"Kok pulangnya malam terus sich Mas?" protes Rayya karena sudah seminggu sang suami pulang larut malam. Selama seminggu itu juga hampir setiap malam selalu menunggu sampai tertidur di sofa karena tak kuat menahan kantuk.
"Aku sibuk!" jawabnya ketus.
"Tapi kata Papah sedang tidak ada proyek baru minggu-minggu ini Mas."
Reza dengan cepat menoleh ke arah Rayya, dia melangkah mendekati sang istri kemudian mengapit kedua pipi Rayya dengan kuat hingga wanita itu meringis kesakitan.
"Ma... As." Begitu kuat cengkeraman jemari Reza hingga membuat Rayya kesulitan untuk berbicara. Ekor matanya nampak basah, dia pun terkejut dengan perlakukan kasar sang suami yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.
"Untuk apa kamu bertanya pada Papah? Aku yang memimpin perusahaan itu sekarang, bukan Papah kamu lagi! Jadi aku yang tau ada atau tidak proyek di sana bukan Papah kamu yang hanya terima beres saja!"
"Aakkkhh..." Rayya hampir terjatuh setelah sang suami menyentakkan tangannya dengan mendorong wajah putih yang kini sudah memerah. Air mata Rayya tak dapat ia bendung lagi. Bahkan Rayya dengan mudah terisak karena hatinya begitu sakit mendapatkan perlakuan kasar untuk pertama kali dari sang suami.
"Sebaiknya kamu tidak perlu ikut campur masalah pekerjaanku! Tugas kamu sebagai istri itu memikirkan bagaimana caranya kamu bisa kasih aku keturunan, bukan malah merusuh urusan suami!"
"Tapi Dokter menyatakan aku baik-baik saja Mas. Kita bisa sama-sama program dan datang ke rumah sakit. Kamu pun belum melakukan cek kesehatan kan?"
PLAK
"Kamu anggap aku mandul? Ingat Rayya, aku tegaskan pada kamu. Keluargaku tidak ada yang mandul! Mungkin kamu yang tidak subur, dan bisa jadi pengecekan dari dokter kamu buat-buat, hanya karena kamu tidak ingin di anggap mandul. Padahal sebenarnya kamulah yang mandul. Dasar istri tidak berguna!" sentak Reza tepat di telinga Rayya.
Reza segera meraih jas dan tas kerjanya, tak lupa kunci mobil lalu meninggalkan kamar dengan membanting pintu kamar.
Rayya terjingkat mendengar suara pintu yang begitu memekakkan telinga. Isak tangisnya semakin kencang setelah sang suami pergi tanpa pamit.
Dua tahun menikah, baru kali ini Rayya merasakan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Bukan hanya batin tetapi raganya pun ikut sakit.
Reza pria yang menikahinya dengan restu tak seluas samudra dari sang Papah ternyata berperingai kasar setelah sang Ibu mertua ikut tinggal di rumah mereka. Pria yang tidak pernah bermain tangan, tetapi pagi ini telah membuat pipi Rayya memerah.
Sebelumnya Reza adalah suami yang lembut dan pengertian. bahkan bisa merebut hati sang Papah hingga Reza yang hanya karyawan biasa, kini bisa menjabat sebagai CEO di perusahaan menggantikan Papah Tio yang sudah ingin pensiun dan menimang cucu.
Rayya mengusap air matanya dengan lembut, dia menarik nafas dalam sebelum akhirnya keluar kamar dan turun menuju meja makan.
"Ngapain saja kamu? Sudah tau suami mau berangkat kerja, bukannya disiapkan sarapan malah berlama-lama di kamar," oceh Bu Hanum, ibu mertua Rayya yang keberadaannya membuat suasana rumah semakin memanas.
"Iya Bu, maaf! Rayya bersih-bersih dulu tadi." Rayya segera mengambilkan makan untuk Reza yang hanya diam tanpa membela. Pria itu sibuk dengan ponselnya dan segera makan setelah Rayya selesai mengambilkan makanan untuknya.
"Selalu saja minta maaf, tetapi usahanya nol. Jangan lupa kamu minum jamu yang sudah Ibu siapkan! Sepertinya bulan ini kamu belum datang bulan. Kita lihat nanti hasilnya ya, karena semua anak dari teman Ibu berhasil. Bahkan ada yang langsung memiliki anak kembar. Berarti kamu juga kemungkinan manjur minum obat itu," ucap Ibu Hanum yang tiba-tiba berubah sikap menjadi begitu bersemangat.
