Langit sore masih menyisakan mendung tipis, sisa hujan yang mengguyur sejak siang. Di dalam rumah kecil yang sekaligus berfungsi sebagai toko buku, suasana terasa hangat dan tenang. Aroma kayu basah bercampur bau lembaran kertas tua memenuhi udara. Di sudut ruangan, seorang anak laki-laki duduk bersila di lantai, dikelilingi tumpukan buku.
Cakra, bocah sepuluh tahun yang lebih senang tenggelam dalam cerita ketimbang bermain gawai seperti teman-teman seusianya, sedang menyusun ulang rak bagian bawah. Buku-buku bersampul pudar itu seolah punya suara, memanggilnya satu per satu untuk dibaca ulang.
“Ibu bilang rak ini mau roboh,” gumamnya pelan sambil menarik beberapa buku keluar.
Tiba-tiba, ketika ia mengangkat tumpukan ensiklopedia lama, sesuatu tergelincir dari celah belakang rak. Duk! Sebuah benda kecil jatuh dan menimbulkan bunyi pelan di lantai kayu. Cakra menoleh, alisnya terangkat. Di bawah bayangan rak, ia melihat sebuah kotak kayu usang.
Perlahan ia merangkak dan menarik kotak itu keluar. Ukurannya tak lebih besar dari sebuah buku harian. Permukaannya kusam, beberapa sudutnya mulai lapuk dimakan usia. Tapi satu hal menarik perhatiannya: ada label lusuh yang tertempel di bagian atas, tulisannya pudar tapi masih terbaca.
Untuk Dita
Tepat di bawahnya, ada pita biru yang nyaris memudar warnanya, hanya menyisakan sedikit kilau nostalgia. Cakra membalik kotak itu, mencari cara untuk membukanya. Kunci kecil menggantung lemah di sisi engsel, sudah berkarat dan hampir lepas.
“Kenapa ada nama Ibu di sini...?” bisiknya penasaran.
Ia menimbang-nimbang sebentar. Ada dorongan aneh di dalam dadanya, semacam rasa ingin tahu yang tak bisa ditahan. Mungkin ini milik Ibu saat masih muda? Atau... surat cinta dari seseorang?
Engsel itu rapuh, hanya dengan sedikit tekanan, klik!—kotaknya pun terbuka perlahan, mengeluarkan suara berderak lirih seolah membangunkan kenangan yang telah lama tidur.
Di dalamnya, tersimpan rapi tumpukan surat dalam amplop putih kekuningan, disusun sesuai tanggal. Beberapa bahkan masih disegel, sebagian lain terbuka dengan lipatan yang sudah melebar karena sering dibaca.
Cakra menelan ludah. Jemarinya yang kecil gemetar saat menyentuh surat pertama. Di pojok kiri atas, tertulis dengan tinta biru:
"Untuk istriku tercinta, Dita. Jika aku tidak kembali..."
Jantungnya berdetak lebih kencang. Ada rasa asing yang merayap perlahan ke dalam hatinya. Takut. Penasaran. Sedih. Tapi lebih dari itu—ada sesuatu dalam dirinya yang tergerak. Surat ini... dari siapa?
Dan kenapa seperti... perpisahan?
Kotak kayu itu digenggam erat di pelukan Cakra. Kakinya melangkah pelan, nyaris tanpa suara, menuju pojok ruangan tempat dua rak tinggi berdiri membentuk lorong sempit yang jarang dilewati orang. Di situlah ia biasa sembunyi jika ingin membaca dengan tenang, jauh dari perhatian sang ibu.
Ia duduk bersila, menyandarkan punggungnya pada rak, dan meletakkan kotak itu di pangkuannya. Hujan mulai turun lagi di luar sana, menyisakan suara rintik di atap seng yang ritmis dan menenangkan—tapi tidak cukup untuk meredam suara jantungnya yang berdetak cepat.
Dengan hati-hati, Cakra membuka kotak itu kembali. Tumpukan surat di dalamnya kini terasa seperti harta karun paling berharga yang pernah ia temukan. Ia mengambil satu lembar yang amplopnya telah terbuka dan mengeluarkan isinya perlahan. Tinta biru tua dengan tulisan tangan rapi mengisi lembaran kertas tipis.
“Untuk istriku tercinta, Dita… jika aku tidak kembali…”
Cakra menahan napas. Kalimat itu terulang di setiap surat yang ia buka. Selalu diawali dengan kata-kata yang sama, seolah sang penulis tahu bahwa suatu saat, surat-surat itu akan menjadi warisan terakhir.
Ia mulai membaca perlahan. Kata demi kata.
“Hari ini, aku kembali berjaga di pos depan. Angin di sini dingin sekali, tapi aku selalu hangat jika membayangkan kamu dan anak kita. Aku sering membayangkan seperti apa wajah anak kita nanti. Aku harap dia mewarisi senyummu—senyum yang bisa menenangkan badai dalam hati siapa pun.”
Cakra menelan ludah. Matanya melompat ke surat lain, tak sabar untuk tahu lebih banyak.
