"Tidak jangan pergi, maafkan aku. Aku juga mencintaimu Lio," Lily bergumam dalam tidurnya dengan derai air mata.
Hingga bunyi jam weker membangunkannya 'kriiiing, kringgg'. Lily pun duduk dengan rasa sakit di dadanya. Masih terbayang di benaknya bagaimana pria itu penuh darah dan masih memeluknya dengan lembut mengatakan, "Semua akan baik-baik saja." Sembari tersenyum sangat tipis.
Ruangan itu remang-remang dengan mentari pagi mengintip melewati celah gorden yang terhembus angin. Lily memilih bangkit dari tempat tidurnya ke arah meja dimana terdapat foto yang sangat dikenalnya.
Itu adalah foto saat ia masih remaja saat usianya masih 16 tahun. Ia melihat kalender dan benar saja itu adalah tahun 2xxx. Lily terhenyak, rasa sakit itu tertanam jelas dan ia yakin itu bukanlah mimpi. Dia mengangkat foto itu dan memegangnya erat-erat sambil membayangkan wajah pria itu.
Saat kecelakaan terjadi pria itu memeluknya dan melindunginya, tidak membiarkan tubuhnya terluka sedikitpun. Bisikannya yang lemah dan mengatakan,
"Semua akan baik baik saja."
"Aku mencintaimu Lily."
"Kau harus bahagia."
Tanganku gemetar dan hampir tidak bisa mengendalikan diri, air mata bercucuran dan isak tangis mula terdengar.
"Aku juga mencintaimu Lio, aku akan bahagia bila kau ada disisiku, jangan pergi," lirihku.
Sayang dia tidak akan pernah tahu, semuanya sudah terlambat. Seharusnya dia mengatakannya saat semua hal buruk ini belum terjadi. Lily menyesal, amat sangat menyesal.
****
Lily tidak tahu bagaimana ia bisa terlahir kembali. Dimana semua kehancuran itu belum dimulai. Ini sudah sudah hari ke-3 dia ada di sini tapi dia masih saja terkejut setiap kali terbangun.
Dia terdiam dan memikirkan pria itu kembali sampai terdengar suara ibunya.
"Nak, sudah waktunya makan. Kamu akan terlambat jika tidak segera bersiap," kata ibuku.
"Ya ibu, aku akan segera turun," ucapku lembut dan segera beranjak untuk segera bersiap.
Masih teringat saat aku pertama kali datang kesini aku menangis dengan keras saat bisa melihat ibu lagi, telah lama ia pergi karena kecelakaan naas yang menyisakan aku sendiri. Aku berfikir jika ini mimpi jangan biarkan aku terbangun.
Tangisku makin menjadi setelah ayahku dan kakakku datang. "Mimpi ini terlalu nyata kan, bahkan kakak ku yang menyebalkan pun datang," batinku dalam hati.
Hingga kakaku yang menyebalkan itu berkata, "Hei, adik kecil kau terlihat jelek dengan ingus mu itu. Kau akan memalukan kakakmu yang tampan ini."
Akupun mengadu pada ayahku dengan muka cemberut. "Lihatlah ayah kakak menyebalkan."
"Kau ini Zay, masih saja mengganggu adikmu, lihatlah dia baru saja sembuh dari demamnya. Sebagai kakaknya harusnya kau merawatnya bukan malah mengejeknya, ayo minta maaf," bela ayahku.
"Yaa baiklah, maafkan kakakmu ini adik kecil. Jangan menangis lagi okey, nanti tidak terlihat matamu yang sipit itu, hahahaha."
Kakak ku meninggalkan kamar dengan tawa terbahak-bahak.
Menyebalkan sekali dia itu, kakak durhaka memang. Saat itulah aku tersadar bahwa ini bukan mimpi dan aku telah terlahir kembali seperti novel fantasi yang aku baca.
****
Derap langkah kaki bergema saat aku menuruni tangga menuju ruang makan, disana terlihat keluarga ku sedang bercengkrama dengan hangat.
Kenangan bertahun tahun lalu pun terngiang di kepalaku. Ia ingat hari itu ulang tahun nya yang ke-20, saat ia menanti kejutan dari keluarganya. Yang didapatnya adalah kabar buruk bahwa mereka semua telah meninggal.
Air mata nya berkaca-kaca saat mengingat kenangan itu lagi.
"Tidak aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi, aku akan melindungi kalian semua," Batinku menguatkan diri.
