedalam perut tanpa terlihat bekasnya sedikitpun di bagian leher. Demikian juga minuman, Agnes seperti manusia wajar yang bisa menegak habis segelas air putih tanpa ada kebocoran setetespun di bagian lehernya.
“Kemana larinya makanan dan minuman yang ditelannya itu, ya?” gumam ayahnya Pandu ketika melihat Agnes disuapi oleh Pandu.
“Jelas ini ada kekuatan mistik yang telah membuat ia menjadi seperti itu,” ujar Om Harman kepada ayahnya Pandu.
“Kekuatan mistik itu tak bisa diperhitungkan pakai logika. Fantasi sekali, tapi nyata terbukti,” lanjut Om Harman
“Maksud Om Harman, ada orang yang mencuri raga Agnes dengan kekuatan Gaib?” tanya Pandu.
“Ya, begitulah menurut beberapa pendapat para tetangga kita, Pandu.” Jawabnya ketika di tanya Pandu
‘Mistik..?’ Pandu merenung beberapa saat. “Sayang sekali sejak kecil saya tidak percaya dengan kekuatan mistik.”
“Dan sekarang kau telah melihat buktinya sendiri, bukan?” sahut ayahnya Pandu tentang mistik.
Ayah Pandu percaya dengan adanya kekuatan gaib uang berkeliaran di sekeliling mereka, tetapi waktu itu Pandu selalu membantahnya. Dikatakan takhayul, omong kosong, halusinasi, dan sebagainya.
Tapi dengan kenyataan yang ada di depan matanya sendiri, kini Pandu menjadi berpikir. Seperti apa kekuatan mistik yang dimiliki seseorang, sehingga bisa mencuri raga Agnes sedemikian rupa? Siapa yang telah menggunakan kekuatan mistik itu sebenarnya?
Agnes sendiri juga termasuk orang yang tidak percaya dengan adanya kekuatan gaib. Apa yang berhubungan dengan kekuatan gaib ia anggap sebagai sesuatu yang bersifat mustahil dan omong kosong.
Tetapi, ketika ia mengalami Nasib seperti itu, pikirannya mulai berubah. Bahkan ia sempat bertanya kepada mamanya yang datang menjenguk di sore hari, “Apakah mama sudah mencari seorang dukun untukku, Ma?”
Dengan mata yang basah, mamanya Agnes menjawab, “Sudah. Mama sudah menghubungi Eyang Gani. Nanti malam ia akan datang dan menemuimu.”
Eyang Gani adalah panggilan untuk lelaki kurus berusia enam puluh tahun lebih, hamper seusia ayahnya Pandu. Ia tokoh paranormal yang enggan dipanggil dukun. Ia mampu melihat nasib seseorang di masa mendatang.
Ia mampu melihat makhluk aneh yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Bahkan konon ia mempunyai istri peri cantik yang juga tidak pernah bisa di lihat oleh orang awam.
Ketika Eyang Gani melihat keadaan Agnes yang sebenarnya, ia tidak menampakkan rasa kagetnya. Ia hanya sedikit menyipitkan mata dalam menatap Agnes. Sementara itu, Agnes sendiri tak berani menatap Eyang Gani karena rasa sedih dan malunya.
“Di mana ayah anak ini sekarang.?” Tanya Eyang Gani kepada mamanya Agnes.
Waktu itu, yang hadir di sekitar Eyang Gani selain mamanya Agnes, juga ayahnya Pandu dan Pandu sendiri.
Mamanya Agnes menjawab, “Ayahnya berada di Kalimantan. Kami berpisah sejak Agnes berusia lima belas tahun.”
“Sejak itu, apakah Nyonya menikah lagi,” Kembali Eyang Gani bertanya
Mamanya Agnes menggeleng, “Tidak Eyang. Saya lebih mencurahkan segala perhatian dan tenaga untuk Agnes, karena dialah sebenarnya satu-satunya permata hati yang mampu mendorong semangat saya untuk tetap hidup dan bekerja.”
