NovelToon NovelToon

Menikahi Pria Bangkrut Dan Arogan

1. Kenyataan Pahit

Akhir-akhir ini hidupku serasa lebih indah, dalam beberapa minggu lagi aku dan Andrea kekasih yang sangat aku cintai akan segera menikah.  Persiapan sudah mulai dilakukan, bahkan hari ini aku baru selesai mengantarkan kartu undangan keseluruh kenalan, kerabat, teman, dan tetanggaku.  Berkas pernikahan juga telah kami masukan ke KUA, foto prewedding telah kami lakukan, EO, katering dan sebagainya juga telah beres.  

Sore ini aku terbaring santai, sedikitpun aku tak mampu menahan senyum bahagia mengingat hari bahagia yang selama tahun-tahun terakhir ini aku nantikan.

Saat senyumku terus mengembang, tiba-tiba ponselku berbunyi, aku langsung mengambil dan menyorotkan pandanganku kebenda multi tasking yang ada ditanganku. 

"Dewi, apa kabar sahabatku, sayangku, manisku.  Oh iya aku lupa belum ngabarin kamu kalau dua minggu lagi aku dan pacarku Andrea akan menikah, jangan lupa yah datang dihari bahagiaku"

Aku berkata dengan sangat antusias, ingin rasanya aku meneriakkan dan berbagi rasa bahagia dengan sahabatku yang sudah setahun ini jarang aku jumpai karena kesibukan kami masing-masing.

"Elena, senang aku mendengar kabar baikmu, tapi tunggu dulu, maksud kamu, Andrea kakak kelas kita yang kamu gandrungi mulai dari kita baru masuk kuliah dulu," jawab Dewi.

Aku langsung mengiyakan dan mengingatkan dia kalau Andrea dan aku satu kantor dan akhirnya kami jadian hingga sekarang.

"Tapi aku baru saja pulang menghadiri pernikahan Andrea dan Nina adik kelas kita, ini baru aku mau ngabari kamu dan mau tanya, apa kalian sudah putus"

Aku tertawa mendengar ucapan Dewi, sedikitpun aku tak percaya dengan ucapannya, mana mungkin Andrea menikah dengan orang lain karena yang aku tahu, dia terlihat begitu mencintaiku dan sudah merencanakan pernikahan denganku.  Mana mungkin dia menikah dengan Nina adik kelasku.

"Coba deh aku kamu cek media sosial milik Andrea atau Nina, biar kamu tahu apa yang terjadi, sabar ya Elen"

Deg, jantungku seolah berhenti berdetak, dengan tangan gemetar aku langsung memutuskan panggilanku dengan Dewi.  Kubuka media sosial Andrea kekasihku.  Dewi benar, dalam balutan jas warna hitam dan peci warna senada, dan Nina disampingnya mengenakan kebaya putih tengah melangsungkan akad nikah disebuah ruang tamu rumah Andre.

Air mataku mulai mengalir deras membasahi kedua pipiku, aku menangis sejadi-jadinya, meratapi apa yang telah aku lihat.  Namun kali ini aku belum percaya seratus persen, aku harus kerumah Andrea untuk memastikan Kebenarannya.

Dengan mata masih basah, aku segera mengambil tas, memasukan dompet dan ponselku kemudian melangkah keluar dari kamarku dengan tergesa-gesa.

"Elen mau kemana kamu nak, sebentar lagi kamu akan menikah, jangan terlalu banyak keluar rumah yang tidak perting, tidak baik untuk calon pengantin" teriak ibuku dari ruang tengah.  

Aku segera berbalik dan mencium punggung tangan ibu dan berucap pamit.

"Aku pergi sebentar bu, ada urusan penting"

Aku melangkah tergesa-gesa, sekilas kulihat wajah ibu memandangku dengan wajah khawatir.  Hingga aku sampai dihalaman ku dengar teriakan ibu menyuruhku agar berhati-hati.