“Kadang aku takut, Dit. Takut tak bisa melihatnya tumbuh besar, takut tak sempat membimbing langkahnya, mengajarinya hal-hal sederhana, seperti mengikat tali sepatu atau membaca peta bintang. Tapi satu hal yang kupastikan—aku ingin dia tumbuh menjadi anak yang baik, yang tahu arti keberanian tapi juga penuh kasih. Jangan didik dia menjadi keras, Dit. Ajari dia mencintai dulu, baru kemudian bertarung jika perlu.”
Tangannya bergetar. Ia menatap kalimat itu lama sekali, seolah ingin menyalinnya ke dalam hatinya sendiri.
“Jika aku tidak kembali, tolong katakan padanya bahwa aku sangat mencintainya. Bahwa aku bukan pahlawan, hanya seorang ayah yang ingin melindungi keluarga kecilnya.”
Cakra memeluk surat itu. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada perasaan hangat yang perlahan memenuhi dadanya. Dan di saat yang sama, ada sesuatu yang lain—semacam rasa rindu pada sosok yang belum pernah ia kenal.
“Papa…” bisiknya pelan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa dekat dengan nama itu. Rangga. Ayahnya. Sosok yang selama ini hanya hadir dalam bingkai foto, kini seperti hidup melalui kata-kata. Dan melalui surat-surat ini, Cakra menemukan lebih dari sekadar kenangan—ia menemukan panggilan.
Sebuah bisikan yang samar tapi tegas.
Dan tanpa sadar, hari itu menjadi hari pertama Cakra menapaki jejak langkah sang ayah. Diam-diam, dan sendirian.
Suasana di pojok ruangan itu masih sama sunyinya. Hujan belum juga reda, seolah ikut menemani perjalanan diam-diam Cakra ke masa lalu.
Di tangannya, sebuah surat baru terbuka. Kertasnya sudah menguning, sedikit sobek di ujung-ujungnya. Tulisannya masih sama—rapi, tenang, dan penuh rasa. Tapi isi surat kali ini terasa berbeda. Lebih dalam. Lebih... menyentuh.
“Jika nanti Cakra sudah cukup besar, tolong ceritakan padanya tentang siapa ayahnya.
Bukan untuk dibanggakan, tapi untuk dikenang dengan tenang.”
Cakra terdiam. Kata-kata itu seperti menggema dalam kepalanya, memukul pelan tapi dalam. Tangannya perlahan menurun, memeluk surat itu ke dadanya. Ia menunduk, bahunya berguncang perlahan.
Tanpa suara, air mata mulai jatuh satu per satu. Bukan karena sedih semata, tapi karena sesuatu yang sulit dijelaskan—sebuah rasa kehilangan yang baru sekarang benar-benar terasa.
Ia menangis. Diam-diam. Pelan. Tapi rasanya deras, seperti sungai yang baru saja menemukan celah untuk mengalir setelah lama tertahan.
Bahkan ia tak sadar, tubuhnya kini menggigil kecil, bukan karena dingin, tapi karena perasaan yang tak tertampung.
"Aku ingin mengenalmu..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
"Aku ingin... tahu seperti apa kamu bicara, seperti apa caramu tersenyum..."
Ia memeluk surat-surat itu lebih erat, seolah dari balik lembaran kertas itu, ayahnya sedang membalas pelukan itu juga. Seolah Rangga, dalam bentuk yang tak kasat mata, hadir dan mendengarnya.
Untuk pertama kalinya, Cakra tak merasa sendiri dalam keheningan itu.
Ia tak tahu berapa lama ia duduk di sana. Yang ia tahu, saat itu, di antara tumpukan surat dan debu masa lalu, sebuah ikatan yang selama ini samar menjadi nyata.
Bukan sekadar rasa penasaran. Bukan hanya rasa rindu. Tapi tekad yang tumbuh perlahan—dan diam-diam—di dalam hati kecilnya.
“Cakra?”
Suara Dita menggema dari dapur, terdengar sedikit cemas.
“Cakrawala yudha sudah sore, jangan main terus...”
Tak ada jawaban. Biasanya anak itu cepat menjawab, apalagi kalau Dita mulai menyebut nama panjangnya—pertanda omelan akan segera datang.
Langkah kaki Dita membawa dirinya ke toko buku kecil yang menyatu dengan rumah. Bau kayu, debu, dan hujan langsung menyambut. Matanya menyisir ruangan dengan cepat... hingga berhenti di sudut ruangan, di antara dua rak tinggi yang jarang disentuh.
Di sanalah Cakra, tertidur dalam posisi meringkuk. Tangannya memeluk erat beberapa lembar surat. Kotak kayu kecil itu terbuka, isinya berserakan di lantai. Pita biru kusam tergelatak tak berdaya.
Wajah Dita langsung menegang. Ia berdiri mematung di ambang pintu.
Jantungnya berdetak lebih cepat—ada kemarahan yang muncul begitu saja. Tapi bersamaan dengan itu, ada rasa panik, takut, dan luka lama yang seperti baru dirobek ulang.
“Ya Tuhan...” bisiknya.
Ia berjalan cepat, hampir terhuyung saat melihat surat-surat itu. Surat-surat dari Rangga. Yang ia sembunyikan bertahun-tahun lamanya. Yang ia jaga agar tak disentuh siapa pun, terutama oleh anak itu.
Tanpa berpikir panjang, ia menarik surat-surat itu dari pelukan Cakra. Gerakannya refleks, tergesa.