“Apakah ayahnya bisa dipanggil untuk pulang dan dipertemukan dengan Agnes?” Tanya Eyang Gani Lagi.
“Akan saya usahakan, Eyang. Tetapi, apakah ini ada hubunganya dengan Ayahnya?” tanya balik mamanya Agnes.
Eyang Gani mengangguk-angguk dengan kalem. “Hubungan antara anak dengan ayahnya tetap ada. Tapi, bukan berarti kejadian seperti ini adalah perbuatan ayahnya.”
“Maaf Eyang… Jadi menerut Eyang, kemanakah raga Agnes ini?” Tanya Pandu dengan sopan.
Mata Eyang Gani masih memandang Agnes dengan sedikit meyipit, namun ia tetap menjawab pertanyaan Pandu. Suaranya pelan, datar, seperti orang yang malas berbicara.
“Seseorang telah mencurinya dengan maksud sengaja membuat Agnes menderita. Aku merasakan ada getaran orang yang sakit hati di balik kejadian aneh ini.”
“Sakit hati kepada Agnes..?” Tanya Pandu.
Eyang Gani memejamkan matanya sesaat. Tangan kanannya ditumpangkan di atas kepala Agnes. Lalu, setelah diam beberapa saat, ia menjawab, “Belum tentu kepada Agnes. Mungkin dia sakit hati kepada ibunya atau kepada ayahnya.”
Tak tahan Tante Mirah, mamanya Agnes itu membendung air matanya. Air mat aitu meleleh ke pipi, membuat sesak napasnya. Membuat ia terisak dan menundukan kepala.
“Apakah raganya tidak bisa di kembalikan lagi..?” tanya ayahnya Pandu
“Kenapa tidak..?” Kata Eyang Gani. “Yang jadi masalah adalah, dimana raganya sekarang. Kalua saya menemukan raganya, maka saya bisa mengembalikan lagi ke tempat asalnya.”
“Jadi, rupanya sangat sulit untuk mencari di mana raga Agnes disembunyikan oleh seseorang, ya Eyang?” tanya Pandu
Eyang Gani yang rambutnya putih semua itu menggumam. ‘Rupanya ada sedikit keraguan pada dirinya’. Sekali lagi ia menumpangkan tangannya ke atas kepala Agnes. Setelah ia mengangkat kepala Agnes, diletakkan didepannya dalam posisi membelakanginya. Kali ini kedua tangannya ditumpangkan diatas kepala Agnes, saling tindih. Pada waktu itu, ia berkata, “Akan ku coba mencari di alam lain..”
Eyang Gani memejamkan mata pelan-pelan, yang lain saling pandang. Pandu sendiri kurang paham dengan kata-kata ‘mencari di alam lain’. Ayahnya saat itu, membisikkan kata di telinga Pandu/
“Kita bantu berdoa saja, supaya Eyang Gani berhasil menerobos alam gaib dan menemukan raga Agnes” kata ayahnya Pandu.
Pandu baru paham, bahwa yang di maksud ‘alam lain’ itu adalah alam gaib. Alam yang tidak bisa dimasuki setiap manusia. Itulah sebabnya Pandu tidak banyak bicara. Ia membantu menciptakan suasana hening yang tentunya sangat dibutuhkan Eyang Gani.
Malam mulai menghadirkan barisan angin menuju selatan. Hembusannya terasa dingin di tubuh. Agnes sendiri memejamkan mata untuk membantu konsentrasi Eyang Gani. Ia berada di depan Eyang Gani yang duduk bersila di lantai bertikar, di kamar pandu.
Beberapa saat kemudian, Eyang Gani membuka matanya, memindahkan tangannya dari atas kepala Agnes. Yang lain menghela napas, menunggu penjelasan dari Eyang Gani.
Agnes pun membuka matanya, melirik ke bawah. Seakan ingin mengetahui apakah raganya sudah Kembali atau belum. Ternyata ia masih dalam keadaan seperti itu, tanpa raga.
