Seperti biasanya, Nisa panggilan akrab dari Anisa Fitriani menjalankan rutinitas paginya. Di mulai dari sholat subuh berjamaah dengan suaminya, ia mulai sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya.
Setelah sarapan siap, ia bergegas ke kamar putra semata wayang mereka.
"Ayo bangun! mandi, dan sarapan sudah menunggu..!"
Iya menggelitik telinga putranya.
"Masih ngantuk, bundaa., " ucap anak berusia enam tahun itu sambil menguap lebar.
"Eit, tidak boleh malas malasan lagi..!" Anisa menarik selimut putranya, agar segera bangun.
Anisa dan Aby memang membiasakan Al untuk mandiri. Karena nya di usia yang masih enam tahun bocah itu sudah biasa tidur dan mandi sendiri, termasuk menyiapkan keperluan sekolahnya.
Setelah itu Anisa menghampiri Aby yang sedang menyisir rambutnya.
"Mas, aku minta ijin mau kerumah Abah pulang mengajar, Al aku bawa,, tadi mbak Rom menelpon, katanya Abah sedang tidak sehat..." kata Anisa sembari memungut handuk yang tergeletak di kasur.
"Abah sakit apa?" tanya Aby kemudian.
"Aku belum tau, soalnya mbak Rom tidak menjelaskan dengan detail." jawab Anisa sambil
mengikuti langkah suaminya ke meja makan.
"Apa perlu nanti Mas jemput?" tawarnya.
"Tidak usah, kan aku bawa motor."
"Owh, iya, ya..? Aku jadi pelupa gini." Aby menepuk jidatnya sendiri.
"Nanti kalau bisa pulang lebih awal, Mas akan juga akan menjenguk Abah." kata Aby sambil mengunyah makanannya.
Anisa tersenyum.
Ia memandang kagum pada suami pilihan Abahnya itu.
"Ayah dan Bunda jangan pernah berantem, ya..,!" celetuk Al tiba-tiba.
Aby dan Anisa saling pandang. Lalu mereka tertawa bersama.
"Kenapa kau bicara begitu, sayang..?" Anisa mengusap kepala putranya.
"Soalnya, ada temanku yang papa mamanya sering berantem. Jadinya temanku selalu sedih di sekolah." jawab Al dengan polosnya.
"Kami janji, Kau tidak akan pernah sedih karna Ayah dan Bundamu, benar, kan Mas Aby..?"
Aby mengangguk pasti.
"Benar kata Bunda, Ayah akan berusaha jadi ayah yang terbaik buat Al dan adik-adik kelak."
Ucap Aby berjanji membuat bocah itu merasa lega.
"Al hanya perlu belajar dengan rajin, jadi anak penurut dan jadi kebanggaan kami."
Al tersenyum bahagia.
Setelah Aby berangkat ke kantornya, Anisa pun bergegas menuju tempatnya mengajar.
Di sepanjang perjalanan, ia terkenang kembali pertemuannya dengan Aby tijuh tahun silam.
Aby dan Anisa bertemu pertama kali saat acara bakti sosial di pesantren milik Kiai Romli orang tua Anisa.
Saat itu, Aby mewakili perusahaan tempatnya bekerja untuk acara tersebut.
Aby sangat terkesan dengan kepribadian Anisa saat itu.
Anisa dan para santriwati yang lain begitu ramah dan santun saat menjamu para tamu.
Saat acara usai dan mengharuskan Aby harus pergi. Ia memberanikan diri mendekati Rokaya seorang teman Anisa.
"Assalamualaikum..!" ucapnya sopan.
"Waalaikum salam.. Ada yang saya bantu, mas?"
Aby yang saat itu masih polos menjadi salah tingkah.
"Boleh saya minta tolong"
"Minta tolong apa, ya mas?"
"Sampaikan salam saya pada Anisa, dan tolong berikan ini, bilang saja dari Aby. Saya minta jawabannya besok pagi, karna kami harus meninggalkan tempat ini segera." ucapnya tersenyum penuh harap.
Rokaya pun mengangguk dan pergi dengan sopan.