Cakra terbangun dengan kaget. Matanya masih basah. “Bu... jangan! Itu...”
“APA YANG KAMU LAKUKAN?!” suara Dita meledak begitu saja. Nadanya tinggi, tajam.
“Kamu ngapain buka-buka barang Ibu?! Siapa yang izinkan kamu—?!”
Cakra mundur, ketakutan. “Aku... aku cuma nemu di belakang rak... aku gak sengaja, Bu... aku cuma pengin tahu... tentang Ayah...”
“Kenapa kamu ngotot banget pengin tahu tentang orang yang bahkan belum pernah kamu temui?! Kenapa kamu harus korek-korek luka yang Ibu simpan selama ini?!”
Dita membalikkan tubuhnya, memejamkan mata, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Tapi suaranya pecah di kalimat berikutnya.
“Kenapa kamu gak bisa... cukup dengan Ibu aja?”
Keheningan turun seperti kabut. Hujan di luar seolah ikut diam.
Cakra hanya menatap ibunya. Napasnya cepat. Matanya berkaca-kaca lagi, tapi kali ini karena rasa bersalah.
Dita pun perlahan menunduk, memungut lembaran surat satu per satu. Tangannya gemetar. Lalu ia duduk di samping Cakra, mendekap surat-surat itu di dada.
Perlahan, ia mengusap kepala anaknya. Kali ini nadanya lebih pelan. Retak. Lelah.
“Maaf ya, Nak...” katanya lirih.
“Ibu bukan marah karena kamu baca ini... Ibu cuma takut kamu nanti luka seperti Ibu. Ibu cuma pengin kamu... hidup tenang. Gak harus jadi kuat, gak harus jadi seperti Ayahmu...”
Cakra tak menjawab. Ia hanya mendekatkan kepalanya ke bahu ibunya. Mencari kehangatan, meski kepalanya penuh pertanyaan.
Dan di antara sunyi itu, dua generasi yang sama-sama menyimpan luka—akhirnya duduk berdampingan. Terluka, tapi mencoba saling mengobati.
Malam turun perlahan, menyelimuti rumah kecil itu dengan keheningan. Hujan sudah reda, menyisakan titik-titik air yang masih menempel di kaca jendela kamar Cakra. Suara jangkrik samar terdengar dari kejauhan.
Cakra duduk di ambang jendela, lututnya ditekuk, dagunya bertumpu di atasnya. Di tangan kanannya, ia menggenggam satu surat. Surat yang paling menyentuh hatinya—yang ditulis ayahnya dari medan tugas.
Ia menatap langit malam yang berhiaskan bintang. Tatapannya bukan sekadar melihat, tapi seolah sedang mencari... seseorang.
“Kalau Ayah bisa dengar,” bisiknya lirih, “aku cuma mau bilang... aku ngerti sekarang.”
Senyum tipis muncul di wajahnya, meski matanya masih sembab. Ada semacam cahaya baru di sana. Bukan sekadar duka, tapi semangat yang pelan-pelan tumbuh dari luka.
“Suatu hari nanti…”
Ia mengepalkan tangannya pelan, menahan gemuruh kecil di dadanya.
“Aku akan meneruskan langkahmu. Tapi aku janji, aku gak akan bikin Ibu menangis lagi.”
Angin malam masuk dari celah jendela. Membelai rambutnya. Seolah langit menjawab, meski tanpa suara.
Cakra menatap ke depan—ke cakrawala malam yang tak terbatas. Di sanalah, untuk pertama kalinya, impian kecil itu mulai tumbuh.
Suara rintik hujan semalam masih menyisakan aroma tanah basah di udara. Matahari baru muncul dari balik awan, cahayanya masuk lewat jendela toko, menyentuh rak demi rak buku dengan lembut. Lantai kayu yang mengkilap memantulkan sinar, memberi kesan hangat pada ruangan yang sempit namun penuh cerita.
Cakra, remaja dengan rambut agak berantakan dan wajah masih tampak mengantuk, membuka pintu kaca toko buku kecil milik ibunya. Di lehernya tergantung celemek abu-abu kusam bertuliskan “Cakra’s Bookshelf” yang ia bordir sendiri waktu SMP.
Ia mengangkat sapu, mulai dari sudut dekat pintu masuk. Sesekali, ia jongkok untuk mengambil serpihan daun kering yang terbawa angin malam. Rak-rak tinggi berisi buku tampak sedikit berantakan—mungkin akibat pengunjung anak-anak kemarin yang berebut komik Naruto.
Cakra bergumam pelan, “Aduh, siapa yang nyelipin novel horror di rak dongeng anak, sih…”
Ia menyusuri rak sambil merapikan posisi buku. Tangan kanannya menyentuh sampul satu per satu, seakan menyapa mereka seperti teman lama. Di rak tengah, ia memperbaiki posisi novel klasik yang terjepit miring di antara dua komik detektif. Sambil bersenandung kecil, Cakra sesekali melirik ke luar jendela toko yang menghadap ke jalan kecil perumahan.
Tiba-tiba—cling clang—lonceng kecil di atas pintu berdenting. Bukan pelanggan.
Seekor kucing belang gendut melangkah pelan, ekornya bergoyang anggun seperti pemilik sah toko. Cakra berhenti menyapu dan menatapnya.