Eyang gani berkata kepada mamanya Agnes, “Saya butuh segenggam garam.”
Pandu menyahut, “Ada, Eyang. Hhmm.. hanya garam saja?”
“Ya. Garam saja, taruh diatas piring ya..” perintah Eyang Gani.
Pandu buru-buru menyiapkan permintaan Eyang Gani. Selama Pandu pergi, tidak terjadi dialog anatara mereka. Tangan Eyang Gani hanya mengusap-usap rambut Agnes dengan sikap ikut merasa terharu melihat nasib gadis cantik yang malang itu.
“Ini garamnya, Eyang.. Cukup?” Tanya Pandu
“Cukup.” Jawab Eyang Gani tetap tenang, menunjukan sifat sabarnya.
Kedua tangan Eyang Gani *******-***** garam tersebut. Seakan ia mencuci tangannya dengan garam di atas piring beling. Entah apa yang diucapkan Eyang Gani pada saat mencuci tangan dengan garam, yang jelas mulutnya tampak komat-kamit.
Setelah beberapa saat, kedua tangan itu saling tepuk membersihkan garam yang melekat di telapak tangan. Memang tak bisa bersih sekali. Tapi itu hanya syarat baginya.
Lalu Eyang gani Kembali menumpangkan tangannya di atas kepala Agnes sambil berkata,
“Maaf ya, nak. Mau numpang lewat sebentar..”
Agnes tidak menjawab, sebab ia sendiri tidak mengerti maksudnya. Agnes hanya memandangi mamanya, dan mamanya memejamkan mata sambil melelehkan air mata. Kemudian Agnes memandangi Pandu, waktu tatapn mata mereka saling bertemu.
Pandu memberi isyarat dengan Gerakan jarinya agar Agnes tetap tenang.
Pada waktu Agnes memandangi ayahnya Pandu, lelaki tua dan sedikit gemuk itu tersenyum tipis. Hanya sekedar membuat hati Agnes agar tidak terlalu merasa tegang.
Eyang Gani kembali memejamkan matanya. Hening tercipta. Hembusan angin terasa semakin kencang. Suara hembusannya sempat terdengar menderu. Malam terasa sepi tanpa suara lain kecuali deru angin dan detik jam dinding.
Kurang lebih lima belas menit merak dalam keheningan tanpa berbau asap kemenyan. Lewat dari lima belas menit, terdengar suara gemuruh angin yang berhembus lebih kencang lagi. Hembusan angin kali ini di sertai dengan gemercik rintik hujang di atas genteng.
Agnes membuka matanya memandangi Pandu, seakan ingin menyatakan rasa takutnya. Pandu tetap tenang, memberi isyarat dengan tangan agar Agnes tetap tenang juga.
Mamanya Agnes memperhatikan anaknya sejak tadi tanpa bergerak-gerak. Sedangkan ayahnya Pandu hanya menundukan kepala, seakan ikut berdoa agar usaha mencari dan mengembalikan Raga Agnes bisa berhasil.
Rintikan gerimis berubah menjadi butiran hujan. Semakin lama semakin bergemuruh kencang. Angin pun berubah menjadi badai. Ada suara gayung di dapur yang jatuh ke lantai karena angin. Ada suara pintu berdentam dari kamar ayahnya Pandu.
Menegangkan sekali detik-detik lewat dari lima belas menit itu. Bahkan kini terdengar suara petir yang mengkilap begai cambuk api yang melecut di angkasa. Dduuuuaarrr…!
Tubuh Eyang Gani tersentak, namun tetao memejamkan mata dan menumpangkan tangannya seperti semula. Hanya saja, kali ini bagian kening Eyang Gani tampak berkerut. Sepertinya ada sesuatu yang perlu dilawannya dengan konsentrasi yang cukup kuat.
