Derap langkah yang terdengar berat, menapaki tiga anak tangga di teras. Setelah beberapa saat lamanya kutunggu, sosok itu muncul juga. Kubenahi duduk di sofa agar terasa nyaman, menunggu kedatangan suami yang sejak pagi menghilang.
"Gimana? Asik, ya, main peluk-pelukan di bawah hujan." Kulayangkan sindiran agar ia sadar apa yang dilakukannya tadi terlihat olehku.
Entah seperti apa ekspresinya saat ini, aku enggan memperhatikan. Terus fokus pada majalah di tangan, dan camilan di pangkuan.
"Sh-sha ... a-aku ...."
Kuhembuskan napas dengan malas, belum ingin berputar untuk melihat.
"Cepat mandi, nanti masuk angin aku yang repot," celetukku ketus.
Rasanya terlalu muak bersikap lembut pada laki-laki plin-plan yang telah menjadi suamiku selama enam bulan ini. Lelah lahir dan batin karena terus dibohongi soal keberadaan mantannya. Entah sudah berapa lama mereka kembali menjalin hubungan, aku tidak tahu tentang itu.
Tak terdengar sahutan darinya, hanya bunyi langkah yang kembali berderap mengarah ke kamar mandi. Kulirik punggung laki-laki itu, rupanya dia sudah mengganti pakaian. Mungkin di sana ada suguhan khusus untuknya.
Kembali kuhela napas, ego di dalam hati mengajakku untuk menyudahi pernikahan ini, tetapi ada yang perlu kuselidiki terlebih dahulu sebelum keputusan itu kulayangkan. Perputaran usaha yang dikelola Raka, entah bagaimana laporannya. Selama ini Raka tidak pernah memberitahukan itu kepadaku.
"Salah aku juga percaya banget sama dia. Aku harus tahu ke mana perputaran uang di toko itu," gumamku seraya kembali fokus pada majalah di tangan.
Kurenungi perjalanan hidup ini, terasa begitu memilukan bila teringat pada waktu pernikahan. Begitu dipaksakan hanya karena pengantin perempuan yang tak datang ke pesta. Entah apa alasannya, tapi yang pasti ada pihak yang memojokkan aku.
"Sha, kamu nggak masak?" teriakan dari arah dapur menyentak lamunanku.
"Nggak sempet. Aku kira kamu udah makan." Santai, aku menyahuti.
Langkahnya terdengar mendekat, masih enggan mata ini memandang ke arahnya. Berselang, tubuh itu duduk di hadapan. Kulirik sekilas, dia tampak salah tingkah.
"Pesan aja, ya." Dia berucap setelah beberapa saat duduk.
"Terserah." Ku sibukkan diri dengan lembaran kertas bergambar di tangan. Terdengar helaan napas panjang darinya, tapi tak ada pergerakan.
"Kamu kenapa, Sha?"
Kulirik ponsel yang diletakkannya di atas meja, dia bertanya setelah memesan makanan.
"Nggak kenapa-kenapa," sahutku asal. Berpura-pura saja terus, kamu lupa kejadian tadi.
"Sha. Kamu tahu dari mana soal yang tadi?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari bibirnya.
Kuhela napas, kulipat majalah. Setelahnya, kuletakkan di atas meja. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan pernikahan kami. Kuangkat wajah, kutatap kedua mata yang dipenuhi kebohongan itu.
"Soal apa?" tanyaku sambil mengulas senyum.
"Yang tadi kamu bilang?" Kenapa rasanya berputar-putar?
"Aku nggak ingat tadi bilang apa?" Kuhendikan bahu seolah-olah tak pernah mengatakan apapun jua.
Raka menghela napas sembari membuang muka, ada gelisah tertangkap di raut wajah itu. Dia kembali menatapku dengan pandangan lelah.
"Apa Lia yang bilang? Kamu jangan salah faham, Sha," ucapnya menebak.
Aku bergeming pada kedua matanya yang lembut, tapi seraut kecemasan terlihat di sana. Entah apa yang telah terjadi di antara mereka.
"Salah faham? Emang salah faham apa?" tanyaku santai, mencoba bersikap seolah-olah tak pernah melihat apapun.
"Yang dibilang Lia itu salah faham. Aku bisa jelasin apa yang terjadi, tapi kamu harus tenang dulu," katanya merayu.
Aku mengangkat sebelah alis, menyelidik sikapnya yang tak biasa.