“Hei, Miko,” ujarnya, tangannya bertolak pinggang. “Mau baca buku horor lagi? Yang kemarin kamu tinggal di halaman 73, lho.”
Miko, si kucing, mengeong sekali—seolah membalas ucapan itu—lalu dengan santainya naik ke atas tumpukan buku di meja kasir dan merebahkan diri.
Cakra tertawa pelan. Ia menghampiri, mengelus kepala si belang yang langsung memejamkan mata.
“Nanti kalau Bu Rini lihat kamu di sini lagi, aku bisa dimarahi. Kamu tuh, ngapain sih suka banget tidur di bagian buku thriller?”
Kucing itu hanya mendengus. Dengan hati-hati, Cakra mengangkat tubuh Miko dan membawanya keluar. Di depan pintu, ia menurunkannya perlahan ke tanah, lalu menunjuk ke arah rumah seberang.
“Sana, pulang dulu. Nanti sore kamu balik lagi aja kalau mau ngobrol soal Sherlock Holmes.”
Miko menatapnya dengan tatapan malas, lalu berjalan menjauh seolah enggan tapi pasrah. Cakra tersenyum, menutup pintu, dan kembali melanjutkan rutinitas.
Dengan suara lirih, ia bicara sendiri, “Hari ini bakal seru, aku yakin…”
Udara siang mulai menghangat. Toko buku yang tadinya dipenuhi canda anak-anak dan ibu-ibu, kini tenang kembali. Tapi tak lama kemudian, pintu kembali berdering cling cling—kali ini muncul sesosok pemuda berkaus oblong, celana training belel, dan rambut acak-acakan seperti baru bangun dari tidur panjang tanpa mimpi.
“Yo, Cakra!” serunya sambil melambai. Di tangannya ada segelas kopi instan dari warung depan.
Cakra menengok sebentar dari balik rak sejarah. “Yo, Ardi. Hari ini baca apa? Kapitalisme? Demokrasi? Atau kisah cinta tokoh revolusi lagi?”
Ardi langsung menduduki kursi kayu tua di pojok rak buku sejarah. Ia mengangguk serius, membuka satu buku tebal dan langsung mulai bicara seolah berada di forum nasional.
“Kebijakan pendidikan sekarang ini problematik, Bro. Buku teksnya terlalu berat untuk anak SD. Kamu bayangin, anak segede upil bawa tas segede galon isi ulang. Belum isinya penuh dengan istilah ‘interdisipliner’ dan ‘integratif’. Gimana mau paham?”
Cakra menyambut santai, masih menyusun beberapa buku. “Kalau terlalu berat, ya kita bantu bacain pelan-pelan. Biar paham pelan-pelan. Namanya juga anak-anak.”
Ardi langsung menyodok, “Itu solusi darurat, Cak. Tapi bagaimana dengan regulasi jangka panjangnya? Kebijakan strategis nasionalnya? Pendidikan karakter berbasis literasi lokal dalam era post-digital globalisasi?”
Cakra berhenti sejenak. Ia menoleh dengan wajah seolah berpikir dalam.
“Wah, kalau udah post-digital, berarti buku cetak harus punya fitur swipe kanan dong?”
Ardi melongo beberapa detik, lalu mendengus geli. “Anjir. Gue kira lo bakal jawab serius.”
Cakra nyengir. “Serius itu kadang butuh jeda. Biar nggak meledak jadi stres nasional.”
Mereka tertawa. Ardi mengaduk kopinya sambil menatap ke arah rak, lalu bergumam, “Tapi serius, ya. Kalau kita punya target literasi nasional yang tinggi tapi warga desa masih bingung cara buka e-book, itu gimana?”
Cakra duduk di sebelahnya, mengangguk. “Berarti solusinya satu.”
“Apa tuh?”
“Taruh Wi-Fi gratis di pos ronda. Kasih pelatihan baca digital sekalian ngopi.”
Ardi menunjuk Cakra. “Nah, itu baru solusi gotong royong.”
Lalu mereka terdiam sejenak. Tak ada yang benar-benar tahu apakah percakapan mereka barusan bernilai politis atau sekadar dua pemuda iseng yang terlalu banyak baca buku sambil ngopi.
Dan di toko buku kecil itu, debat berakhir bukan dengan argumen, tapi dengan tawa yang tulus.
Udara siang mulai menghangat. Toko buku yang tadinya dipenuhi canda anak-anak dan ibu-ibu, kini tenang kembali. Tapi tak lama kemudian, pintu kembali berdering cling cling—kali ini muncul sesosok pemuda berkaus oblong, celana training belel, dan rambut acak-acakan seperti baru bangun dari tidur panjang tanpa mimpi.
“Yo, Cakra!” serunya sambil melambai. Di tangannya ada segelas kopi instan dari warung depan.
Cakra menengok sebentar dari balik rak sejarah. “Yo, Ardi. Hari ini baca apa? Kapitalisme? Demokrasi? Atau kisah cinta tokoh revolusi lagi?”
Ardi langsung menduduki kursi kayu tua di pojok rak buku sejarah. Ia mengangguk serius, membuka satu buku tebal dan langsung mulai bicara seolah berada di forum nasional.