Segera ku kelajukan motor metikku dengan kecepatan tinggi menuju rumah Andrea.  Dalam perjalanan fikiranku terus memikirkan banyak hal.  Aku tidak tahu bagaimana reaksi ayah dan ibu jika mengetahui Andrea telah menikahi perempuan lain dan acara pernikahan putrinya yang sudah dinantinya sejak lama gagal begitu saja.

Sebagai seorang gadis, anak pertama dengan dua saudara yaitu Devan dan Dila, berasal dari keluarga yang lumayan berada. Sudah tentu ayah dan ibu berulang kali menanyakan kapan aku akan menikah.  Semua teman-teman ibu dan ayah rata-rata telah memiliki banyak cucu, hanya ayah dan ibu yang belum memiliki cucu.  Bahkan sejak lulus SMA, beberapa pemuda anak dari kolega ayah datang melamar.  Sebenarnya ayah dan ibu menginginkan aku menikah muda.  Namun aku menolaknya berulang kali, selain aku ingin menyelesaikan pendidikan S1 dan bekerja terlebih dahulu.  Aku juga ingin menikah disaat aku telah siap secara mental dan bertemu dengan lelaki yang benar-benar aku cintai.

Kini aku telah menyelesaikan kuliah dua tahun yang lalu dan bekerja disebuah perusahaan bonafit dikota ini.  Sudah dua tahun pula aku menjalin hubungan dengan Andrea rekan kerjaku yang merupakan kakak tingkatku difakultas tempat aku menimba ilmu.  Aku mengenal Andrea saat acara ospek diawal masuk kuliah.  Wajahnya yang rupawan, dan segudang prestasinya telah membuatku jatuh hati dan sangat menggilainya.  

Namun baru saat kami bekerja, aku dan dia menjalin hubungan serius.  Hari-hari aku jalani hubungan ini dengan bahagia, kami selalu akur dan jarang bertengkar, karena memang aku selalu menurut apa maunya, cinta yang begitu besar membuatku tak mampu menolak apapun maunya.  Bahkan berulang kali dia mengajakku untuk berhubungan layaknya suami istri.  Syukurnya, untuk yang satu ini aku berhasil menolaknya dengan berusaha memberinya pengertian kalau itu tak boleh dilakukan oleh pasangan yang belum halal.  Aku selalu berjanji akan menyerahkan kesucianku dimalam pertama saat kami telah menikah.  Selalu dengan berat hati dan wajah kecewa diapun menurut.

Sekarang aku memasuki halaman rumah Andrea, benar kata Dewi, dirumah Andrea tampak ramai dengan saudara dan keluarga besarnya.  Sepertinya memang baru saja ada acara dirumah ini.

Sepeda motorku langsung kuparkir dihalaman rumah Andrea dan setengah berlari aku naik keteras rumah itu.  Tanpa permisi aku memasuki pintu ruang tamu yang telah terbuka, beberapa keluarga Andrea memandangku terkejut.  Sampai diruang tamu ternyata Andrea yang masih memakai jas pernikahan sedang duduk merangkul Nina dan juga masih memakai kebaya yang tadi kulihat dimedia sosial.

Plaaakks!

Satu tamparan langsung aku layangkan kepipi lelaki yang telah menghancurkan hatiku. Andrea langsung berdiri dengan wajah terkejut menyaksikan kehadiranku.

"Eleeen….maaf, aku bisa jelasin" ujar Andrea dengan tergagap.

"He…Elen, jangan seenaknya saja kamu menampar suamiku, dia sekarang sudah resmi jadi suamiku, kami sudah menikah.  Dia bukan lagi kekasihmu, jadi jangan seenaknya kamu ya," teriak Nina berusaha pasang badan melindungi Andrea yang dia sebut suami.

"Elen, maaf ya…aku harus bertanggung jawab pada Nina karena dia hamil anakku.  Tentang pernikahan kita, nanti kapan-kapan aku kerumahmu untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi"

Andrea berucap dengan santai, wajahnya tidak sepanik tadi saat baru mengetahui kedatanganku.

