Takhta Nusantara ditulis melalui sudut pandang tokoh-tokoh yang terpisah dalam jarak yang jauh. Setiap bab antar tokoh dapat mencakup selang waktu yang berbeda ataupun bersamaan. Perbedaan selang waktu bisa berjarak satu jam, satu hari, bahkan satu minggu.
Untuk kisah yang sedang dibaca ini, cerita dikhususkan pada sebuah kisah pembuka dari kejadian-kejadian yang bersumber dari pergejolakan awal sejak perang besar pecah lima belas tahun lalu di Benua Zamrud. Selamat menikmati dan hanyut dalam kisah penuh intrik dan kemelut dalam negeri nan misterius penuh keajaiban!
“Kau yakin ke sini arahnya?” Toro mendesak dua prajurit di depannya sewaktu hutan di sekeliling mereka mulai gelap. “Kita tidak akan kembali ke kedaton sebelum membawa mayat si pembangkang tua itu. Kalian harus tahu jika kita gagal, kepala kalian tidak akan pernah utuh lagi.”
“Hamba yakin Tuan!” kata prajurit berbadan kurus yang ketakutan mendengar ancaman dari mulut Toro.
Toro memaklumi rasa takut dari anak buahnya. Dia sudah menyaksikan keganasan Raja Mahardhika, semenjak satu tahun terakhir dirinya di angkat menjadi wakil panglima Nusantara. Sang raja yang telah menjadi raja di antara raja-raja Zamrud menjadi sosok yang paling dihormati dan ditakuti. Seumur hidupnya, Raja Mahardhika tidak akan ragu untuk memancung para prajurit-prajurit yang gagal. Bagaimanapun Toro harus hati-hati, kecerobohan anak buahnya dapat menjadi malapetaka bagi mereka.
“Benarkah yang engkau lihat adalah dia?”
“Tentu Tuan! Ciri-cirinya sudah sangat jelas, seorang kakek renta dengan rambut putih megar dan janggut sepanjang jerami, tubuh kurusnya dibalut jubah hitam compang-camping. Daksa berhasil melukai kakinya dengan tiga tusukan tombak,” kata prajurit bertubuh kecil yang berjalan pelan menepuk-nepuk bangga bahu Daksa.
“Itu pasti Purnapana,” cetus Toro bersemangat, sambil mulai menyalakan obor. “Sekali lagi aku peringatkan kalian, dia bukan orang sembarangan, jangan tertipu dengan keriput di wajahnya.”
“Tapi Tuan, apa sekarang waktu yang tepat untuk menyalakan obor? Hamba khawatir Purnapana akan lebih mudah menyergap nantinya.”
“Terkutuk!” Toro mendengus, urat wajahnya berkedut. Sejak kecil Toro tidak suka di remehkan, apalagi oleh prajurit berpangkat rendah. “Bukankah aku sudah bilang kakek tua itu bukan orang sembarangan? Dia adalah Purnapana, guru dari Raja Dotulong, sang pembangkang! Kalau memang ingin, dia sudah menyergap kita sejak tadi. Seandainya dia muncul dalam kegelapan di hutan rapat ini tanpa obor, aku menjamin kalian tidak akan pernah melihat cahaya pagi lagi.”
Dua prajurit prajurit itu menunduk tegang menyesal. Mereka teringat kisah-kisah lama yang seram, tentang manusia-manusia siluman yang berubah menjadi sosok harimau. Pasukan pemberontak yang dikisahkan keluar dari dalam neraka. Membayangkan kisah itu saja membuat isi perut mereka meleleh.
Setiap detak, kepala prajurit itu mulai di penuhi keraguan. Benarkah yang mereka kejar sekarang adalah Purnapana? guru dari Raja Dotulong sang raja siluman harimau pemberontak.
Sewaktu hari kian malam di dalam hutan. Suasana mulai terasa berbeda dan aneh. Hembusan angin terasa berat dan basah. Setiap dua langkah kaki, bulu kuduk Toro meremang. Padahal Toro bukanlah seorang pria penakut. Namun malam ini yang terburuk. Dahan-dahan pohon berkersak hebat seolah hidup untuk menyaksikan ketiga prajurit itu berjalan. Sepanjang perjalanan lengan toro tidak pernah menjauh dari keris di pinggangnya.
