Krietttt......
Pintu ruangan kelas yang berada di belakang terbuka pelan, Gelsey mengintip ke dalam kelas, memperhatikan di depan kelas sana pak Sapto sedang mengajar tentang kompilasi hukum adat, kebetulan beliau sedang menulis materi kuliah di whiteboard.
Marsha atau biasa dipanggil Caca dan Arumi, kedua sahabat Gelsey itu duduk di barisan belakang, menoleh ketika mendengar deritan pintu di belakangnya.
Dengan jalan berjingkat dan mengendap, Gelsey melangkah menuju bangku kosong di sebelah Arumi.
Caca dan Arumi tersenyum masam dan menggeleng pelan melihat kelakuan Gelsey itu.
Pak Sapto menghadap ke mahasiswanya kembali dan menjelaskan materi yang ditulisnya tadi.
Semua mahasiswa tampak tekun menyimak dan menulis pada buku mereka, karena dosen yang sedang berdiri di depan sana termasuk salah satu dosen killer di fakultas ini yang suka melontarkan pertanyaan acak kepada mahasiswanya, bahkan sering memberi materi tambahan untuk mahasiswa pemalas.
"Sampai disini penjelasan dari saya, untuk materi bab berikutnya akan saya jelaskan dipertemuan kita selanjutnya," kata pak Sapto dari balik mejanya.
"Tolong daftar absensinya!" Perintah pak Sapto tegas.
Pak Sapto tampak memeriksa kertas absensi di tangannya dengan teliti, dosen galak itu bahkan seperti mengeja satu persatu nama mahasiswanya.
"Gelsey Ayu Pramesta!" panggil pak Sapto dengan suara keras.
"Saya pak." Dengan pede Gelsey mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Absensi kamu saya coret!" ucap pak Sapto tegas tanpa belas kasihan.
"Aelah, kok dicoret sih pak? Masak saya udah dateng dan mengikuti kuliah tapi dianggap nggak masuk," ucap Gelsey memelas.
"Ikut kuliah cuman sepuluh menit aja bangga!" Ketus pak Sapto lalu membereskan mejanya dan berjalan keluar dari kelas.
"Pffftttt....." Caca dan Arumi menahan ketawanya mendengar perkataan pak Sapto tadi.
Bahkan hampir semua teman Gelsey melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Caca dan Arumi.
"Anj*r tuh bapak, belagu amat yak, mentang-mentang berkuasa jadi semena-mena sama mahasiswa," sungut Gelsey kesal.
"Lagian lo aneh Gel, udah tahu si bapak itu disiplin, masih juga coba-coba, kemana aja sih jam segini baru nyampai?" tanya Arumi sambil memasukan alat tulis ke dalam tasnya.
"Paling bangun kesiangan lagi," tebak Caca yang selalu tepat itu.
"Nah itu lo tahu," colek Gelsey ke dagu Caca sambil cengengesan.
Mereka nongkrong di tempat parkir sambil menunggu kelas selanjutnya yang masih beberapa jam lagi itu.
"Ntar malem clubbing yuk," ajak Gelsey.
"Sorry say gue absen dulu ya, kebetulan hari ini Steven Mamoto baru pulang dari Jepang," tolak Arumi.
"Bokap lo tuh!" ucap Caca sambil memukul lengan Arumi gemas.
"Hehehehehe," kekeh Arumi tanpa dosa.
"Yuk Ca temenin gue, udah dua minggu nih kita nggak absen ke Nirwana, nggak kangen lo," rayu Gelsey sambil mengedipkan mata untuk merayu Caca untuk menemaninya.
"Ini bukan malem minggu lho Nyet, ya kalik kita mau dugem sih," tolak Caca pelan.
"Tumbenan lo dugem terjadwal Ca, biasanya juga nggak liat hari," ucap Arumi sambil nyengir.
"Lho kagak tahu aja gimana sangarnya si Jack sekarang, bujut tuh mulut pedesnya ngelebihin sambel level geledek petir kilat." Caca meringis mengingat papanya yang semakin cerewet akhir-akhir ini.
"Anj*r ngatain gue, lo sendiri kurang ajar manggil bokap lo pakai nama doang." Cibir Arumi kesal, karena tadi sempet digeplak Caca yang panasnya masih terasa sampai sekarang di kulitnya.