"Doakan saja Bu, semoga berhasil!" ucap Reza.
"Tentu saja, kalau sampai tidak berhasil berarti memang istrimu saja yang bermasalah," sahut Ibu Hanum dengan menatap sengit Rayya yang hanya diam menundukkan kepala.
Rayya tak sanggup lagi berkata-kata, hatinya begitu sesak bahkan ia serasa tidak sanggup setiap hari harus diperlakukan kurang menyenangkan seperti itu.
Terlebih sudah hampir satu tahun Rayya harus meminum berbagai macam jamu dengan rasa yang tidak mengenakkan di lidah. Jamu yang selalu disiapkan oleh sang Ibu mertua untuk kesuburan kandungannya.
"Kamu dengar tidak Rayya?" sentak Ibu Hanum.
"Rayya dengar kok Bu," lirih Rayya dengan air mata yang sudah hampir terjatuh. Perlakuan ini sangat menyakitkan bagi Rayya. Wanita yang begitu lembut dan diperlakukan baik dalam keluarganya, kini harus merasakan perlakuan semena-mena dari sang suami dan ibu mertua yang semakin hari semakin menjadi.
"Aku berangkat Bu, nantu aku transfer uangnya untuk Ibu arisan."
Ibu Hanum yang sejak tadi begitu emosi dan manatap sengit pada menantunya, tiba-tiba berubah sumringah setelah Reza mengatakan akan mentransfer uang.
"Oke, janji hati-hati ya Nak! Kerja yang giat agar bisa terus membahagiakan Ibu. Ingat! Surga di telapak kaki Ibu. Bukan istrimu yang kerjaannya hanya melamun di rumah tanpa memikirkan cara menghasilkan anak!" celetuk Ibu Hanum dengan melirik Rayya yang kini siap mengantarkan putranya sampai halaman, seperti kebiasaan yang selalu Rayya lakukan setiap hari.
"Sudah Bu! Kasihan istriku, banyak pikiran juga menganggu kehamilan bukan?"
"Ya, tapi khusus istrimu tidak. Hanya makan tidur saja kerjaannya kok banyak pikiran. Mikir apa dia? Hutang? keterlaluan jika sampai diam-diam punya hutang, padahal kamu mencukupi segala kebutuhannya tanpa kekurangan!" ucap ibu Hanum jilid.
Rayya menghela nafas berat, dia menyurut air mata dan melangkah lebih dulu keluar rumah. Hati wanita itu serasa tidak sanggup mendengar semua ucapan sang ibu mertua.
"Aku berangkat Bu, yang akur dengan Rayya! Walau bagaimana pun, aku bisa seperti sekarang karena dia." Reza segera mengecup tangan dan kening sang Ibu, lalu melangkah keluar rumah.
"Memang kamunya saja yang membawa rejeki," gumam Ibu Hanum, dan kembali meneruskan sarapan yang sempat tertunda
Sampai di teras Rayya menatap sang suami dan merapikan dasi Reza dengan senyum yang ia sematkan. Senyum kegetiran yang begitu menyakitkan tetapi tak membuat Reza mengerti jika pagi ini dirinya begitu sedih.
"Sudah! Aku harus buru-buru berangkat, ada meeting pagi ini." Reza menepis tangan Rayya lalu mengulurkan tangannya untuk dicium oleh Rayya dengan lembut.
"Mas, uang belanja habis. Bisa nanti sekalian transfer ke rekeningku juga?" tanya Rayya penuh harap karena memang dia harus belanja bulanan hari ini.
"Kamu memang bisanya minta saja. Baru dua Minggu aku transfer tetapi sekarang sudah minta lagi! Istri yang baik itu harus bisa mengatur keuangan dengan benar. Bukan terus menengadah tangan," sewot Reza.
Rayya menggelengkan kepala mendengar ucapan sang suami. Begitu terlihat perbedaan Reza dalam memberikan jatah padanya dan Ibu mertua. Padahal dulu tidak begini, tetapi sekarang Reza terlihat perhitungan sekali.
"Tapi Mas, semua bahan-bahan masakan di kulkas sudah habis. Aku tidak bisa masak jika tidak ada apa-apa. Uang belanja dua Minggu yang lalu sudah aku belanjakan untuk kebutuhan sehari-hari, dan..."
Reza tidak memperdulikan ucapan Rayya, dia segera melangkah menuju mobil dan pergi tanpa menyematkan kecupan di kening yang sudah hampir tiga bulan sudah terlupakan.
