Hidup di kota sebesar New York tidaklah mudah bagi Dyana Alexa.
Sejak kecil Dyana sudah terbiasa hidup susah. Lahir di keluarga yang serba pas-pasan menuntutnya menjadi mandiri.
Ibunya sudah meninggal saat ia berusia enam tahun.
Selama ini dia tinggal bersama ayahnya. Ayahnya sangat menyayanginya. Begitu sebaliknya, bagi Dyana ayahnya adalah orang yang paling berarti dalam hidupnya.
Sejauh ini Dyana sudah merasa bahagia dengan kehidupannya. Walau di siang hari dia harus berperan sebagai mahasiswi semester lima dan di malam hari masih harus berperan sebagai seorang pelayan di salah satu cafe berkelas.
Namun, tidak sampai di situ. Akhir-akhir ini Ayahnya sering sakit-sakitan yang menuntut Dyana untuk bekerja lebih keras lagi.
Seakan masalah tak pernah berhenti menimpanya sebuah tragedi kecil mempertemukannya dengan Andreas Alfaro seorang CEO muda tampan yang sangat kaya raya.
Entah kesalahan apa yang telah Dyana lakukan, dia berakhir di atas ranjang pria arogan tersebut dan berkata tak akan melepaskannya.
*****
PART 1
Sinar mentari menembus gorden tipis di kamar Dyana, membuat gadis itu mengerjap dan perlahan membuka mata saat merasakan hangat di pipinya.
Dyana terduduk malas dan menatap jam weker yang berada di atas nakas di dekat tempat tidur.
Shit! Jam setengah delapan. Aku terlambat bangun.
Dyana mengumpat dalam hati, dia merasa heran mengapa dia tidak mendengar alarm berbunyi padahal dia ingat sudah menyetelnya pada pukul enam. Tapi mengapa dia tidak mendengarnya sama sekali?
Dyana bergerak turun dari tempat tidur, menggerakkan pinggangnya ke kanan dan ke kiri dan segera masuk ke dalam kamar mandi untuk melaksanakan ritual mandi kilatnya.
Tak sampai sepuluh menit Dyana sudah selesai mandi dan segera bersiap-siap dengan cepat karena banyak pekerjaan yang harus ia lakukan hari ini.
Dyana mengenakan baju lengan pendek berwarna biru laut dan memakai celana jeans panjang berwarna hitam. Sederhana memang, tapi sangat bagus dipakai oleh seorang Dyana Alexa. Dyana memang sangat sederhana dan tidak terlalu memperhatikan penampilan. Dia juga bisa dikatakan gadis yang jauh dari kata feminim dan agak sedikit tomboy.
Dyana melirik kembali jam weker di atas nakas.
Shit! Jam delapan kurang lima menit. Dia harus cepat-cepat kalau tidak mau kena komplain pelanggan karena dia terlambat mengantarkan pesanan brownis cake buatannya.
Dyana menyisir rambut cepat dan mengikatnya seperti ekor kuda yang membuat wajahnya terlihat semakin manis.
Dyana berjalan ke arah pintu kamarnya dan menekan kenop pintu. Baru saja pintu terbuka bau harum makanan sudah tercium di hidungnya. Dia melangkah perlahan kearah dapur dan seperti dugaannya ayahnya— Harry Suganda, pria asal Indonesia itu tengah menyiapkan sarapan.
"Hmmm... nasi goreng!?" ucap Dyana sembari melangkah mendekati ayahnya yang tengah menyiapkan piring dan meletaknya di atas meja makan mini, beserta nasi goreng yang baru saja diangkat dari wajan.
Harry menyunggingkan senyum melihat Dyana yang sudah duduk di meja makan dan disusul olehnya.
"Kenapa ayah repot-repot masak? Kan ayah bisa membangunkan, Dy? Ayahkan masih kurang sehat." ujar Dyana sembari menyendokkan nasi goreng tersebut ke piring sang ayah kemudian ke piringnya sendiri.
"Tidak apa-apa. Ini hanya nasi goreng, uhuk-uhuk -- ayah baik-baik saja. Uhuk-uhuk." Harry berkata lembut.
"Lihat Ayah selalu berkata baik-baik saja, batuk ayah saja belum sembuh. Harusnya tadi aku tidak terlambat bangun dan menyiapkan sarapan untuk kita."