Dduuuaar,,,…! Sekali lagi ledakan petir mengguncangkan tubuh Eyang Gani. Juga mendebarkan jantung mamanya Agnes, dan membuat jantung Pandu berdetak-detak. Mulailah keringat dingin keluar dari pori-pori mereka.
Lebih menegangkan lagi setelah mereka sama-sama melihat ke arah piring yang berisi garam. Ternyata garam itu bergerak-gerak dengan sendirinya. Makin lama jumlahnya makin menyusut. Butiran garam itu terisap ke dasar piring.
Mamanya Agnes menelan ludahnya sendiri dengan napas yang mulai berat. Ia melebarkan matanya ketika melihat garam itu jumlahnya semakin sedikit. Mungkin hanya tinggal sejumput. Dan terus berkurang, akhirnya menjadi habis sama sekali. Piring itu menjadi kosong. Bersih.
Praaaaangg…. !
“Haahh..?!!” mamanya Agnes terpekik dalam satu tarikan napas yang menyentak.
Piring itu pecah tanpa ada yang menyentuhnya. Kerutan dahi Eyang Gani Semakin tajam.
Tangan lelaki tua yang mengenakan baju koko tanpa krah itu gemetar. Keringatnya pun mulai membasahi bagian kening, leher, dan sekitar mulutnya. Sepertinya Eyang Gani sedang membutuhkan banyak tenanga.
Hal itu membuat mamanya Agnes bergeser dari duduknya, mundur mendekati ayahnya Pandu. Sedangkan Pandu sendiri tetap di tempat dengan kedua mata mulai melebar.
Ledakan petir terdengar lagi, kali ini membuat tangan Eyang Gani sempat tersentak ke atas. Ddduuuuuaarrrr…..!
Tangan itu kembali keasalnya. Tetapi saling menindih. Melekat ke ubun-ubun Agnes. Wajah Agnes menjadi pucat tanpa keringat, sedangkan wajah Eyang Gani pucat dan Berkeringat.
Agnes membuka matanya, menggigit bibirnya sendiri. Ketara sekali sedang menahan perasaan takut yang amat mencekam.
“Hhhheeeeegggghhh…” Eyang Gani menahan napas sampai mengerang seperti orang kesakitan. Tangannya makin bergetar. Malahan sekujur tubuhnya kini ikut bergetar, seperti orang menggigil. Wajahnya berkerut tajam sekali, pertanda sedang menahan sesuatu yang perlu dilawan dengan tenaga ekstra.
Cahaya kilat melesat….. Ddduuuaarrr…!
Bertepatan dengan itu, tubuh Eyang Gani tersentak kebelakang. Kedua tangannya mengembang ke atas. Kakinya masih dalam keadaan bersila. Sentakkan yang tidak di ketahui dari mana asalnya itu telah membuat punggung Eyang Gani beradu dengan dinding. Keras sekali. Sampai Eyang Gani menyerukan suara, “Huuuughh!” matanya mendelik.
Mereka menjadi sangat tegang. Pandu segera meraih kepala Agnes dan memeluknya ke dada. Mata mereka melebar melihat tubuh Eyang Gani terangkat keatas dengan punggung tetap menempel pada dinding tapi pantatnya sudah tidak menempel pada lantai lagi.
Tubuhnya itu makin lama makin terangkat tinggi. Mulutnya menganga dengan kepala bergerak-gerak kebingungan.
“Uuuuaaaahhh…!” Eyang Gani makin melebarkan mulutnya, dan pada saat itu keluarlah cairan merah dari mulut Eyang Gani. Cairan itu kental dan berwarna merah, menyembur keluar hingga memercik kemana-mana.
“Ohhhh..!” Pekik mamanya Agnes.
Pemandangan mengerikan itu membuat mereka terdiam di tempat, dengan mata terbelalak dan mulut menganga.
Tubuh lelaki kurus itu bergerak terus keatas dengan gerakan pelan-pelan. Ia tak bisa menggerakkan kakinya yang dalam keadaan bersila itu, tapi ia bisa menggerakkan kedua tanggannya yang menggapai-gapai kebingungan mencari tempat untuk berpegang.