"Iya bener, si Bramenda juga lama-lama nyinyir, segala macem dikomentarin, dikatain, bosen gue dengernya!" celetuk Gelsey kesal.
"Tahu diomelin kenapa masih nekat dugem mulu?" tanya Arumi sambil mengerutkan kening melihat tingkah Gelsey yang tak ada takutnya menghadapi papanya yang super duper galak itu.
"Gue kan butuh refresing Rum dari carut marutnya kehidupan yang bikin frustasi, lagian nih ya kasihan bokap gue, duit segitu banyaknya siapa yang mau ngabisin kalo bukan gue," sahut Gelsey sambil terkekeh.
"Be*o lho!" maki Caca sambil tertawa lepas.
Sementara tampak dikejauhan sana terlihat Rico sedang berjalan mendekat ke arah mereka.
Rico.... Casanova kampus yang juga pacar Gelsey dan musuh bebuyutannya Caca itu menyunggingkan senyum melihat Gelsey yang menatap memuja kepadanya.
Caca mendengus kasar, malas banget kalau cowok parasit banyak tingkah itu ikutan ngumpul bersama mereka.
Mukanya pasaran banyak tingkah yang membuat Gelsey bucin, kayak.... um... nggak ada cowok lain yang lebih menarik daripada dia.
"Parasit dateng!" ucap Caca lirih.
"Dih... lo gitu amat sih Ca ama cowok gue!" omel Gelsey tak terima.
"Emang parasit kan? Apalagi sebutan yang cocok untuk dia, ya nggak Rum?" tanya Caca menoleh ke arah Arumi yang hanya bisa mengangguk-anggukan kepala tanda setuju dengan ucapan Caca.
"Dia kan nggak pernah minta macem-macem ke gue Ca, gue sendiri yang suka ngasih-ngasih ke dia kok," bela Gelsey dengan nada tak terima jika kedua sahabatnya itu menjelekan Rico.
"Iya dia nggak pernah minta, cuman ngode lho doang biar lo beliin, jadi cewek jangan be*o kenapa sih Gel!" ketua Caca dengan suara datar.
"Biarin aja kali Ca, nanti kalo udah nyungsep karena sakit hati ma tuh cowok juga nyadar sendiri!" gumam Arumi pelan.
"Hai Yang," sapa Rico mesra setelah berada di depan Gelsey.
"Hai babe," balas Gelsey dengan wajah sumringah.
Caca memiringkan badannya melihat interaksi keduanya, menatap Arumi yang sedang asyik mengutak-atik ponselnya, men-scroll media sosialnya.
"Nanti ke club yuk babe," ajak Gelsey kepada Rico.
"Yuk," sahut Rico dengan semangat.
Caca memutar matanya malas, kalau Gelsey janjian sama Rico, sudah pasti Caca harus ikut, karena Caca tahu bagaimana Gelsey setiap berada di club dan mabuk, so untuk menghindari hal yang tak diinginkan maka Caca harus mendampingi Gelsey.
"Di club biasa kan?" tanya Rico.
"Iya." jawab Gelsey
"Lo ikutan kan Rum?"tanya Gelsey .
"Dibilangin bokap gue ada di rumah juga masih nanya ikutan atau nggak!" dengus Arumi kesal sambil merotasi kedua matanya.
Sebenarnya Arumi juga ingin pergi ke club buat refresing karena stress dengan keberadaan bokapnya yang sering standby di rumah belakangan hari ini.
Tapi meskipun Arumi butuh piknik tapi ia tak akan ambil resiko dengan kelayapan ke club kalau tak ingin di coret sebagai ahli waris harta ayahnya yang segunung itu.
"Cemen lo Rum!" ledek Gelsey.
"Ini bukan masalah cemen, ini masalah masa depan yang butuh pengorbanan," sahut Arumi asal.
"Kalo lo Ca, ikutan kan?" tanya Gelsey menoel pundak Caca pelan.
"Lihat ntar!" sahutnya judes.
Dan Gelsey pun bisa tersenyum lebar, tak sabar menunggu malam segera tiba.
Jam sembilan malam lebih beberapa menit, Gelsey mengendap keluar dari kamarnya, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan mencari keberadaan papa dan mamanya yang agaknya belum tiba di rumah.
Dengan wajah sumringah, Gelsey melangkahkan kaki menuju ke garasi mobil, kesenengan karena niatannya untuk ke club malam ini tak menemui rintangan.