Ibuku menoleh dan menegurku. "Hei, nak kenapa diam saja disana. Lihat ibu memasakkan makanan kesukaanmu."
ibuku mengatakan nya dengan sangat lembut. Dan itulah kehangatan yang paling dia rindukan.
"Adik kecil, kau terpana ya dengan ketampanan kakakmu ini," kata kak Zay dengan percaya diri.
"Iih, apaan sih gausah kepedean deh, huh." Dengusku sebal, tidak bosan-bosannya dia menyombongkan diri.
Aku pun beranjak duduk disebelah kakakku.
"Iya, kakak juga sayang kamu," balas kak Zay ngawur. Dengan tangan nakalnya nya mengacak-acak rambutku.
"Gak nyambung. Ish, berantakan nanti rambutku," balasku makin kesal dibuatnya.
"Sudah-sudah segera makan, ribut terus kerjanya," tegur ayahku.
****
Setelah keributan di pagi hari selesai, aku pun berangkat ke sekolah bersama dengan kak Zay naik motor besarnya.
Kak Zay merupakan siswa akhir yang sedang mempersiapkan kelulusannya. Tidak bisa kupungkiri dia memang tampan dan merupakan salah satu siswa populer di sekolah. Jadi, tidak heran saat kami baru saja sampai banyak siswi siswi yang melirik-lirik ke arah kami sembari berbisik-bisik.
Meski sudah lama ini terjadi tetap saja aku masih belum terbiasa. Aku yang memang tidak suka jadi perhatian memilih meninggalkan kak Zay yang asik tebar pesona.
Setelah berjalan dengan tergesa gesa tidak terasa aku sampai ke pinggir lapangan indoor sekolah. Aku berdiam sesaat, netraku tidak sengaja melihat sosok paling mencolok yang sedang bermain basket.
Aku bisa melihat netra tajam yang penuh aura dingin dan menenangkan. Aku terpesona hingga tidak berkedip. Hingga detik selanjutnya aku mendengar nada marah yang tajam.
"Agas, berhenti bermain main. Lakukan dengan serius!" ucap Alion.
"Hah-hah-hah,ini melelahkan," ucap Agas terengah-engah dan terduduk di tengah lapangan.
"Lemah sekali sih, baru segini saja sudah loyo," tukas Alvaro mengingatkan.
"Hmm." Dehem Zidan dingin.
"Zidan, tidak adakah kata lain selain deheman tidak jelas mu itu, huh," kata Alvaro. Seolah tidak habis pikir dengan temannya kenapa irit sekali bicara.
" .... " Zidan pun hanya diam tanpa berniat membalasnya.
"Hah, sudahlah," kata Alvaro mulai lelah.
"Kau seperti tidak tau teman kita saja Varo, hahaha enak kan dicuekin," kata Agas di sela tawa nya saat melihat Alvaro dicuekin.
Yang lain pun ikut tertawa melihat hal tersebut.
"Aku bukannya lemah ya, hanya lelah karena kurang tidur," balas Agas setelah mengatur nafasnya.
"Sudah kita istirahat, sebentar lagi bell berbunyi. Lebih baik kalian membersihkan diri. Untuk latihan berikutnya aku ingin kalian lebih serius lagi, waktu kita tidak banyak sampai pertandingan selanjutnya,"
terang Alion dengan nada tegas.
"Siap pak!!"
Balas mereka serentak sembari mengangkat tangan hormat seolah mendapat perintah militer.
Alion berjalan ke arahku diikuti teman-temannya dibelakang. Netra kami bertemu akupun memalingkan muka malu karena ketahuan melihatnya sedari tadi.
"Terpesona, heh," bisiknya saat tepat disampingku.
Pipiku pun merona mendengar suara seraknya yang sangat dekat, bahkan hembusan nafas nya terasa hangat hingga membuatku merinding.
"Hum," tukasku malu-malu.
Dia terkejut, sepertinya ia tidak menyangka aku akan menanggapi.
Aku pun terkejut dengan diriku sendiri. Aku sempat melihat matanya melotot, lucu sekali tidak pernah aku melihatnya seperti ini.
Aku segera beranjak meninggalkan Lio segera, karena takut debar jantungku terdengar. Aku tidak mau terburu buru saat ini Lio belum menyukaiku. Aku hanya bisa mendesah memikirkan kapan kita bisa segera dekat. Sudahlah lebih baik aku bergegas ke kelas. Perjuanganku masih panjang.
Tettt...tetttt
Bell istirahat berbunyi, segara semua siswa pun berhamburan keluar dari kelas. Lily pun juga keluar bersama teman-temannya menuju ke kantin sekolah.
