NovelToon NovelToon

MENIKAH DENGAN SAHABATMU

BAB 3 : T a m a

Pukul 20.35 mereka akhirnya tiba di salah satu villa yang terlihat bangunan baru,

berbeda dengan villa disekilingnya yang catnya mulai pudar.

Rafi melepas seatbelt terlebih dahulu

untuk memastikan apakah Rani akan nyaman bertemu dengan teman-temannya.

“Rani, kamu beneran nggak keberatan ketemu teman-teman aku?”

Rani yang hendak membuka pintu mobil menoleh, “Yaampun Rafi, kita udah sampai sini, lho.

Kamu tenang aja, aku nggak akan kabur kok.”

Raka terkekeh mendengar jawaban kekasihnya, “Aku takut aja kalau kamu nggak nyaman nanti,

kalau nanti mereka bercandanya kelewatan jangan didengerin ya,” tuturnya

berharap Rani akan memahami hal tersebut.

“Udah tenang aja. Kamu jangan terlalu khawatirin aku ya,” kata Rani meyakinkan.

“Woi! Ngapain lo di dalam mobil berduaan, keluar sini!”

Entah suara siapa itu, yang pasti salah satu teman Rafi meneriaki mereka berdua yang

masih tak beranjak.

“Udah yuk, nggak enak sama yang lain udah nungguin,” pinta Rani setelah mendengar seruan tersebut.

Rafi mengangguk, “Makasih ya, sayang.”

Tak lupa Rafi dengan sigap menggenggam tangan Rani, ia terlihat ingin memamerkan

perempuan itu pada teman-temannya.

“Asik, ada yang bawa cewek baru, nih,” celetuk seseorang yang sudah berdiri didepan

pintu menyambut mereka.

“Eh bro, apa kabar?” Rafi melakukan tos serta dipeluknya temannya itu.

“Baik. Lo gimana?” tanya teman Rafi kemudian.

“Alhamdulillah baik. Eh, kenalin calon bini gue, Rani,” tuturnya bersamaan dengan tangannya

yang menunjuk Rani.

“Halo Rani. Kenalin gue Waren,” ucap Waren dengan mengulurkan tangan.

Rani dengan cepat menyambut uluran tangan tersebut, “Halo salam kenal juga.”

Dua orang lainnya yang tentunya teman Rafi juga mendekat untuk menyambut kedatangan

mereka.

“Halo-halo! Eh Rafi gue kangen banget sama lo!” perempuan berambut pirang yang masih tak diketahui Rani namanya itu langsung memeluk Rafi begitu saja.

“Jangan main peluk calon suami orang lo! Lihat tuh ada ceweknya,” tutur Waren menarik

tangan perempuan rambut pirang.

“Namanya juga kangen,” sungut perempuan itu dengan muka cemberut.

Rafi hanya tersenyum melihat kelakukan kedua temannya, “Kenalin calon bini gue,

inshaAllah,” tuturnya menunjuk Rani.

Salah satu pemuda dengan rambut gondrong yang sedari tadi hanya diam saja akhirnya

menimpali, “Halo Rani. Maaf ya, kamu baru datang aja menyaksikan keributan ini.”

“Kamu beneran calonnya Rafi?” tanya perempuan berambut pirang dengan mata membulat masih tak percaya.

“Ya iyalah, Kriwil, masa boongan,” lagi-lagi Waren menimpali.

Memicingkan matanya perempuan itu menendang tulang kering Waren, “Bisa diam nggak sih, lo!”

Waren seketika membungkuk kesakitan dengan memegangi kakinya, “Parah banget lo. Untung cewek, kalau cowok udah gue tonjok.”

“Kalian masih nggak berubah ternyata, dewasa dong udah mau kepala tiga juga,” tutur Rafi menggelengkan kepala tak habis pikir dengan apa yang dirinya saksikan

“Ya begitulah Raf, lo tahu sendiri gimana kalau Waren sama Juwita udah ketemu, kaya

tikus sama kucing,” jelas pria berambut gondrong.

Waren dan Juwita kali ini beralih memelototi pria gondrong karena tak terima disebut

kucing dan tikus.

“Rani, ini Elgin yang punya acaranya dan yang punya villa ini,” jelas Rafi pada Rani yang

sedari tadi hanya menyimak.

“Semoga kamu nggak jantungan ya Ran, ketemu sama teman-temannya Rafi,” tutur Elgin dengan dramatis.

Rani hanya tersenyum maklum menanggapinya, lantas mereka kemudian masuk kedalam villa

yang bernuansa putih krem.

Meskipun tak begitu mewah namun cukup nyaman untuk berkumpul dengan teman atau berlibur dengan keluarga.

Rani melihat beberapa teman Rafi lainnya yang tengah sibuk dengan kegiatannya

masing-masing, ada seseorang dengan potongan cepak memetik gitar didepan televisi yang masih menyala.