Rayya mengecek isi dompet dan m-bankingnya. Beberapa bulan belakangan ini Reza memberikan uang belanja selalu saja dipangkas. Menjadikan Rayya harus mengambil uang tabungannya demi bisa memenuhi kebutuhan keluarga.
Rayya menghela nafas berat setelah tau berapa nominal uang yang masih tersisa. Jika sudah begini rasanya ia ingin kembali kerja tetapi harus mengatakan apa pada kedua orang tuanya.
Rayya mengganti pakaian dan segera meraih tas untuk pergi ke supermarket. Mau tidak mau, dia memakai uangnya sendiri dari pada tidak bisa masak sama sekali.
"Mau kemana kamu? Suami pergi kok ikut keluyuran," sindir ibu Hanum.
"Aku mau belanja Bu, isi kulkas sudah hampir habis. Harus beli sabun juga, atau Ibu mau ikut aku ke supermarket?" tanya Rayya menawarkan sang Ibu mertua untuk ikut serta.
"Tidak, Ibu ada jadwal arisan hari ini. Kamu kalau belanja jangan gelap mata! Semua kamu beli kayak nyari duit sendiri saja. Ingat Reza capek bekerja untuk mencukupi kebutuhan kamu!" ucapnya dengan nada meninggi.
Rayya hanya diam menganggukkan kepala, andai Ibu mertuanya tau jika putranya begitu perhitungan. Apa masih terus dibela?
"Ya sudah Bu, Rayya berangkat dulu." Rayya meraih tangan Ibu mertuanya tetapi segera ditepis oleh beliau.
"Minum jamu itu dulu baru pergi! Lupa lagi aja nanti, kapan aku punya cucunya kalau seperti ini. Asal kamu tau ya, kaya dan memiliki suami tampan saja tidak cukup jika tidak memiliki anak. Suami pulang kerja capek, lihatnya wajah istri yang yang gitu-gitu saja, membosankan!"
Rayya tak menanggapi ucapan Ibu mertua yang semakin menjadi. Jika dia jawab akan semakin tak karuan. Seakan Rayya sudah kebal mendengar sindiran-sindiran dari beliau.
Mata Rayya dengan kuat terpejam, menahan rasa pahit di pangkal lidah. Peluh mulai muncul di keningnya dengan tangan terus memencet hidung.
Rayya bernafas lega setelah mampu meminum habis jamu yang diberikan oleh Ibu Hanum. Ada gelombang kekuatan dari dalam perut yang ingin meledak tetapi sebisa mungkin Rayya menahannya.
"Nah pintar di habiskan, nanti malam jangan lupa kamu dan Reza berusaha ya. Puaskan Reza agar benih yang tertanam bagus."
Rayya menganggukkan kepala dengan wajah merona. Selalu setiap habis minum jamu, ibu mertua berucap demikian. Padahal tanpa begitu pun, Reza hampir tiap malam meminta jatah.
Rayya segera pergi dengan mengendarai mobil kesayangannya. Dia memutuskan untuk berbelanja di supermarket terdekat. Membeli semua kebutuhan rumah dan segera pulang setelah troli hampir penuh.
Sampai di rumah, Rayya merapikan semua belanjaan dengan benar dan memisahkan barang pribadinya yang ia beli untuk di bawa masuk ke kamar.
"Kamu beli pembalut?" tanya Ibu Hanum yang sudah rapi ingin berangkat Arisan.
Rayya tersentak dengan pertanyaan itu, dia segera meraih barang seperti bantal itu yang memang sudah habis di kamar.
"Oh... I...Ini Bu, hanya untuk berjaga-jaga saja Bu tetapi Rayya harap tidak ke_"
"Alah alasan! Berarti memang kamunya saja yang tidak niat! Bulan ini kamu belum datang bulan tetapi sudah berjaga-jaga membeli begituan. Dasar menantu tidak berguna!" sewot Ibu Hanum kemudian segera pergi dari sana dengan wajah muak.
Rayya menatap pembalut yang ia pegang, bingung rasanya dengan sikap sang mertua yang terkadang memiliki jalan pikiran berbeda.
"Apa ada kaitannya membeli pembalut dengan kehamilan. Ya Tuhan... Sampai kapan ujian ini harus aku hadapi? Hati ini seakan tidak ada arti di depan mertua dan suamiku yang semakin lama semakin menjauh." Rayya memejamkan mata dengan bulir air yang jatuh membasahi pipi. Pedih, hancur, sakit, saat diri selalu dihina dan dicaci.