Mengendarai mobil perlahan, sampai di depan gerbang rumahnya, Gelsey membunyikan klakson mobilnya meminta mang Udin satpam yang jaga di rumahnya untuk membukakan gerbang untuknya.
Gelsey kembali membunyikan klakson mobilnya, karena mang Udin tetap diam di dalam pos tak juga membukakan gerbang untuk Gelsey.
Dengan perasaan marah, Gelsey keluar dari dalam mobilnya dan menghampiri Udin di dalam pos jaga.
"Mang... bukain gerbangnya!" perintahnya galak.
"Maaf non, tapi kata bapak, enon nggak boleh pergi malam-malam," sahut Udin gemetaran.
"Gue bilang bukain ya bukain!" teriak Gelsey lagi.
"Maaf non tapi mamang nggak berani melanggar perintah bapak, kalo bapak marah terus mamang dipecat gimana atuh non," tolak Udin dengan gemetaran.
"Oke kalo mang Udin nggak mau bukain gerbangnya, jangan salahin aku kalo aku tabrak tuh gerbang!" Ancam Gelsey emosi lalu masuk ke dalam mobilnya.
Gelsey menginjak gasnya dalam-dalam, sengaja belum memasukkan perseneleng, sehingga hanya suara bising yang keluar dari knalpot mobil Gelsey.
Karena takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan dengan nona mudanya yang terkenal nekat itu, akhirnya dengan terpaksa Udin membukakan gerbang untuk Gelsey.
Mobil Gelsey melaju cepat meninggalkan rumah di belakangnya, menyisakan Udin yang hanya menatapnya nanar sambil mengelus dadanya pelan.
"Astaghfirullah.... non Gelsey sekarang begitu amat yak."
Gelsey terus memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju club langganannya yang berada di jantung kota ini.
Sesampainya disana Gelsey langsung memasuki club tersebut dan mengedarkan matanya mencari Rico atau Caca.
Hentakan music dan temaramnya lampu tak menghalangi pandangan matanya yang sedang menjelajah tersebut.
Tak melihat penampakan Rico ataupun Caca, akhirnya Gelsey melangkahkan kaki menuju sofa yang terletak di sudut ruangan.
Semua bartender dan pelayan disana menyapa Gelsey dengan ramah, siapa yang tak kenal dengan gadis itu bukan?
Anak seorang konglomerat yang bernama Bramenda Wicaksono dengan jajaran usaha yang menggurita dimana-mana.
Suara hentakan music mengalun dengan keras, mengiringi para pecinta dunia malam yang sedang berjoget menikmati kebebasannya.
"Rico dan Caca belum datang Tam?" tanya Gelsey kepada salah satu bartender yang ada di depannya menyuguhkan minuman kesukaan gadis itu.
"Belum sih Gel," jawab Tama dengan suara berteriak, agar suaranya tak tertelan kerasnya musik yang sedang dimainkan.
Tama sebenarnya tak ingin berbohong kepada Gelsey mengenai Rico, tapi kenyamanan tamu adalah prioritas setiap karyawan di club tersebut.
Dan Rico adalah salah satu tamu tetap disana, jadi sebisa mungkin Tama tak akan ikut campur urusan cowok itu.
Saat ini Rico sudah berada di tempat itu sejak tadi, dan sekarang cowok itu sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya di salah satu kamar yang ada di lantai tiga gedung ini.
Sebenarnya Tama tak tega melihat Gelsey yang baik begini dipecundangi oleh cowok brengsek seperti Rico ini.
Gelsey meneguk cairan pekat di depannya, rasa terbakar langsung menyeruak di tenggorokannya.
Bosan menunggu Caca dan Rico yang belum juga menampakkan batang hidungnya, akhirnya Gelsey memutuskan turun ke lantai dansa mengikuti alunan musik yang dimainkan DJ di depan sana.
Slep....
Seseorang memeluknya dari belakang, Gelsey tersentak dan reflek menoleh ke belakang, dan ketika mengetahui siapa yang sedang memeluknya kini, senyum cerah terbit dari bibir Gelsey.
Cup....
Rico mengecup pipi mulus Gelsey sambil terus memeluk tubuh sang kekasih dan bergoyang mengikuti irama musik yang mengalun.
Tak sedikit mata menatap iri kepada Rico, cowok beruntung yang berhasil menaklukkan hati Gelsey, si gadis cantik anak dari konglomerat bernama Bramenda Wicaksono itu.