“Hoooeekkk…!” Eyang Gani kembali menyemburkan darah kental merah kehitam-hitaman dari mulutnya. Bahkan kini lubang hidungnya pun ikut mengeluarkan darah kental.
“Lakukan sesuatu untuknya, Panduuuuu….!” Pekik Agnes dengan suara tegang.
Pandu bingung. Sama paniknya dengan ayahnya sendiri. Sementara itu, mamanya Agnes hanya bisa bersembunyi di balik punggung Pandu dengan napas terengah-engah dan suara menceracau tak karuan.
“Aaakkkhhhh….!” Eyang Gani menutup telinganya dengan kedua tangan. Karena dari lubang telinganya itu pun sekarang mengeluarkan darah kental yang membasahi dinding.
Tubuh itu terangkat terus keatas. Kepala Eyang Gani sampai menyentu langit-langit kamar. Dan pada saat itulah, Eyang Gani Seperti di jatuhkan dari atas.. Braaakkk !
“Aaakkhhh…!” Pakik Eyang Gani begitu pantatnya menyentuh lantai.
Pandu ingin mendekat dan memberi pertolongan, tetapi ia segera mundur sambil tetap memegan kepala Agnes. Karena pada saat itu, dari kedua mata Eyang Gani mengeluarkan cairan merah. Darah yang keluar dari matanya itu begitu deras, seolah-olah ingin membuat kedua biji mata itu tersentak keluar.
“Aauuu..” Mamanya Agnes menjerit sekuat tenaga melihatan pemandangan yang mengerikan dan menjijikan itu.
Tubuh Eyang Gani menggeliat tak karuan dengan bermandikan darah. Banyaknya darah yang keluar hampir sama dengan banyaknya darah yang ada di dalam tubuh setiap manusia. Lantai pun jadi becek oleh darah. Bau amis menyebar kemana-mana.
Sementara itu, amukan badai terasa semakin hebat. Kilatan cahaya petir saling bersahutan, ledakan yang menggelegar tiada putus satu dengan yang lain, sehingga langit terasa Bagai mau runtuh. Guncangan lantai makin terasa jelas. Berisik sekali.
Tubuh Eyang Gani bergelonjotan dengan darah yang masih menyembur terus dari berbagai lubah pada tubuhnya. Begitu paniknya suasana sampai-sampai Agnes Berteriak keras.
“Hentikan…..! Hentikan….!”
BAB 3
Kembali polisi turun tangan dalam masalah ini. Om Harman menelpon polisi setelah mengetahui ada peristiwa aneh di rumah Pandu. Pihak rumah sakit pun dihubungi, karena keadaan Eyang Gani belum sampai Tewas.
Waktu Eyang Gani dilarikan ke rumah sakit, ayahnya Pandu dan dua orang petugas kepolisian ikut dalam ambulance tersebut.
Pada saat itu, napas Eyang Gani semakin tersendat-sendat. Ia bicara dengan seorang polisi berpangkat kopral.
“Sa…saya gagal.. ra.. raga itu ada..!” Ucap Eyang Gani kepada Polisi
“Ada di mana maksudnya?” desak polisi itu.
“Diii.. Di sana..! di jaga oleh… oleh..” Napas Eyang semakin tersendat.
“Oleh siapa, Eyang?! Oleh siapa?” desak polisi itu kembali.
Napas Eyang Gani terhempas pelan-pelan. Panjang dan sangat Panjang sekali. Sampai akhirnya habis. Tak bernapas lagi. Tak berkutik sedikit pun.
“Sial…! Dia tak tertolong lagi” gumam ayahnya Pandu.
Menurut hasil visum etrepertum, Eyang Gani tewas karena jaringan dalam tubuhnya mengalami banyak kerusakan, terutama pada pembuluh darah dan jantung. Seolah-olah ada suatu benda keras yang merusak jaringan dalam tubuh Eyang Gani dengan kasar dan membabi buta.