Sore harinya, setelah memasak untuk makan malam dan berbenah rumah. Rayya tak lagi keluar kamar hingga menjelang malam dan Reza pulang. Wanita itu bergelung di atas ranjang dengan menahan nyeri di perutnya dengan wajah pucat.
"Kamu kenapa?" tanya Reza dengan mengerutkan dahi setelah masuk ke dalam kamar. Tak ada sambutan tetapi justru rintihan yang ia dapatkan.
"Duh Mas, sakit sekali perutku," keluh Rayya dengan tubuh meringkuk.
Seakan mengerti, Reza membuang nafas kasar dan mengacak rambutnya dengan wajah frustasi. Dia mengendurkan dasi dengan tatapan penuh kekecewaan.
"Percuma setiap hari kamu aku pakai kalau ujung-ujungnya datang bulan. Aku seperti tidak ada harapan sama kamu! Mungkin memang seharusnya aku menikah lagi agar memiliki anak, karena bersama kamu itu hanya angan-angan!"
Kedua mata Rayya membola mendengar ucapan dari suaminya. Perlahan dia mencoba untuk bangkit dan turun dari ranjang. Tatapan mata Rayya pun tak kalah kecewa. Ucapan sang suami seperti menghancurkan hati yang sudah hancur dan kini menjadi serpihan debu.
"Menikah lagi? Apa jaminan dengan menikah lagi kamu akan memiliki anak dari rahim wanita lain, Mas? Kamu pikir aku mau seperti ini sedangkan semua yang dianjurkan dokter dan Ibu kamu sudah aku jalankan dengan baik. Sekarang aku tanya, di mana usaha kamu Mas? Usahamu hanya di ranjang tetapi diri kamu sendiri tidak tau apakah kamu selama ini sehat atau justru kamu yang..."
PLAK
Tamparan keras kambali Rayya rasakan hingga tubuhnya jatuh ke lantai. Tidak hanya itu, sekaan Reza begitu kecewa dan tidak terima hingga ia menarik rambut Rayya sampai kepala wanita itu terdongak ke atas.
"Berani kamu mengataiku mandul? Sudah aku katakan aku sehat dan yang bermasalah itu kamu! Jangan lempar batu sembunyi tangan Rayya. Kamu pikir aku tidak tau jika ayahmu meninggal karena terjangkit virus HIV. Aku tau scandal keluargamu! Dan mungkin ini karma dari kejahatan Ayah kandungmu pada Mamah Ceri yang kala itu sedang mengandungmu!"
"Jangan bawa-bawa orang tuaku masalah ini, Mas! Mereka tidak ada hubungannya karena murni aku yang salah. Aku yang salah memilih suami seperti kamu!" sentak Rayya yang sudah kehilangan kesabaran.
"Apa kamu bilang? Salah memilih suami? Justru aku yang harusnya mengatakan itu, aku yang salah memilih istri. Kamu hanya cantik di luar tetapi tak pandai membahagiakan suami. Dasar wanita tidak berguna!" sentak Reza dengan melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar hingga beberapa helai rambut Rayya berjatuhan di lantai.
"Kamu jahat, Mas! kamu sekarang berubah! Hiks... Hiks..."
"Aku tidak akan seperti ini, jika bukan kamu yang berulah. Jangan salahkan aku jika setelah ini aku mencari istri baru!" ancam Reza.
"Kalau begitu ceraikan aku, Mas! Aku tidak sudi di madu!" Rayya jelas tidak terima. Dia lebih memilih menjanda dari pada terus disakiti dan diduakan.
"Apa? Cerai?" Reza tersenyum miring. Dia tidak bodoh, Rayya kaya dan dirinya kini bisa hidup mewah. Maka tidak mungkin melepaskan emas berlian begitu saja. "Aku tidak akan menceraikan kamu, meski kamu menangis darah sekalipun. Sudahlah Sayang, terima saja kenyataan jika kamu itu mandul."
...****************...
Hay jangan lupa tinggalkan jejak-jejak kalian ya, agar aku semakin bersemangat. Yang mau tau kisah orang tua Rayya, bisa di baca "Jangan Salahkan Suamimu Mencintaiku" dan "Menikahi Janda."
Jangan lupa follow Ig aku weni0192
"Mana Rayya, Za? Kok nggak turun? Kebiasaan dech istri kamu itu, mengabaikan kewajibannya." Bu Hanum yang sudah menempati meja makan kembali berkomentar pedas melihat tidak adanya Rayya menyiapkan makanan. Padahal semua sudah tersedia di meja makan dan bisa segera dinikmati tetapi Bu Hanum tetap saja mencari kesalahan menantunya.