Lelah karena sejak tadi terus berjoget, Gelsey menarik tangan Rico untuk kembali ke tempat duduk mereka.
Disana sudah duduk Caca dengan rokok yang terselip di jarinya, dengan cuek Gelsey melambaikan tangan ke arah Caca yang memandang cowok disebelahnya dengan tatapan tajam.
Mereka duduk melingkar di sana, dengan Gelsey yang terus melingkarkan lengannya memeluk Rico dengan posesif.
Tanpa pembicaraan yang terucap dari bibir ketiganya karena Caca memang tidak respect terhadap Rico, yang sayangnya tak dipedulikan oleh cowok itu.
Dengan rakus Rico melu*at bibir Gelsey, hingga gadis itu ngos-ngosan karena pasokan udara yang tak sampai ke paru-parunya.
"Heh disini ada manusia lain!" maki Caca kesal, pasalnya Rico sengaja ingin mengejeknya dengan bermesraan bersama Gelsey.
Jujur sebagai sahabat Caca sering merasa khawatir jika melepaskan Gelsey untuk berduaan dengan Rico apalagi ke tempat seperti ini, makanya walaupun dia berat hati untuk menginjakan kaki di tempat seperti ini, tapi mau tak mau Caca akhirnya ikut juga kemari.
Gelsey menenggak lagi minuman pekat di depannya.
"Jangan minum banyak-banyak Gel, lo nggak mau kena omel om Bram kan?" tegur Caca menarik gelas yang berisi minuman itu dari tangan Gelsey.
"Udah biasa kalik gue kena omel, bokap gue kan nggak idup kalo nggak ngomel," sahut Gelsey cuek membuat Caca kesal lalu menggeplak kepala Caca.
"Sakit tahu Ca!" maki Gelsey dengan suara kencang.
"Lo kenapa sih?! Emak bukan, saudara bukan, suka ngatur-ngatur Gelsey!" ucap Rico mulai jengah dengan tingkah posesif Caca.
"Kenapa emang?! Lo nggak suka?! Oh gue tahu maksud lo, biar lo bisa ngelecehin temen gue kan kalo dia mabuk, jangan lo kira gue nggak tahu kelakuan busuk lo itu!" ucap Caca dengan suara dingin.
"Heh dia cewek gue, suka-suka gue mau ngelakuin apa!" bentak Rico tak terima.
"Ba*ot digedein lo, nggak kemakan ama gue drama lo," balas Caca.
Sementara keduanya sedang berdebat kusir, tanpa mereka sadari Gelsey terus menenggak minuman yang ada di hadapannya.
Hingga tiba-tiba.... bruk.... kepala Gelsey terkulai di atas meja.
"Astaga nyusahin amat sih lo Gel!" maki Caca kesal dengan tingkah sahabatnya itu.
Mengacuhkan keberadaan Rico, Caca memanggil Tama.
"Tam.... Tama.... bantuin gue angkat Gelsey ke mobil."
Tanpa pikir dua kali Tama langsung mengangkat tubuh Gelsey ke dalam mobil tak mempedulikan Rico yang berdiri di sampingnya.
"Thanks Tam," kata Caca lalu menyerahkan beberapa lembar uang kemerahan ke tangan Tama.
Dengan gemas Caca yang berada di balik kemudi menyentil kening Gelsey yang tertidur lelap di sampingnya.
"Kalo om Bram tahu bisa berabe nih," Caca bergumam sendiri sambil melajukan mobil menuju rumah Gelsey.
Pagar hitam tinggi itu telah nampak di hadapan Caca, dengan dada berdebar Caca membuka kaca jendela mobil, mang Udin yang paham mobil itu langsung membuka gerbang tinggi tersebut.
Dan di sana di teras itu berdiri sosok Bramenda yang menatap nyalang ke arah mobil yang masuk perlahan ke garasi.
Bramenda berjalan hilir mudik di teras rumahnya dengan perasaan gusar, sudah hampir jam tiga subuh tapi putri kesayangannya itu belum juga menampakkan hidungnya.
Pria berumur lima puluh tahunan itu bangkit dari duduknya ketika mendengar suara mobil memasuki garasi.
Dia berdiri dengan berkacak pinggang melihat Gelsey berjalan sempoyongan dengan dipapah Caca.