"Bukan dari Lia, dia nggak tahu apa-apa soal yang tadi. Aku lihat sendiri apa yang kamu lakukan di sana. Kalo kamu punya penjelasan, silahkan jelaskan!" ucapku masih dengan sikap yang tenang seperti biasa.
Kuamati garis wajah itu menegang, bola matanya melebar meski tidak signifikan. Aku yakin dia terkejut. Hanya saja berpura-pura untuk bersikap tenang.
"Jadi, kamu yang lihat sendiri? Kamu jangan salah faham, sayang. Semua yang kamu lihat nggak seperti yang ada di dalam pikiran kamu," ujarnya sedikit terdengar gugup.
Kulipat kedua tangan di perut sembari menyandarkan punggung pada kepala sofa. Mengamati reaksi wajah yang semakin terlihat gelisah. Bahkan, bola matanya berputar-putar mencari alasan.
"Ya, gimana? Emang apa yang ada di pikiran aku? Sekarang aja aku nggak mikirin apa-apa." Kugelengkan kepala menolak ujarannya.
Raka mendesah, melihatku dengan tatapan ... entah. Dia pikir aku akan menangis dan bertanya, lalu luluh karena alasannya seperti dulu-dulu. Tidak! Untuk kali ini, aku akan melakukan apapun sesuai keinginanku.
"Terus yang bener itu gimana? Kalo kamu mau jelasin, jelasin aja," ucapku kemudian karena Raka tak kunjung angkat suara.
Kuperhatikan wajah laki-laki yang enam lalu menikahiku. Ia tampak berpikir mencari alasan, agar aku percaya dan melemah seperti sebelum-sebelumnya. Ayo, apa alasanmu kali ini, Raka.
"Aku tadi mau pulang ke rumah, tapi di jalan nggak sengaja lihat dia yang lagi berdiri di pinggir jembatan. Dia mau b*n*h diri, Sha. Awalnya aku nggak peduli, tapi di sana nggak ada orang. Jadi ... jadi, terpaksa aku bantuin dia supaya nggak ngelakuin itu," terangnya sedikit-sedikit melirik ke arahku.
Kuamati dengan cermat setiap sisi wajah rupawan di hadapan, ada yang janggal dari penjelasannya meski aku tidak melihat kebohongan dari apa yang telah dia jelaskan tadi.
"Terus, emang harus peluk-pelukan kayak tadi? Aku lihat kamu asik-asik aja dipeluk sama dia." Raka mengangkat wajah, menatapku dengan mata yang sulit diartikan.
Ada kebingungan, kegelisahan, juga rahasia yang aku tangkap dari setiap kerlingan matanya. Ada apa, Raka? Apa ada yang kamu sembunyikan dari aku?
"Aku ... aku sendiri nggak tahu kenapa dia tiba-tiba meluk aku. Mungkin karena takut, atau ... nggak tahulah, itu tiba-tiba aja terjadi," kilahnya tanpa melihat ke arahku.
"Terus, kamu nerima gitu aja? Kamu masih ingat aku pernah bilang apa? Aku nggak suka kamu disentuh sama perempuan lain terutama dia. Kamu itu suami aku, Raka. Laki-laki beristri yang harusnya bisa menjaga diri dari sentuhan-sentuhan yang bukan mahramnya. Kamu sama sekali nggak ngehargain aku sebagai istri." Aku menggelengkan kepala kecewa.
"Dan ini bukan kali pertama aku lihat kamu kayak gitu. Dua kali, Ka ... dua kali aku mergokin kamu pelukan sama dia. Pernikahan kita baru seumur jagung, tapi kamu udah ngelakuin hal yang kayak gini. Aku tahu ... aku tahu kita nikah secara paksa, tapi apa kamu nggak bisa coba menerima pernikahan ini?" Kuluapkan emosi yang selama ini aku pendam.
Raka diam, hanya terlihat kegelisahan di raut wajahnya yang memerah. Entah memendam amarah, ataukah rasa malu karena kelakuannya sendiri.
"Kamu pilih, Ka. Mau menyelesaikan apa yang belum selesai di antara kalian atau ... kita selesai?"
Raka mengangkat wajah dengan cepat, kedua matanya membola tak percaya. Ia menggeleng lemah, entah apa maksudnya.
"Sha ...."
"Pikirkan baik-baik." Kuangkat tubuh dari sofa dan masuk ke kamar tak ingin lagi berbicara dengannya.