“Kebijakan pendidikan sekarang ini problematik, Bro. Buku teksnya terlalu berat untuk anak SD. Kamu bayangin, anak segede upil bawa tas segede galon isi ulang. Belum isinya penuh dengan istilah ‘interdisipliner’ dan ‘integratif’. Gimana mau paham?”
Cakra menyambut santai, masih menyusun beberapa buku. “Kalau terlalu berat, ya kita bantu bacain pelan-pelan. Biar paham pelan-pelan. Namanya juga anak-anak.”
Ardi langsung menyodok, “Itu solusi darurat, Cak. Tapi bagaimana dengan regulasi jangka panjangnya? Kebijakan strategis nasionalnya? Pendidikan karakter berbasis literasi lokal dalam era post-digital globalisasi?”
Cakra berhenti sejenak. Ia menoleh dengan wajah seolah berpikir dalam.
“Wah, kalau udah post-digital, berarti buku cetak harus punya fitur swipe kanan dong?”
Ardi melongo beberapa detik, lalu mendengus geli. “Anjir. Gue kira lo bakal jawab serius.”
Cakra nyengir. “Serius itu kadang butuh jeda. Biar nggak meledak jadi stres nasional.”
Mereka tertawa. Ardi mengaduk kopinya sambil menatap ke arah rak, lalu bergumam, “Tapi serius, ya. Kalau kita punya target literasi nasional yang tinggi tapi warga desa masih bingung cara buka e-book, itu gimana?”
Cakra duduk di sebelahnya, mengangguk. “Berarti solusinya satu.”
“Apa tuh?”
“Taruh Wi-Fi gratis di pos ronda. Kasih pelatihan baca digital sekalian ngopi.”
Ardi menunjuk Cakra. “Nah, itu baru solusi gotong royong.”
Lalu mereka terdiam sejenak. Tak ada yang benar-benar tahu apakah percakapan mereka barusan bernilai politis atau sekadar dua pemuda iseng yang terlalu banyak baca buku sambil ngopi. Dan di toko buku kecil itu, debat berakhir bukan dengan argumen, tapi dengan tawa yang tulus.
Langit sore menggantung temaram, menyisakan semburat jingga yang memantul di kaca jendela toko. Lampu gantung di atas kasir mulai meredup, satu per satu pelanggan pamit. Toko buku kecil itu kembali sunyi, hanya ditemani suara kipas tua yang menderu pelan.
Cakra berdiri di tengah ruangan, menatap rak-rak buku yang baru saja ia rapikan. Tangannya menggulung apron, lalu meletakkannya di balik kursi. Ia berjalan pelan menuju meja kasir, mematikan lampu satu per satu, lalu duduk di kursi kayu favoritnya—yang sudah agak goyah di bagian sandaran.
Ia menghela napas dan menyesap teh hangat dari cangkir enamel putih bergambar ayam jago. Uapnya mengepul tipis, membingkai wajahnya yang mulai terlihat lelah tapi damai.
"Toko buku ini menyenangkan," pikirnya, "selalu ada tawa, cerita baru, bahkan perdebatan kecil yang aneh tapi hangat."
Ia tersenyum kecil, menatap langit yang mulai berganti kelabu. Tapi senyum itu memudar pelan saat matanya berpaling ke arah satu sudut meja kerja—sebuah kotak kayu kecil, sedikit berdebu tapi tetap utuh. Pita birunya kini nyaris pudar, tapi Cakra tahu betul isi di dalamnya.
Surat-surat ayah.
Ia tak membuka kotaknya malam itu, tapi cukup dengan melihatnya saja, dadanya terasa hangat dan sedikit sesak.
"Aku senang bisa bikin hari orang lain lebih cerah lewat toko ini," pikirnya dalam hati.
"Tapi... kapan aku mulai mengejar mimpiku sendiri?"
Tangannya secara refleks mengusap permukaan kotak, seperti ingin menyerap semangat yang dulu terkirim lewat kata-kata di atas kertas.
Malam perlahan turun. Di luar, suara jangkrik mulai terdengar bersahutan. Dan di toko buku kecil itu, yang kini hanya diterangi lampu gantung terakhir, seorang pemuda menyimpan harapan dalam diam—menyadari bahwa cita-cita kadang muncul bukan dari panggilan besar… tapi dari surat-surat yang dibaca saat masih kecil.
Malam itu hening seperti biasanya. Lampu kuning di ruang makan memantulkan bayangan lembut ke dinding kusam. Di meja kecil yang hanya muat dua orang itu, Dita dan Cakra duduk berhadapan. Suara sendok bertemu piring sesekali terdengar, diselingi hembusan angin dari jendela dapur yang terbuka sedikit.
Cakra menunduk, menatap nasi di piringnya yang setengah habis. Ia menggenggam sendok erat-erat, seolah sedang menahan sesuatu yang ingin keluar dari dadanya. Tanpa menatap ke arah ibunya, ia bertanya pelan, hampir seperti bisikan yang takut pecah di udara.
“Bu… Ayah dulu orang seperti apa, sih?”
Terdengar suara kecil dari kursi kayu yang digeser sedikit. Dita menghentikan gerakannya. Tangan yang semula membawa sendok kini menggantung di udara, diam, ragu, sebelum perlahan-lahan diturunkan kembali ke piring. Ia menatap anaknya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke dinding kosong di belakangnya.
“Ayahmu… orang baik,” jawabnya datar, tanpa nada.