Tak hanya itu ada yang tengah sibuk didapur mempersiapkan entah apa yang Rani pikir

sepertinya itu mempersiapkan sesuatu untuk dipanggang, ia dapat menyaksikannya

karena dapur yang sangat dekat dengan ruang tamu.

Selain itu terdengar keributan candaan beberapa orang dari lantai dua yang entah siapa belum Rani ketahui.

“Teman-temanku yang sangat saya sayangi, tolong semuanya perhatian!” Kali ini Elgin memanggil semua temannya, berharap seruannya didengarkan.

“Rani, maaf ya, temen aku banyak banget jadi kamu harus kenalan sama mereka semua,”

bisik Rafi.

“Iya, nggak apa-apa,” kata Rani maklum.

Layaknya peserta study tour, semua teman Rafi serempak memusatkan perhatiannya pada Elgin, yang kemudian berpindah pada Rani seolah bertanya-tanya siapa dirinya.

Seseorang menuruni tangga, “Asik! Sohib gue bawa pacar baru!”

Saat semuanya sudah berkumpul di ruang tengah tepatnya depan televisi yang masih

juga menyala Rafi tersadar ada sesuatu yang salah.

“Eh, sebentar. Ini kenapa kalian dateng sendiri, bukannya harus bawa pasangan?”

tanyanya heran.

Kemudian serempak temannya tertawa terbahak-bahak, “Kita emang ngerjain lo, Raf,” celetuk salah satu pria yang berkulit sedikit gelap.

Elgin menepuk pundak Rafi, “Kita pengen lihat lo bawa cewek Raf, lagian lo udah jomblo lama banget. Kita kira lo bakal dateng sendiri, eh ternyata udah ada.”

“Parah banget ya lo pada! Kasian cewek gue nih, pulang kerja harus kesini,” terang

Rafi bersungut-sungut.

“Udah nggak apa-apa,” kata Rani menenangkan Rafi.

“Icikiwir, sosweet banget sih,” celetuk Waren.

“Kenalin dong,” seru lainya.

Rafi kembali fokus pada Rani, “Mereka semua ini teman SMA aku Rani. Ini Tama,”

menunjuk pada pria yang tadi Rani ingat memainkan gitar, tampan juga, pikir Rani.

Tama yang namanya disebut memberikan senyuman tanda salam kenal yang kemudian Rani balas dengan sopan.

“Ini Mira,” lanjut Rafi menunjuk perempuan manis yang menggunakan sweater rajut berwarna biru.

“Maditra,” menunjuk pria berkaca mata dengan kumis tipis.

Kali ini Rafi menunjuk pada pria botak, “Ini Rego, orang batak dia, jadi kalau ngomongnya

kenceng jangan kaget ya.”

Semuanya lantas tertawa mendengar pernyataan Rafi, Rego pun tak merasa keberatan ia bahkan ikut terbahak.

“Ini Dimas, dan ini Fauzan,” tutup Rafi pada perkenalan semua temannya yang diakhiri

oleh dua temannya yang menurut Rani sangat tinggi.

Rani tersenyum sebelum memperkenalkan dirinya yang kesekian kali, “Halo semuanya,

aku Rani.”

“Jadi Rani selamat datang di villa ini. Karena kita udah lama nggak ngumpul

bareng makanya aku ngundang kalian semua, yah itung-itung menjaga silaturrahmi,”

jelas Elgin panjang lebar.

“Halah, lo mau pamer villa baru kan?” celetuk Waren yang disambut sorakan lainnya.

“Ya,pamer tipis-tipis lah,” jawab Elgin dengan tertawa, “Pokoknya enjoy ya guys! Gue pengen kalian disini happy ya! Oh ya, Mir bumbu buat barbeque udah siap kan?” tanya

Elgin beralih pada perempuan manis yang duduk di sofa.

“Udah dong,” jawab Mira dengan mengangkat ibu jarinya.

“Sip. Kita

bisa mulai ya, bakar-bakarannya. Tapi ingat jangan bakar villa gue kalian,” kata Elgin mengingatkan.

Mendengar perkataan Elgin lagi-lagi semuanya tertawa, Rani tak merasa canggung ditengah-tengah mereka justru sebaliknya teman-teman Rafi tampak sangat akrab dan peduli satu sama lain yang membuat Rani turut nyaman.

“bro, ada yang kurang,” timpal Waren.

“Apaan?” tanya Juwita penasaran.

“Anggurlah!” jawab Waren dengan yakin.

“Astagfirullah Akhi! Dosa meminum anggur merah,” ujar Rego yang sedari tadi hanya diam saja.

“Tenang buat kalian yang mau minum udah gue siapin di kulkas. Tapi tolong jangan ganggu yang nggak mau minum, ya. Kita udah dewasa bebaslah kalian punya pilihan

masing-masing,” terang Elgin mengingatkan.

