"Ariel!"
"Bobby!"
Ariel Anastasia mengulurkan tangannya pada Om Bobby, lelaki berusia 37 tahun yang masih terlihat tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap dengan tatapan tajam bak belati.
Om Bobby menyambut uluran tangan Ariel seraya meneliti dari ujung rambut sampai ujung kaki wanita yang ia sewa malam ini. Ariel berusia jauh lebih muda darinya, sekitar 25 tahun. Tubuhnya montok berisi namun terlihat seksi dan sedap dipandang.
"Masuklah!" Om Bobby membuka pintu kamar hotel bintang lima dan membiarkan Ariel masuk ke dalam.
"Aku ... boleh mandi dulu, Om?" tanya Ariel dengan suara pelan dan agak takut.
Om Bobby mengerutkan keningnya heran. Bukankah Ariel sudah pengalaman sebagai sugar baby? Kenapa sikapnya seakan baru sekali menjual diri?
"Silahkan!"
Om Bobby duduk di sofa menunggu Ariel membersihkan tubuhnya. Tak lama Ariel keluar dengan memakai bathrobe. Bibirnya yang agak tebal terlihat seksi dengan rambut yang masih basah. Harum shampoo dan sabun yang dipakainya menyeruak masuk ke indra penciuman Om Bobby. Wangi sekali.
"Om mau aku melakukan apa?" tanya Ariel dengan wajah pasrah.
"Lakukan apapun agar 'dia' bereaksi!" Om Bobby menunjuk bagian inti dirinya yang masih rata. Tak ada pergerakan apapun meski melihat Ariel memakai bathrobe.
"Ba-baik, Om."
Ariel pun mulai mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Bayangan anaknya yang sakit dan butuh biaya membuatnya nekat melakukan hal yang sudah lama tidak ia lakukan.
Ariel melangkah pelan seraya melepas tali bathrope yang ia pakai pelan-pelan. Tali tersebut sengaja ia gigit di bibirnya, memberi kesan seksi bak di film-film biru yang dulu sering ia tonton.
Bathrope yang Ariel kenakan tersibak, memperlihatkan tubuh polosnya yang masih kencang, padat dan seksi. Mata Ariel melirik bagian inti milik Om Bobby yang masih tertidur tenang tanpa bereksi. Masih kurang usahanya.
"Boleh saya melakukan yang lain, Om?" Ariel menunjuk bibir dan tangannya yang kosong sebagai pertanda service apa yang akan ia berikan.
"Tak perlu lakukan itu, yang lain saja!" tolak Bobby. "Aku mau lihat kamu menari!"
Ariel tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya. "Tentu, seperti yang Om minta," kata Ariel dengan nada manja.
Ariel pun mulai menari gerakan-gerakan seksi di depan Om Bobby. Setiap gerakannya selalu ditatap lekat oleh Om Bobby yang terlihat menikmati penampilan Ariel yang menghibur.
Satu menit, sepuluh menit bahkan setengah jam Ariel menari namun bagian inti Om Bobby tak juga bereaksi.
"Sial! Ternyata aku harus melayani Om-om impoten!" rutuk Ariel dalam hati. "Kalau bukan karena butuh uang, tak mau aku kembali lagi ke dunia ini!"
"Sudah cukup!" Om Bobby berdiri dan mengambil dompet miliknya. Dikeluarkannya uang lima ratus ribu rupiah lalu diberikan pada Ariel. "Segini bukan tarifmu?"
"I-iya, Om." Ariel menerima uang yang Om Bobby berikan. "Kita ... mau lanjut ke tempat tidur, Om?"
"Tak usah. Pekerjaanmu sudah selesai. Pakai bajumu kembali dan pulanglah!" kata Om Bobby dengan dingin.
Ariel menatap uang kertas merah di tangannya. Semudah ini ia mendapatkan uang, tak perlu melakukan hubungan suami istri, uang sudah di tangan. "Terima kasih, Om!"
Ariel tersenyum senang. Ia cepat-cepat memakai pakaiannya. Saat Ariel pamit, Om Bobby sedang menikmati pemandangan langit malam sambil menyesap rokok. Entah mengapa timbul rasa kasihan dalam diri Ariel.
"Sayang sekali, Om Bobby tampan namun impoten. Kalau saja tidak impoten mungkin kami sudah ...."
****
Beberapa jam sebelumnya.