"Kalian ingin pesan apa biar aku yang memesannya," ucap Lily pada ke-2 teman nya.
"Wahh emang Lily paling baik deh, kalau begitu aku mau bakso sama jus jeruk," balas Febi salah satu teman Lily.
"Kalau begitu samakan saja biar kamu nggak kerepotan," ucap Rena.
"Baiklah," ucap Lily sambil lalu.
Segera Lily beranjak mengantri di tempat bakso langganan nya. Tanpa Lily sadari ada sepasang mata yang menatapnya sedari ia di kantin sampai dia pergi. Tatapan tajam seolah menetapkan kepemilikan akan mangsa buruannya.
Lily yang telah usai memesan makanan pun kembali ke tempat teman temannya. Sembari menunggu pesanan diantar, mereka pun saling bersenda gurau. Bahkan saat makanan sampai obrolan mereka pun masih terus berlanjut.
"Apa kalian tau besok di final basket, Alion beserta teman temannya yang akan turun langsung kelapangan. Itu pasti akan sangat seru, bagaimana jika kita menonton?" ajak Rena pada ke-2 temannya.
"Wahh bernakah!? Lalu ayo kita pergi," seru Febi.
"Bagaimana ly, kau ikut kan?" tanya Rena pada Lily.
"Ya, baiklah aku ikut," balas Lily lembut.
Pembicaraan mereka pun terus berlanjut hingga makanan habis dan bunyi bell terdengar. Mereka pun bergegas kembali ke kelas bersama sama. Tepat setelah Lily pergi ada diskusi mengenai ia tanpa sepengetahuannya.
Diskusi itu tidak lain dilakukan oleh teman teman Alion. Mereka tidak memperdulikan meskipun bell telah berbunyi dan malah asikk dengan obrolan mereka.
****
"Ahh, apa kalian tahu. Ehem tadi pagi ada kejadian yang menarik," kata Agas sembari melirik ke arahku.
Aku pun hanya memutar bola mata malas, sudah tertebak apa yang akan ia katakan.
"Iya itu benar benar kejadian yang sangat sangat langka sekali," timpal Alvaro berlebih.
"Ada apa sih, jangan bikin kepo deh," tanya Alvano penasaran.
"Ada si bos tiba-tiba nyamperin cewek cantik di pinggir lapangan. Hehehe aku bahkan melihat cewek itu terlihat merona saat pergi, entah apa yang dikatakan bos sampai dia begitu," kata Agas ambigu.
"Hahhh!!" seru mereka serentak.
Terlihat mereka sangat terkejut seolah tidak percaya. Agas dengan mulut embernya memang menyebalkan.
"Berisik," tukasku ketus.
"Wahhh-wahhh ini sih bener-bener kejadian luar biasa. Bos kita yang dingin sedingin kutub utara, yang gak pernah deket sama cewek. Yang kalau disamperin cewek jarak 1 meter aja udah keluar aura gelapnya. Siapa sih yang bisa buat bos sampe terpesona," kata Nando bertele-tele.
Aku akui aku memang tidak dekat dengan cewek manapun. Mereka hanya segerombolan pengganggu yang menjijikan. Bagaimana bisa ia samakan dengan gadisku. Yah gadisku aku sudah mengklaimnya sebagai milikku.
"Kalian tau Lily anak MIPA 1 yang terkenal cantik dan pintar itu kan." Balas Agas makin membuat riuh.
"Duhh, si bos pinter juga milih cewek nya, hahaha," kata Alvaro mengejek.
"Kapan nih pajak jadiannya,’’ kata Alvano menimpali ucapan kembaran nya Alvaro.
"Segera," balas ku singkat sembari beranjak menuju gerbang belakang.
"Hah! Itu bos kita kan," gumam mereka tak percaya yang masih bisa aku dengar jelas.
****
Sekolah pun berakhir aku pun berpamitan dengan kedua temanku. Dan beranjak menuju ke kelas kak Zay untuk pulang bersama.
Kelas kakakku tepat berada di seberang gedung tempat kelasku berada. Tetapi aku tidak perlu turun ke lantai bawah karena terdapat jalan penghubung di antara gedung kita.
Aku berjalan dan tepat melewati lorong dimana ada Alion dan teman temannya menghalangi jalan.
Aku terdiam tidak jauh dari sana dan menatap tepat pada Alion yang sedang memainkan ponselnya. Seolah merasakan tatapanku Lio menoleh ke arahku dan mata kami pun saling menatap.