"Sha, kamu nggak bikin sarapan?" Sebuah tanya terlempar dari ambang pintu dapur. Aku yang baru saja selesai membuat nasi goreng meletakkan sepiring untuk sang pemilik tanya tanpa menjawabnya.
Langkah yang mendekat berderap di telinga, kubawa sepiring yang lain ke halaman belakang. Makan dalam kesendirian lebih berselera bagiku daripada harus berhadapan dengannya yang akan membuat perutku bergejolak.
Bayangan kemesraan di bawah guyuran hujan, selalu berhasil membuatku muak. Shila yang tidak tahu diri itu harus mendapatkan ganjaran. Sudah kering rasanya air mataku, niat kembali untuk memperbaiki semua. Nyatanya, bertambah perih luka yang selama ini aku pendam.
"Sha, kamu kenapa makan di sini?" Tanya kembali kudengar setelah tiga suapan nasi goreng berhasil lolos melewati tenggorokan dengan berat.
"Nggak selera makan di dalam," sahutku ketus tanpa melihat ke arahnya.
Samar telingaku mendengar helaan napas darinya. Selera makanku menguap begitu saja. Kuputuskan beranjak dan masuk melewati dirinya yang berdiri di ambang pintu.
"Sha!" Kuhempas tangan yang lancang menggenggam pergelangan, berbalik sambil melayangkan tatapan tajam padanya.
"Jangan sentuh aku sebelum kamu memperbaiki semuanya!" Ultimatum itu menguar begitu saja dari mulutku.
"Kenapa kamu kayak gini, Sha? Bukannya semalam aku udah jelasin sama kamu? Ingat, Sha. Kamu itu masih istri aku," balasnya dengan raut bingung yang kentara. Mungkin karena selama ini aku selalu bersikap lembut padanya.
Aku bergeming, mematri tatapan pada wajah yang akhir-akhir ini terlihat memuakkan di mataku.
"Aku nggak lupa kalo aku ini istri kamu. Yang lupa itu kamu, Raka. Kamu lupa kalo udah nikah sama aku, kamu lupa kalo kamu itu suami aku. Udahlah, aku nggak mau berdebat!" Kulambaikan tangan menolak berbicara.
Kenapa dia tidak mau mengerti juga apa yang aku mau? Apa susahnya menyelesaikan urusan dengan mantan pacarnya itu? Kubalikkan tubuh pergi meninggalkannya setelah meletakkan piring nasi goreng yang masih terisi di atas meja.
"Kalo tahu begini akhirnya, mending aku tolak pernikahan ini dari awal. Ya Allah, apa memang kayak gini jalan takdir yang harus aku jalani?" Kuhela napas menahan sesak yang merebak. Air yang nyaris jatuh dari pelupuk kutahan dan kuhapus dengan cepat.
Kuputuskan pergi ke toko, memeriksa keadaan. Namun, teringat pada rencana awal. Aku akan memulai semuanya. Kukirim pesan pada Irwan yang berjaga di toko Raka.
Ir, mulai bulan ini kirim laporan keuangan sama aku, ya.
Kuhempas tubuh di tepi ranjang, menunggu jawaban. Notifikasi balasan masuk, dari Irwan.
Siap!
Aku tersenyum, samar kudengar suara motor Raka pergi meninggalkan rumah. Ke mana dia pergi? Ke toko atau ke rumah Shila? Terburu-buru kusambar kunci mobil, pergi menyusul. Kuikuti diam-diam ke mana laki-laki itu pergi. Dari jalan yang diambilnya dia menuju ke rumah mamah. Ya Allah, apa kabar mamah mertuaku? Apa dia baik-baik saja?
Kuputuskan berbelok menuju toko, enggan mengikuti Raka lagi. Rasanya kurang pantas berkunjung ke rumah mertua secara terpisah seperti ini. Mobil berhenti di depan toko yang dulu hanya satu ruko dan kosong, kini menjadi besar seperti sekarang.
Bukan tanpa alasan kumodali Raka mengembangkan usahanya, aku hanya ingin dia merasa menjadi kepala keluarga seutuhnya meski kenyataan pahit yang aku terima. Irwan tersenyum melihat kedatanganku, di tangannya sudah ada berkas laporan yang aku pinta meski hanya berupa sebuah buku.
"Gimana, Ir? Ke mana Doni?" Kuedarkan pandangan menatap sekeliling, toko ini nyaris kosong. Hanya ada sedikit barang yang terpajang, itupun keluaran lama. Apa Raka tak pernah memesan barang-barang lagi?