"Rayya sedang sakit perut Bu, biasa datang bulan."
"Apa?" Antara terkejut dan kecewa. Bu Hanum yang begitu berharap akan kehadiran cucu dibuat murka dan segera meninggalkan meja makan untuk menghampiri Rayya di kamar.
Reza menghela nafas berat kemudian berlari menyusul sang Ibu yang pasti akan mencaci maki Rayya. Meskipun akhir-akhir ini sikapnya tak semanis dulu pada sang istri, tetapi tetap saja jika Ibunya memaki Rayya, ada bagian kecil di hatinya yang tidak terima.
"Dasar menantu mandul! Tidak berguna kamu ya! Sudah banyak jamu kamu minum, sampai yang mujarab sekalipun tak kunjung membuatmu hamil! Bagaimana mau disayang mertua dan suami kalau kamu sendiri saja tidak bisa memberi keturunan!" sentak Bu Hanum yang tiba-tiba datang mengejutkan Rayya yang tengah meringkuk di atas kasur dengan menahan sakit dan meratapi nasib, setelah tadi berdebat dengan sang suami.
Kini dia harus kembali mendengar kata kasar dari Ibu mertua yang benar-benar murka setelah usaha beliau kembali gagal.
"Maaf Bu," sahut Rayya dengan mengusap kasar air matanya. Kali ini Rayya seakan muak dengan perlakuan ibu mertua dan suaminya. Dia sudah enggan banyak bicara, hanya kata maaf yang terlontar mengemas rasa sakit yang ia derita.
"Maafmu tidak ada gunanya Rayya! Mulai hari ini biarkan Reza mencari wanita lain, karena aku tidak mau anakku menjadi pria sial karena memiliki istri mandul sepertimu."
Lagi-lagi hati Rayya tersayat mendengar ada kata wanita lain. Dia tidak pernah terbayangkan akan dimadu atau menyaksikan sang suami berselingkuh, tetapi kini justru Ibu mertuanya mendukung akan itu.
"Sudah Bu, biar ini menjadi urusanku dan Rayya! Lebih baik Ibu makan dan jangan terus memarahi Rayya! Nanti malah Ibu sendiri yang sakit."
"Dengar kamu! Kurang baik apa anakku hah? Dia begitu mencintai kamu tapi kamu tidak bisa membalasnya dengan benar." Ibu Hanum menoleh ke arah putranya dengan tatapan kecewa. "Kenapa Ibu punya menantu mandul seperti dia, Reza?"
"Sudah! Ayo kita keluar Bu, aku pun sama kecewanya tetapi tidak perlu seperti itu. Kesehatan ibu nomor satu, jangan karena masalah ini, Ibu tidak lagi bisa menikmati hasil jerih payahku!" Reza merangkul sang Ibu dan membawanya keluar dari kamar meninggalkan Rayya yang kini terduduk lemas di atas ranjang.
Rayya tersenyum getir merasakan takdir hidupnya yang begitu berat. Ingin rasanya pulang dan mengadu tetapi malu dengan mamah dan papah, mengingat dulu dirinya pernah dilarang tetapi terus menerjang hingga restu diberikan.
...****************...
Pagi ini Rayya sudah rapi dan bersiap untuk pergi. Niatnya ia akan berkunjung ke rumah sang Mamah karena begitu merindukan beliau tetapi kepergian dia ternyata membuat Reza berfikiran lain.
"Mau kemana kamu sudah rapi begini?" tanya Reza dengan melirik penampilan Rayya.
"Mau ke rumah Mamah, aku rindu dengan beliau." Rayya kembali memoleskan lipstiknya setelah menjawab.
"Mau ngadu kamu? Berani menjelekkanku di depan Mamah dan Papah, kamu akan tau akibatnya Rayya!" ucap Reza memperingatkan. Rasanya begitu menyesakkan untuk Rayya, tetapi wanita itu seakan tak menghiraukan.
Setelah sarapan Reza lebih dulu berangkat diikuti dengan Rayya yang juga segera pergi setelah sempat membereskan dapur terlebih dahulu. Memang semua pekerjaan rumah Rayya kerjakan sendiri karena semenjak ada Ibu mertua tinggal bersama, beliau menganjurkan agar lebih berhemat.