Lio berdiri tanpa mengalihkan pandangannya padaku dan berjalan menuju ke arahku. Suara siulan teman-teman Lio pun membuatku malu dan menundukkan kepala.
Tepat sesaat setelah aku menunduk, Lio telah sampai tepat di depanku, dan akupun mendongak kan kepala menatapnya.
Terlihat tatapan yang tajam mengintimidasi kearahku. Hingga membuat ku kembali mengingat kenangan terburuk saat ia dengan berlumuran darah tidak membiarkan aku terluka sedikitpun. Hingga tak terasa membuat mataku berkaca-kaca.
Lio pun nampak terkejut dan gugup melihat reaksiku. Aku tidak bisa mengendalikan rasa sedih menyeruak dari dalam hatiku.
Tanpa sadar isak tangis ku pun mulai terdengar.
"Aku begitu merindukanmu, Lio. Syukurlah kamu masih hidup," batinku menahan sesak di hati.
Lio pasti tidak menyangka aku akan menangis dia terlihat diam mematung. Aku memilih berbalik dan pergi dari sana untuk menenangkan diri.
Tepat saat aku baru saja berbalik ada tangan yang menarikku dan membuatku jatuh pada pelukan hangat.
"Hei ... Merasa takut. Bukankah sedari tadi tau kamu curi pandang ke arahku. Mana keberanianmu tadi," ejeknya padaku.
Entah kenapa aku merasakan bahwa nadanya melembut, mendengar suaranya membuat hatiku merasa tenang dan tangisku pun mereda.
Kita terdiam dan masih dalam posisi yang sama, sampai akhirnya dengan enggan aku melepas pelukan itu.
"Aku tidak takut padamu," ucapku pada Lio pelan.
"Hah, benarkah? Lalu siapa yang baru saja menangis," goda Lio padaku.
"Tidakk akuu...."
Sanggah ku tidak selesai, karena tidak mungkin aku bilang bahwa aku mengingat kehidupan yang lalu.
"Sudahlah mengaku saja, kelinci penakut," ejek Lio padaku.
Pipiku memerah mendengar ejekannya.
Aku semakin menundukkan kepala karena malu akan tindakanku yang tiba tiba menangis. Sungguh memalukan!!
"Baiklah-baiklah kau tidak takut. Lalu katakan kenapa sedari tadi kau menatapku, hmm," tanya Lio penasaran.
"Apakah kamu percaya jika aku katakan, aku hanya ingin lewat, dan tidak sengaja menatap kearahmu," jawabku dengan hati-hati.
Lio terdiam menatap tepat di mataku, dan aku hanya bisa memberi tatapan polos yang terlihat jernih agar dia percaya.
Karna Lio hanya terdiam, aku pun berinisiatif mengatakan tujuanku.
"Aku ingin pergi ke kelas kakakku, tepat di gedung sebelah," ucapku malu malu.
Lio akhirnya bereaksi dan memalingkan mukanya.
"Hmm, ikuti aku," ucapnya padaku.
Aku terdiam dan hanya menatap punggungnya dengan pandangan kosong. Apa maksudnya tadi, kulihat Lio berhenti dan berbalik.
"Kenapa belum berjalan, huh," ucap Lio sambil menarik tanganku tidak sabar.
Aku pun hanya bisa mengikuti langkahnya dengan terseok-seok karna langkah kakinya yang lebar.
Tapi tidak lama karena sepertinya Lio memahami kesulitanku. Dia menelan dan menyamakan langkahnya denganku.
Dengan mudah kita berjalan beriringan melewati teman-teman Lio, walaupun dengan godaan teman teman Lio yang membuatku malu. Tapi aku tak menghiraukannya karena segera setelah melewati mereka. Aku melepas genggaman Lio dan berlari menjauh.
Jantungku berdebar dan nafas ku terengah-engah, aku berhenti setelah dirasa telah jauh.
Aku bingung dengan perlakuan lio, seingatku kita tak pernah bicara di kehidupan yang lalu. Saat SMA kami tak pernah saling mengenal. Aku bahkan baru tahu bahwa kita satu alumni yang sama setelah di perguruan tinggi. Lalu apa yang terjadi dalam kehidupan ini, kenapa semua berubah.
Apakah aku melakukan kesalahan. Seingatku aku hanya tidak sengaja ketahuan menatapnya lamat di lapangan waktu itu. Mungkinkah itu penyebabnya. Apapun itu biarlah aku senang ini awal yang bagus bukan.