"Ning, tolong bantu aku. Aku butuh uang. Anakku sakit, Ning." Ariel memohon dengan sangat pada Wening, teman sesama sugar baby yang kini sudah sukses.
Wening hidup dengan nyaman di sebuah apartemen. Sugar Daddy yang memberikan semua yang Wening mau.
"Kamu sudah meminjam padaku beberapa hari lalu, Riel. Yang kemarin saja belum kamu kembalikan eh sekarang kamu mau meminjam lagi," sindir Wening dengan pedas.
"Mau bagaimana lagi, Ning. Aku benar-benar butuh uang. Kemarin aku pinjam karena susu anakku dan beras di rumahku sudah habis. Sekarang aku pinjam karena aku sakit. Sudah dua hari dia demam, Ning. Aku mau bawa ke dokter yang lebih paten, kemarin hanya minum obat penurun panas yang beli di warung. Hanya turun sebentar eh naik lagi. Tolonglah, Ning. Hanya kamu yang bisa aku mintai tolong. Hidup kamu sudah enak sekarang. Mewah. Apa susahnya kamu membantuku, Ning?" pinta Ariel agak sedikit memaksa.
"Aku hidup begini juga karena aku kerja keras, Riel. Kamu tahu sendiri bagaimana capeknya melayani Sugar Daddy, apalagi kalau dia sudah pakai obat kuat. Sampai remuk tubuhku. Salah kamu sendiri sih pakai berhenti jadi sugar baby. Sok-sokan taubat eh sekarang kamu butuh duit juga!" cibir Wening.
Perkataan Wening yang pedas tak Ariel pedulikan. Ia hanya memikirkan anaknya yang butuh uang untuk berobat ke dokter. "Tolonglah aku, Ning. Sekali ini saja!" pinta Ariel dengan sangat.
"Tak mau aku. Orang kalau sekali dipinjami uang, akan minjam lagi dan lagi. Kamu pikir nyari uang itu gampang? Meras keringat aku untuk mendapatkannya."
Ariel menunduk sedih. Entah bagaimana lagi ia mendapatkan uang untuk berobat Galang, putranya yang berusia dua tahun.
Wening melirik Ariel yang terlihat sedih. Ada rasa tak tega dalam dirinya, namun memberi pinjaman terus pada Ariel pun dia tak mau.
"Begini saja, aku tak bisa bantu kamu kalau masalah uang, kalau masalah pekerjaan aku bisa bantu," kata Wening membuat Ariel terlihat sedikit tertarik.
"Pekerjaan apa? Aku bisa membersihkan apartemenmu dan juga mencuci serta setrika pakaianmu," jawab Ariel dengan semangat.
"Tak perlu. Apartemenku kecil dan pakaianku cukup di laundry saja. Pekerjaan lain maksudku, kamu mau?" tawar Wening.
Ariel mengerutkan keningnya. Perasaannya tak enak saat Wening mengatakan pekerjaan lain. "Pekerjaan apa?"
"Ya ... apalagi? Jadi sugar baby macam aku, atau bahasa kasarnya ... melonte? PSK? Pelacuur? Mau?" tawar Wening.
Susah payah Ariel menelan salivanya. Pekerjaan di masa lalunya yang kelam, yang dengan susah payah ia tinggalkan kini malah kembali ia ditawarkan. "Aku ... jadi PSK lagi? Aku sudah menikah, Ning!"
"Ya sudah, minta saja uang sama suamimu itu! Apa dia bisa memberikanmu uang?" tanya Wening dengan nada merendahkan.
Ariel terdiam, bayangan Galang yang tadi pagi lemas karena demam terus melintas di pikirannya. Keselamatan Galang yang utama. Jika tidak dengan usaha sendiri, darimana Ariel bisa mendapatkan uang untuk berobat Galang?
"Apa ... yang harus aku lakukan, Ning?" tanya Ariel setelah membuat keputusan.
Wening tersenyum. "Gampang. Sore ini, datanglah ke Hotel XX kamar 801. Ada Om Bobby yang akan menunggumu. Pakai saja bajuku, ingat, jangan lupa kembalikan. Kalau tak ingat kamu adalah temanku, sudah aku makan sendiri pekerjaan ini!"
"Makasih, Ning. Mana baju yang harus aku pakai?"
****
Hi Semua! Ketemu lagi dengan karya baruku. Yuk add favorit, like, komen dan vote tentunya 🥰🥰
Ariel pulang dengan wajah sumringah. Uang lima ratus ribu sudah di tangan. Rencananya ia akan mengajak Galang berobat ke dokter 24 jam terdekat. Sisa uangnya akan Ariel pakai membeli susu dan makanan yang sehat untuk Galang.