"Kamu dengar Elen, aku hamil anak Andrea, selama menjadi kekasihmu, akulah yang selalu menemaninya diranjang, saat kamu menolak disentuh olehnya. Jadi saat aku hamil anaknya, wajar kan kalau dialah yang menikahiku, karena cintaku padanya lebih tulus, buktinya aku mau memenuhi apapun maunya termasuk memberikan seluruh tubuhku untuk dia nikmati.  Sedangkan bukti cintamu mana?, jadi jangan mimpi deh untuk bisa menikah dengannya," ujar Nina sambil berkacak pinggang dan isyarat tangannya menyuruhku pergi.

Aku segera berlari meninggalkan mereka setelah meninggalkan satu tamparan dipipi Nina.  Kakiku berlari meninggalkan ruang tamu, dengan tangan mendorong siapa saja yang menghalangi langkahku.  Bahkan seorang gadis yang sedang membawa nampan berisi minumanpun aku didorong hingga terjatuh dan semua gelas berisi minuman tersebut jatuh kelantai pecah berserakan. 

Sampai dihalaman, kulajukan sepeda motorku dengan kecepatan tinggi.  Air mataku terus mengalir, bibirku terus terisak.  Aku bingung bagaimana caraku menyampaikan kenyataan pahit ini kepada kedua orang tuaku. 

Braaaak!

Aku terkejut, tanpa sadar motorku terlempar kearah trotoar dan aku terdampar disebelahnya dengan posisi tertelungkup.

******

  

2. Pulang Membawa Luka

Dengan susah payah, aku berusaha bangun dan duduk, terlihat darah menetes dari luka dikakiku.  Kuraba pipiku yang terasa basah, ternyata darah segar juga mengalir membasahi pipiku.  Perih yang kurasakan namun tak seperih hatiku saat ini, aku hanya diam bingung tak tahu harus berbuat apa.

"Elen kamu tidak apa-apa"

Anggara, ya kak Anggara tiba-tiba muncul dihadapanku.  Dia meraih tanganku dan berusaha membantuku berdiri.  Lelaki yang terkenal jutek dan Arogan di kampusku mengangkatku dan membawaku masuk kedalam mobilnya.

"Pak tolong bawa kendaraannya kebengkel itu, aku akan membawanya berobat kerumah sakit terdekat"

Kudengar kak Anggara kakak tingkatku saat kuliah berbicara.  Aku hanya diam membeku, berusaha mengingat apa yang terjadi.  Tak lama kak Anggara yang terlihat tegang melajukan mobilnya.  Aku lihat darah dikakiku terus mengalir begitupun darah yang membasahi pipiku.  Kak Anggara berhenti dan mengambil kotak obat lalu dia mengikat luka yang ada dikepalaku dan juga kakiku.

"Sabar ya Elen, sebentar lagi kita sampai dirumah sakit.  Kamu pasti baik-baik saja, tak akan terjadi apapun padamu, percayalah"

Dengan lembut kak Anggara berbicara untuk menenangkanku.  Hal langka yang terjadi pada diri seorang Anggara.  Hampir semua mahasiswa dikampus tahu, Anggara adalah seorang pemuda tampan namun sangat arogan, jutek dan dingin pada wanita.  Setelah menenangkanku dengan beberapa kalimat, lelaki yang sedang mengemudikan mobilnya disampingku selanjutnya diam tanpa ekspresi apapun.  Wajahnya yang datar kembali mengingatkanku pada kak Anggara yang aku kenal dulu.  Kufikir tadi dia telah berubah, namun Anggara tetaplah Anggara.

Beberapa menit kemudian mobil kak Anggara memasuki halaman rumah sakit dan langsung berhenti tepat dimuka IGD.  Kak Anggara dengan sigap mengangkat tubuhku, dua orang suster menyambut kami dengan sebuah ranjang dorong.  Setelah aku dibaringkan diranjang dan di tarik menuju ruangan untuk mendapat penanganan medis, sementara kak Anggara hanya diperkenankan menunggu diluar saja.