Kemudian ia berdiri buru-buru, menyeka tangannya ke celemek yang dipakai sejak sore tadi. “Ibu lupa matikan kompor.”
Cakra mengangguk pelan, meski tak yakin ibunya benar-benar mendengar. Hanya itu. Hanya satu kalimat yang menguap seperti uap nasi di mangkuk. Tak ada cerita. Tak ada nama. Tak ada jejak.
Ia sudah hafal pola ini. Sejak kecil, setiap kali nama "ayah" muncul, ibunya selalu punya alasan untuk mengalihkan pembicaraan kompor, jemuran, atau sekadar suara televisi yang tiba-tiba ingin dikecilkan. Tapi malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, rasa penasaran tak pernah benar-benar pergi. Justru makin tumbuh dalam diam.
Karena sesuatu yang selalu disembunyikan, pasti menyimpan luka.
Dan Cakra, meski belum tahu betul bentuk lukanya, sudah bisa merasakannya menggantung di udara setiap kali nama ayah disebut.
Malam semakin larut. Lampu meja belajar menyala redup di sudut kamar Cakra, menerangi tumpukan buku pelajaran dan komik yang belum sempat dirapikan. Di atas ranjang, ia duduk bersandar pada bantal, memegang ponsel dengan kedua tangan. Sebuah game strategi sedang ia mainkan, meski pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Kadang matanya melirik ke jendela, menatap langit malam yang penuh awan.
Tiba-tiba, sebuah getaran pendek menyela keheningan.
“Ting!”
Notifikasi muncul di layar. Bukan dari game. Bukan dari grup kelas. Tapi dari Laras.
Cakra langsung diam. Tangannya sempat terpaku di atas layar sebelum akhirnya membuka pesan itu perlahan, seakan takut huruf-hurufnya bisa menghilang jika disentuh terlalu cepat.
“Kamu tadi keliatan capek banget di sekolah. Kamu nggak papa, kan?”
Ada jeda. Cakra menatap pesan itu cukup lama, sampai bibirnya membentuk senyum kecil yang enggan ia tunjukkan ke siapa pun.
Hatinya, yang barusan penuh ganjalan karena percakapan di meja makan, kini terasa sedikit lebih hangat. Ada sesuatu yang mengalir pelan, seperti selimut tipis yang membungkus sunyi malamnya.
Ia membalas singkat:
“Nggak papa kok. Makasih udah nanya ya :)”
Kemudian ia meletakkan ponsel di dada, berbaring menatap langit-langit kamar. Rasa penasaran tentang ayahnya masih ada, belum pergi. Tapi malam itu, untuk sesaat, suara Laras berhasil membuat hatinya tidak sepi sepenuhnya. Dan entah kenapa, ia merasa... mungkin besok akan sedikit lebih ringan.
Pagi merekah perlahan di atas kota kecil tempat mereka tinggal. Udara masih segar, jalanan belum terlalu padat, dan dari dapur terdengar suara ketukan sendok di piring sarapan.
Cakra merapikan kerah seragamnya sambil menyambar tas yang tergantung di belakang pintu. Ia menoleh ke arah meja makan, tempat ibunya sedang duduk dengan secangkir kopi hitam.
“Ibu, aku berangkat dulu, ya,” katanya pelan.
Dita hanya mengangguk, tidak menatap. “Hati-hati di jalan.”
Cakra sempat ingin bilang sesuatu lagi, tapi mengurungkan niatnya. Ia hanya tersenyum kecil, lalu melangkah keluar rumah. Langit biru pucat dan aroma embun pagi menyambutnya. Mesin motornya menderu pelan saat ia melaju menuju sekolah.
Setibanya di depan gerbang sekolah, Cakra memarkirkan motornya seperti biasa. Tapi pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Seseorang berdiri di dekat pagar, memeluk tas ransel dengan kedua tangan dan rambut yang diikat asal-asalan.
Laras.
Ia menoleh dan tersenyum begitu melihat Cakra.
“Hei,” sapa gadis itu, nada suaranya ringan, seperti angin pagi.
“Hei juga,” jawab Cakra, agak kaget. “Kamu udah dari tadi?”
“Nggak kok, baru juga sampai.” Laras menatapnya sebentar, lalu tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya—sebuah kotak makan berwarna pastel, dengan pita kecil yang agak miring.
“Aku... bikin bekal tadi pagi,” ujarnya pelan. “Tiba-tiba kepikiran kamu. Kamu kan sering nggak sempat sarapan.”
Cakra membelalak sebentar. Otaknya mencari-cari kata, tapi lidahnya terasa kelu.
“Lah, ini buat aku?” tanyanya, nyaris tak percaya.
“Iya lah,” jawab Laras sambil tersenyum canggung. “Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, nanti aku dikira bawa bekal buat anak TK.”
Cakra tertawa kecil, namun dadanya terasa aneh—seperti ada sesuatu yang lembut mengembang di dalamnya. Ia menerima kotak bekal itu dengan hati-hati, seolah benda itu bisa pecah jika disentuh sembarangan.
“Thanks, Laras. Serius deh... makasih.”