Toro adalah putra kedua dari keluarga Prajurit bangsawan Kedaton Nusantara. Dia adalah pria tampan dan gagah berusia dua puluh lima tahun, bermata coklat, dan bertubuh kekar. Berbeda dengan prajurit-prajurit berpangkat rendah yang kebanyakan bertelanjang dada. Dia mengenakan baju pelindung kawaca berbentuk tabung panjang yang terbuat dari tembaga mengilap, di pinggangnya terikat selendang dengan simbol matahari berwarna perunggu dari Kerajaan Nusantara, serta gelang-gelang berbahan perunggu sebagai tanda wakil prajurit. Selendang yang terikat pinggangnya merupakan pencapaian terbesar yang dia peroleh; terbuat dari kain sutera terbaik di Zamrud, tebal, dan mengilap.
Di usia remaja, Toro sudah membunuh seorang pria dewasa. Saat itu, Toro memergokinya sedang mencuri seekor ayam. Dia teringat betapa mudahnya ayunan kayu di tangannya melayang ke arah kepala pria itu sampai membuat kepala si pencuri hancur seperti gelas pecah.
“Di sinilah tempatnya,” kata salah satu prajurit yang terlihat mual.
Puluhan prajurit tak bernyawa di hadapan mereka berserakan seperti daun kering. Toro mencoba tegar, lima puluh prajurit yang di bawanya dari istana kini hanya menjadi mayat berbau busuk. Di lihat dari segala kemungkinan, Toro sudah kalah. Tapi, menyerah pilihan yang dibencinya.
Dia sangat menyesali keputusannya untuk menetap di perkemahan sementara prajurit lainnya bersikeras untuk mencari. Saat ini, Toro mengakui kesalahan terbesarnya, yaitu meremehkan Purnapana. Toro mengintip ke arah langit, seorang siluman itu bisa saja bersembunyi di dahan-dahan hutan yang lebat, tapi Toro kemudian memilih melupakan gagasan itu.
“Tombaknya tepat mengenai kaki?”
Daksa mengangkat bahu, “dua tusukan di paha kanan dan satu tusukan di lengan.”
“Kau bilang tiga tusukan di kaki?” Toro bersikeras.
“Satu tusukan terakhir, hamba tidak yakin Tuan.”
“Ingatanmu lebih buruk dari ingatan keledai.”
Toro lalu membuat dua obor lagi dengan mengaitkan sisa-sisa selendang yang berlumuran darah kering mayat prajurit pada sebuah ranting tebal.
“Kau bergerak ke arah sana, dan kau ke sana,” perintah Toro sambil menunjuk ke dua arah berlawanan.
“Tuan, lawan kita adalah penyihir.. bahkan siluman.”
“Menguasai cindaku tidak membuat mereka kebal dari luka!” Toro tidak dapat menahan kesabarannya.
Dua orang prajurit itu segera mengambil obor dan menghambur di arah lain. Toro berpaling dari bayangan anak buahnya yang menghilang. Pandangannya tertuju pada mayat prajurit yang terbaring kaku. Toro tidak terlalu mengenal mereka sangat dekat, sebagian telah berumur lebih tua darinya dan berwajah pucat.
“Sungguh mengesankan,” Toro tertegun, sambil mengibas lalat-lalat yang berdengung.
Toro tidak pernah melihat mayat sebanyak itu. Mayat terbanyak yang pernah dilihatnya kebanyakan berjumlah kurang dari sepuluh, itu pun hanya berupa tahanan-tahanan yang dipancung atas perintah Patih Mahardhika. Namun, mayat ini berbeda, tubuhnya tercabik-cabik seperti daun rontok. Daging berwarna merah menggelap berceceran seperti selai. Tatapan mata mayat prajurit itu terbuka dan kosong, seolah mereka tidak menyadari serangan yang membunuhnya.