Setelah semua lukaku diperiksa, dibersihkan, diobati dan diperban.  Perawat memperbolehkan kak Anggara masuk.  Menurut dokter tak ada cidera serius dalam tubuhku, hanya luka-luka dan memar.  Dokter mengijinkan aku pulang setelah menghabiskan satu botol infus sekalian dilakukan observasi.

Dengan wajah dingin kak Anggara duduk disampingku.

"Terimakasih kak atas pertolongan kakak, maaf aku telah merepotkan," ujarku terbata-bata.

Lelaki itu melirikku dengan pandangan wajah datar tanpa ekspresi lagi.

"Ini sebagai bentuk tanggung jawabku karena akulah yang menyerempet kendaraanmu hingga kendaraanmu terlempar ditrotoar.  Tapi itu bukan salahku, karena kamulah yang memotong jalan semaunya.  Tampaknya kamu melamun, kalau boleh tahu apa kamu lagi ada masalah"

Dia menatapku dengan intens, hatiku berdebar karena baru kali ini dia mau menatapku begitu dalam tak seperti biasanya yang angkuh dan acuh.

"Iya kak, aku lagi bingung bagaimana caraku menyampaikan masalahku pada kedua orang tuaku"

Tanpa fikir panjang aku langsung menceritakan masalah yang kualami.  Aku sudah tidak perduli, mungkin aku terlalu gampang bercerita pada orang asing yang tidak begitu aku kenal.  Tapi aku sudah tidak sanggup memendamnya sendiri, aku lagi perlu seseorang untuk berbagi.  Lelaki itu tersenyum dan kembali menatapku lebih dalam.

"Setiap manusia punya masalah, kita semua hidup untuk menjalani ujian agar kita semakin kuat dan dewasa.  Kita sama-sama sedang punya masalah, kamu sedang mengalami gagal nikah dan sebuah penghianatan.  Begitupun aku"

Aku mengernyitkan dahiku.  Rasanya kembali tak percaya kak Anggara bisa bicara panjang kali lebar.  Dulu saat temanku mengajaknya bicara untuk mencari perhatiannya. Jawabannya hanya iya, he eh dan sejenisnya.

"Emang orang seperti kakak bisa punya masalah juga?"

Kini lelaki itu justru tertawa garing.  Kembali kalimat demi kalimat lolos dari bibir tebal yang nampak berwarna coklat dan terlihat semakin jantan dan perkasa.

Dengan suara berat yang khas dia menceritakan kisah hidupnya yang ditinggal meninggal oleh kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan saat menuju bandara dan akan berangkat keluar negri.  Saat itu usianya masih belasan tahun.  Orang tuanya meninggalkan beberapa perusahaan dengan ribuan karyawan.  Keadaan membuatnya harus terjun memimpin langsung perusahaan peninggalan kedua orang tuanya.

Hari-harinya selalu sibuk antara sekolah  dan bekerja Mengelola perusahaan.  Untunglah sejak kecil papanya memang telah menyiapkan dirinya menjadi pemimpin.  Ia juga kerap ikut papanya saat meeting dengan tim manajemen perusahaannya dan perusahaan lain yang terlibat kerja sama.  

Dibawah kepemimpinan kak Anggara perusahaanya maju pesat, namun saat ini akibat penghianatan beberapa orang kepercayaannya, perusahaan mengalalami kebangkrutan habis-habisan.  

Setelah mendengar kisah kak Anggara, aku merasa bersyukur, ternyata masalahku gagal menikah dengan Andrea tak seberat masalah kak Anggara.  

"Sekarang aku jatuh miskin, perusahaan diambil alih oleh kolegaku karena hutang atas namaku yang dilakukan oleh penghianat itu.  Hartaku satu-satunya hanya mobil itu, bahkan rumahpun telah disita untuk membayar hutang"

Aku sangat terenyuh mendengar kisah kak Anggara.  Akhirnya dokter mengijinkan kami pulang.  Kak Anggara mengantarku pulang.