Laras hanya mengangguk pelan, kemudian berbalik menuju kelas. Cakra menatap punggung gadis itu beberapa detik sebelum akhirnya berjalan menyusul. Di tangannya, kotak makan itu terasa hangat. Sama hangatnya dengan sesuatu yang pelan-pelan tumbuh di dadanya—hal yang selama ini mungkin ia butuhkan tanpa sadar.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, pagi itu terasa tidak kosong.
Di dalam kelas IPS, cahaya matahari pagi menembus jendela tinggi, menciptakan garis-garis terang di lantai keramik. Cakra duduk di bangku kedua, di barisan sisi jendela. Di depannya, Bu Dewi menuliskan peta demografi di papan tulis, kulit kapur berdebu menari mengikuti gerakan kapurnya.
Cakra mencatat rapi di buku tulis: “Urbanisasi → perubahan struktur keluarga → tantangan fasilitas publik…”
Tiap kata Bu Dewi terucap, terdengar berirama. Ia mengangguk pelan, menyerap setiap konsep.
Hingga suara ‘tikk… tikk…’ halus terdengar dari saku jaketnya. Tangannya mengibas ke saku, mengeluarkan ponsel. Di layar, sebuah pesan dari Laras membayang:
“Cakra, untuk soal no. 5 kan jawabannya B atau C? Aku bingung banget!”
Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia menunduk, mencari posisi agar tidak ketahuan Bu Dewi—namun matanya tak bisa lepas dari ponsel.
Di sudut kelas, teman sekelasnya, Dimas, menoleh dan berbisik, “Eh, Cakra, kamu lagi lihat apa?”
Cakra tersentak, lalu menyembunyikan ponsel di bawah meja. “Ah, nggak apa-apa, Dim. Cuma… kertasnya panas,” gumamnya cepat.
Dalam hati, ia menghitung pilihan: No. 5 membahas perubahan demografi akibat urbanisasi. Jawabannya jelas C, “Peningkatan kebutuhan infrastruktur.”
Dengan jempol gemetar, ia membalas:
“C. Peningkatan kebutuhan infrastruktur.”
Tak sampai satu detik, balasan masuk:
“Makasih!”
Lalu layar kembali gelap. Cakra menarik napas pelan, memasukkan ponsel ke saku, dan kembali menatap papan tulis.
Bu Dewi masih menulis, tak menyadari sebagian perhatian muridnya kini terbelah. Cakra menekan alisnya, mencoba fokus lagi. Namun sejak pagi tadi, pikirannya terasa berbeda—ada kepedulian halus yang menegaskan, bahwa berada di samping Laras, walau lewat pesan singkat di tengah pelajaran, adalah sesuatu yang membuat hari biasa ini jadi berwarna.
Dan di situ, di antara buku pelajaran dan kerlip cahaya siang, rumus sekaligus rahasia kecil remaja itu menegaskan satu hal:
Hatinya kini selalu mencari pesan dari Laras.
Langit sore mulai memudar, rona oranye menyapu langit seperti sisa-sisa mimpi yang belum sempat terucap. Sepulang sekolah, tanpa menukar seragam atau melepas sepatu, Cakra langsung memacu motor bututnya melewati jalan-jalan sempit yang dulu hanya ada dalam cerita Ibu.
Di ujung jalan yang sepi, berdirilah sebuah rumah tua berpagar besi, warnanya sudah memudar dimakan hujan dan panas. Tepat di sebelahnya, berdiri barisan bangunan asrama militer yang tampak tenang—tenang dengan kesan penuh wibawa yang menggetarkan.
Cakra memarkir motornya dengan hati-hati di depan pagar. Tangannya sempat ragu membuka helm, seakan gerakan sekecil itu bisa membangunkan kenangan yang telah lama tertidur.
Dari balik pagar, ia melihat seorang anak lelaki menyiram tanaman di pekarangan. Tubuhnya tegap namun santai, rambutnya sedikit acak-acakan, dan wajahnya... teduh.
Rama. Sepupunya. Yang hanya ia lihat sekali, saat masih kecil.
Rama menoleh cepat, keningnya berkerut. Sesaat matanya menyipit, mencoba mengenali wajah yang sudah berubah.
“Cakra?” tanyanya, dengan nada antara heran dan senang.
Cakra melepaskan helm, tersenyum kecil.
“Iya. Aku nyari Paman Gahar.”
Nada suaranya terdengar sopan, tapi ada gugup yang mengendap. Seperti anak yang tak diundang datang ke masa lalu keluarganya sendiri.
Rama mengangguk pelan, lalu mematikan aliran air dari selang.
“Tunggu bentar, ya.”
Ia berjalan ke dalam rumah sambil berseru:
“Paaak! Ada tamu. Cakra datang!”
Sementara itu, Cakra berdiri sendiri di luar pagar, memandangi rumah itu. Catnya yang mulai mengelupas, lampu gantung yang sedikit bergoyang ditiup angin, dan kursi kayu tua di teras—semuanya terasa asing, namun entah kenapa, mengundang sebuah rasa hangat. Seperti ingin memeluk, sekaligus menguji keberaniannya untuk mengingat.
Di balik rumah sunyi itu, ada potongan cerita yang telah lama dihapus. Dan sore ini, Cakra datang untuk membacanya kembali.