“Yaudah kalau gitu kita mulai aja, enjoy guys!” tutup Elgin.

Semuanya langsung bubar untuk mempersiapkan acara mereka selanjutnya yaitu barbeque begitupula dengan Rafi yang sudah menuju dapur.

Rani celingukan melihat tempat mana yang sekiranya ia dapat meletakkan tas selempangnya agar tak mengganggunya untuk membantu yang lain.

“Taruh sini aja,” tutur pria hitam manis yang Rani ketahui bernama Tama, ia menunjuk

meja kecil di samping sofa.

“Oh iya.” Rani segera meletakkan tasnya di meja tersebut.

“Suka daging nggak?” tanya Tama lagi.

Rani yang melipat lengan bajunya siap untuk membantu di dapur menoleh, “Kalau daging sapi suka, kalau kambing kurang suka.”

“Kita akan bakar daging kodok,” jawabnya enteng.

Rani terkejut, “Serius?”

Tama terkekeh, “Enggak bercanda.”

Keduanya kemudian tertawa, Rani semakin merasa nyaman karena teman kekasihnya itu yang menurutnya ramah, bagaimana tidak Rani yang baru kenal dengannya sudah

dijahili.

“Rani, sini!” Itu Rafi yang memanggilnya agar Rani bergabung di dapur yang hanya berjarak

satu satu meter dari tempatnya sekarang.

“Aku kesana dulu ya,” pamit Rani pada Tama yang sudah terlihat menyetel gitarnya

lagi.

Setibanya Rani di dapur Rafi langsung menyambutnya dengan memberikan pisau dan talenan.

“Mir, lo harus tahu cewek gue pinter banget masak,” kata Rafi pada Mira yang tengah

mengoleskan bumbu pada ikan yang akan dibakar.

Mira tersenyum menanggapi, sedangkan Rani hanya mengikuti Rafi yang telah menuntunnya pada tempat bumbu-bumbu yang telah berserakan dimeja dapur.

“Rani kamu bikin sambel kecapnya ya? aku suka banget sambel bikinan kamu soalnya,”

pinta Rafi.

Bukan hal yang sulit bagi Rani membuat sambal kecap, hanya butuh bawang merah, tomat, cabai, kecap, dan sedikit perasan lemon sudah sangat lezat, tapi apakah teman-teman Rafi akan menyukainya.

“Teman kamu yang lain pada suka nggak sama sambal kecap?” tanya Rani memastikan.

“Tenang aja Ran, mereka semua tong sampah kok, jadi apa aja pasti dimakan,” kata Mira

yang menyadari keraguan Rani.

Rani mengangguk, “Oke aku buat sambalnya ya.”

“Oke sayang. Aku keluar dulu ya, mau lihat tempat manggangnya sudah siap apa belum.”

Rafi berlalu menyisakan Rani dan Mira.

Mulanya keduanya tetap diam sampai Juwita datang membuka percakapan, ada banyak hal

ingin Juwita tanyakan pada Rani.

“Rani ngomong-ngomong lo udah kenal Rafi dari kapan?” tanyanya to the poin.

Rani mulai memotong bawang merah yang telah ia kupas sebelumnya, “Mungkin kurang

lebih dua tahunan.”

“Wow lama juga ya, tapi kenapa dia baru ngenalin lo sekarang ya. Sama lo pernah cerita

nggak Mir?” tanya Juwita yang kali ini beralih pada Mira.

Mira mengedikkan bahunya, “Enggak tuh.”

“Atau karena dia masih suka sama lo ya?” tanya Juwita enteng tanpa menghiraukan

keberadaan Rani.

“Lo kalau ngomong jangan sembarangan dong, ada Rani juga,” kata Mira tegas.

“Eh maaf ya Rani, soalnya mereka waktu SMA pernah pacaran. Nih, Mira aja sampai sekarang

belum pacaran lagi,” kekeh Juwita.

Rani yang mendengar fakta tersebut bingung harus memberi reaksi apa, pasalnya memang

sedari tadi Mira menatapnya dengan cara berbeda dari yang lain, Rafi juga tak

pernah menceritakan masalalunya dengan Mira.

“Lo bener-bener ya Juwita, bisa diem nggak!” Sentak Mira.

“Emang gue salah? Kan lo sendiri yang bilang masih nggak bisa lupain Rafi,” ucap

Juwita lagi yang semakin menyulut emosi lawan bicaranya.

Rani semakin kikuk, apa yang harus ia lakukan terlebih jika dua perempuan yang

bersamanya saat ini bersitegang. Belum sempat Rani melontarkan perkataannya

seseorang muncul dari balik pintu dapur.

“Pada kenapa si? Malah ribut. Udah ditungguin tuh, ikannya,” kata Tama yang terlihat sedikit kesal.