Aku memberitahukan alamatku padanya.  Dengan kecepatan sedang dia melajukan mobilnya kealamat rumahku.

"Ini adalah hari terakhir aku memakai mobil ini, besok aku akan menjualnya dan ku belikan rumah sederhana dan sepeda motor dengan harga murah, aku tidak ingin terpuruk, aku ingin bangkit dan memperjuangkan masa depanku" gumamnya.

"Eleeen….kamu kenapa nak, Ibu kan sudah bilang kalau calon pengantin tidak boleh bepergian  pamali kata orang tua.  Begini kan jadinya kalau tidak mendengarkan omongan orangtua," teriak ibu.

Ibuku berlari kehalaman menyambutku yang sedang berjalan dipapah oleh kak Anggara.  Dia membantu memapahku juga dan menyuruhku duduk diruang tamu.

"Terimakasih ya nak,sudah menolong Elena anakku.  Dia itu memang bandel tidak mau mendengar nasihat orangtua agar tidak pergi menjelang hari pernikahannya," ucap ibuku pada lelaki muda dihadapannya. Ibu mengambil sebuah kartu undangan dari dalam lemari kecil yang terletak disamping dia duduk.

Aku mengenalkan kak Anggara pada ibu dan menceritakan kronologis kecelakaan yang menimpaku.  Namun aku belum sanggup untuk menceritakan tentang Andrea yang telah menikah dengan Nina adik kelasku. Rasanya tak sanggup untuk memberitahu wanita terkasihku.  Sakit rasanya jika melihat orang-orang tercinta menangisi takdirku. Namun tak ada pilihan, ibu dan ayah harus tahu semua ini.

Dengan tersenyum bahagia, ibu memberikan undangan itu dan menyuruh kak Anggara datang dihari pernikahanku.  Aku hendak mencegahnya, namun kak Anggara melarangku dengan isyarat mata.

"Beri tahu ibumu nanti saja secara perlahan," bisiknya ditelingaku.

Tak lama kemudian kak Anggara segera pamit pulang dengan diantar ibuku sampai diteras rumah.

"Jangan lupa datang dihari pernikahan Elena ya nak Anggara. Oh ya kamu sudah punya calon, atau sudah menikah?"

Kudengar ibuku terus bicara dengan kak Anggara.  Lelaki yang selalu irit bicara itu hanya menjawab dengan satu dua kata saja. dia bilang kalau dirinya masih jombo kemudian dia terkekeh.

Setelah mengantarkan kak Anggara, ibu kembali masuk menemuiku.  

"Sebaiknya mulai sekarang kamu harus mulai perawatan Elen, supaya dihari bahagiamu kamu tampil mempesona dan sedap dipandang mata"

Mendengar ucapan ibu, seketika air mataku berderai tak tertahankan. Mungkin saat ini juga aku harus menceritakan apa yang terjadi pada ibu.  Aku tidak mau melihat ibu dan ayah terus mengharapkan pernikahanku akan segera terjadi.

********

  

3. Lamaran Dari Seseorang

Dengan terbata-bata aku menceritakan kalau pernikahan antara aku dan Andrea tak mungkin terjadi, karena dia baru saja menikahi Nina Adik kelasku yang telah dihamilinya.  Semua penghianatan Andrea aku ceritakan secara detail pada ibu.

Ibu langsung terduduk memelukku sambil menangis.  Aku merasakan bahunya terguncang hebat.  Aku sangat mengerti bagaimana perasaan ibu. Acara pernikahan yang sudah dinantikan sejak lama dan undangannya pun telah tersebar justru gagal dilaksanakan.  Sungguh tak terbayangkan betapa malunya kedua orang tuaku.  Namun akupun tak mampu berbuat apa-apa  ini semua bukan kemauanku.

Saat kami sedang meratapi kesedihan, ayah datang dari bekerja. Raut wajah bingung menghiasi wajah tua yang telah berjasa dalam kehidupanku.