Kembali polisi dihadapkan pada kasus kematian yang sukar dilacak siapa pembunuhnya. Pihak kepolisian mengetahui peranan Eyang Gani sebagai Paranormal yang sering membantu polisi melacak jejek pembunuh. Namun sekarang dia sendiri yang terbunuh tanpa jejak pelakunya.
Sementara itu, pihak kepolisian pun masih belum bisa memastikan kemana mereka harus melangkah. Jelas pelaku pembunuh Eyang Gania da hubungannya dengan kasus terpenggalnya kepala Agnes.
Namun, kasus Agnes sendiri masih kurang jelas bagi pihak kepolisian. Kasus Agnes belum bisa dikategorikan sebagai kasus pembunuhan, sebab korbannya masih hidup.
Mungkin hanya bisa dikategorikan sebagai kasus pencurian. Tapi, apakah wajar dalam berkas acara di sebutkan bahwa barang yang dicuri itu adalah sosok tubuh? Janggal sekali kedengarannya.
Paling-paling kasus itu dikategorikan sebagai kasus penganiayaan. Tetapi, memenggal kepala manusia dalam arti memisahkan kepala dengan bagian tubuhnya. Apakah cukup dianggap sebagai tindak penganiayaan ?.
Dhamayanti, yang pada malam kehadiran Eyang Gani menginap di rumah pamannya. Ia sengaja menemui Pandu yang baru pulang kerja.
“Aku ingin bicara dengan mu” Kata Dhamayanti dengan sikapnya yang ketus.
“Aku bosan bicara denganmu.” balas Pandu sambil nyelonong masuk.
Tangan Dhamayanti meraih lengan kakaknya menahannya kuat-kuat sambil berkata, “Ini penting, Pandu !. Ini masalah hantu tanpa raga itu.”
Pandu berpaling memandang wajah adiknya yang berambut Panjang sebatas punggung. Tatapan mata Pandu mengandung kemarahan yang ditahannya kuat-kuat. Ia hanya menggeram waktu berkata, “Agnes bukan hantu ! Sekali lagi kau bicara begitu, ku robek mulutmu Yanti !!”
“Jadi apa aku harus menyebutnya permaisuri??” Balas Dhamayanti dengan menyipkan matanya sinis.
Napas Pandu terhela dan terhempas Panjang-panjang. Tas kerjanya di letakkan di atas meja tamu, kemudian dia menarik lengan adiknya keteras dan berkata, “Oke, sekarang bicaralah. Mau bicara apa kau ? Mau menyudutkan dia lag ikan?”
“Aku tidak punya maksud untuk menyudutkan dia ! Aku hanya ingin mengingatkanmu, bahwa dia bisa menjadi sumber masalah bagi keluarga kita! Dukun yang kemarin malam ke sini itu sudah menjadi bukti, bahwa rumah kita akan menjadi rumah kematian yang mengerikkan.!!!” Jawab Amel kepada Pandu.
“Alasanmu gak masuk sakal.!” Balas Pandu
“Apakah gadismu itu masuk akal ? Apakah hidup tanpa raga dan hanya kepala saja itu bisa di bilang masuk akal ?” Dhamayanti balik bertanya kepada kakaknya.
Pandu terpojok. Ia membisu beberapa saat, matanya tak berkedip menatap Dhamayanti dengan sikap marah yang tertahan.
Dhamayanti berkata lagi, “Agnes adalah sumber malapetaka bagi keluarga kita, Pan. Dia nggak pantas tinggal disini lagi. Lagi pula, dia bukan istri mu ! Tak baik tinggal sekamar dengan perempuan yang bukan saudara dan bukan istri.”
“Kau pikir apa yang bisa kulakukan dengan dia walau satu kamar,?” sahut Pandu. “Pikiranmu terlalu kotor !!”