Rani bersyukur dalam hati, untungnya ada Tama jadi dia tak perlu repot-repot

menyusun kata-kata untuk melerai mereka.

Namun Rani tak bisa bohong kini ia memikirkan tentang Mira dan Rafi yang ternyata pernah berhubungan, meskipun sudah berlalu tetap saja terlebih Mira yang masih tak memiliki kekasih hingga saat ini.

Rani kini sibuk memikirkan bagaimana

kalau ternyata benar bahwa Mira masih memiliki perasaan pada Rafi, apakah Rani

bisa diam saja pura-pura tak tahu menahu, serta bagaimana ia akan menanyakannya

pada Rafi, bagaimana kalau kekasihnya itu marah karena Rani mengusik masa

lalunya.

Saat Rani bingung dengan berbagai pertanyaan dalam benaknya seseorang menahan tangannya

yang hampir terkena pisau.

“Rani, hati-hati. Kamu jangan ngelamun kalau lagi megang pisau.”

Rani tersadar, benar sedikit lagi pisau tajam itu akan memotong jatinya. Lalu ia

berpindah pada seseorang yang saat ini tepat disampingnya.

“Tama, kok kamu ada di sini?”

 []

BAB 4 : H a n c u r

Tama mengerjapkan matanya beberapa kali, ia menyadari ada sesuatu yang aneh mulai

menjalari perasaannya.

Rani kemudian menarik tangannya, ia hanya tak ingin ada seseorang yang melihat hal

tersebut terlebih Rafi, akan ada kesalahpahaman nanti.

“Aku mau bawa ini ke depan,” kata Rani cepat dengan membawa semangkuk sambal kecap

yang telah dirinya buat.

Rani kemudian meninggalkan Tama begitu saja yang masih tak bergeming mengatur

perasaannya yang tak menentu.

Terlihat yang lainnya sudah mulai memanggang ikan yang nanti akan disantap bersama, Rani

langsung duduk di samping Rafi yang tengah bersenda gurau dengan teman-temannya.

“Rani, udah selesai?” tanya Rafi pada Rani yang hendak duduk disampingnya.

Rani mengangguk, “Udah.”

“Makasih ya,” tutur Rafi lagi.

“Jangan pacaran mulu kalian, bikin iri gue aja!” cibir Waren yang merasa keberatan

menyaksikan hal tersebut.

“Sewot aja lo. Nyari cewek makanya, jangan gangguin Juwita mulu kerjaan lo,” timpal

Rafi.

“Lo nggak tahu aja Raf, Waren kan udah cinta mati sama Juwita,” Rego kali ini yang

turut menimpali.

Juwita yang sadar namanya disebut merasa keberatan, “Nggak usah bawa-bawa gue ya

kalian. Waren impoten makanya nggak punya cewek.”

“Woi! Enteng banget mulutnya,” teriak Elgin yang tengah bersantai di tepi kolam di mana

letaknya tak jauh dari tempat mereka memanggang ikan.

“Mulut lo nggak pernah disekolahin ya. Gue jambak juga lo,” tutur Waren kesal.

“Sabar bro,” kata Dimas menepuk-nepuk pundak Waren.

Sedangkan yang lainnya hanya tertawa mendengar pertikaian yang tengah terjadi.

Rani baru menyadari villa tersebut memiliki halaman yang sangat luas, di sisi kana

untuk parkir mobil sedangkan di sisi kiri terdapat gazebo yang sudah lengkap

dengan perlengkapan barbeque,

terlebih ada kolam di sampingnya.

Seperti sudah dari sananya jika villa ini didesain untuk agenda-agenda seperti ini,

Rani merapatkan blazer yang ia

kenakan karena udara malam yang semakin dingin.

“Kamu kedinginan ya?” tanya Rafi terdengar khawatir.

“Iya, tapi nggak apa-apa, yang penting aku udah pake blazer,” jawabnya meyakinkan, saat itu pula sekilas Rani melihat

Tama yang mulai bergabung dengan yang lainnya.

Bau harum dari ikan yang dipanggang mulai menguar tanda telah matang, perut yang

sedari tadi masih tak terisi kian meronta-ronta.

Mereka akhirnya dengan lahap menyantap hidangan spesial yang itu, Rani pun

turut menikmatinya.

Namun pada suapan kelima entah kenapa Rani merasa mual serta kepalanya pusing, ia

meletakkan piringnya sebelum akhirnya berlari masuk ke villa.

“Eh, cewek lo kenapa tuh?” tutur Dimas pada Rafi.

Semua kemudian menoleh kearah Rani yang berlari terburu-buru masuk ke dalam villa.

“Yaampun, kayanya mag dia kumat, soalnya dari siang dia belum makan,” jelas Rafi sebelum akhirnya berlari menyusul Rani.

“Wah parah banget, punya cewek nggak diperhatiin,” celetuk Fauzan.