"Kenapa dia Ca?" tanya Bram dengan suara datar.
"Um..... um.... dia.... anu om," jawab Caca kebingungan mencari kata yang tepat, agak kesal sama papanya Gelsey, udah tahu anaknya mabuk eh pakai nanya segala.
Tanpa basa-basi lagi, Bram mengambil alih tubuh Gelsey dari tangan Caca dan dengan cekatan menggendong Gelsey ala bridal style.
"Makasih ya Ca, kamu mau diantar supir atau bawa mobil Gelsey untuk pulang?" tanya Bram sebelum menghilang ke dalam rumah.
"Saya bawa mobil Gelsey aja deh om," jawab Caca cepat, berharap segera pergi dari hadapan Bram yang auranya selalu terlihat sangat mengintimidasi.
Bramenda mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam rumah membawa Gelsey dalam gendongannya.
Gelsey membuka matanya pelan." Eh.... pacar aku kok berubah tua sih," kicau Gelsey sambil mengelus rahang sang papa dengan gerakan sen*ual.
Caca yang mendengar samar-samar ucapan Gelsey hanya mampu menarik nafas dalam, rasanya ingin menjedotkan kepala gadis itu ke tembok biar bisa berfikir bener.
Bramenda mendengus kasar melihat anak gadisnya mengoceh dengan kata-kata aneh dan mencium aroma alkohol yang menyengat menguar dari bibir tipis sang anak.
"Dasar anak kurang ajar!" maki Bramenda kesal.
"Eh kok suaranya mirip Bramenda papa gue, padahal mukanya muka Rico," cerocos Gelsey dengan mata ketap-ketip.
"Gelsey kenapa pa?" Heidi mamanya Gelsey keluar dari kamar mendengar suaminya mengomel tak jelas tadi.
"Biasa mabok! Heran aku, sampai kapan sih dia bisa berubah, perasaan dulu kakak-kakaknya melewati masa remajanya nggak kayak dia gini!" omel Bram sambil memasuki kamar Gelsey.
"Jangan suka banding-bandingin anak pa, mereka kan kepribadiannya berbeda satu sama lain," tegur Heidi tak terima, anak kesayangannya dicap seperti ini.
"Ini nih yang bikin dia semakin bandel, kamu belain dia terus!" omel Bramenda kesal.
Heidi hanya mampu terdiam, tak mungkin melawan ucapan suami yang memang benar adanya, dia sebagai ibu sering kali tak bisa tegas khususnya kepada Gelsey.
"Hoek.... hoek..... " Belum juga tubuh Gelsey dibaringkan di atas tempat tidur, gadis itu tiba-tiba muntah di dada sang papa.
Heidi shock melihat kelakuan Gelsey, memijat pelipisnya dengan frustasi, lalu melirik sekilas ke suaminya yang wajahnya tampak kesal itu.
Dengan emosi yang ada di atas ubun-ubun, Bram melempar anak gadisnya itu di atas ranjang, sumpah serapah terdengar dari bibir Bram.
Dengan cemberut Heidi menegur suaminya." Papa ih, masak anak dilempar kayak karung beras?!"
"Anak kurang ajar!" Lalu dengan langkah lebar dia keluar dari kamar Gelsey.
Belum juga Bram menghilang di balik pintu, Gelsey berdiri di atas tempat tidurnya, dengan wajah garang dia menunjuk sang mama.
"Mama selingkuh sama pacar aku?" teriak Gelsey lantang.
Heidi terpaku sesaat, lalu menarik tangan Gelsey agar kembali berbaring di atas ranjang.
Dengan kasar Gelsey menepis tangan Heidi, lalu kembali berteriak," Mama nggak takut sama suami mama? Bramenda tuh galak ma!"
Dengan menghela nafas kasar, Heidi menarik tangan Gelsey yang langsung terjerembab ke atas tempat tidurnya, sambil gadis itu terus mengoceh dengan kata-kata tidak jelas.
Heidi menatap suami dengan rasa tak enak di hati, merutuki mulut Gelsey yang suka bicara sembarangan kalau sedang mabuk.
Tak lagi ingin berada disana, Bram melangkah meninggalkan kamar Gelsey, lalu memasuki kamar pribadinya.
Selepas kepergian Bram, Heidi melepas semua baju Gelsey dan menggantinya dengan baju bersih, mengelap wajah anaknya dengan air hangat, lalu menyelimuti tubuh Gelsey dengan selimut.