Toro lalu mengarahkan obornya ke arah depan. Bayang kedip-kedip api kecil dari obor anak buahnya masih terpancar redup. Toro berhenti di dekat pohon ulin yang tinggi untuk bersandar. Dia menatap ke kejauhan, wajahnya termenung. Selendangnya bergerak-gerak di pinggangnya bagai ular.
Sekelebat dia melihat sesuatu yang bergerak dari tumpukan mayat yang berserak. Instingnya merasa itu adalah seekor gagak atau hewan pemakan bangkai. Awalnya dia tidak tertarik, tetapi setelah memandang dengan jeli. Tubuh mayat itu tumbang dengan menggunakan pakaian gelap. Semua prajurit rendah di Nusantara bertelanjang dada. Apakah itu mayat Purnapana? Pikirnya, senang.
Jantungnya berdetak gembira. Untuk sesaat dia tidak berani bernapas. Cahaya bulan membanjiri mayat itu dengan jelas. Dari jarak pandangnya dia meyakini mayat itu adalah Purnapana. Sewaktu dia semakin mendekat. Sosok mayat itu meluncur seperti anak panah dengan gerakan cepat yang tangkas, mencengkeram betis Toro dan mengoyaknya. Daging betisnya tercerai berai seperti ceceran bubur.
Toro menjerit bagai binatang yang kesakitan. Di hadapannya berdiri sosok makhluk berbulu putih selebat kucing hutan dengan corak abu loreng. Cara berdirinya sangat anggun dan berwibawa, kedua lengannya diposisikan seperti hendak menerkam mangsa. Tinggi makhluk itu lebih tinggi sejengkal dari Toro.
Sesekali Makhluk itu membuka mulutnya memperlihatkan deretan taring-taring seputih gading yang berjajar seperti perbukitan. Tatapan matanya lebih tajam dari elang, pupilnya menyala seperti pendar emas dan cakarnya sepanjang pisau belati. Darah segar Toro menetes dari ujung cakarnya.
“Purnapana! Purnapana!” jerit Toro.
Dua prajuritnya yang berada cukup jauh berlari menuju arah Toro. Namun kehadiran mereka sia-sia. Dengan satu lompatan singkat, Purnapana menebas leher Toro seperti hembusan angin. Toro yang bergerak selambat satu detak. Terlambat menyadari serangan itu. Kepala Toro terlempar dan menggelinding di semak belukar. Daksa hanya bisa berdiri kaku melihat tubuh tanpa kepala Toro terjatuh, di lehernya menyembur darah segar seperti pancuran lumpur. Purnapana lalu terjatuh dan mengaum hebat karena menahan luka sakit di paha kanannya akibat tusukan tombak Daksa.
“Demi Patih Mahardhika! Matilah kau Purnapana!” Satu prajurit yang berbadan kurus berlari menerjang sambil mengacungkan tombak bajanya. Gerakannya tidak cukup lihai, Purpana lalu segera bangkit dan bergerak secepat angin. Cakarnya menembus kulit perut si prajurit dan mengoyak isinya. Ceceran jerohannya berterbangan seperti percikan hujan membasahi wajah harimau Purnapana.
Tubuh Daksa bergetar hebat, kakinya tidak bisa digerakkan seolah tertancap di tanah. Daksa menjatuhkan tombaknya, lalu akhirnya bertekuk lutut di hadapan Purnapana. Daksa lalu memejamkan mata dan berdoa pada dewa-dewa hutan tak bernama. Mata kanan Daksa terbuka. Pupil manusia harimau itu seterang bulan purnama. Daksa merasakan sesuatu yang lembut selembut bulu kucing menyentuh pipinya, dan mengencang di leher. Daksa lalu membuka kedua matanya, seketika sekujur tubuhnya mati rasa dan penglihatannya menjadi gelap.
***
Malam ini bulan nampak bulat sempurna dengan warna keperakan yang megah. Di bantu cahaya bulan, Satria menapaki jalan setapak seukuran dua hasta yang sempit dan lembab dengan kaki telanjangnya secara perlahan. Seorang budak tidak pernah memakai alas kaki. Hebatnya, hal itu membuat tapak kaki mereka kuat, kulit arinya mengeras seperti lilin beku.