Kemudian Pandu melangkah meninggalkan adiknya. Saat itu, adiknya sempat berseru, “ Pindahkan dia ! Jangan di sini ! Aku tidak mau tidak di rumah ini kalua masih ada dia.”
“Terserah kau mau tinggal dimana, aku nggak peduli” Belas Pandu dengan penuh kemarahan.
Brrraaakkk…! Dhamayanti mendengus sambil menendang pintu. Pandu tidak melayani. Ua masuk ke kamarnya dan meletakkan tas kerjanya pada tempatnya. Matanya menatap kepala Agnes yang ada dalam lemari kaca tembus pandang, hatinya Bagai diiris dengan pisau cukur yang tajam.. srrrreettt !!!
Agnes tersenyum tipis. Pandu membuka pintu lemari itu. Ia sedikit membungkuk agar wajahnya tepat berada di depan Agnes.
“Sudah makan nes ?” tanya Pandu dengan tersenyum.
“Sudah.” Jawab Agnes pelan. “Ayah yang menyuapi aku”
“Masih lapar ?” sambil Pandu menjentik pelan hidung Agnes yang mancung.
“Kalau masih, apakah kau akan membawaku ke rumah makan?” Balas Agnes.
Pandu tertawa pendek. Iba sekali hatinya melihat kebahagian yang tersisa saat itu. Rambut Agnes disisir dengan jari-jemari tangan Pandu. Agnes memejamkan matanya, menikmati sentuhan lembut yang mengharukan itu.
“Aku terlalu merepotkan keluargamu, terutama kamu.” Kata Agnes pelan.
“Tak apa. Dengan begini aku bisa menunjukkan kasih sayangku padamu sebenarnya.” Balas Pandu.
Kemudian Pandu mengangkat kepala itu pelan-pelan. Mencium pipi Agnes dengan lembut. Agnes memejamkan mata, bagai terbawa oleh kemesraan yang murni itu.
Bantal yang biasa dipakai untuk meletakkan kepala Agnes itu di taruh diatas meja oleh Pandu. Kepala Agnes pun segera di letakkan di atas bantal tersebut. Pandu duduk di kursi kerjanya, menghadap ke Agnes. Ia menantapnya dengan sorot pandangan mata yang lembut, seakan penuh curahan kasih sayang.
Cukup lama mereka saling pandang dengan mulut terbungkam. Akhirnya Agnes tak tahan, dan ia bertanya, “Mengapa kau sering memandangiku sampai lama ? Kau ngeri melihat wujudku ini Pandu?
Kepala Pandu Menggeleng. “Kalau aku memandangmu, benakku selalu bertanya-tanya: Mengapa keadaanmu sampai bisa jadi begini ? Apa dosamu sebenarnya.?
Agnes mendesahkan napas. Ada saja napas yang terhembus lewat mulutnya itu, padahal ia tidak mempunyai paru-paru. Inilah keanehannya yang sering di renungi Pandu setiap malam.
Mata bening yang tidak terlalu bundar itu menatap Pandu tak berkedip. Sambil menatap lembut begitu, Agnes berkata dengan suara pelan. “Nasib yang ku alami ini, barangkali tak pernah dialami orang lain, siapa pun dan di manapun.”
“Memang. Agaknya kau mempunyai spesialisasi penderitaan yang tak pernah terpikirkan oleh siapa pun.” Kata Pandu
“Sebenarnya pada malam sebelum kau kehilangan ragamu, apakah benar kau tidak mimpi apa-apa? Tanya Pandu.
“Sama sekali tidak. Aku tidur begitu nyenyak. Nyeyak sekali. Kalau tidak mendengar denting jam dinding di ruang tengah, aku tidak akan terbangun dan tidak akan mengetahui kalua keadaanku sudah berubah seperti ini. “ jawab Agnes sendu.
“Kau juga tidak merasa di sentuk oleh seseorang, atau mungkin kau merasakan ada sesuatu yang jatuh di lehermu?” tanya Pandu kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!