Heidi menyusul Bram yang telah terlebih dahulu masuk ke dalam kamar mereka, si suami tampak menatap kegelapan malam dari balkon.
Banyak hal yang ia pikirkan, jujur sebagai orang tua Bram merasa gagal mendidik Gelsey, sementara kedua anak lelakinya Gavin dan Georgino justru sudah bisa mandiri dan sukses di umur mereka yang masih muda itu.
"Pa.... " panggil Heidi lembut.
Lalu 'slep' perempuan setengah abad yang masih terlihat cantik itu memeluk suaminya dari belakang.
"Aku pusing ma, rasanya aku gagal jadi papa yang baik untuk Gelsey," ucap Bram lirih, sambil tangannya menggenggam tangan Heidi yang berada di perutnya.
"Sabar pa, namanya anak lagi cari jati diri," sahut Heidi sambil mencium punggung suami yang begitu ia cintai itu.
"Aku takut ia jatuh dalam pergaulan bebas ma, bagaimana kalo dia sampai.... " Bram tak melanjutkan ucapannya, rasanya ketakutannya saat ini benar-benar telah mencengkeram hatinya.
Ia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat.
***
Paginya..... sengaja Bram tak berangkat ke kantor untuk mengkonfrontasi kelakuan Gelsey semalem.
Sementara waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang, dan anak gadisnya itu belum juga keluar dari kamarnya.
Gelsey yang ditunggu sang papa di ruang keluarga sejak tadi sebetulnya sudah bangun, hanya saja kepalanya sangat pusing dan perutnya melilit sakit.
Dengan menyeret kakinya Gelsey berjalan menuju kamar mandi, membasuh muka lalu kembali keluar.
Tanpa ia sadari Bram sudah berdiri menjulang di depan pintu kamar, bersandar di kusen pintu dan bersedekap.
Gelsey menenggak air putih yang ada di nakas samping tempat tidurnya, suara deheman sang papa mengagetkannya.
"Eh papa," sapa Gelsey dengan wajah innocent.
"Papa siapa? Emang aku papamu? Bukannya kemarin kamu manggil aku Rico?!" dengus Bram datar, kesal jika mengingat polah Gelsey semalam.
"Papa ngomong apaan sih pa, aku nggak paham deh," elak Gelsey pura-pura lupa dengan kejadian tadi pagi, padahal sebenarnya sih ingat walau samar-samar.
"Duduk, papa mau bicara!" perintah Bram dengan wajah menegang.
Gelsey meneguk ludahnya kasar, tenggorokannya terasa semakin kering melihat aura papanya yang tegas dan kaku itu.
Gelsey duduk di pinggir tempat tidurnya sengaja mengambil jarak sejauh mungkin dari papanya yang duduk di single sofa di sudut ruangan.
"Sampai kapan kamu ngelakuin hal yang nggak berguna gini Gel? Mabok, clubbing, kamu mau cari apa?" tanya Bram dengan suara dingin dan mengintimidasi.
"Kamu nggak pengen jadi anak baik, kuliah, mikirin masa depanmu?" tanya Bram membuat Gelsey menundukkan kepala dan terlihat malas mendengar nasihat Bram yang itu lagi itu lagi.
"Gelsey kan masih muda pa, waktunya buat main dan seneng-seneng, kalo nanti udah gede kan pasti Gelsey mikir masa depan juga," sahut Gelsey melengos tak ingin menatap sang papa yang terlihat menatapnya dengan mata tajamnya.
"Kapan waktu itu Gel? Emang sekarang belum gede? Papa sama mama kan udah tua, tak selamanya papa mama ngedampingin kamu terus, kalo nggak dimulai sekarang kapan lagi?"
"Ah papa mikirnya kejauhan, lagian kalo papa mama nggak ada kan ada kak Gavin, kak Gino ya bakalan jagain aku, nggak usah khawatir pa," jawab Gelsey santai.
"Kakak-kakak kamu kan juga nggak akan bisa jaga kamu terus Gel!" bentak Bram lama-lama kesal juga karena Gelsey selalu membantah ucapannya.
"Tenang aja sih," sahut Gelsey masih terlihat santai.
Melihat Gelsey terus menjawab perkataannya, lambat laun Bram emosi juga dan berniat melaksanakan apa yang telah direncanakan sejak tadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!