“Atau jangan-jangan?” kata Waren menatap teman-temannya secara bergantian.

“Waren stop! Jangan mikir yang enggak-enggak lo,” ujar Maditra mengingatkan.

“Siapa tahu kan? Lagian kita semua udah dewasa, apalagi Rani kelihatannya polos gitu,” tutur Waren enteng.

Bukan jawaban yang Waren terima kali ini, seseorang yang entah dari mana mencengkram kerah bajunya hingga piring yang tengah ia gunakan jatuh menyebabkan isi di dalamnya jatuh berserakan.

“Jaga mulut lo! Hargai perempuan, otak lo harusnya dibersihin biar nggak kebanyakan

tai isinya,” ucap Tama tegas.

Waren yang kesal merasa dirinya dihina lantas mengayunkan tangannya memukul Tama, “Maksud lo apa? Dan kenapa lo yang nggak terima bangsat! Lo siapanya Rani? Bapaknya?”

Saat Tama hendak bangkit membalas pukulan yang telah ia terima, Rego dan Maditra dengan sigap menahan tubuh Tama.

“Anjing. Kalian pada kenapa sih, kenapa pada ribut di acara gue?” teriak Elgin frustasi.

Sedangkan Juwita dan Mira mulai ketakutan dengan apa yang tengah mereka saksikan.

“Jangan kaya anak TK dong,” tutur Mira kemudian.

“Waren jaga mulut lo. Rafi sendiri yang bilang kalau mag Rani mungkin saja kambuh,”

kata Maditra masih dengan menahan Tama yang sedari tadi bersikeras untuk

menghajar Waren.

“Mir, coba lo cek ke dalem, kalau memang butuh obat gue udah sediain dalam laci dekat

tv,” pinta Elgin.

Tanpa berpikir panjang Mira segera menuruti perkataan Elgin meninggalkan

teman-temannya begitu saja, biarlah jika mereka akan adu otot sekalian, Mira

tak peduli.

Begitupun dengan Juwita, tak ada lagi suara cempreng keluar dari mulutnya, ia berlari

mengekori Mira masuk ke villa.

Tanpa menghiraukan Juwita yang beberapa waktu lalu masih membuatnya kesal Mira segera mengambil kotak obat di tempat yang dikatakan Elgin tadi.

Sedangkan Rani masih berada dalam toilet, Rafi dengan setia mengetuk pintu menanyakan

apakah Rani baik-baik saja.

“Rani, sayang kamu kenapa?” tanya Rafi.

Rani tak memberikan jawaban, ia masih berjongkok di depan closet, rasanya tulang-tulangnya melunak. Tak ada lagi memiliki energi, makanan yang disantap Rani dengan lezat telah keluar seluruhnya tak bersisa.

“Rani aku masuk ya?” tanya Rafi semakin khawatir.

“Raf, Rani gimana?” Mira mendatangi Rafi dengan kotak obat ditangannya.

“Masih di dalam,” Rafi menunjuk kamar kecil yang masih tertutup.

“Rani, gue bawa obat nih, lo keluar dulu ya?” Mira turut mengetuk pintu.

“Rani, buka dulu pintunya,” tak lagi mengetuk kini Rafi mulai menggedor pintu semakin

keras.

Akhirnya pintu terbuka, terlihat Rani dengan wajah yang begitu pucat serta keringat di

pelipisnya.

Rafi dengan sigap menahan tubuh Rani yang hampir jatuh, “Kamu kenapa Rani?”

“Kayanya mag aku kambuh, telat makan jadinya gini,” jawab Rani pelan dengan sisa energi

yang dirinya miliki.

“Rani gue bawa obat, lo minum ya?” Mira turut bantu menahan tubuh Rani di sisi

lainnya.

Juwita hanya diam saja mengekori mereka yang menuju sofa ruang tengah. Setelah

Rani duduk dengan nyaman, Mira menyodorkan obat serta segelas air putih.

“Raf, mendingan Rani biar istirahat di atas. Kalau di bawah takutnya bakal

keberisikan sama yang lain,” terang Mira.

“Iya Raf, Rani biar di atas aja. Nanti kita yang cewek-cewek juga bakal tidur di

atas,” kali ini Juwita turut memberikan masukan.

Rani yang menjadi objek pembahasan mereka sedikit tak setuju, “Aku udah nggak

apa-apa, palingan minum obat udah mendingan. Jadi kita ke depan lagi aja, gabung sama yang lain.”

Rafi menggeleng, “Enggak, kamu mendingan istirahat, besok kita pulang supaya kondisi

kamu sudah baikan. Apalagi ini sudah terlalu malam sayang, kamu istirahat aja.”

Rani yang tak memiliki banyak tenaga akhirnya menurut saat dirinya di bawa ke lantai atas.