"Tidak apa-apa. Ayah tau kamu pasti lelah seharian bekerja apalagi kamu masih harus kuliah dan malamnya kamu masih harus bekerja di cafe. Belum lagi jika ada pesanan brownis cake dan begadang membuatnya kamu juga masih harus mengantarnya. Ayah menjadi merasa bersalah padamu seharusnya ayah yang bekerja mencukupi kebutuhanmu bukan malah sebaliknya. Aku memang ayah yang payah." ucap pria paruh baya itu dengan suara lirih merasa bersalah pada putrinya yang harus bekerja keras mencukupi kebutuhan mereka.
"Tidak ayah, ayah tidak boleh berkata begitu. Ayah adalah ayah terbaik yang ada di dunia ini. Lagi pula ayahkan sedang kurang sehat jadi wajar kalau ayah belum bisa bekerja lagi." Dyana menyunggingkan senyum manisnya.
"Ayah ayo makan! Kenapa Ayah diam? Ayah tau nasi goreng buatan ayah ini sangat lezat." ujar Dyana yang melihat ayahnya belum juga menyentuh makanannya sembari kembali menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.
"Kau memang selalu perhatian pada ayahmu ini, Nak." ucap Harry kemudian menyunggingkan senyum tipis di wajah tuanya, menatap sayang ke arah putri kesayangannya sebelum mulai memakan makanannya.
"Selesai."
Dyana kemudian berdiri setelah meminum sisa air putih yang berada di gelasnya. Dia pun menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
Pukul delapan lewat dua puluh lima.
"Ayah. Sepertinya putrimu ini harus berangkat sekarang!"
Dyana pun melangkah ke arah lemari kayu yang tidak terlalu besar yang berada di dapurnya. Dyana kemudian mengeluarkan dua plastik besar yang berisi lima belas dus brownis cake berukuran sedang rasa coklat caramel, strawberry chees dan vanilla tea pesanan salah seorang pelanggan yang hendak merayakan ulang tahun putranya di salah satu taman kanak-kanak yang lumayan terkenal di kota ini.
Melihat itu Harry berdiri dan membantu Dyana membawa kedua palstik itu menuju luar rumah mereka dan mengikatnya di kursi penumpang sepeda Dyana.
Dyana menaruh tas selempangnya yang tidak terlalu besar ke dalam keranjang yang berada di bagian depan sepedanya tak lupa dia juga memakai topi berwarna biru tua kesayangannya yang memang selalu ia pakai jika ke kampus maupun mengantar pesanan.
"Dah.. Ayah!" ucap Dyana sebelum mencium pipi kanan ayahnya dan mulai mengayuh sepedanya.
"Hati-hati, little star! Jangan terlalu mengebut membawa sepedanya!" ucap Harry menatap Dyana yang semakin menjauh yang dibalas lambaian tangan Dyana.
Pria lima puluh tujuh tahun itu terus menatap putrinya hingga menghilang di persimpangan jalan rumahnya.
*****
"Terima kasih, nyonya." ucap Dyana sopan setelah mengantar pesanan brownis cake nya.
"Sama-sama. Hati-hati Dyana." ucap wanita yang kira-kira berusia tiga puluh tahunan kepada Dyana sebelum dia kembali mengayuh sepedanya.
Dia adalah ms.Rose salah satu langganan Dyana yang memang terkenal baik dan ramah kepada siapa saja.
Dyana hanya tersenyum mengangguk kemudian kembali melaju menyusuri jalanan kota New York yang memang tidak pernah sepi di hari kerja seperti ini.
Dyana melirik jam tangannya sambil masih mengayuh sepedanya.
Pukul sembilan lewat lima belas menit. Dyana tersenyum tipis. Masih ada waktu kira-kira satu jam empat puluh lima menit lagi sebelum masuk kampus.
Dyana membelokkan sepedanya ke arah lain. Menuju suatu tempat.
*****
Flash back
"Ayah, Ibu. Aku ingin beli ice cream itu."
Gadis kecil berumur sekitar enam tahun itu merengek kepada Ayah dan Ibunya.
"Tidak, sayang! nanti kamu bisa sakit." ucap seorang wanita mengelus pipi putrinya lembut. Namun, gadis kecil yang berada di gendongan ayahnya itu malah menangis.
"Sudahlah, sayang. Turuti saja permintaan putri kita. Kau tidak kasihan melihatnya?" Sang Ayah mencoba membela putrinya.