"Yah, beginilah, Sha. Kamu lihat sendiri ajalah," jawab Irwan ambigu. Kulirik sekilas, dia mendesah.
"Apa kalian nggak pernah pesan barang lagi? Kenapa toko jadi begini kosong?" tanyaku sambil memeriksa barang-barang yang ada.
Helaan napas Irwan menyapa telinga, kulihat laki-laki beranak satu itu menunduk menatap buku di tangan.
"Kamu bisa lihat di buku ini laporannya, Sha. Kalo dari mulut aku, takutnya nggak bikin kamu percaya," ujarnya sembari menggeser buku di tangan ke samping tepat di hadapanku.
Kutatap wajah gelisah Irwan, ada rahasia yang tersembunyi di sana.
"Ada apa?" Aku memilih bertanya daripada melihat buku ketika netranya terus terpaku padaku.
"Raka bilang kamu pergi dari rumah?"
Kusunggingkan senyum mendengar pertanyaan itu.
"Ya, aku pergi ke Jawa Timur mengunjungi si Mbah."
Bibirnya membentuk bulatan, tak ada lagi tanya.
"Emang kenapa?" Kuajukan tanya menelisiknya.
"Nggak apa-apa, sih. Cuma si Raka jarang ke toko, alasannya katanya nyariin kamu."
Aku mengernyit, menelisik wajah Irwan yang tampak gelisah. Ada apa di sorot matanya itu?
"Kita juga pernah disuruh datangin hotel-hotel di Jakarta. Katanya siapa tahu kamu nginap di sana," lanjut Irwan sambil menggaruk pelipisnya. Salah tingkah.
Aku mengernyit mendengar penuturan Irwan. Kenapa Raka sampai berpikir aku ada di hotel?
"Apa yang dia cari di hotel? Aku atau mantannya itu?" Sengit, kulempar tanya itu kepada Irwan.
Mata laki-laki itu menjegil lebar, kedua bibirnya bahkan terpisah meski hanya sedikit. Jelas dia terkejut dengan apa yang aku tanyakan. Apa yang diketahui Irwan soal perselingkuhan mereka?
"Ka-kamu ...." Irwan tak melanjutkan ucapan, telunjuk yang mengarah kepadaku terlihat bergetar. Ia kepalkan kemudian.
"Apa? Kenapa kamu diam? Apa yang kamu tahu dan aku nggak tahu, Ir? Kalian menutupi semua ini dari aku?" cecarku semakin mengintimidasi Irwan lewat tatapan mata.
Dia membuang muka, menghindari tatapanku. Kutunggu beberapa saat, peluh bermunculan di pori-pori wajah laki-laki beranak satu itu.
"Jadi, kamu udah tahu soal Raka?" sambar sebuah suara lain yang baru saja tiba.
Kulempar pandangan pada Doni yang berjalan memasuki toko. Diberikannya tas juga sebuah catatan kepada Irwan, setelahnya dia menatapku dengan serius.
"Emang apa yang aku nggak tahu? Apa selama ini Raka berhubungan sama mantannya tanpa sepengetahuan aku?" Kulayangkan tanya pada sepupu suamiku itu.
Mereka saling melirik satu sama lain, aku yakin kedua laki-laki di hadapan menyimpan rahasia tentang Raka.
"Kamu udah tanya sama dia?" tanya Doni jelas terlihat dia sangat berhati-hati dalam membahas tentang Raka.
"Udah, tapi nggak ada jawaban. Aku cuma mau tahu, takutnya salah faham," terangku.
Aku takut semua yang aku lihat, aku dengar, dan aku rasa hanyalah kesalahpahaman semata. Raka tidak sedang melakukan itu di belakangku, aku tidak ingin berakhir dengan penyesalan.
"Selama kamu pergi dia terus cariin kamu, tapi nggak sendiri. Mantannya itu juga ikut nyari kamu. Aku nggak tahu apa tujuannya, tapi setiap hari mereka selalu berdua. Alasannya, karena Shila mau minta maaf sama kamu," jelas Doni. Sama sekali tidak menjawab kegelisahan hatiku, tapi dari keterangannya aku tahu bahwa Raka dan Shila selalu bersama-sama.
Shila bukan ingin meminta maaf padaku, tapi dia sengaja ingin berdekatan dengan Raka. Licik! Awas kamu, Shila!
Brak!