Tak lupa Ariel mengganti pakaiannya. Ariel menaruhnya di laundry dan memakai pakaian yang tadi pagi dikenakannya agar keluarganya tidak menaruh curiga.
Ariel pulang ke kontrakkannya yang tiga petak. Sebelum berangkat, Ariel menitipkan Galang pada mertuanya yang memiliki usaha warung kelontong. Bu Sari -mertua Ariel- ternyata membiarkan Galang pulang bersama Wawan, anaknya.
Suara tangis Galang terdengar begitu kencang. Ariel mempercepat langkahnya untuk mencari tahu kenapa Galang menangis kencang.
"Aduh! Berisik sekali kau! Bisa pengang telingaku mendengar suara tangismu! Diam atau kubanting kau!" ancam Wawan.
Cepat-cepat Ariel masuk dan menggendong Galang yang duduk di atas karpet lantai sambil menangis kencang. "Mas, kamu kenapa sih? Anak nangis bukannya didiamkan malah diomeli!" omel Ariel.
Ariel menggendong Galang yang menangis semakin kencang dan menenangkannya. "Sst! Tak apa, Nak. Ada Mama. Jangan nangis ya!" kata Ariel dengan suara lembut dan keibuan miliknya.
"Wah ... superhero datang! Mama kamu datang! Mama kamu yang dulunya pelacuur sudah pulang. Dari mana saja kamu? Menjual diri seperti dulu?" Bau alkohol menyeruak dari mulut Wawan.
Ariel menutup hidungnya, tak tahan dengan bau alkohol yang diciumnya. Pantas saja Wawan emosional, ia sedang dalam pengaruh alkohol rupanya.
"Mas, jaga ya mulut kamu! Meskipun anak kita baru 2 tahun tapi dia bisa mendengar dan akan merekam apa yang kamu katakan!" Ariel menunjuk wajah Wawan sambil menahan air mata yang hendak menetes dari mata indah miliknya.
"Loh? Apa yang salah? Memang benar kamu dulu curcur ... pelacuuur!" ejek Wawan sambil tertawa meledek.
Dada Ariel bergemuruh menahan amarah. Rasanya sakit hati sekali dihina Wawan seperti itu. Memang benar dulu Ariel berprofesi sebagai sugar baby, namun bukankah Wawan menerima masa lalunya dan bahkan mau menikahinya? Kenapa sekarang Wawan malah menghinanya habis-habisan.
"Jaga mulutmu, Mas!"
Seakan mengerti rasa sakit hati yang dirasakan Mamanya, Galang yang sudah tenang kembali menangis. Ikatan batin yang kuat antara Ariel dan Galang membuat Galang merasakan kesedihan yang Ariel rasakan.
"Heh, diam anak setan!" maki Wawan dengan kasarnya.
"Ya ampun, Mas. Jaga ucapanmu! Galang tuh anak kamu! Seenaknya saja kamu mengatainya anak setan!" Ariel tak terima anaknya dimaki oleh suaminya sendiri. Dirinya dihina masih bisa ia tahan, namun saat anaknya dihina, Ariel pasti akan melawan.
Tubuh Wawan tak bisa berdiri tegak akibat pengaruh alkohol, sambil menunjuk-nunjuk Galang ia kembali meracau. "Dia bukan anakku tapi anak setan, sekali anak setan tetap anak setan! Berisik! Diam atau kubanting kamu!"
Wawan hendak mengambil Galang dari gendongan Ariel, secepat mungkin Ariel melindungi Galang dari Wawan yang hilang akal karena pengaruh alkohol. "Minggir kamu! Anak setan ini harus dikasih pelajaran!"
"Jangan, Mas! Jangan!" Ariel terus memeluk Galang yang menangis ketakutan. Air mata tak kuasa Ariel bendung lagi. Rasa takut dan marah bercampur jadi satu. Ariel takut Galang jadi korban.
"Minggir!" bentak Wawan. Tangan Wawan terayun dan menggampar wajah Ariel.
Plak!
Tangis Ariel pun pecah. Wajahnya sakit terkena tamparan Wawan. Ujung bibirnya berdarah karena robek, darah segar pun keluar.