"Kau memang selalu memanjakannya." ujar sang ibu kesal pada suaminya.
"Tentu saja. Diakan putri kesayangan ayah. Bukan begitu, Dy?" Tanya sang Ayah mengelus lembut rambut putrinya.
"Terserah kau saja. Tapi jika dia sakit kau harus bertanggungjawab!"
"Tentu saja. Diakan putriku."
"Paman? Bibi? Aku juga ingin ice cream!" Gadis kecil berusia sembilan tahun itu akhirnya ikut bersuara.
Sang ibu menatap gadis yang sedari tadi berjalan di sisinya sambil menggandeng tangannya.
"Tentu saja, Keyna." ucap sang bibi padanya sambil tersenyum.
"Ayo! Tunggu apalagi!" Sang Paman menggandeng tangan bibinya kemudian melangkah menuju penjual ice cream yang berada di dekat taman itu sambil sesekali bercanda bersama.
Flash back off
Dyana masih duduk di atas ayunan tua di salah satu taman bermain yang tidak jauh dari kampusnya.
Dyana mengayun-ayunkan kakinya sambil menatap sekeliling taman.
Taman little star. Biasa Dyana menyebutnya. Sebenarnya nama itu diciptakan oleh Ibunya. Di dukung oleh Ayahnya. Di setujui olehnya. Dan di sepakati bersama.
Bukan tanpa alasan taman ini dinamai little star. Dulu saat ibunya-- Clara Alexa wanita kelahiran Amerika itu masih ada, mereka sering datang ke taman ini baik itu siang hari maupun malam hari. Di suatu malam saat mereka berada di taman ini Dyana melihat bintang jatuh. Kemudian, dia berteriak sambil menunjuk bintang jatuh itu "AYAH!? IBU!? LIHAT BINTANG KECIL ITU MENDEKAT!" Ayah dan Ibunya menatap ke arah langit yang ditunjuk Dyana. "AYAH!? IBU!? KEMANA BINTANG KECIL ITU PERGI?" tanyanya polos kepada kedua orang tuanya.
"Mungkin dia jatuh ketengah laut, sayang." ucap ibunya.
"Ayah. Apa ayah bisa mengambilnya untukku? Itu sangat indah. Aku harus memiliki bintang kecil itu."
Kedua orang tuanya saling menatap, merasa lucu dengan perminaan putri satu-satunya itu.
"Tentu saja, tidak!"
"Kenapa? Ayah!" tanya Dyana kecewa.
"Karena tempat itu sangat jauh".
Sang ayah mengangguk, membenarkan ucapan istrinya. "Tapi kita bisa menamai taman ini little star. Bagaimana?" Lanjut ibunya untuk menghibur Dyana yang terlihat kecewa.
Dyana mengangguk setuju.
"Baiklah mari kita pulang, little star". Ucap sang ayah dan menyuruh Dyana naik ke punggungnya.
"Little star... Little star...aku akan menangkapmu". Ucap Dyana yang sudah tertidur pulas di punggung sang Ayah.
Dyana tersadar dari lamunannya saat ponselnya berdering.
"......"
"Aku akan segera ke sana."
"......."
"Aku sedang berada di taman."
"........"
"Baiklah, Julian. Sampai jumpa."
Dyana menutup teleponnya, dia menatap kembali ke sekeliling taman penuh kenangan masa kecilnya itu dan melangkah menuju sepedanya yang ia parkirkan di bawah pohon.
Dia harus segera sampai ke kampus, tiga puluh menit lagi jam belajar akan dimulai.
Dia mengayuh sepedanya dengan cepat agar lebih ia segera sampai ke kampus. Sejauh ini perjalanannya lancar. Namun, saat ia berbelok ke sebuah persimpangan, sepedanya di senggol sebuah mobil dan mengakibatkan sepeda beserta tubuhnya berhasil mencium aspal. Dyana meringis kesakitan, matanya berkilat marah ke arah seorang pria yang baru saja turun dari mobil dan berjalan menuju ke arahnya.
*****
Dyana terus memperhatikan langkah pria tersebut dengan perasaan marah. Dyana sudah menyiapkan beribu sumpah serampah untuk memarahi pria tersebut.
Pria itu berdiri tegap di hadapan Dyana. Gadis itu mendongakkan kepalanya dan siap meneriaki pria tersebut.
