Hari sudah menjelang malam, menuju pukul sembilan.
Seorang gadis manis dengan rambut di kuncir kuda melangkah mengendap- ngendap memasuki rumah berpagar tinggi, dengan harapan tak ada orang di rumah itu yang melihatnya masuk.
Dia sudah membayangkan apa yang bakal dia hadapi jika dipergoki pulang selarut ini.
Hati-hati dia membuka pintu dapur belakang dan memasuki pelan-pelan dengan langkah berjinjit. Lalu menutupnya kembali, perlahan tanpa suara.
“Lusiiiiii....!!!” teriak seseorang dengan suara lengkingan yang sangat keras dan geram.
Lusiana, gadis si pemilik nama itu spontan terpatung dengan nyali menciut dan wajah tertunduk.
'Waduh ketauan,' desisnya dalam hati ketakutan.
Ibu Merry, si ibu tiri. Wanita paruh baya usia 45 tahun itu mendekati Lusiana, berkacak pinggang sambil menatap geram pada wajah Lusiana yang tengah mematung ketakutan.
“Bagus ya, kau! Mengendap-ngendap seperti maling. Liat itu jam berapa sekarang?”
Merry mengangkat wajah Lusi dengan menjambak kasar kuncir kudanya, menengadahkan wajah gadis itu ke arah jam di dinding dapur.
Lusi meringis, dengan kelopak mata mengatup rapat, menahan perih pada bagian belakang kepala. Serasa rambutnya akan tercerabut dari akarnya.
“Maaf, Bu. Saya tadi ikut bu Dahlia dulu antar pesanan karangan bunga ke gedung pernikahan,” jawab Lusi terbata bata. Tangannya berusaha menarik rambut kuncir kudanya yang masih dicekal Ibu Merry.
“Pintar cari alasan! Dasar anak gak tau diri!” hardik ibu Merry makin mengencangkan tarikan tangannya di rambut kuncir kuda Lusi.
“Paling dia abis pacaran tuh, Mah. Dasar genit!” Tiba- tiba suara seorang gadis ikut menimpali di belakang punggung Ibu Merry.
Priska adik tiri Lusi ikut-ikutan berkacak pinggang menatap sinis pada Lusi yang tengah meringis kesakitan.
“Sumpah, Bu. Aku gak bohong. Ibu bisa tanyakan ke bu Dahlia, kok," jawab Lusi memohon.
“Ngapain bawa-bawa bu Dahlia? Pasti kalian sudah bersekongkol. Saya tau Dahlia itu pasti bela kamu. Dasar kalian berdua itu sama aja tukang bohong!" hardik Bu Merry lagi.
“Benar, Bu. Sumpah aku gak bohong.” Lusi mulai menitikan air mata karena perih yang dia rasakan dikulit kepalanya.
Pak Hamzah dengan tertatih-tatih melangkah menuju dapur. Pria tua itu terkejut melihat putri kandung kesayangannya tengah diserang oleh istri dan anak tirinya.
“Ada apa ini? Lepaskan, Bu. Tega sekali kamu!” Suara Pak Hamzah meledak.
Merry melepaskan tarikannya dari rambut Lusi dengan kasar. Dan masih melotot geram pada gadis cantik itu.
“Ini anakmu nih, perempuan pulang malam, mengendap ngendap kayak maling. Pake berbohong pula,” tuduh Merry menunjuk-nunjuk hidung Lusi dengan kesal.
“Lusi, dari mana kamu, Nak? Kok pulang semalam ini?“ Pak Hamzah mendekati putrinya dan bertanya pelan. Sambil tangannya merapikan rambut Lusi yang acak-acakan akibat jambakan Bu Merry.
“Tadi sore bu dahlia minta aku temanin dia antar karangan bunga ke Hotel Citra, Yah. Dan menunggu pembayarannya lama. Orang yang mengatur pembayarannya harus ambil uang dulu ke atm,” jawab Lusi di sela tangisnya.