"Ada apa ini, kenapa kalian pada bersedih.  Elena kamu terluka, kenapa? kamu habis kecelakaan, gitu aja pada nangis, dasar perempuan manja," ujar ayah seraya terkekeh.

"Ayah....pernikahanku gagal ayah," tangisku pecah saat memeluk ayah yang duduk tepat disampingku.  

Sepertinya ayah bingung dengan ucapanku. Dia memandang ibu sembari bertanya dengan bahasa isyarat, namun ibu hanya bisa menjawab dengan air mata.  Ayah membelai rambutku dan mengecup pucuk kepalaku.

"Tenangkan dirimu nak, ceritakan pada ayah apa yang telah terjadi.  Jangan pernah sungkan dan merasa bersalah.  Apapun alasan atas gagalnya pernikahanmu, ayah akan coba mengerti, ayah dipihakmu nak, jangan khawatir ayah akan selalu menjagamu sampai kapanmu"

Ucapan ayah membuatku merasa nyaman.  Ternyata ayah terlihat lebih tenang, menanti pemaparanku.  

Ku ceritakan semua apa yang terjadi hari ini pada ayah tanpa ada yang terlewatkan sedikitpun, mulai dari saat aku mendengar informasi dari Dewi tentang pernikahan Andrea dan Nina hingga aku melabraknya dan pulang mengalami kecelakaan. Wajah ayah terlihat merah padam menahan geram, kulihat kedua tangannya mengepal, ayah pasti sangat emosi namun ayah terus menahannya.  Kasian ayah, harus sakit hati karena masalahku, aku kasihan melihat ayah, sampai diusiaku saat ini, belum pernah aku membuat kedua orang tuaku bahagia apalagi bangga.  Benar-benar tak berguna aku ini, batinku.

Beberapa kali ayah menarik nafas panjang.  Tangannya membelai pundakku kemudian menghapus air mataku.

"Sakit memang, tapi mungkin ini yang terbaik untukmu.  Lebih baik pernikahanmu gagal daripada harus menjadi istri seorlang lelaki penghianat.  Mungkin saat ini Tuhan sedang menyiapkan jodoh terbaik untukmu," nasihat ayahku.  

Kufikir ayahku benar, lebih baik dia menghianatiku sebelum terjadi pernikahan daripada penghianatan itu terjadi disaat aku telah menikah dan mempunyai anak.  Akan sulit bagiku untuk memutuskan perpisahan dan akan menjadi dilema.  Berpisah maka anak akan menjadi korbannya, jika tetap bersama maka rasa sakit itu akan aku rasakan seumur hidupku.

"Kamu tahu nak, alasan Andrea menghianatimu karena kamu menolak dia sentuh.  Hal itu membuat ayah sangat bangga padamu.  Kamu benar-benar telah menjaga dirimu dengan benar dan itu artinya kamu juga telah menjaga kepercayaan yang ayah berikan. Ayah sangat bangga padamu nak, itu yang harus kamu ingat"

Ucapan ayah benar-benar menyejukan hatiku, ayah benar-benar mengerti aku dan aku senang ayah begitu bangga padaku.

"Tapi rasanya ibu tidak terima, Andrea seenaknya saja menyakiti putri kesayanganku.  Ibu Andrea itu teman baikku, aku yang telah menolongnya dari keterpurukan, tanpa aku mungkin Wati saat ini sudah menjadi gembel.  Aku harus mendatangi wanita itu untuk membuat perhitungan.

Dengan langkah yang tergesa-gesa, ibu bangkit berjalan keruang tamu hendak keluar menuju teras.  Sontak aku dan ayahku berlari ingin mencegah ibu.

"Bu sabar bu, tidak usah mendatangi ibunya Andrea, malu bu, apa yang ibu lakukan tidak akan merubah apapun, justru ibu akan mempermalukan diri sendiri"

Ayah berteriak sembari mengejar dan memeluk ibu, ibu menangis sejadi-jadinya dalam pelukan ayah.  Hancur rasanya hatiku  melihat orang-orang yang aku sayangi terluka hatinya.  Mereka pasti bingung, undangan telah tersebar, bahkan kami sudah membayar lima puluh persen untuk catering dan Wedding Organizer.  Baju pengantinpun hampir selesai dijahit.