Baru saja Dyana hendak bersuara pria itu langsung mengulurkan tangannya untuk membantu Dyana berdiri. Dyana menyambut uluran tangan pria itu.
Setelah berdiri Dyana membersihkan tangan dan bajunya yang sedikit kotor karena abu.
"Kau tidak apa-apa, Nona? Apa ada yang sakit?" tanya pria itu dengan lembut, wajahnya diliputi rasa bersalah.
"Sedikit." ucap Dyana datar menahan rasa perih di siku dan lututnya.
"Maafkan saya nona tapi saya sedang terburu-buru. Bos saya ingin menghadari acara penting. Jadi..."
"HEI JACK! BISAKAH KAU CEPAT. AKU SUDAH HAMPIR TERLAMBAT. SUDAH BERIKAN SAJA DIA UANG DAN KITA PERGI SEKARANG!" ucap seorang pria yang berada di dalam mobil dengan suara sarkas.
"Maaf Nona. Tapi saya harus segera pergi sekarang. Ini..."
"Saya tidak butuh uangmu!" sentak Dyana saat pria itu hendak memberinya uang.
"Tapi?"
"Simpan saja uangmu aku tidak memerlukannya! Kalian pikir dengan uang kalian bisa menyelesaikan semua masalah, Huh!?" Kekesalan Dyana yang tadinya hilang kini muncul lagi ke permukaan. "Dasar orang kaya sombong!"
"Baiklah begini saja ini kartu nama saya kalau ada apa-apa hubungi saja saya." Sembari mengeluarkan kartu nama dari dalam kantong jasnya dan memberikannya pada Dyana.
"Hei! Jack! Cepat atau kau ku pecat!"
"Iya bos. Saya segera datang." Sontak suara pria yang masih berada di dalam mobil tersebut membuat Jack langsung berlari ke arah mobil dan meninggalkan Dyana.
Dyana menatap mobil yang melaju cepat di depannya hingga hilang dari pandangan.
"DAMN IT!" teriak Dyana. Siapa sebenarnya pria yang berada di dalam mobil itu. Kata-katanya sunggung angkuh. Dyana yakin pria itu pasti sangat arogan.
Dyana benci pria itu, mendengar suaranya saja Dyana yakin dia adalah pria botak berperut buncit hingga ia tak mampu keluar dari mobil karena malas berjalan dengan perut buncitnya.
Mata Dyana beralih pada sepedanya yang masih tergelek di atas aspal, kemudian dia menegakkannya dan kembali mengayuh sepedanya menuju kampusnya. Dyana yakin dia pasti akan terlambat.
*****
Benar saja saat sampai di depan kelasnya mrs. Betty dosen sastra ingris yang terkenal sangat disiplin sudah berada di dalam kelas dan menjelaskan beberapa poin pelajaran.
Wanita berkaca mata itu langsung menghampiri Dyana saat melihat Dyana berdiri di dekat pintu.
Dyana menelan salivanya saat tatapan mengintiminasi mrs. Betty menembus pandangannya.
"Miss Alexa. Why are you late?"
Dyana masih diam memikirkan alasan yang pas yang bisa ia katakan saat ini. "Miss Alexa! Do you hear me?"
Dyana membali menelan salivanya kemudian menggangguk sebelum bersuara.
"Sorry, mam. Tadi mendapat masalah di jalan." ucap Dyana berusaha setenang mungkin agar suaranya tak bergetar.
Mata mrs. Betty beralih ke siku dan lengan Dyana yang terdapat beberapa lecet di sana. Mrs. Betty mengangguk mengerti.
"Lain kali hati-hati! Sekarang masuk sebelum saya berubah pikiran!"
Dyana menghela napas lega. Syukurlah dia tidak dihukum atau tidak diizinkan masuk dalam pelajarannya.
Dyana melangkah cepat menuju kursi kosong yang berada di sudut kelas, menghiraukan tatapan bingung teman-temannya. kemudian dia mengambil buku serta alat tulisnya. Mencoba memfokuskan diri pada penjelas mrs. Betty dan melupakan kejadian yang tadi.
*****
Pukul dua siang. Tidak ada lagi jadwal pelajaran Dyana hari ini, tapi dia masih menunggu seseorang di depan gerbang sekolah dengan sepeda yang ia pegang tepat di sebelahnya.