Setelah sampai di rumah, Lily segera melepas sepatu dan berjalan ke arah dapur dimana ibunya sedang memasak. Lily memeluk ibunya dengan manja.
"Ibu memasak apa?" tanyaku lembut.
"Masak ayam kecap sayang, bagaimana tadi sekolahnya hmm?" tanya ibukku.
"Semua baik baik saja bu, Febi dan rena memberi salam pada ibu katanya mereka rindu dengan kue buatan ibu yang enak," ucapku dengan semangat.
"Benarkah, lalu besok ibu akan buatkan kue untuk mereka," ucap ibuku dengan senyum.
"Hum, lihatlah ibu hanya sayang pada mereka," ucapku dengan cemberut.
Ibu pasti tau aku hanya bercanda karna memang kami bertiga dekat. Tidak jarang mereka menginap saat akhir pekan. Sering kali bahkan kita liburan bersama.
Kita berteman sudah sejak SMP jadi tidak heran mereka seperti keluarga bagiku. Itulah sebabnya ibu hanya bisa tersenyum, tau sekali tabiat anaknya itu.
"Ngomong-ngomong dimana kakakmu, bukankah kalian pulang bersama?" tanya ibukku.
"Ahh ibu harus memarahi kak Zay nanti. Bagaimana dia lebih memilih eskul OSIS nya itu ketimbang mengantar adiknya yang cantik ini. Sudah jauh jauh aku ke kelasnya menahan malu, bagaimana jika ada yang mengganggu ku tadi, ibu harus memarahinya,’’ terangku kesal.
"Baiklah sudah jangan cemberut terus. Ganti baju sana lalu kita makan bersama. Biar nanti ibu nasehati kakakmu untuk tidak meninggalkan adiknya yang cantik ini lagi," ucap ibuku.
"Hehe, ibu memang yang terbaik,’’ ucapku senang.
****
Lily baru saja masuk ke kamarnya saat ada notif di grub kelas. Ada daftar barang yang mesti dia bawa untuk praktek di sekolah besok. Untungnya hari masih belum sore jadi ia memutuskan bersiap dan berpamitan pada ibunya.
Daerah rumahku memang cukup strategis terdapat puskesmas, kantor polisi, pusat perbelanjaan bahkan pasar tradisional. Sehingga aku hanya perlu berjalan melewati beberapa gang untuk sampai di toko perlengkapan yang aku butuhkan.
Lily pun sampai di toko dan segera membeli beberapa barang yang ia butuhkan. Saat hendak pulang ia tertarik dengan buku karya penulis kesukaannya. Ia memutuskan untuk membaca nya karna memang di toko ini menyediakan buku disini secara gratis. Asal kita membaca nya di tempat dan tidak merusaknya.
Tak terasa hari mulai gelap Lily segera memutuskan untuk pulang. Lampu lampu dijalan terlihat mulai menyala, para pekerja pun terlihat berbondong-bondong pulang ke rumahnya masing-masing. Anak-anak yang asik bermain pun terlihat lari berhamburan.
Lily hendak mempercepat langkah kakinya saat ia tiba-tiba mendengar suara yang sangat di kenalnya.
"Sial, dasar pengecut. Berani nya mereka menyerang secara diam diam. Lihat bagaimana kita akan membalas dendam nanti," ucap Alvano disertai umpatan-umpatan kasar.
Lily berhenti dan menoleh ke asal suara itu. Ia melihat alion beserta teman-temannya ada disana. Aku hanya mengenali Agas, kembar Alvano dan Alvaro, serta yang terakhir adalah Zidan. Sedangkan, yang lain aku tidak tau.
Mereka terlihat berantakan dengan mulut robek dan pipi lebam-lebam. Mereka berjalan menuju ke arahku dengan muka kesal. Karena ada orang yang memang berlalu-lalang disini sepertinya mereka tidak melihatku. Terlihat beberapa orang melirik ke arah mereka seolah penasaran.
Mereka terkejut saat tepat ada di depanku. Lio menatapku dengan aneh seolah bertanya sedang apa aku disini.
Aku terdiam bingung harus mengatakan apa, canggung rasanya jika aku menyapa mereka sedang kita tidak dekat. Agas yang memang banyak bicara pun memecah ke heningan ini.
"Lily, benar kan. Apa yang sedang kau lakukan disini?" tanyanya padaku.
"Hmm ya, rumahku ada di dekat sini. Aku baru saja dari toko dan sekarang akan pulang," kataku menjelaskan.