Sudah ke dua kalinya Satria menjelajah hutan di dekat perkemahan. Dia tidak merasa segugup seperti saat pertama menjelajah. Selama lima belas tahun hidup Satria, menjelajah bukan kebiasaannya. Dia hanya terlahir sebagai budak kerajaan yang bekerja hari demi hari seperti kerbau pembajak sawah.
Satria sadar tindakannya berbahaya, bukan karena hewan liar ataupun tumbuhan-tumbuhan beracun. Namun, berjalan meninggalkan kemah budak adalah cara tercepat untuk mendapat cambukan ganas dari sang prajurit pengawas. Menurut ibu asuhnya yang bernama Asih, luka dari cambukan rotan tajam prajurit tidak pernah mudah untuk disembuhkan.
Mendadak Satria ingat kisah-kisah yang diceritakan ibunya, tentang para budak yang ingin melarikan diri. Prajurit Mayakarsa tidak segan mengoyak kulit punggung para budak pembangkang. Luka siksaan itu akan selalu membekas abadi untuk mengingatkan mereka tentang kebodohan untuk melawan.
Cerita yang paling buruk adalah ketika pengawas prajurit memotong jari-jari kaki mereka yang mencoba kabur untuk kedua kali. Jika Asih tidak mengobatinya, luka itu hanya akan menjadi sarang untuk para belatung.
Namun, malam ini Satria tidak ingin melarikan diri. Dia ingin menikmati lagi hamparan bintang-bintang yang tersebar megah di langit. Dia rindu kemilau cahaya itu, dan merasa puas sewaktu membayangkan dirinya terbang bergabung bersama bintang-bintang di angkasa. Seandainya dia tidak nekat, mungkin dia tidak akan pernah menemukan tempat setenang itu.
Satria sudah memastikan waktu terbaik untuk menyelinap. Di malam buta, sewaktu langit jernih, dan bulan bersinar sempurna, tepat ketika para pengawas budak bermabuk-mabukan dan berdendang. Puluhan kendi tuak sudah cukup membuat para prajurit pengawas tertidur pulas sampai pagi.
Satria memilih jalan dengan hati-hati saat melintasi semak yang cukup rimbun, satu gigitan ular saja sudah cukup untuk menghantar nyawanya menuju para dewa-dewa di kahyangan. Namun, dia belum ingin mati. Setelah terus berjalan menanjak, napasnya cukup tersengal, rasanya dia sudah menapak puluhan bahkan ratusan batu undakan selama dua puluh menit.
Sesampainya di puncak bukit, Di hadapannya, Satria melihat daerah lapang berumput. Rumput itu tebal dan subur berwarna hijau keperakan karena cahaya bulan. Warna-warna hijau tampak lebih redup ketika dia menapak ke tengah lapang. Aroma tanah basah dan kayu memenuhi udara. Ngengat-ngengat liar berterbangan diiringi suara jangkrik dan belalang yang nyaring.
Satria lalu berbaring, dia tidak peduli dengan dinginnya angin malam ini. Dia menengadah dan menyipitkan mata ke langit. Satria menikmati momen itu, pikirannya terahlihkan oleh hamparan bintang berwarna, benaknya terbawa terbang melayang jauh. Perasaannya campur aduk, gembira dan sedih. Bisakah dia hidup bebas seperti elang. Memandang dunia tanpa diperintah dan juga memerintah.
Tanpa sadar, Satria hampir tertidur. Dia bangkit dengan kesal dan menampar pipinya, dia tidak boleh tidur di sini atau prajurit pengawas akan menyadari seorang budak hilang dari perkemahan pagi hari nanti. Mereka memang prajurit bodoh, tetapi Satria menghindari resiko sekecil apa pun.