"Assalamuallaikum"

Aku terkejut mendengar suara berat yang sudah aku kenal.  Ibu yang sedang menangis dalam pelukan ayah langsung memgurai pelukannya dan menghapus air matanya.  Pandangan netra ayah mengarah kesumber suara tersebut.

"Wa allaikum sallam, silakan masuk nak.  Anda siapa ya, ada keperluan apa ini, apa anda temanya Elena," tanya ayah nampak gugup.

Aku heran, ada apa kak Anggara kembali lagi menemuiku. Apa ada urusan yang penting, aku sangat penasaran.

"Kamu Anggara kan yang tadi mengantar Elena, ayah dia yang menolong Elena membawa kerumah sakit kemudian mengantarnya pulang," terang ibu.

Kedua orang tuaku mengajak kak Anggara duduk diruang tamu, aku lalu mengikuti mereka dengan berjalan tertatih-tatih.  Ibu berjalan kedapur sepertinya hendak membuatkan minum.  Netraku terus menyoroti wajah kak Anggara yang terlihat gugup, sepertinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan.

Setelah ibu kembali keruang tamu dengan beberapa gelas minuman dan cemilan ala kadarnya. Nampak kak Anggara ingin memulai bicara.  Aku menunggu apa yang ingin diucapkan kak Anggara dengan sangat penasaran.

"Maaf pak, bu kalau apa yang ingin saya sampaikan ini anda anggap lancang.  Namun dorongan hati saya yang berfikir mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengutarakan isi hati saya"

Ayah dan ibu menatap wajah kak Anggara yang tertunduk tak berani sedikitpun menatap kami bertiga.  Seketika hatiku deg-degan menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari bibir kak Anggara.

Kak Anggara melanjutkan ucapannya. Sungguh aku terperangah mendengar ungkapan hati lelaki arogan dihadapanku. Aku tak pernah menyangka kalau telah lama dia jatuh cinta padaku. namun karena aku sudah berhubungan dengan Andrea maka dia memendam perasaannya, dan yang membuat aku lebih terkejut dia melamarku dan akan menikahiku tepat dimana acara aku dan Andrea akan digelar.

"Kamu serius nak, bu bagaimana ini," tanya ayah.

Kedua orang tuaku memandang kearahku, mereka bertanya padaku dengan bahasa isyarat.

"Saya serius pak, bu.  Saya melakukan ini karena saya mencintai putri anda, saya tidak ingin melihatnya sedih," jawab kak Anggara.

Aku bingung, haruskah aku menerima lamaran kak Anggara.  Tak pernah terlintas sedikitpun kalau aku akan menikahi lelaki dingin dan minim bicara seperti dia.  Sedikitpun tak ada cinta dihatiku untuk dirinya.  Jika aku menolaknya, kasihan ayah dan ibu harus menanggung malu karena undangan pernikahanku telah terlanjur tersebar.  Jika aku menerimanya, mungkinkah aku bisa bahagia hidup dengan lelaki yang dingin dan minim bicara seperti dia, apa aku harus menderita seumur hidupku.  Memang sih kondisinya yang bangkrut tak akan jadi masalah, karena aku yakin dia pekerja keras dan akan memulai segalanya dari nol.

"Kamu tidak perlu menjawabnya saat ini juga Elen.  Fikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan, kalau perlu kamu shalat istiharah dulu untuk meminta petunjuk kepada Allah," saran kak Anggara.

Aku menyetujui saran lelaki itu, aku akan memikirkannya masak-masak dan akan berusaha mengambil keputusan yang terbaik untukku dan kami semua.

Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, kak Angarapun pamit pulang.  Aku mengantarkannya hingga keteras begitu juga ayah dan ibuku yang wajahnya terlihat lebih cerah.

*******

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!