Aby menunggu reaksi Anisa setelah menerima salam darinya.
"Nis, ada salam dari Abang ganteng yang bicara di podium tadi.." seru Rokaya sambil memberikan secarik kertas dari Aby untuk Anisa.
"Apaan sih maksudnya?" Anisa menerimanya tak mengerti.
"Itu, tu si Abang namanya siapa ya? Aby. Namanya Aby, bagus, kan?"
Anisa hanya terdiam.
Pikirannya melayang pada acara tadi siang, Memang ada seorang pemuda tampan dan berwibawa sangat memukau seluruh mata yang hadir, dari gaya bicara dan penyampaiannya terlihat kalau dia pemuda berbakat dan berwawasan.
Sampai Abahnya sendiri bertepuk tangan atas penyampaian Aby.
"Gimana, jawaban mu?" desak temannya.
"Aku harus bilang apa?"
"Ih, payah..! Gitu doang pake nanya." ledek temannya.
Anisa berlari pulang dan mengunci pintu kamarnya.
Perlahan ia mengamati secarik kertas di tangannya. Lalu membaca kalimat demi kalimat yang tertera disana.
"Assalamualaikum, ya bidadari
surga.
Aku bukan orang yang romantis,
Aku juga tidak bisa menulis kata
puitis.
Aku hanya ingin mengutarakan
isi hati ku,
Sekiranya kau sudi, bisakah aku
mengenalmu lebih dekat lagi?"
ABY..
Anisa melipat kertas di tangannya.
Bukannya dia tidak simpati pada pemuda itu, tapi perhatiannya sudah tersita pada salah seorang ustadz yang teman sejawatnya.
Keesokan harinya, Abi yang merasa gelisah karna Anisa tidak memberi respon apa pun, dia bertekad akan menemui Kiai Romli langsung.
Dengan berani, Aby mengutarakan ketertarikannya pada Anisa pada pengasuh pondok pesantren itu.
"Saya mohon maaf sekali pak kiai, mungkin saya lancang dengan langsung berbicara sendiri pada kiai." ucapnya sambil tertunduk.
Kiai Romli terdiam sejenak.
Ia memperhatikan pemuda di depannya yang sedang tertunduk dengan sopan
Ia terkesan pada keberanian pemuda itu.
"Kau serius dengan keputusanmu itu?"
Aby mengangguk pasti.
"Kalau begitu, anggap saja lamaranmu sudah di terima!"
Aby mendongak tak percaya.
"Tapi pak kiai.. apa tidak sebaiknya di bicarakan pada yang bersangkutan atau orang tuanya? Walaupun saya sangat berharap, saya juga tidak mau memaksakan kehendak." kata Aby dengan ragu.
Kiai Romli tertawa.
"Kau tidak usah khawatir, saya jamin Anisa akan menerima lamaranmu."
"Lalu keluarganya? orang tuanya?" Aby bertambah heran.
"Anisa adalah putri saya satu-satunya."
Aby menatap tak percaya
"Iya, benar. Anisa Putri saya. Kalau kau bersungguh-sungguh padanya. Saya akan membicarakan ini dengannya."
Aby tertunduk malu. Antara senang dan kaget mengetahui kenyataan bahwa Anisa adalah putri pak Kiai.
Malamnya, Anisa di panggil Abahnya.
Anisa tidak bisa mengatakan bahwa hatinya sudah tertarik pada ustadz Yahya murid sekaligus kaki tangan Abahnya sendiri.
Anisa tidak mau mengecewakan harapan Abahnya.
"Abah yakin kalau Aby adalah laki-laki yang baik untuk mu. Menurutmu, bagaimana?"
"Apapun yang menurut Abah, baik. Maka baik pula menurutku." jawab Anisa berusaha tersenyum.
Akhirnya pernikahan itu pun terjadi dengan meriah.
Setelah menikah, perlahan Anisa berusaha mengenal Aby lebih dekat.
Ia terkesan atas sikap suaminya itu.
Dari hari ke hari, perasaan cinta mulai tumbuh di hati Anisa. Aby yang memang pria jujur dan baik hati, mampu menggeser posisi ustadz Yahya di hatinya.