Lantai dua memiliki ruang tengah yang lebih kecil, hanya ada satu meja serta dua kursi

di sisinya. Selebihnya terdapat dua kamar dan satu kamar mandi, tak terlalu

besar namun tak sempit pula.

Rafi membuka kamar yang tepat disebelah kamar mandi, tempat tidur berukuran besar

telah rapi beserta sprei nya yang berwarna biru muda.

Rafi dengan perlahan menuntun Rani agar menuju tempat tidur tersebut, “Rani, kamu

istirahat di sini ya.”

Rani hanya mengangguk pasrah, ia merebahkan tubuhnya yang semakin terasa berat di atas kasur yang empuk itu.

Rafi menutup seluruh tubuh Rani dengan selimut yang nyaman serta merapikan riap-riap rambut Rani yang tak beraturan lagi.

Entah berapa lama hingga akhirnya Rani tertidur, entahlah sepertinya efek obat yang

diberikan Mira dan juga tubuhnya yang lelah karena seharian  bekerja.

Sepertinya baru beberapa menit yang lalu Rani tidur nyenyak, ia merasakan seseorang masih mengusap pelan puncak kepalanya, Rafi kamu baik sekali, batin Rani sebelum akhirnya ia terkejut karena bukan Rafi yang saat ini berada di hadapannya begitu Rani membuka mata.

Tama, pria itu kini tengah duduk tepat di tepi kasur dengan tangannya yang masih

berada di kepala Rani.

“Tama, kamu dari kapan ada di sini?” tanya Rani menyingkirkan tangan pria itu.

Rani langsung bangkit dari tidurnya, terlebih ia menyadari pintu yang tertutup ia

tak bisa pura-pura bodoh bahwa saat ini Tama melihatnya dengan cara yang

berbeda.

Rani mulai ketakutan, “Tama kamu ngapain di sini?” tanyanya lagi mulai panik.

Tama tak menghiraukan pertanyaan Rani, ia hanya tersenyum tipis menatap Rani, “Cantik,”

bisiknya kemudian mulai mendekati Rani.

“Tama tolong, kamu jangan kaya gini,” Rani saat ini telah berdiri di atas kasur

karena Tama yang semakin mendekatinya.

“Tama, please! Jangan dekat-dekat!” Teriak

Rani.

Namun Tama bukan lagi Tama yang Rani lihat beberapa jam lalu, tatapannya berubah,

sulit untuk Rani artikan, bahkan ada bau alkohol yang menyengat ketika Tama semakin mendekatinya.

Rani menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya berharap kain tebal itu dapat

menjadi tameng bagi dirinya, “Tama tolong stop! Aku akan teriak!” ancamnya kali ini.

“Rani, kamar ini kedap suara, jadi nggak akan ada yang dengar kamu teriak,” jawab Tama

enteng, bahkan Rani dapat melihat seringaian kecil yang muncul di wajah itu.

Rani saat ini mulai menangis, pasalnya ia sangat bingung dengan situasi ini ia juga

merasa takut melihat Tama.

Tama semakin merangkak mendekati Rani yang tak ada lagi ruang untuk mundur, Rani

telah mepet dengan tembok tempat tidur, kali ini Tama tak hanya diam ia dengan

paksa menarik selimut yang sedari tadi Rani remas kuat.

Rani hanya bisa menangis dan memohon pada Tama agar tak melakukan hal yang selama ini ia takutkan, tak merenggut apa yang telah dirinya jaga.

Rani bahkan memanggil-manggil Rafi sekuat tenaga namun tak ada yang kunjung datang.

“Tama tolong jangan! Tolong!”

Tama tak menghiraukan tangisannya, pria itu bahkan menarik paksa semua pakaian Rani

yang tak bisa lagi menahan kepalanya yang semakin berat Rani hanya bisa

menangis.

Ia merapalkan semua doa yang dirinya bisa, tetapi pertolongan tetap tak datang.

Rani sekuat tenaga mendorong, menyakar, hingga menggigit namun hal itu tetap tak

menghentikan Tama yang tenaganya lebih besar darinya.

Rani tergugu, entah bagaimana masa depan hidupnya, Rafi, keluarganya, serta

mimpi-mimpinya.

Hidup Rani hancur malam itu juga, karena Tama sahabat kekasihnya. Rani sangat

membenci Tama.

Apa yang nanti harus dirinya lakukan? Bagaimana ia akan menceritakan hal ini pada

Rafi? Dan apakah Rafi akan tetap menerimanya? Rani menangis pilu, dadanya sesak saat memikirkan hal tersebut.

[]

BAB 5 : A l k o h o l

Setelah apa yang Rani alami ia tak bisa berhenti menangis, sayup-sayup lantunan ayat suci Al-Qur’an  dari masjid terdengar tanda memasuki waktu subuh.

Rani tak bisa menahan tangisannya yang semakin pecah, ia merasa tubuhnya telah kotor bahkan Rani sangat jijik menatap pria yang saat ini masih berada di ranjang

menelungkup tanpa mengenakan pakaian.