Tak sengaja tersenggol sebuah benda ketika aku menyusuri gudang yang nyaris kosong melompong. Sama sekali tidak ada stok barang, padahal laporan yang diberikan Raka selama ini tidak ada yang salah meski aku tidak memintanya.
"Apa itu?" Hati-hati kubawa tubuh berjongkok memungut benda berupa buku.
"Ini buku laporan yang suka dibawa Raka. Berarti ada dua buku laporan selama ini." Kuperhatikan dengan saksama benda di tangan. Memang benar, aku sering melihat Raka membawa buku ini.
Kusandingkan kedua buku yang aku dapat, membuka setiap masing-masing lembar, mencocokkan semua tulisan di dalamnya.
"Astaghfirullah al-'adhiim! Jadi, selama ini Raka bohong? Ke mana uang yang didapatkan toko selama ini kalo sebenarnya tidak pernah dibelanjakan lagi?"
Geram. itulah yang aku rasakan saat ini. Apa Raka memberikan keuntungan kepada Shila sama seperti saat mereka berhubungan dulu? Ini sudah keterlaluan.
"Kamu udah bohong sama aku, Raka. Lihat aja apa yang bisa aku lakuin buat kamu?" Kuremas buku di tangan, mereka benar-benar telah bermain-main di belakangku.
Kusimpan buku tersebut ke dalam tas sebelum keluar dari gudang. Irwan dan Doni melayani pembeli dengan barang seadanya. Jika begini terus, bisa-bisa toko akan tutup. Memenuhi gaya hidup Shila sementara istri dilupakan. Apa karena aku punya penghasilan sendiri?
Langkahku terhenti ketika sebuah notifikasi pesan masuk. Raka?
Sha, mamah sakit. Aku lagi nggak pegang uang, bisa nggak kamu kirim uang buat bawa mamah ke rumah sakit? Papah lagi di luar kota.
Aku mengernyit membaca pesan dari suamiku. Lupakah dia bahwa masalah semalam saja belum selesai? Sekarang, bisa-bisanya meminta uang padaku.
Kuputuskan untuk menelpon, tapi sekali, dua kali, sampai tiga kali panggilan Raka tak kunjung menjawab.
Biar aku jemput aja, sekalian aku juga mau ketemu sama mamah. Mau sowan.
Kutunggu balasan darinya, beberapa saat tak ada jawaban. Mungkin Raka tidak sedang berbohong, aku akan pergi ke rumah mamah untuk memastikan keadaannya sekalian bersilaturahmi.
"Kenapa Sha? Udah diperiksa?" tanya Irwan saat pandangan kami bertemu.
"Udah." Kuhampiri mereka berdua, sepertinya harus diajak kerja sama juga.
"Mmm ... begini. Aku mau minta tolong sama kalian. Aku mau kita bekerjasama untuk membangun toko ini lagi. Kalo kayak gini terus, lama-lama toko bisa tutup. Kalian mau, 'kan?" Aku menatap wajah kedua laki-laki di hadapan.
Mereka mengangguk tanpa berkompromi. Kuutarakan maksud dan rencanaku kepada mereka. Tanpa bertanya dan berbasah-basi keduanya menyetujui rancanganku.
"Ya udah. Aku pergi dulu, kata Raka mamah sakit. Kalo ada barang datang langsung susun aja, ya." Aku menitip pesan kepada mereka sebelum pergi meninggalkan toko.
"Siap! Kamu nggak usah khawatir, Sha. Kami bisa diandalkan," sahut Doni dengan yakin.
Aku tersenyum sebelum benar-benar keluar dari toko dan masuk ke dalam mobil. Melaju pelan meninggalkan toko menyusuri jalanan menuju rumah mertua. Rasa bersalah tiba-tiba hadir ketika terbayang wajah mamah yang akan aku kunjungi. Aku pergi tanpa memberi kabar padanya dan datang pun tak mengunjungi dirinya.
Keadaan kota Jakarta tak akan terlepas dari masalah kemacetan. Kuhela napas sangat dalam, membuang segala rasa resah dan gelisah yang menghimpit rongga dada. Menyalakan musik mengusir jemu, tetap saja kemacetan ini membuatku bosan.
Di kejauhan tak sengaja kulihat dua orang yang sedang berselisih. Entah apa yang menjadi masalah mereka, tapi dilihat dari gerakan bahasa tubuh, sepertinya masalah yang serius.