"Wahh lalu kita tidak sengaja bertemu. Mungkinkah ini takdir hahaha."
Tawa Alvano langsung meledah setelah mengatakannya. Yang diikuti teman-temannya kecuali Lio dan Zidan yang memang pendiam.
"Berisik, pergi sana obati luka kalian,’’ kata Lio tegas.
"Siap boss, hahaha,’’ seru mereka dengan tawa yang masih menggema, mereka beranjak pergi.
Tersisa hanya aku dan Lio berdua.
Alion mendekat ke arahku, Lily bisa melihat luka lebam di dahi Lio dengan jelas. Luka itu sangat mengerikan karna tidak hanya memar biru tapi darah menetes dari sana.
Lio masih mengenakan seragam sekolah seperti terakhir kita bertemu. Sepertiya dia tidak pulang sehabis sekolah tadi.
Melihat darah itu membuat Lily teringat kenangan buruk itu lagi. Tangan Lily gemetar ia rasa takut menyeruak dalam hatinya. Ia tidak ingin kehilangan lagi.
Alion juga sepertinya sadar kegelisahan Lily. Ia terpikir apa kelinci ini ketakukan melihat penampilannya. Ia dan teman temannya memang baru saja bertengkar dengan sekolah sebelah. Ia belum sempat membersihkan diri sehingga dia tau seberapa buruk penampilannya.
Ia memutuskan untuk pergi karna tidak ingin gadisnya ketakutan. Tapi tepat saat ia melewatinya, ia mendengar suara gemetar gadisnya.
"Lio, bisahkah kamu mengantarku pulang?" ucap gadis itu pada Lio.
Alion tidak ingin gadisnya melihatnya berantakan, ia hendak menolak. Tapi, saat melihat binar harap di matanya dengan tangan gemetar, itu membuatnya berubah pikiran.
"Jalan-lah. Aku akan mengikuti dari belakang mu," kata Alion.
Lily pun berjalan dengan Alion mengikuti di belakang. Mereka diam selama sisa perjalanan dengan pikiran mereka masing masing.
Hingga tidak terasa sampai tidak jauh dari rumah Lily berada. Tepat di depan gang rumah Lily mereka berhenti.
"Disini saja Lio rumahku ada di depan sana. Terima kasih sudah mengantarku," ucap Lily lembut.
"Hmm, aku pergi," kata Alion dingin.
Lio beranjak pergi tepat belum jauh dia berjalan ada suara menghentikannya.
"Tunggu!! Bisakah kamu menunggu sebentar. Aku akan segera kembali kesini," kata Lily menahan kepergian Lio.
"Jangan lar...."
Belum selesai Lio menyelesaikan kata katanya. Lily sudah lari dan memasuki rumahnya. Entah apa yang ingin dilakukan gadis itu kenapa terburu-buru sekali. Bukannya dia tidak akan menunggu. Alion hanya bisa mendesah tak berdaya.
Alion tidak menunggu lama karna Lily segera kembali dengan membawa kotak obat.
Ia tau itu untuk luka di dahinya. Lily menarikku ke arah bangku tepat di depan kita. Lio hanya menatap lembut bagaimana Lily mengobati lukanya dengan sangat hati hati.
Sebenarnya luka itu tidak terlalu serius dia sudah terbiasa. Bahkan dia tidak merasa sakit sedikitpun. Tapi, melihat gadisnya begitu hati-hati takut ia kesakitan. Membuat hatinya melembut seketika.
Segala perasaan kesal perihal kelakuan musuhnya pun langsung hilang.
"Lio bisakah kau tidak berkelahi,’’ ucap Lily hati hati.
"Kenapa, apa kau khawatir padaku hmm. Apa kau selalu seperti ini. Jangan baik pada sembarang pria atau mereka akan salah paham," kata Lio penuh goda.
"Apa maksudmu aku gadis seperti itu huh," seru Lily kesal.
Mendengar Lio berkata begitu Lily pergi dengan kesal. Apa maksudnya itu dia hanya begini pada kekasihnya.
Lily bahkan tidak dekat pada pria selain ayah dan kakaknya.
Lio hanya bisa terdiam melihat gadisnya pergi, sepertinya dia salah paham. Dia hanya ingin Lily peduli padanya saja.
Dia tidak bisa membayangkan ada pria lain yang mendapat perhatian Lily selain dirinya dan keluarganya. Dia bisa mati cemburu jika hal itu terjadi. Lio menyesal harusnya dia mengatakannya dengan jelas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!