Sisa-sisa keletihannya kembali muncul sewaktu membayangkan hari yang akan dilaluinya besok, menggali tanah liat di bawah terik siang, memindahkan bata-bata merah menuju pelataran candi, menyusun ratusan bata untuk kompleks candi, dan menggali kanal air untuk pertirtaan. seketika dia merasa mual, sendi-sendinya ngilu dan jarinya kebas.
Satria memacu langkahnya untuk menuruni perbukitan, tetapi selama perjalanan turun, bau asap tercium samar. Seharusnya api unggun perkemahan masih jauh dan bau asap tidak akan tercium sampai daerah perbukitan. Jantung Satria berdentam. Dia dapat melihat pita asap putih membubung bergerak menyusuri celah-celah pepohonan gelap seperti gelombang awan.
Ada orang di sekitar sini, pikirnya gelisah.
Hal yang paling ditakuti muncul dalam benak Satria. Apakah asap itu berasal dari obor-obor prajurit-prajurit yang tersebar untuk mencarinya? Sejenak Satria terbayang dentum rotan menghantam punggung, perih dan panas. Satria semakin ketakutan, dia kemudian memasang telinga dengan jeli, tetapi hanya suara angin dan gemersak dahan yang terdengar. Satria yakin asap itu bukan berasal dari obor prajurit karena mengendap-mengendap bukan cara yang sering dilakukan prajurit Mayakarsa.
Satria mengikuti aliran asap itu. Dia berpindah dari batang pohon ke batang pohon lainnya, ia mulai mengintip. Sebuah titik bara api redup cukup terlihat di bibir gua.
“Budak? Atau Prajurit?” bisiknya menebak dua kemungkinan, napasnya bergetar.
Dia mengendap mendekati arah gua itu. Selama menjadi budak, Satria tidak pernah mendengar berita tentang adanya prajurit kota yang tinggal di dalam gua. Prajurit dihadiahi raja tempat bernaung yang nyaman, ranjang berlapis kapuk yang empuk, bahan makanan yang melimpah dengan berpuluh-puluh kendi berisi tuak setiap harinya.
Napas Satria seketika menjadi berat, dia berpikir untuk segera pergi, tapi ada sebuah perasaan erat yang membuat tubuhnya terus bergerak untuk mencari tahu. Siapakah yang tinggal di gua kecil dalam hutan seorang diri?
Tubuhnya membeku ketika dia merasakan sesuatu yang keras menempel pada tengkuknya. Sebuah kayu yang dingin, kasar dan cukup tajam.
“Kalau aku jadi kau, aku tidak akan melangkah lagi,” kata suara lirih dan serak di belakangnya.
“Ha-hamba mohon ampun Tuan!” jawab Satria, bulir peluh menetes dari keningnya.
“Siapa kau! Apa maumu!” ancam pria itu.
Satria meyakini sebuah benda keras yang menempel di lehernya bukan sebuah tombak, orang ini pun bukan seorang prajurit. Namun, nada suara orang itu memberi kesan khas seolah tenggorokannya tersedak dan berat. Satria menebak dia sudah berumur tua.
Sambil mengangkat kedua tangannya, Satria ingin menyerah, ancaman pria ini tidak main-main. “Hamba seorang budak, bukan niat hamba untuk melukai bahkan mencuri, hamba bukanlah siapa-siapa Tuan!”
Sebelum pria itu menjawab, dia menarik napas dalam-dalam. Satria merasakan tarikan napas pria itu sangat berat dan tidak wajar.
“Budak?” tanya pria itu ragu. Kemudian dia batuk-batuk dan melanjutkan, “dari kerajaan mana kau berasal?”
“Mayakarsa Tuan!”
Jawaban Satria seolah mengambang di udara, dan pria itu terdiam. Tapi Satria masih merasakan sebuah benda tajam menempel di tengkuk belakangnya.
“Terpujilah para dewa-dewa di Negeri Zamrud!” dia berkata gembira. “Hari pembalasan akan semakin dekat, aku telah tiba di Mayakarsa?”
“Benar Tuan.”