Ruang tamu itu tak banyak berubah sejak terakhir kali Cakra menginjakkan kaki di rumah ini—meski sebenarnya, ia sendiri tak bisa mengingat kapan tepatnya itu terjadi. Langit-langit rumah berwarna kusam, dan aroma kayu tua bercampur debu terasa pekat. Di dinding, deretan bingkai foto berjajar rapi: wajah-wajah gagah berseragam, termasuk satu yang paling besar—foto ayahnya, Rangga, berdiri tegap di antara rekan-rekan seperjuangan.
Di atas lemari kaca, piala-piala dan medali berjajar—seperti bukti bahwa keberanian, di rumah ini, bukanlah sekadar kata.
Gahar, lelaki bertubuh kokoh dengan mata tajam namun sorot yang lelah, duduk di kursi rotan yang berderit pelan. Punggungnya tegak seperti kebiasaan yang tak bisa hilang meski sudah lama pensiun. Namun wajahnya—ada sesuatu yang berat mengendap di sana. Seperti beban yang terlalu lama disimpan, namun belum pernah diminta dibagikan.
Ia memandangi Cakra dalam diam. Lama. Seolah mencari potongan Rangga yang tersembunyi di balik wajah remaja itu.
“Kenapa ke sini?” tanyanya akhirnya, suaranya datar tapi tak dingin.
Cakra duduk di seberang, kedua tangannya mengepal di atas lutut. Ia tak menunduk, tak berpaling. Ia sudah terlalu lama menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di dalam dirinya. Sekarang, ia ingin jawaban.
“Aku pengin tahu siapa Ayahku sebenarnya,” ucapnya, pelan tapi mantap.
“Bukan dari surat. Bukan dari buku. Tapi dari orang yang pernah berdiri bersamanya.”
Gahar terdiam sejenak. Matanya menyipit sedikit, menatap jauh ke belakang kepala Cakra—seakan melewati waktu dan kenangan yang terlalu lama dibungkam.
Lalu, napas panjang ia hela. Ia bersandar pelan, memutar sedikit kursinya yang mulai aus oleh usia. Ia menatap ke arah jendela sebelum akhirnya berkata dengan suara yang nyaris berat:
“Ibumu pernah bilang… kalau suatu hari kamu nanya soal ini… aku harus diam.”
Cakra merasa dadanya mengejang, tapi ia tak berkata apa-apa.
“Tapi kamu anak laki-laki. Dan kamu berhak tahu.”
Dengan tangan yang masih kokoh, Gahar membuka laci kecil di sampingnya. Dari dalamnya, ia menarik sebuah foto usang, yang mulai menguning di tepinya. Di dalam foto itu, Rangga berdiri di tengah lumpur—seragamnya penuh noda, tapi senyumnya bersinar terang, seperti tak ada rasa takut di dunia ini.
Gahar memandangi foto itu sejenak sebelum menyerahkannya pada Cakra.
“Ayahmu bukan hanya seorang ayah, Cakra. Dia prajurit sejati. Dan lebih dari itu… dia manusia yang tahu persis apa arti pengorbanan.”
Gahar mulai bercerita. Tentang hari-hari berat di perbatasan, tentang pasukan yang kehilangan arah dan nyawa, tentang bagaimana Rangga selalu jadi orang pertama yang melangkah ke depan, walaupun tahu bahwa langkah itu mungkin tak akan kembali.
Ia bercerita tentang malam terakhir Rangga dikirim ke lokasi konflik. Bagaimana Rangga menyembunyikan kekhawatiran di balik senyumnya, dan menitipkan surat terakhir untuk istrinya, yang tak pernah dibuka oleh Dita sampai bertahun-tahun kemudian.
Dan akhirnya, tentang tragedi itu—sebuah penyergapan yang memakan korban besar. Tentang bagaimana Rangga memilih tetap bertahan untuk menahan musuh, memberi waktu agar anak-anak muda dalam pasukannya bisa mundur dengan selamat.
“Dia bisa saja selamat,” kata Gahar lirih. “Tapi dia memilih tetap tinggal. Karena… menurutnya, jadi prajurit bukan soal bertahan hidup. Tapi soal siapa yang kamu selamatkan.”
Cakra menatap foto di tangannya. Tiba-tiba dunia terasa sepi. Udara mendadak berat. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya, tapi ia tak tahu harus memuntahkannya dalam bentuk apa.
“Kenapa Ibu nggak pernah mau cerita?” tanyanya akhirnya, nyaris berbisik.
Gahar menghela napas sekali lagi. Kali ini lebih panjang. Ia memandang ke arah pintu, seolah bayangan Dita berdiri di sana.
“Karena dia juga kehilangan.”
“Dan kehilangan itu… nggak selalu bisa dibagi.”
Hening melingkupi ruang tamu. Tak ada suara, kecuali detak jam tua di dinding dan desir pelan angin dari jendela. Di luar, senja mulai runtuh.
Cakra menunduk. Tak tahu apa yang lebih menyakitkan kehilangan, atau mengetahui bahwa kehilangan itu disembunyikan darinya selama ini. Tapi di balik rasa sesak itu, ada sesuatu yang tumbuh: tekad.
Ia tahu, mulai hari ini, langkahnya tak akan sama lagi. Ia tak hanya anak dari seorang ibu yang terus menahan luka tapi juga anak dari seorang prajurit yang pernah berdiri sampai napas terakhirnya. Dan kini, langkah itu menanti untuk dilanjutkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!