Wawan menatap telapak tangannya sendiri. Ia juga tak sadar apa yang sudah diperbuatnya. Wawan menggelengkan kepalanya lalu pergi meninggalkan rumah kontrakkan dengan langkah gontai. "Maaf deh, enggak sengaja."
Ariel memeluk Galang yang terus menangis. Keduanya menangis bersama. Ariel meratapi hidupnya yang kelam bersama kemiskinan dan sosok pemimpin keluarga yang kasar.
"Kenapa di saat aku bertaubat, aku malah diuji dengan memiliki suami seperti itu? Apa salahku?" ratap Ariel.
Galang terus menangis. Panas tubuhnya semakin tinggi. Tak mau meratapi nasibnya lebih lama, Ariel cepat-cepat membawa Galang ke dokter terdekat. Galang harus sembuh. Galang harus sehat. Hanya karena Galang ia rela bertahan di rumah tangga tak sehat ini.
****
Ariel mengompres wajahnya yang agak bengkak seraya memandang Galang yang tertidur pulas di bawah pengaruh obat. Panas tubuh Galang sudah mulai turun. Obat dokter memang lebih paten dari obat warung.
Ariel sudah memasak ikan dan sayur untuk Galang. Makanan bergizi yang jarang ia bisa berikan. Wawan jarang memberinya uang belanja. Uang gaji Wawan habis dipakai untuk membeli minuman dan judi online.
Dulu Wawan tak begitu. Wawan sangat mencintai Ariel. Masa lalu kelam Ariel bisa Wawan terima dengan baik. Mereka saling mencintai sampai hadirlah Galang di tengah mereka.
Wawan lalu dipindahkan ke bagian lapangan. Wawan mulai bertemu banyak orang. Wawan pun salah pergaulan. Ia mulai mengenal judi online dan ikut-ikutan temannya minum alkohol.
Perilaku Wawan yang lembut mulai berubah. Judi online membuatnya ketagihan. Uang gaji Wawan lebih banyak dihabiskan untuk modal berjudi yang tak pernah kembali. Saat kalah judi, Wawan akan mengubur kesedihannya dengan minum alkohol.
Lama kelamaan Wawan mulai berubah. Wawan lupa dengan keluarga. Wawan juga suka bersikap kasar dan jarang menafkahi Ariel lagi. Mau melamar pekerjaan pun Ariel sulit mendapatkan karena minimnya pengalaman kerja serta nilai-nilai kuliahnya yang pas-pasan. Ariel juga tak enak menitipkan Galang lama-lama pada mertuanya yang juga harus berjualan. Ariel pasrah saja menjalani hidupnya, semua demi Galang.
"Riel!" panggil Wawan.
Ariel mengacuhkan Wawan. Ia masih marah sehabis ditampar Wawan. Ariel juga emosi melihat Galang ingin disakiti. Bagi Ariel, dirinya disakiti masih bisa ia tahan namun jika Galang yang disakiti, Ariel tak rela lahir batin, dunia akhirat!
"Riel, kamu sedang apa?" tanya Wawan dengan lembut, beda sekali dengan saat dirinya mabuk.
"Kok diam saja sih? Aku nanya loh, Riel." Wawan mendekat dan duduk di samping Ariel. Diangkatnya wajah Ariel yang agak bengkak karena ulahnya. "Maaf ya, Riel. Aku benar-benar mabuk semalam. Aku janji, aku tak akan mabuk lagi!"
Ariel mengambil pakaian di jemuran. Ia acuh dan tetap melipat pakaian kering dengan diam. Matanya mulai memanas. Kesal karena Wawan menganggap apa yang dilakukannya adalah hal wajar. Wawan tak sadar kalau sudah menyakiti istri dan anaknya sendiri.
"Riel, Mas 'kan sudah minta maaf. Jangan marah terus dong!" bujuk Wawan.
Ariel mengusap air matanya yang berhasil lolos dengan kasar. "Maaf kata Mas? Setelah penghinaan dan tamparan di wajahku dengan mudahnya Mas bilang maaf? Enak sekali ya, Mas? Lupa kamu semalam menghinaku habis-habisan? Lupa kamu semalam hampir menyakiti anakmu sendiri? Sekarang kamu minta maaf? Enak saja! Tidak kulapor polisi saja sudah untung!"
"Riel, Mas menyesal. Maafkan, Mas ya? Mas janji tak akan begini lagi. Maafkan Mas ya, Riel, Mas mohon!" Wawan bahkan berlutut memohon ampunan Ariel.