Anisa sangat bersyukur atas jodoh pilihan Abahnya tersebut.
Apalagi semenjak kehadiran Yazid Al-bany putra mereka. membuat rumah tangga mereka semakin harmonis.
Dan sekarang dia benar-benar merasa jatuh cinta pada suaminya itu.
Anisa berusa mengimbangi cinta dan kasih sayang Aby padanya dengan hal yang sama pula.
"Assalamualaikum, Bah..!" sapa Anisa sore itu saat tiba di kediaman Abahnya.
"Abah tidak apa-apa, kau tidak usah khawatir, mungkin karena faktor usia juga."
"Bagaimana Kabar Aby? " lanjut Abahnya.
"Alhamdulillah, dia sehat, nanti kalau bisa pulang lebih awal, dia juga akan menyusul kesini."
Jawab Anisa, membuat mata tua di depannya berkaca-kaca.
Anisa merasa prihatin memandang Abahnya yang semakin tua dan sakit-sakitan.
Dukung terus karyaku ini ya guys..
Seorang penulis besar sekalipun tidak akan ada artinya tanpa pembaca...! So, dukunganmu sangatlah berarti🙏🙏
Sebelum petang, Aby datang menjenguk mertuanya. Saat itu, Anisa sudah bersiap pulang.
"Maaf, Bah.. Baru bisa sampai disini karena pekerjaan kantor masih banyak yang belum selesai." sesal Aby di depan mertuanya.
"Tidak apa, Nak Aby.. Abah sudah baik-baik saja, kok." kata pak kiai menghibur.
Anisa yang ikut duduk di samping suaminya ikut menyimak percakapan dua orang pria yang. sangat berarti dalam hidupnya itu.
"Abah harus lebih banyak istirahat, untuk sementara, tugas-tugas Abah serahkan saja pada ustadz Yahya." usul Anisa yang langsung di sambut tawa oleh Abahnya.
"Abah belum separah itu, sampai harus menyerahkan tugas pada Yahya.. Kalau satu dua sih boleh, lah.
Dalam hal kecepatan memang Abah kalah gesit dari kalian yang muda.. Tapi untuk hal lainnya, jangan remehkan Abah mu ini."
Aby tersenyum melihat semangat mertuanya itu.
"Ini yang saya kagumi dari Abah, selalu bersemangat dalam hal apa pun."
"Itu harus, Nak Aby. kehidupan ini seperti gelombang di lautan, kadang pasang, kadang pula surut. Kita harus selalu siap saat takdir menepatkan kita di salah satunya. walaupun tentu saja kita tidak pasrah begitu saja, kita harus tetap semangat berusaha dan berikhtiar."
Wejangan kiai Romli selalu mengena di hati Aby.
"Nisa.. Malam ini kau temani Abah saja. Beliau pasti butuh teman bicara." kata Aby mengingatkan Anisa.
"Memangnya boleh, Mas?" tanya Anisa ragu.
"Memangnya pernah, Mas melarang mu untuk hal itu?"
Anisa menggeleng.
"Memang tidak, sih Mas."
"Karna itu, Kau menginap saja barang semalam. Biar Mas pulang sendiri." Aby meyakinkan istrinya.
"Lalu makan mu bagaiman" Anisa mencemaskan suaminya.
"Itu gampang, aku bisa pesan kok."
Malam itu, Anisa menginap di tepat Abahnya.
Anisa terkejut saat sebuah tangan menepuk bahunya dengan lembut.
"Kau bahagia dengan Aby..?" Abahnya sudah berdiri di belakangnya.
Anisa mengangguk.
"Sangat, Bah. Dia suami yang baik dan bertanggung jawab."
"Syukur Alhamdulillah.."
Anisa mengangguk bahagia.
Tapi ingat, saat kita di atas jangan terlena, karna yang namanya atas, pasangannya adalah bawah. jadi, saat takdir menempatkan kita di bawah nantinya, paling tidak kita tidak terlalu terkejut."
"Nisa akan selalu mengingat setiap nasehat Abah."