Sebuah mobil hitam metalik berhenti tepat di depannya. Pintu mobil itu terbuka dan menampilkan wajah seorang pria tampan di sana.
"Dyana. Apa kau sudah lama menunggu?" Ucap pria itu saat sudah keluar dari mobilnya.
"Tidak. Oh, ya Julian apa kau tidak bekerja?" tanya Dyana pada Julian—kekasihnya. Mereka sudah berpacaran selama satu tahun. Tapi, mereka sangat jarang bertemu karena keduanya sama-sama sibuk.
Selama ini hubungan mereka baik-baik saja, walau Dyana tak pernah mengizinkan Julian menyentuhnya bahkan walau hanya sekedar berciuman, bukan karena apa. Tapi, Dyana tidak merasa nyaman bersentuhan dengan pria mana pun. Dia merasa risih.
Tapi, Julian adalah sosok pria yang pengertian dan tidak pernah memaksa Dyana, itulah sebabnya Dyana sangat mencintai Julian, begitu juga Julian dia sangat mencintai Dyana. Baginya Dyana adalah sosok wanita yang sangat baik nan tangguh yang sangat sulit ditemukan di zaman sekarang.
"Tidak, aku sedang cuti hari ini karena ada urusan penting. Eh, kenapa dengan tanganmu, Dyana?" tanya Julian khawatir melihat luka yang ada di tangan Dyana.
Julian meraihnya untuk memeriksanya.
"Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil saja. Tadi aku jatuh dari sepedaku saat menuju ke kampus, ini semua gara-gara pria sok kaya yang menyuruh sopirnya untuk mengebut di jalan raya." ucap Dyana sembari mengingat kejadian tadi.
"Tapi ini harus segera di obati."
Julian menarik Dyana masuk ke dalam mobilnya. Dia mengambil kotak P3K yang berada di dalam dashboard dan mulai mengobati tangan Dyana.
"Harusnya kau lebih berhati-hati agar kejadian seperti ini tidak perlu terjadi lagi. Apa perlu aku membelikanmu sebuah mobil?"
Dyana segera menggeleng cepat, bukan kali pertama Julian menawarkan diri untuk membelikan Dyana sebuah mobil. Tapi, dia selalu menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan orang lain.
"Tidak perlu Julian. Lagi pula aku masih sangat menyukai sepedaku. Kau taukan itu adalah hadiah dari ayahku saat aku memenangkan lomba memasak kue saat SMA?"
"Baiklah, aku tau."
Triiiriing....triiiring... ponsel Julian bergetar. Julian menghentikan kegiatannya mengobati luka Dyana dan meraih ponselnya.
Julian menatap Dyana sebelum menjawab teleponnya yang masih berdering.
"Halo."
"...."
"Aku akan segera ke sana."
"...."
"Baiklah."
Julian menutup teleponnya dan menatap Dyana ragu.
"Dyana aku harus segera pergi. Ada urusan yang harus aku selesaikan. Kau tidak keberatankan pulang sendiri?"
"Tentu saja, lagi pula aku membawa sepeda."
Julian bernafas lega.
"Baiklah. Hati-hati Dyana." ucap Julian saat Dyana sudah hendak turun dari mobilnya. Tiba-tiba Julian menarik tangan Dyana sehingga kembali menghadap padanya. Julian mencium pipi kiri Dyana yang membuat Dyana kaget.
"Julian! Apa yang kau lakukan!?"
"Hanya mencium pipi kekasihku. Apa itu juga salah?" ucap Julian sembari tersenyum nakal pada Dyana.
"Sudahlah, lupakan saja." Dyana kemudian turun dari mobil Julian.
"Dah.. Baby. Hati-hati di jalan." Dyana hanya melambaikan tangannya dia masih kesal akan perbuatan Julian tadi.
Mobil Julian melaju membelah jalanan kota dengan cepat. Dyana melangkah menuju tempat sepedanya dan mulai mengayuhnya menuju rumahnya untuk bersiap-siap bekerja di cafe mewah dan berkelas.
****
Pukul empat sore. Dyana sudah berada di cafe tempat dia bekerja. Cafe mewah ini sering di kunjungi oleh orang penting dan para pengusaha.