Satria tidak mengerti dan tidak terlalu ingin tahu dengan maksud perkataan pria itu. Lengannya masih bergetar hebat, dia ingin segera pergi dari tempat ini sebelum si pria tua bertambah sinting. Namun, kegembiraan sang pria tua memicu serangan batuk yang lebih dahsyat dari sebelumnya, tidak lama terdengar bunyi buk yang keras. Satria memalingkan wajah dan melihat pria itu jatuh tergolek lemas.
Tubuh pria itu sekurus batang lidi, jauh lebih kurus dari Satria. Tulang-tulangnya menonjol nampak jelas terbalut kulit yang sudah keriput dan lecet. Wajahnya mengkerut dengan raut sangat renta, kumis dan janggutnya yang seputih salju melambai-lamba seperti air yang tertiup napas. Di pahanya terbalut kain tenun lusuh dengan bercak warna coklat kemerahan.
“Tuan terluka parah,” kata Satria. Satria lalu menggopoh pria tua itu ke dalam mulut gua, ia menyandarkan ke dinding dekat api unggun kecil. Rasa cemas muncul sewaktu dia merasakan kain yang membalut paha pria itu melunak, lengket dan hangat.
Satria keluar gua dengan sigap bergegas menuju ke arah semak-semak tidak jauh dari mulut gua, yang dia dibutuhkan hanya beberapa batang pisang. Satria memang bukan seorang tabib, hanya sedikit pengetahuan tentang pengobatan yang dia dapatkan dari ibu asuhnya. Satria sering melihat Asih menempelkan getah-getah batang pisang pada budak yang terluka, itu cukup berguna.
Setelah mematahkan tiga batang pisang utuh, dia beranjak kembali ke dalam mulut gua.
“Sulit mencari daun sirih di sini Tuan, tapi aku harap ini cukup.”
Orang tua itu mengerang dengan desah napas tidak teratur.
Kenapa aku harus memperdulikan pria tua ini? Padahal beberapa saat yang lalu aku nyaris dibunuhnya.
Satria kemudian membuka kain tenun di paha pria tua itu. Rasa mual menyerang lambungnya ketika dia mencium bau amis samar. Luka itu sangat buruk, terbuka seperti mulut lapar, darahnya mengental dan menggumpal bercampur nanah kuning.
Dia sekuat tenaga menutup mulutnya, menahan diri untuk tidak muntah, dengan tangan gemetar dia mengoleskan getah batang pisang seperti sedang menuangkan susu. Pria itu mengeram, seakan sedang bermimpi buruk. Sesekali Satria melirik waspada dan berpura-pura tenang.
“Rasanya sakit Tuan, mohon di tahan.”
“Pur.. Purnapana,” kata pria tua itu, mata coklatnya berkilat-kilat di balik alis lebatnya. “Namaku Purnapana.”
Satria merasa keadaan mulai mencair, tapi dia mencoba tetap berhati-hati. “Kenapa anda bisa terluka separah ini?”
“Kisah itu sangat panjang,” sahut Purnapana.
Satria merasa lelaki tua ini sedang mempermainkannya, tetapi rasa iba mengalihkan dugaannya.
Purnapana mencoba bangkit untuk bersandar pada batu yang lebih landai. Lukanya masih terasa panas, tapi ada sebuah perasaan sejuk mengalir dalam nadinya.
“Bisa ambilkan air?” kata Purnapana seraya menunjuk sebuah kendi yang tersimpan di belakang Satria. Setelah meneguk beberapa air dalam kendi kecil, Purnapana bertanya, “kau tabib?”
Satria menggeleng, “sebelum menjadi budak, ibu asuh hamba seorang tabib. Sewaktu ibu mengobati luka-luka, hamba belajar banyak.”
“Ibu asuh? Bagaimana dengan ibu kandungmu?”
“Hamba...” jawabnya sambil menggeleng pelan.
“Tidak perlu dijawab, aku minta maaf.”
Purnapana mengusap janggutnya, gerakan jarinya seperti tulang hidup, “Aku berhutang padamu anak muda, siapa namamu?”
“Satria,” jawab Satria.
“Aku menghargai apa yang sudah kau lakukan wahai budak muda, Satria,” katanya sambil terbatuk, batuknya tidak sehebat sebelumnya. “Seandainya aku bisa membalas budi dengan koin emas, kau sudah mengantungi koin itu sekarang juga.”