Keesokan harinya, Anisa membaca pesan suara dari Aby.
"Nisa, hari ini mungkin Mas pulang agak terlambat, kunci rumah di tempat biasa, ya..!"
Anisa melanjutkan menemani Al sarapan.
Walaupun Aby memberinya kebebasan, namun Anisa tidak pernah memanfaatkannya.
ia lebih suka di rumah berkumpul dengan keluarga kecil mereka.
***
Di kantornya,
Aby sedang sibuk mengerjakan tugas yang menumpuk di mejanya.
Sampai ia tak menyadari kedatangan Imran sahabatnya.
"Hey.. Serius banget, makan siang dulu, yuk!" ajak Imran.
"Ke kantin?"
"Ya, iyalah.. Memangnya kamu yang selalu di bawain bekal sama istrimu. Aku, boro-boro bekal, jatah malam ku saja sering terlewat karena si kecil. Makanya, By.. Tunda dulu punya baby lagi kalau belum siap kehilangan perhatian Anisa." canda Imran.
Aby tertawa sambil mengikuti lengan Imran.
"Kau ada-ada saja, sama anakmu saja kau cemburu, apalagi kalau istrimu di lirik pria lain.." goda Aby.
Imran nyengir sambil berkata,
"Jangan sampai itu terjadi.." Imran menengadahkan tangannya.
"Aku juga mau makan di kantin hari ini." ucap Aby sambil membereskan sisa pekerjaannya.
"Kenapa? Kau berantem dengan Anisa?"
Aby menggeleng sambil tersenyum.
"Apa yang harus kami ributkan, Anisa sosok istri yang hampir sempurna buat ku, tidak ada alasan aku mencelanya.." jawab Aby bangga.
"Iya, tau..! Kau beruntung sekali mendapatkan dia sebagai pendamping hidupmu. Sudah cantik, baik, berpendidikan dan..."
Aby menyeret lengan temannya keluar dari ruangannya.
"Kalau terus memuji istriku, kapan kita makan siangnya?" ucap Aby terus melangkah dan di ikuti sahabatnya.
"Kayaknya Bu Rosi punya pelayan baru disini.
Sepertinya aku tumben melihat gadis itu disini." gumam Imran sambil terus mengawasi gadis seksi itu yang sedang melayani beberapa pelanggan.
"Jaga pandangan mu..!" Aby mengusap wajah Imran
"Kata orang, yang terlihat itu rizki, tapi kalau melihat itu baru dosa." kilah Imran.
"Kalau tak sengaja terlihat itu rizki, tapi kalau terus melototinya apa itu masih Rizki juga namanya?" kilah Aby.
"Maaf, Mas, Mas ini ada yang mau di pesan lagi?" tiba-tiba seorang gadis berusia dua puluh tahunan sudah berdiri di samping mereka.
Belahan da**nya sangat terlihat jelas.
"Astagfirullah..!" gumam Aby pelan sambil memalingkan mukanya.
"Terima kasih, mbak. Kami sudah cukup." kata Aby sopan, Ia berusaha menghindarkan matanya dari pandangan yang menggoda iman itu.
Gadis itu berlalu dari hadapan mereka.
Mata Imran masih saja mengikuti langkah gadis seksi itu sampai menghilang di balik pintu.
"Aku heran, kau normal apa tidak sih, By? Masa sama sekali tidak tergoda sedikitpun pemandangan gratis yang tersaji di depan mata." gurau Imran.
"Aku bukan orang suci, tentu saja aku sama seperti pria lainnya saat di hadapkan pada situasi seperti tadi. Tapi aku berusaha menjaga diri, aku masih ingat sumpahku pada Anisa saat ijab qobul dulu.
Bagaimanapun istriku lah yang paling indah dimata ku."
Imran menggeleng kagum.
Pada saat itu mereka mendengar keributan dari meja sebelah.
Gadis yang berpakaian seksi itu tengah menangis karna di lecehkan oleh seorang pria.
Aby yang menyaksikan itu terpancing emosinya.
Ia berusaha membela gadis itu, sampai akhirnya terjadi perang mulut dengan pria hidung belang itu.