Takut pria tersebut bangun Rani dengan segera mencari pakaiannya yang telah

berserakan, ia memakainya dengan cepat untuk menutupi tubuhnya.

Namun blazer Rani terletak di tempat tidur tepat di bawah tubuh Tama, sehingga Rani

harus menariknya untuk dapat mengambil blazer tersebut.

Rani menarik-narik blazernya namun sayang

ternyata tak semudah itu, terlebih tubuh Tama yang besar tak sebanding dengan

tenaga yang Rani miliki saat ini.

Kegiatannya itu ternyata membangunkan Tama karena merasa terganggu dalam tidurnya, saat

pria itu mengerjap-ngerjapkan mata Rani menghentikan kegiatannya.

Saat tersadar sepenuhnya Tama terperanjat, dirinya sangat terkejut menyadari ini

bukan kamar yang seharusnya ia tempati. Tama menatap sekelilingnya, yang

semakin membuat jantungnya semakin berdegup kencang saat dirinya melihat ada

Rani di kamar itu juga dengan keadaan yang sangat berantakan.

“Rani, kamu ngapain di sini?” tanyanya terbata, ia menelan ludahnya beberapa kali.

Rani nyalang, ia tak habis pikir dengan apa yang telah Tama lontarkan setelah apa

yang telah pria itu lakukan padanya.

“Brengsek!” umpat Rani ia lantas langsung menarik blazernya yang tak tertindih lagi.

Tama semakin terkejut menyadari tubuhnya yang tak mengenakan sehelaipun pakaian, “Rani, apa aku?”

Rani tak menghiraukan perkataan Tama, ia merapikan semua pakaiannya ia hanya berharap

segera pergi dari villa ini.

Tama kemudian dengan segara mengenakan baju, “Rani, aku benar-benar nggak ingat

apa-apa, semalem aku minum sama yang lain, makanya aku kaget banget kenapa bisa

di sini.”

Rani menatapnya tajam, “Laki-laki brengsek memang nggak pernah sadar apa yang sudah

mereka lakukan,” tandasnya.

Tama terkejut menatap Rani yang saat ini terlihat begitu marah, bahkan sorot mata

perempuan itu, ia dapat merasakan betapa Rani membencinya.

Perlahan Tama mendekati Rani, namun perempuan itu terlanjur jijik untuk sekedar

menatapnya, “Jangan mendekat! Tolong jangan!” Rani berteriak dengan histeris.

“Rani, maafin aku. Rani tolong tenang, aku memang brengsek, aku tolol, aku benar-benar

manusia bejat,” kata Tama dengan memukul-mukul dirinya sendiri.

Rani merapatkan tubuhnya ke tembok, “Keluar dari sini!” teriaknya lagi.

Tama sadar saat ini bukan waktu yang tepat, bagaimanapun ini salahnya akhirnya ia

memutuskan untuk memberikan waktu bagi Rani, ia hendak meninggalkan perempuan

itu seorang diri.

Saat dirinya hendak membuka pintu, ia baru menyadari bahwa pintu itu terkunci, lantas

tama harus mencari kunci terlebih dahulu. Meraba-raba saku celananya ternyata

terdapat benda kecil itu, Tama semakin mengutuk dirinya sendiri, bener-bener anjing lo Tama.

Tama kembali menatap punggung Rani yang bergetar, tanda perempuan itu tengah

menangis. Tama telah melakukan kejahatan yang sangat keji, ia telah sangat

melukai perempuan itu, kekasih sahabatnya sendiri, bagaimana ia akan menghadapi

Rafi nanti.

Tama kemudian meninggalkan Rani yang masih menangis memeluk lututnya, hatinya terasa

sakit melihat perempuan itu, terlebih dirinyalah sendiri yang telah melukai

Rani.

Setelah Tama pergi Rani segera mengusap air matanya berharap tak ada lagi yang tersisa,

Rani menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya saat berjalan bagian bawah

tubuhnya terasa nyeri.

Rani meggosok-gosok mukanya dengan kasar, berharap tak ada lagi bekas tangisan disana,

ia tak ingin Rafi atau siapapun tahu hal tersebut.

Rani menatap pantulan dirinya yang terlihat sangat memprihatinkan, aku sudah tak suci lagi, mana pantas aku

bersanding dengan Rafi, bahkan dengan pria manapun, batinnya.

Tak terasa air mata Rani kembali menetes, saat itu pula pintu kamar mandi diketuk

seseorang dari luar, “Rani, kamu di dalam?” ternyata itu suara Rafi.

Rani dengan segera membuka pintu tanpa pikir panjang ia memeluk Rafi dengan erat

berharap hatinya yang tak karuan lebih baik.