"Padahal Benny kurang apa buat kamu, Shila. Tetap aja kamu selingkuhin. Dia dewasa, mapan, dan pastinya bisa bikin kamu bahagia. Emang dasar serakah."
Aku menggelengkan kepala, menjalankan mobil setelah kemacetan sedikit terurai. Tak ingin peduli pada masalah mereka, apapun itu. Tunggu! Jika Shila di sini, itu artinya Raka memang di rumah mamah.
"Apa dia udah nyelesein masalahnya, ya? Mudah-mudahan udah." Aku berharap.
Kusapu perut saat gerakan janin terasa. Mengukir senyum penuh, ada kebahagiaan tersendiri saat aku bisa merasakan itu semua. Dialah satu-satunya penghibur di kala hati lara. Sumber kekuatan ketika aku lemah. Hanya demi dirinya, aku selalu bersikap kuat.
Tak terasa mobil tiba di depan rumah mamah. Teras itu kosong, tak ada motor Raka terparkir di sana. Jadi, Raka di mana sebenarnya? Apa mereka udah pergi ke rumah sakit?
"Apa aku ke rumah sakit aja, ya? Kayaknya kosong rumahnya." Aku bergumam, bersiap memutar kemudi untuk kembali berbalik.
Namun, daun pintu yang terbuka, menghentikan niatku untuk pergi. Sosok mamah keluar, berjalan pelan dengan wajahnya yang pucat. Apa mamah sakit? Kulajukan mobil memasuki halaman, mamah menatap tanpa harap.
Aku keluar dan melempar senyum kepada wanita yang menjadi ibu kedua bagiku itu. Dia tampak berkaca-kaca, bangkit dari duduk dan berniat menghampiriku.
"Shanum!" Suaranya lirih memanggil, bergetar. Berselang, air mata berjatuhan dari kelopaknya yang sudah mulai menua.
"Mamah!" Kupanggil ia seraya berjalan menapaki teras dan memeluknya.
"Ya Allah. Akhirnya kamu pulang, Nak. Ke mana aja kamu, sayang?" racau mamah di sela-sela tangisannya.
Kurasakan pelukan erat ia lakukan, mengalir rindu ke dalam relung jiwa. Membuat segumpal daging dalam dada terasa hangat menenangkan.
"Masuk dulu, Mah. Mamah kayaknya lagi nggak sehat," ajakku seraya mengajak mamah masuk ke dalam rumah.
"Mamah duduk dulu, ya. Shanum bikinin teh anget dulu," pintaku seraya mendudukkan mamah di sofa. Kemudian, berlalu ke dapur untuk membuat teh hangat.
"Makasih, Nak. Mamah kepikiran kamu terus. Semua ini pasti gara-gara anak Mamah. Maafin Mamah, Sha. Maaf," racau mamah sambil menggenggam erat gelas teh dengan kedua tangannya.
Ia menunduk, terisak pilu. Aku tidak tahu, mungkin saja mamah sudah mengetahui kelakuan anaknya. Kuhampiri mamah dan duduk di sampingnya. Memeluk tubuh yang terguncang karena isak yang tak berkesudahan.
"Nggak apa-apa, Mah. Jadi, Mamah tahu semuanya?" tanyaku pelan.
Mamah mengangkat wajah, menatap ke arahku. Kusapu air mata yang berderai di kedua pipinya yang hampir keriput. Ada banyak kesedihan, juga kekecewaan yang kulihat.
"Raka yang cerita sendiri kalo dia ... dia ... ah, Mamah nggak sanggup bilangnya." Mamah kembali menunduk, menggeleng melanjutkan tangisnya.
Jadi bener, ya.
"Nggak apa-apa, Mah. Shanum udah tahu semuanya. Mamah doain aja, mudah-mudahan semua ini nggak berlarut. Shanum pengen selesai secepatnya dan Raka bisa kembali kayak dulu lagi," ucapku menenangkan hati mamah.
Ingin kutanyakan perihal pesan Raka, tapi aku segan. Takut semakin membuat mamah merasa bersalah nantinya. Mamah mengangkat kembali wajahnya, mengusap pipiku. Dilabuhkan kepala di dada, kupeluk dan kusapu punggungnya.
"Kita ke rumah sakit, Mah. Biar Shanum antar," ucapku tak tega.
Mamah menggeleng, tapi aku tidak ingin penolakan. Jadi, ke mana sebenarnya Raka? Apa benar dia di rumah mamah tadi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!