"Ingatlah, ibu dan saudara perempuan mu! Bagaimana kalau mereka di posisi gadis ini?"
Pria itu terdiam dan berlalu dari hadapan Aby.
Aby memberikan jasnya pada gadis itu,
"Berpakaian lah yang lebih tertutup. karna kejahatan bisa terjadi bukan hanya karna kesempatan, tapi karna penglihatan."
Gadis itu terisak sedih.
Saat melangkah hendak kembali keruang kerjanya. Aby dan Imran tercekat.
Asap membubung dari salah satu bagian kantor mereka.
"Kebakaran, By..!" teriak Imran panik.
Semua orang berlarian menyelamatkan diri.
"Ayo kenapa bengong.." Imran menarik tangan Aby untuk meninggalkan tempat itu.
Mata Aby terpaku pada tangan yang melambai dari dalam bubungan asap. Sebentar saja tangan itu tidak terlihat lagi.
Aby menghentak tangan Imran dan berlari menuju lokasi yang tidak seberapa jauh dari tempatnya berdiri.
Petugas sudah datang, namun mereka tidak berani masuk karna api yang semakin besar
Aby terbayang pada tangan yang melambai berusaha untuk minta tolong itu.
Api semakin besar, Aby sangat yakin ada seseorang yang butuh pertolongan di dalam sana. Bayangan ibunya yang melambai di tengah kobaran api kembali terlihat, hal yang membuatnya menyesal seumur hidup karna tidak bisa menyelamatkan ibunya saat itu.
"Tidak, aku harus menyelamatkannya!"
Aby berlari menembus kobaran api. Ia tak perduli pada larangan orang-orang:dan petugas yang ada.
Di benaknya, hanya ada ibunya yang sedang membutuhkan pertolongannya.
Aby terus mencari di tengah puing dan kobaran api.
Sampai ia mendengar suara rintihan yang tertahan.
"Tolong...!" suara itu hampir lenyap di telan suara hingar bingar.
Aby tercekat tatkala mendapati tubuh seorang wanita yang tertindih di bawah sebatang balok.
Wajahnya sudah tidak bisa di kenali karna bekas asap. bajunya sudah compang camping karna terbakar disana sini.
Gadis masih sempat menatap Aby dengan sorot mata kemah hingga akhirnya ia pingsan tak sadarkan diri.
Aby bingung dan panik menghadapi pemandangan dan situasi di depannya. Kobaran api belum sepenuhnya reda. Regu penolong juga belum menemukan mereka.
Ia memandangi tubuh yang tergeletak tanpa suara itu.
"Astagfirullah.. Ampuni hamba ya, Allah." ucapnya memohon ampun.
Tubuh yang tidak bergerak di depannya bisa di bilang hampir telanjang karna bekas di lalap api. Sialnya lagi, Aby tidak bisa menemukan sesuatu pun yang bisa di pakainya untuk menutupi tubuh itu. semua sudah habis tak tersisa.
Dengan menguatkan diri, Aby mengangkat tubuh itu hendak membawanya keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba balok besar jatuh dan menghalangi jalan keluar untuk mereka.
Aby kembali meletakkan tubuh wanita itu.
Ia meraba saku celananya di mana ia menyimpan ponselnya.
Namun ia tidak menemukan benda pipih itu di tempatnya.
Hari sudah sore. Kebakaran itu menyisakan duka yang mendalam bagi keluarga para karyawan kantor itu. Banyak yang kehilangan anggota keluarga mereka.
Tak terkecuali Anisa , saat mendengar kabar itu langsung panik dan menuju lokasi kejadian. Ia tak berhenti berdoa untuk keselamatan suaminya.
Ia semakin khawatir saat tau bahwa Aby nekat masuk untuk menolong orang.
Anisa bertambah gelisah saat ponsel suaminya belum juga bisa di hubungi.
"Tenang Nis, kita berdoa semoga tidak terjadi apapun pada Aby." hibur Imran.
Saat semua orang kebingungan di luar. Di dalam, Aby sedang kebingungan memikirkan cara keluar.