Rafi terkejut mulanya terkejut karena Rani tak pernah melakukan hal ini sebelumnya,

Rafi balas memeluk Rani dengan lembut, ia menepuk-nepuk punggung Rani berharap

kekasihnya itu merasa lebih baik.

“Rani, perut kamu masih sakit?” tanya Rafi kemudian.

Rani hanya menggeleng pelan, “Aku mau pulang?”

Rafi melepas pelukan Rani agar dapat memandang wajah kekasihnya itu, “Mau pulang

sekarang?” tanyanya memastikan.

Rani mengangguk, “Aku mau pulang.”

Rafi menatap jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 05.11 ia kemudian

menatap Rani kembali, memang kondisi Rani saat ini sepertinya sedang tak baik-baik

saja.

“Oke, kita pulang sekarang ya,” tuturnya kemudian.

Rafi dengan menggenggam tangan Rani dengan erat, mereka akhirnya menuruni anak

tangga dengan perlahan, suasana masih tampak sepi pertanda semua orang masih

belum ada yang bangun.

Rani kemudian menyadari di atas meja ruang tengah penuh dengan botol alkohol,

beberapa gelas tergeletak di lantai serta kulit kacang yang berserakan.

Rani spontan menahan tangan Rafi agar pria itu menghentikan langkahnya, “Nggak

apa-apa kan kita pergi duluan?”

Rafi menatap Rani yang tepat dibelakangnya, “Nggak masalah, nanti aku tinggal kirim

pesan ke Elgin, kalau kita balik duluan.”

Rani mengangguk mereka akhirnya melanjutkan langkahnya, Rafi membuka pintu dengan

hati-hati dan menutupnya kembali.

Rafi memastikan Rani telah berada dalam mobil sebelum ia membuka pagar untuk

mengeluarkan kendaraannya, ketika hendak menutup pagar kembali ia menyadari

motor salah satu temannya yaitu Tama tak ada di sana, mungkin

ada urusan penting, pikirnya.

Selama diperjalanan Rani hanya diam saja, Rafi pun tak ingin mengganggu kekasihnya

itu, sesekali Rafi hana mengusap lembut tangan Rani.

Rani masih sibuk dengan pikirannya sendiri, ia menatap Rafi dari samping akankah

pernikahannya dengan Rafi nanti terjadi? Rani merasa tak pantas bersanding

dengan Rafi, terlebih ia tak ingin melukai pria disampingnya itu.

“Kamu kenapa Rani?” tanya Rafi yang menyadari kegelisahan kekasihnya.

Rani menggeleng lemah, bahkan air matanya akan jatuh kembali, “Aku bersyukur bisa

ketemu sama kamu,” jawabnya kemudian.

“Yaampun Raniku, aku juga sama bersyukurnya bisa ketemu kamu,” ucap Rafi dengan lembut.

“Semalam kamu ikut minum?” tanya Rani untuk memastikan, meskipun ia yakin Rafi tak akan

melakukan hal tersebut.

Rafi  menatapnya sekilas sebelum menjawab, “Jadi kamu dari tadi diam aja, mikirin hal

ini ya? kamu takut kalau aku ternyata mabuk-mabukan?”

“Enggak Rafi, aku cuman penasaran aja kamu minum apa enggak,” jawabnya berharap Rafi

tak salah paham.

“Iya, iya. Kamu jangan pani gitu dong, aku nggak ikut minum sayang. Itupun mereka

minum katanya biar nggak pada berantem lagi,” jelas Rafi.

“Ada yang berantem?” tanya Rani.

Rafi mengedikkan bahunya, “Katanya sih, Waren sama Tama ribut, makanya diajak minum aja biar pada akur lagi.”

“Sejak kapan minum jadi jalan keluar?” tanya Rani yang terdengar kesal, ia mengingat

kembali bagaimana Tama yang mabuk melakukan hal bejat padanya.

“Temen aku memang pada begitu Rani,” tutur Rafi tak ambil pusing.

“Bukan jadi jalan keluar, minuman selalu bikin masalah. Bukan untuk kalian, tapi

mungkin aja gara-gara alkohol kalian bikin masalah sama orang lain,” kesal Rani

semakin menjadi-jadi.

Rafi heran baru kali ini ia melihat Rani kesal seperti ini, “Rani kamu kenapa? Aku memang  nggak membenarkan apa yang mereka lakukan, tapi itu pilihan mereka Rani, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Tapi kenapa kamu jadi marah-marah gini?”

Rani membuang napas kasar, “Aku benci aja sama orang yang mabuk,” tandasnya.

Tak seharusnya Rani meluapkan emosinya pada Rafi, terlebih ini bukan salah pria ini

yang terjadi selanjutnya adalah Rani kembali menangis, ia tak kuat lagi menahan

air matanya yang sedari tadi mendesak keluar dan hal itu membuat Rafi semakin

bingung apa yang telah terjadi pada Rani.

[]

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!