"Assalamualaikum Mah, Pah... Aku rindu kalian." Rayya berlari masuk dan segera memeluk kedua orang tuanya yang sedang bersantai di sofa ruang keluarga. Dia duduk diantara kedua orang tuanya dengan begitu manja.
Kedatangan Rayya membuat kejutan untuk Mamah yang entah mengapa sejak semalam memikirkannya. Mungkin batin yang cukup kuat membuat sang Mamah dapat merasakan sakit hati putrinya.
"Wa'allaikumsalam..." Mamah dan Papah saling menatap dengan mengerutkan keningnya.
"Tumben datang nggak kabar-kabar?" tanya sang Mamah dengan tatapan menyelidik.
"Apakah pulang ke rumah orang tua harus laporan terlebih dahulu?" tanya Rayya dengan bibir mengerucut menoleh ke arah Mamah dan Papahnya bergantian.
"Ya, nggak juga sich," lirih Mamah yang kemudian mendapatkan pelukan hangat kembali dari Rayya sedangkan sang Papah hany menggelengkan kepala.
Sebenarnya Rayya ingin sekali menangis menumpahkan semua kesedihan, kehancuran, dan kerapuhan hatinya. Bahkan Rayya menahan sesak di dada saat pelukan sang Mamah dan Papah lebih nyaman dari pada suaminya, yang harusnya menjadi rumah untuknya berkeluh kesah.
Setelah makan siang, Rayya diminta sang Papah untuk membawakan berkas penting yang harus ditandatangani oleh Reza. Sebelumnya Tio yang akan ke sana tetapi berhubung Rayya datang, beliau meminta putrinya saja sekalian membawakan makan siang untuk Reza.
"Kenapa aku sich Pah? Malas sekali aku tuh!" keluh Rayya.
" Sekalian mengantar makan siang untuk suami kamu kok malas, atau jangan-jangan kalian sedang bertengkar makanya kamu pulang?" tanya Papah Tio dengan tatapan penuh selidik.
Rayya terkesiap mendapatkan pertanyaan demikian dari sang Papah. Dia segera beranjak dari duduknya dan meraih berkas yang telah disiapkan.
"Apa sih Papah ini, nggak boleh berperasangka buruk Pah!"
"Haiyah... Kamunya yang mencurigakan!" sahut sang Papah gemas.
Rayya segera pamit dan pergi menuju kantor sang Papah. Dia tak lupa membawakan makan siang untuk suaminya.Senyum Rayya mengembang saat semua karyawan Papah menyambutnya dengan hangat.
Namun, tidak dengan Pak Hamzah, kebetulan keduanya bertemu di lift. Beliau menyambut dengan sopan tetapi raut wajahnya begitu gugup, membuat Rayya curiga.
"Pak Hamzah kenapa?" tanya Rayya dengan terus menatap pria paruh baya tersebut.
Pak Hamzah adalah asisten sang Papah yang kini menjadi asisten suaminya. Beliau terlihat sekali menyembunyikan sesuatu yang membuat Rayya yakin jika ada yang tidak beres saat ini.
"Saya tidak apa-apa Bu Rayya, hanya sedikit terkejut dengan kedatangan Bu Rayya yang tiba-tiba. Apa ada sesuatu atau titipan dari Pak Tio yang harus disampaikan pada Pak Reza Bu?" tanya beliau karena sangat jarang Rayya datang ke kantor jika tidak ada sesuatu penting yang mengharuskannya pergi.
"Iya Pak, tadi Papah meminta aku membawa berkas ini." Rayya menunjukkan berkas tersebut pada Pak Hamzah.
"Biar saya saja Bu yang memberikannya pada Pak Reza, beliau sedang meeting saat ini."
Rayya mengerutkan dahi, dia cukup paham dengan pekerjaan Reza karena sebelumya Rayya pun berkerja sebagai CEO di perusahaan Mamahnya. Meeting itu selalu ada asisten di samping Bosnya tetapi mengapa Pak Hamzah justru tidak ikut serta.
"Oh biar saya tunggu di ruangan beliau dan berkasnya saya saja yang berikan sendiri karena saya juga membawa makan siang untuk Mas Reza." Rayya segera keluar dari lift dengan menyunggingkan senyum pada Pak Hamzah. Dia melangkah lebih dulu menuju ruangan suaminya dengan hati penasaran.
PRAK
Tempat makan dan berkas jatuh berhamburan di lantai seiring tubuh Rayya yang melemas melihat sesuatu yang membuat wanita itu terpaku di ambang pintu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!