Ia tambah bingung saat suara wanita terdengar merintih.
Rupanya dia sudah sadar dari pingsannya, namun kondisinya sangat mengenaskan.
Menyadari ada seorang pria bersamanya, membuat wanita itu terkejut dan ketakutan.
Ia berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan kedua tangannya.
Namun itu tidak ada gunanya, karna pakaiannya sudah tidak utuh lagi.
"Tidak ada sesuatu pun yang bisa di pakai untu menutupi tubuhmu. Kecuali bajuku ini, pakailah..!"
Aby melepaskan bajunya dan mengulurkannya tanpa melihatnya.
Gadis itu menerimanya dengan ragu.
Hari mulai gelap , mereka masih terjebak di dalam. Dengan bertelanjang dada Aby terpaksa menghabiskan malam di reruntuhan bangunan dengan gadis yang baru di kenalnya itu.
Dari obrolan panjang mereka, Aby bisa tau kalau gadis itu pegawai baru di kantor itu. Saat kejadian, dia sedang berada di kamar kecil. Ia terjebak sendirian di saat para karyawan lain berusaha menyelamatkan diri.
"Semua orang tidak mengira musibah ini akan terjadi." kata Aby menanggapi cerita si gadis.
Aby merasa kasihan melihat wajah dan tubuh gadis itu yang mengalami luka bakar disana sini.
"Keluarga kita pasti sedang bingung mencari keberadaan kita..." ujar Aby mengenang Anisa dan putranya.
"Mas, enak ada yang mengkhawatirkan, sedangkan saya sendirian di dunia ini." ucap gadis itu pilu.
"Semua yang saya miliki sudah hancur, termasuk kehormatan dan harga diri."
Ucapnya menahan tangis.
"Apa maksudmu?" Aby mulai iba dengan kisah gadis itu.
"Saya yatim piatu, Mas. Saya besar di panti asuhan. saat mulai memasuki perguruan tinggi, saya ingin melamar pekerjaan. Tapi nasib saya begitu buruk. Bos tempat saya bekerja sudah mengambil paksa kehormatan yang satu-satunya masih tertinggal.
Mulanya saya pikir dia tulus kasihan pada gadis malang seperti saya. Tapi kenyataannya?" gadis itu menutup mulutnya, ia berusaha menahan tangis yang hampir meledak.
Aby sangat kasihan melihatnya.
"Yang sabar, ya . Allah pasti punya rencana lain pada hambanya yang percaya padanya."
Aby membesarkan hati gadis itu.
Sampai pagi tiba, mereka menghabiskan waktu dengan saling bercerita.
Dan pada Akhirnya Aby tau bahwa gadis yatim itu bernama Jelita.
Saat langit mulai terang, keesokan harinya, pencarian di lanjutkan. Saat itulah para petugas bisa mengevakuasi Aby dan Jelita.
Mereka berpisah karna ambulance yang membawa mereka juga berbeda.
Aby dan Jelita terus saling menatap hingga akhirnya kerumunan orang menghalangi pandangan mereka.
"Mas Aby...!!". Jerit Anisa saat .melihat Aby di dorong dengan kereta.
"Nis, maafkan Mas sudah membuat kalian cemas." ucap Aby sambil merangkul istrinya.
Mereka berpelukan penuh haru.
Anisa merasa lega bercampur haru karna susminya selamat. Ia sudah sempat kehilangan harapan.
"Aku takut sekali, Mas. Aku takut kau pergi meninggalkan aku dan Al." Isak Anisa.
"Itu tidak akan mungkin Nisa, kalian berdua adalah hidupku." Aby mengusap lengan istrinya.
Aby dirawat di sebuah rumah sakit bersama beberapa teman sejawatnya yang menjadi korban.
Dengan sabar dan telaten Anisa menemaninya. Ia sampai izin untuk tidak mengajar.
"Kau tidak pergi mengajar?" sapa Aby dengan lembut.
"Aku sudah minta izin, kok Mas. Al aku titipkan di tempat Abah, dari sana nanti gampang diantar ke sekolahnya." kata Anisa.