"Aku maafkan kamu, Mas. Kalau kamu ulangi lagi aku tak akan maafkan!" ancam Ariel.
"Iya. Aku janji tak akan mengulanginya lagi!" janji Wawan.
Sayangnya, janji yang Wawan ucapkan hanya bertahan seminggu. Saat judi onlinenya kalah lagi, Wawan kembali menenggak alkohol dan menganiaya Ariel. Wajah lebam Ariel buktinya.
Ariel mengambil foto semua lebam di wajahnya. "Cukup, Mas. Cukup sudah aku memberimu kesempatan. Selamanya kamu tak akan berubah!"
****
Ariel menatap uang miliknya yang tersisa. Hanya tinggal lima puluh ribu dari upah lima ratus ribu yang ia terima. Seratus lima puluh dipakai untuk berobat Galang, seratus untuk membeli beras, seratus lima puluh untuk membayar kasbon di tukang sayur dan lima puluh untuk membeli bahan makanan. Wawan masih belum memberinya uang, alasannya belum gajian terpaksa Ariel memakai uang hasil menjual dirinya untuk kebutuhan sehari-hari.
"Mas, aku minta uang. Aku mau beli susu Galang," pinta Ariel pada Wawan saat suaminya baru pulang kerja.
"Kamu tak lihat aku baru pulang kerja? Uang, uang, uang ... saja yang ada di otak kamu! Sediakan aku minum dulu kek, siapkan aku makan kek, bukannya langsung merengek minta uang!" omel Wawan.
Ariel menarik nafas dalam untuk mengisi stok sabarnya. Ariel masuk ke dapur dan mengambilkan Wawan minum. "Hanya air putih? Tak ada teh manis?" protes Wawan.
"Tak ada gula. Habis. Hanya teh saja, mau?" jawab Ariel.
"Dasar istri boros! Bukannya berhemat. Kemana saja uang yang selama ini aku beri?" Wawan meminum air putih yang Ariel sediakan lalu mengeluarkan dompet miliknya. Diberikannya uang seratus ribuan pada Ariel. "Tuh, buat seminggu!"
"Hah? Seminggu? Mas, mana cukup uang segini untuk seminggu?" protes Ariel. "Susu Galang juga habis. Kurang jika dipakai untuk membeli susu."
"Alah, manja, kasih saja air tajin. Anak itu sudah besar, tak perlu diberi susu lagi. Aku saja biasa dikasih air tajin masih sehat sampai sekarang." Wawan meninggalkan Ariel yang menahan air matanya agar tidak menetes.
"Andai ada pekerjaan seperti melayani Om Bobby lagi, aku akan ambil. Aku butuh uang untuk bisa pergi dari tempat ini. Aku butuh uang untuk menggugat cerai Mas Wawan, bagaimana aku bisa mendapat banyak uang? Sementara aku butuh untuk membiayai Galang," batin Ariel.
****
Sementara itu Om Bobby yang sedang menandatangani beberapa dokumen tiba-tiba teringat dengan Ariel, PSK yang terlihat lugu. Wajah Ariel yang tersenyum dengan mata berbinar-binar saat menerima uang darinya membuat Om Bobby teringat dengan almarhum istrinya dahulu.
Lisa, istri Om Bobby yang amat ia cintai. Lisa menyempurnakan hidup Om Bobby. Mereka menikah sudah beberapa tahun namun tak kunjung dianugerahi momongan. Bagi Om Bobby tak masalah, selama mereka saling mencintai.
Lisa membuat Om Bobby tak bisa berpaling ke lain hati. Sifat Lisa yang baik hati, lembut dan penyayang membuat Om Bobby begitu bergantung padanya.
Malam itu, Lisa bersikeras untuk menemani Om Bobby pergi ke luar kota. Om Bobby sudah melarang karena jarak yang ditempuh lumayan jauh dan medannya agak sulit namun Lisa tetap memaksa untuk ikut.
"Kamu di rumah saja, Sayang. Nanti kamu capek," bujuk Om Bobby.
"Tak mau, Mas. Aku mau menemani Mas kemana pun Mas pergi," rengek Lisa.
"Huft ... kalau istriku sudah berkehendak, aku susah deh melarangnya. Yaudah, kalau kamu mau ikut, jangan minta jajan ya!" Om Bobby mencubit ujung hidung Lisa dengan gemas.
"Iya. Cuma minta cinta dari Mas saja," jawab Lisa sambil tersenyum malu.