Gajinya lumayan besar dan Dyana juga sering mendapar uang tip sehingga cukup untuk membiaya kuliahnya dan kebutuhan sehari-hari. Cafe ini adalah milik seorang teman SMA Dyana— Calvin Angello. Temannya itu yang menawarkan pekerjaan ini pada Dyana saat dia sedang mencari pekerjaan paruh waktu. Di sini Dyana bekerja sebagai pelayan dan terkadang dia juga sering menjadi asisten chef bila diperlukan.
"Dyana. Ini pesanan meja nomor lima di ruangan VVIP. Hati-hati saat membawanya ini pesanan Tn. Alfaro dia adalah orang yang sangat penting. Jangan sampai melakukan kesalahan!" ucap Georgio—salah satu chef di cafe ini memperingatkan Dyana.
"Baiklah, Georgio. Kau tak perlu khawatir."
Dyana pun mendorong meja troli yang penuh dengan makanan itu menuju tempat yang dikatakan Georgio. Semua makanan ini adalah makanan mewah dan mahal, gajinya saja masih kalah dengan harga makanan ini.
Jadi, Dyana harus super hati-hati.
*****
Dyana semakin dekat ke ruangan VVIP. Mata Dyana menelisik ke seluruh ruangan dan berhenti pada meja nomor lima.
Ada seorang pria yang duduk dengan angkuh di sana. Sekali lihat, Dyana yakin bahwa dia memanglah orang yang penting.
Mata Dyana sedikit menyipit melihat pria yang berdiri tegap di samping pria tersebut.
Shit.. bukankah dia pria yang menabraknya tadi!
Dyana mendekat dan setelah sampai mulai menata makanan di atas meja.
Sesekali Dyana melirik ke arah pria yang kalau tidak salah adalah Tn. Alfaro yang sedang berbicara pada pria yang kalau tidak salah bernama Jack.
"Jack! Terus ikuti dia dan cari tau siapa pria yang bersamanya waktu itu. Aku tidak akan memaafkannya!" ucap pria tersebut dengan nada sarkastik.
"Baik tuan saya pergi sekarang."
Ucapnya sopan dan langsung melenggang pergi. Sepertinya dia tidak mengenali Dyana.
Oh.. jadi dia ini adalah bosnya. Pria angkuh itu.
Dyana selesai menata makanan dengan rapi di atas meja.
"Silahkan tuan, semoga tuan menyukai makanan kami." ucap Dyana sesopan mungkin walau dia ingin sekali memberi sedikit pelajaran pria ini karena menganggap rendah dirinya pagi tadi. Tapi apalah daya Dyana harus bersikap profesional bagaimana pun dia hanyalah pelayan di sini. "Apa masih ada yang tuan butuhkan?"
"Tidak." ucapnya datar dan mulai memakan makanannya.
"Baiklah, saya permisi."
Bahkan pria ini tak menyahuti ucapannya.
Baru beberapa langkah Dyana berjalan tiba-tiba pria itu memanggilnya.
"Tunggu!" Sontak Dyana langsung berbalik dan melangkah mendekat.
"Apa ada yang tuan butuhkan?" tanya Dyana lembut.
"Makanan apa ini!? Rasanya sungguh tidak enak! Apa kalian ingin membunuhku, huh!?" bentaknya.
Dyana bergeming. Apa katanya? Makanan ini tidak enak? Bahkan anak kecil tahu seberapa enak dan mahalnya makanan ini.
"Benarkah, tuan? Tapi tadi kami sudah memeriksa dan mencobanya sebelum menyajikannya, dan tidak ada masalah. Tapi kalau tuan tidak suka saya bisa menggantinya." Dyana masih berusaha menahan emosinya agar tidak meledak.
"TIDAK PERLU! BUANG SAJA SEMUA MAKANAN SAMPAH INI. SAYA SUDAH TIDAK BERSELERA UNTUK MAKAN!"
What the fu—, Dyana menahan diri untuk tidak berkata kasar.
Apa katanya makanan sampah? Dia benar-benar keterlaluan bahkan dia tidak menghargai jerih payah orang yang membuatnya.
Dia benar-benar emosi mendengar ucapan pria tersebut. Kali ini dia tidak bisa menahannya lagi dia harus memberi pelajaran pada pria sombong ini. Ya, harus.
"Baiklah tuan. Tuan tenang dulu minumlah dulu." Dyana menuangkan segelas wine lalu dengan sengaja menumpahkannya pada jas pria tersebut.