"Owh, ya. Aku dengar-dengar aktivitas kantor akan di pindahkan ketempat lain untuk sementara waktu, mungkin juga Mas Aby termasuk." sambung Anisa santai.
"Sungguh bencana yang mengerikan, Kasian para korban insiden ini, apalagi karyawan kecil yang hidupnya masih kekurangan..." ucap Aby prihatin.
"Kau benar, Mas.. Meskipun pihak perusahaan menanggung biaya pengobatan,
Tapi tetap saja mereka merasa terpukul."
Aby teringat gadis yatim yang di tolongnya.
"Karyawan kecil seperti Jelita..." ucapnya pelan.
Untung Anisa tidak sempat mendengarnya karna sedang sibuk menerima telpon.
"Abah titip salam, beliau tidak dapat menjenguk mu, karna kondisinya juga belum pulih benar."
Aby tersenyum.
"Tidak apa-apa, sampaikan saja salamku pada Abah. Bilang aku sudah tidak apa-apa."
Anisa mengangguk.
Hanya sehari semalam Aby di rawat. setelah itu dia di perbolehkan pulang.
Anisa menyambut kabar itu dengan gembira, begitupula si kecil Al, yang sedang membesuk ayahnya.
"Beneran kemarin Ayah jadi Superman yang menolong orang?" celetuk bocah itu.
Aby tertawa geli.
"Ayahmu tidak sehebat itu, Nak. Tapi walaupun Ayah bukan Superman, Ayah harap kau tetap bangga punya orang tua seperti Ayah."
Aby membelai kepala putranya.
"Kami sangat bangga menjadi bagian dari hidupmu, Mas Aby..." kata Anisa terharu.
"Mas, juga bangga dan bahagia punya kalian." Aby meraih anak dan istrinya mendekat lalu memeluknya.
"Berjanjilah, jangan pernah meninggalkan, Mas... Jika suatu saat Mas khilaf sekalipun, hukum dengan cara apapun asal jangan minta berpisah, Mas tidak akan sanggup!" ucap Aby berkaca-kaca ."
Anisa menatap aneh pada suaminya.
"Kenapa berkata begitu, seolah akan terjadi sesuatu yang bisa memisahkan kita saja..." ucap Anisa pelan.
"Tidak apa, Mas hanya trauma dengan kejadian kemarin. Mas sempat merasa tidak bisa lagi melihat kalian." ucap Aby tersenyum malu.
Anisa menarik nafas lega.
"Kirain ada apa-apa... oh, ya Mas. Aku dengar kau masuk dalam kobaran api karna menolong seseorang, siapa dia? Apa dia selamat juga?" tanya Anisa tiba-tiba.
Aby menelan ludahnya, ia belum siap menceritakan yang sebenarnya. Pastinya Anisa akan salah paham.
"Mas...?" melihat Aby termenung, Anisa menyentuh pundak Aby.
Aby menarik nafas sebelum akhirnya menjelaskan pada istrinya.
"Iya, benar.. Saat Mas, dan Imran hendak lari dari kobaran api, itu Mas seperti melihat tangan yang melambai. Dan kau tau apa yang terbayang di mataku saat itu? Ibu... Kejadian bertahun -tahun silam itu muncul dalam ingatanku.
Bagaimana ibuku terpanggang hidup-hidup dalam sebuah kebakaran. Aku merasa sangat bersalah karna hanya menyaksikan tangan itu meminta pertolongan hingga akhirnya lenyap di telan asap dan kobaran api ." jelas Aby dengan menutupi wajah dengan kedua tangannya. trauma masa kecilnya terbayang kembali.
Anisa iba melihat suaminya, Aby memang sudah menceritakan masa lalunya, asal usulnya. Termasuk bagaimana ia harus kehilangan sosok ibunya di usia yang masih delapan tahun. Aby kecil terpaksa hidup di jalanan hingga terjaring razia dan akhirnya besar di panti asuhan.
Anisa merangkul kepala Aby, ia mengusap usapnya lembut untuk memberinya kekuatan.
DUKUNGANNYA SAY ..
,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!