Pipi satria memerah, dia tidak pernah merasa tersanjung sehebat ini, “tapi hamba hanyalah seorang budak, hamba tidak mengharapkan apa-apa, Tuan Purnapana.”
“Tidak ada bedanya,” Purnapana tersenyum. “Semua manusia memiliki harapan, baik atau buruk harapan itu selalu ada. Kau datang dengan rasa penasaranmu, tapi kau tidak lari dengan rasa takutmu. Kastamu memang budak, tapi tindakanmu menunjukan kau lebih dari itu, jauh lebih baik!”
Satria tidak bisa berkata lagi, selama menjadi budak tidak pernah ada orang yang memujinya selain Asih.
“Apa Tuan Purnapana adalah seorang pemburu?” tanyanya untuk mengalihkan rasa senang.
“Bukan,” ujarnya, wajahnya berkerut nampak sedih. “Aku terlalu tua untuk berburu, lagipula luka ini semakin memburuk.”
“Asal luka itu...”
“Tusukan tombak,” sela Purnapana, suaranya setenang malam.
Satria berseru kaget mendengarnya.
“Bagaimana bisa Tuan?”
“Aku sudah mengatakannya,” Purnapana bersikeras. “Akan menjadi kisah yang panjang.”
Satria menikmati perbincangan ini, dia merasa obrolan ini akan mengalir pada sebuah cerita yang hebat. Sudah bertahun-tahun Satria tidak pernah mendengar kisah menakjubkan. Dia sudah cukup bosan dengan kisah-kisah masa lalu teman budaknya, Harsya, Syam dan bahkan ibunya. Namun, perbincangan ini membuatnya cemas akan waktu yang terus berjalan.
“Tuan, hamba harus kembali,” kata Satria yang menunduk. Satria melihat wajah Purnapana berubah.
“Aku mengerti, kembalilah lagi, akan aku ceritakan padamu kisahku sebagai balas budi. Apa kau pernah mendengar kisah tentang cindaku sang manusia harimau?”
Urat wajah Satria berkedut, ada rasa gembira yang berkobar di dalam dadanya. Satria tidak pernah mendengar dongeng apa pun sejak kecil. Dia ingin tetap duduk dan memaksa petapa tua itu melanjutkan kisahnya malam ini. Tapi Satria tidak berani mengambil keputusan itu.
Satria lalu beranjak, sebelum dia pergi, sekali lagi Satria mengamati tubuh kurus Purnapana. Ada rasa iba yang dalam samar seperti kabut memenuhi hatinya. Bahkan untuk seorang budak yang hidup dalam penderitaan seperti dirinya, dia menginginkan kebahagiaan segera tiba untuk petapa tua itu.
“Apa Tuan Purnapana sudah makan sesuatu?”
“Jangan cemas,” katanya sambil tertawa, tawanya sedikit dipaksakan. “Kondisi ini tidak memungkinkan untuk berburu sekarang, bahkan untuk menangkap seekor tikus pun sulit. Sisa tenagaku telah kugunakan untuk satu serangan terbaik. Tapi aku bisa bertahan dari air yang menetes di langit-langit gua. Lagipula, kurasa besok luka ini akan membaik, dan aku bisa menangkap beberapa hewan buruan, semoga saja.”
Satria menatap wajah Purnapawa dari seberang api unggun. Rautnya telah membaik, meskipun getah pisang itu tidak berkhasiat secepat kijang melompat, Satria merasa tenang. Tampaknya, dia menyukai Purnapana.
Satria lalu teringat tentang sebuah gudang penyimpan yang berisi bahan makanan untuk para prajurit. Gudang itu tidak jauh dari kemah, dijaga prajurit pemalas berbadan gemuk bernama Tarmigi.
“Sepertinya,” tegasnya, dia lalu memikirkan gagasan kecil di kepalanya, dia tersenyum. “Malam selanjutnya hamba akan membawakan Tuan sesuatu yang enak.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!