Sontak pria itu kaget dan sepertinya akan marah. Dyana dengan sigap mengantisipasinya dengan pura-pura membersihkannya dengan tissu dan meminta maaf dengan mengatakan dia tidak sengaja. Belum lagi minuman itu hilang Dyana dengan sengaja kembali menyenggol sepiring makanan dan jatuh tepat di baju dan paha pria itu.
"Maaf.. tuan.. maaf.. saya benar-benar tidak sengaja. Saya akan membersihkannya."
Baru saja Dyana mengambil tissu yang baru dan hendak membersihkan pakaian pria itu tangan Dyana langsung ditepisnya dengan kasar.
"JAUHKAN TANGAN KOTORMU ITU DARI PAKAIANKU! DASAR PELAYAN RENDAHAN AKU PASTIKAN KAU TAK AKAN BEKERJA DI SINI LAGI!"
Pria itu berdiri dan meninggalkan Dyana dengan wajah yang dibuat tertunduk seakan merasa bersalah.
"Maaf tuan." ucapnya pelan kemudian tertawa kecil saat pria itu sudah menjauh.
Dyana membereskan meja itu dan pergi menuju dapur. Dia sama sekali tidak merasa menyesal dengan apa yang baru saja dia lakukan.
Dia pantas mendapatkannya.
*****
Seperti dugaan Dyana, dia pasti akan dipanggil oleh Calvin setelah kejadian itu. Dan di sinilah dia sekarang, di dalam ruangan Calvin untuk mempertanggung jawabkan kejadian tadi.
"Kamu taukan Dyana kenapa aku memanggilmu kemari?" tanya Calvin menatap intens ke arah Dyana yang duduk di depannya.
"Saya tau. Ini pasti karena insiden tn. Alfaro itukan? Tapi saya sudah minta maaf, Calvin."
Dyana memang tidak memanggil Calvin dengan panggilan tuan seperti yang lainnya yang bekerja di cafe ini. Calvin sendiri yang menyuruhnya karena menurut Calvin itu terdengar aneh jika diucapkan oleh Dyana secara mereka adalah teman dekat sewaktu SMA.
Calvin mengangguk.
"Apa kau akan memecatku?"
Sebenarnya Dyana sedikit khawatir walau Dyana tahu Calvin tidak akan tega memecatnya hanya karena masalah ini. Tapi, ancaman pria tadi terdengar tidak main-main.
"Tentu saja tidak." ucap Calvin seketika membuat Dyana bernafas lega. "Aku hanya heran tidak biasanya kamu melakukan kesalahan. Apa kamu punya masalah dengan tn. Alfaro?"
Kening Dyana mengernyit mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Tidak mungkinkan dia akan jujur kalau dia sengaja melakukannya.
"Maaf, tapi tadi aku benar-benar tidak sengaja. Dia tiba-tiba marah-marah tak jelas. Jadi, tadi aku sedikit panik."
Calvin mengangguk percaya.
"Baiklah kamu bisa kembali bekerja. Lain kali kau harus lebih berhati-hati."
Dyana mengangguk sambil tersenyum kemudian beranjak dari tempat duduknya.
"Terima kasih, Calvin. Saya permisi dulu." ucap Dyana sebelum meninggalkan ruangan bossnya.
*****
Dyana menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, hari ini benar-benar melelahkan. Jadi walaupun Dyana menerima beberapa pesanan brownis cake dari pelanggannya untuk besok. Dia tidak akan membuatnya sekarang karena besok adalah sabtu, jadi dia tidak pergi ke kampus. Dyana memutuskan untuk membuat cake besok pagi saja.
Kilas balik kejadian hari ini kembali perputar dalam otaknya. Dia menarik napas kasar saat wajah pria yang dipanggil tn. Alfaro itu terlintas. Dyana benar-benar membeci pria itu, bukan karena apa, sifat sombong dan kasar pria itu benar-benar membuat Dyana muak.
"Aku harap aku tidak bertemu lagi dengannya." ucap Dyana pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba dia teringat pada Julian, dia lupa kapan terakhir kali dia meluangkan waktunya untuk pria itu. Jadi, Dyana berencana menemuinya besok di apartemennya tanpa memberi pemberitahuan terlebih dahulu. Ya, Dyana mencoba memberi kejutan kepada Julian.
Dyana benar-benar ngantuk sekarang. Dia mulai menutup mata kemudian menuju mimpi indahnya.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!