Lisa pun mempersiapkan diri untuk pergi bersama suaminya. Malam itu entah kenapa cuaca yang semula cerah berubah menjadi mendung dan tak lama hujan pun mulai turun.
"Kamu masih bisa menyetir, Mas? Mau berhenti dulu?" tanya Lisa yang khawatir karena hujan semakin deras saja.
"Bisa kok, Sayang. Tenang saja. Masih kelihatan." Om Bobby tetap melajukan mobilnya menembus hujan lebat yang mengguyur sepanjang perjalanan mereka.
Udara dingin, pandangan yang tak jelas membuat Om Bobby mulai tidak konsentrasi. Saat Om Bobby melirik Lisa yang sedang tertidur di sampingnya, Om Bobby tak menyadari kalau mobil yang dikendarainya sudah keluar jalur.
Tiin! Tiin!
Suara klakson dari mobil truk yang berada di arah berlawanan membuat Om Bobby terkejut dan membanting stir. Mobil berdecit di jalan beraspal dan terguling. Lisa yang tidak mengenakan seat belt terpelanting sampai keluar mobil sementara Om Bobby terhimpit mobil.
"Lisa!" panggil Om Bobby dengan suara lemah. Sebelum kehilangan kesadarannya, Om Bobby masih melihat tubuh Lisa kejang-kejang dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Saat Om Bobby membuka matanya, semua telihat serba putih. Kepala Om Bobby terasa pusing dan tubuhnya tak bisa ia rasakan. Om Bobby kembali jatuh pingsan saat para dokter datang.
Beberapa jam kemudian, Om Bobby kembali tersadar. Kaki Om Bobby harus dipakai pen untuk sementara. Beruntung Om Bobby masih selamat, berbeda dengan Lisa yang meninggal di tempat.
Om Bobby berduka, cintanya sudah pergi, kakinya cedera dan hatinya hancur. Cukup lama Om Bobby larut dalam kesedihan sampai akhirnya ia siap untuk melanjutkan lagi hidupnya.
Untuk melupakan Lisa, Om Bobby mulai mencari wanita pengganti. Sayang, setiap kali hendak berhubungan, bagian inti Om Bobby tak pernah bisa berdiri lagi. Ya, Om Bobby mengalami impoten.
"Tak mungkin, aku masih muda dan sehat. Tak mungkin aku impoten!" Om Bobby terus berkelana dari satu tempat prostitusi ke tempat prostitusi lain namun tak satu pun wanita yang bisa membuat bagian inti Om Bobby kembali tegak.
"Ariel. Wanita itu mirip sekali dengan Lisa. Saat dia kemarin menari, kulihat milikku memberi respon sedikit. Aku yakin, Ariel bisa menyembuhkan penyakit impotenku ini!" gumam Om Bobby.
Om Bobby menggeser dokumen yang ia periksa lalu menghubungi Wening, wanita peliharaan salah satu rekannya yang kemarin mengenalkan Ariel padanya.
"Iya, Om Bobby. Ada yang bisa Wening bantu?" jawab Wening dengan nada manja seperti biasa.
"Ning, tolong suruh Ariel ke tempatku besok! Aku mau memberinya pekerjaan lagi! Alamatnya akan kukirimkan sama kamu," kata Om Bobby dengan tegas.
"Wah ... Om puas ya dengan service yang Ariel berikan? Aku coba hubungi Ariel dulu ya, Om."
****
"Apa? Om Bobby minta aku melayaninya lagi? Kamu serius, Ning?" tanya Ariel dengan wajah penuh harap.
"Serius. Kamu mau tidak ambil pekerjaan ini?"
"Mau, tentu saja aku akan ambil!" jawab Ariel tanpa pikir panjang. "Kapan aku bisa menemui Om Bobby?"
"Om Bobby minta sih secepatnya. Kamu bisa datang besok pagi. Akan aku beri kamu alamat rumahnya. Ingat, jangan lupa untuk berdandan yang cantik, oke?"
"Oke, Ning. Terima kasih banyak ya, Ning." Ariel tersenyum senang membayangkan pundi-pundi uang yang akan ia dapatkan nanti.
"Iya. Senang sekali sih kamu melayani om-om impoten macam itu? Enak juga tidak! Cuma capek doang. Aku sih ogah. Lebih baik melayani sugar daddy aku, dia puas aku pun puas."
Ariel tak mempedulikan perkataan Wening. Ariel malah memikirkan akan mengatakan apa pada mertuanya saat menitipkan Galang besok?
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!