“Alaaaah, bohong itu! Alasan saja kau!” tampik Ibu Merry sinis
Pak Hamzah menghela nafasnya berat. Sejenak Dia betulkan letak syal yang melilit lehernya, merasakan dingin di tengkuknya karena hembusan angin malam yang menerobos ke dalam ruangan itu.
“Ayah percaya sama kamu, Lusi. Ya Sudah masuk kamarmu, mandi dan jangan lupa sholat Isya dulu ya,” perintah Pak Hamzah seraya membelai kepala putrinya dengan rasa iba.
Lusi hanya mengangguk pelan lalu ngeloyor pergi dari hadapan mereka di bawah tatapan sinis ibu tiri dan adik tirinya itu.
“Tolonglah, Bu. Jangan kasar sama Lusi. Dia, kan anakmu juga.” Lirih suara Pak Hamzah menghadapi Bu Merry.
“Dia anakku? Ini nih yang anakku,“ bantah Bu merry sambil menepuk pelan bahu Priska yang berdiri di sampingnya.
“Lusi cuma anak tiriku, tau! Dan Kau jangan selalu membela anak kandungmu itu. Sudah jelas dia selalu bikin masalah di rumah ini, masih saja kau bela,” tambah Bu merry dengan nada angkuh.
“Dulu sebelum kita nikah kau berjanji akan menganggap Lusi sebagai anak kandungmu, tapi kenyataannya setelah kita berumah tangga tiap hari kau perlakukan anakku dengan buruk,” ucap Pak Hamzah. Ada rasa getir dalam nada suaranya. Tampak bola matanya berkaca-kaca.
“Aku menerima kau dengan tulus, Merry. Dan aku selalu menganggap Priska adalah anakku sendiri, walaupun jelas bukan darah dagingku.” Tambah Pak hamzah menunjuk Priska yang berdiri melipat kedua tangan didadanya.
Gadis itu tidak suka dengan nada bicara ayah sambungnya itu. Dia hanya berdecih lalu membuang wajah, enggan menoleh pada sang ayah.
“Aahh, sudahlah! Dasar kau memang tidak adil. Kau selalu membela anak kandungmu itu. Mau salah, mau benar, tetap aja kau bela. Aku keras sama Lusi karena aku gak mau anak itu bertingkah macam-macam yang bisa mencoreng nama baik keluarga kita, Mas,” tutur Merry beralasan.
“Memangnya Lusi ngapain aja selama ini? Toh dia cuma bekerja di toko bu Dahlia karena kau melarangnya kuliah. Dia mencari penghasilannya sendiri karena kau tidak pernah memberinya uang, Aku tau itu, walaupun kau berbohong pada ku selama ini. Jatah bulanan Lusi kau ambil, kan?” tuding Pak Hamzah marah walaupun suaranya lemah menahan sesak di dadanya.
“Jatah bulanan yang kau berikan untuk hidup kita gak cukup, Mas. Belum lagi uang kuliah Priska yang sangat mahal. Cicilan hutang-hutang kamu di bank yang tiap bulan puluhan juta harus kita bayar. Pusing aku mikirinnya. Lusi, kan tidak kuliah, ya jadi buat apa dikasih jatah bulanan. Mandirilah sedikit, jangan jadi anak manja," cerocos Merry sengit.
Pak hamzah menghela nafas berat. Dalam hati beliau mengakui memang kini dia tengah mengalami masalah ekonomi yang sangat pelik.
Perusahaan ekspedisinya diambang kebangkrutan karena kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan ekspedisi raksasa yang sudah menjamur.
Sekarang perusahaannya itu terseok-seok bertahan hidup dengan 20 karyawan saja. Ditambah lagi hutangnya yang sangat besar di bank akibat kesalahan terbesarnya yaitu mengikuti Investasi yang ternyata fiktif.
Demi ambisinya memperoleh keuntungan besar dari investasi yang ditawarkan oleh salah satu rekannya itu, Pak Hamzah rela menggadaikan rumah satu-satunya itu ke bank. Tragis.
Belum lagi dengan masalah kesehatannya yang kian hari kian menurun. Jantungnya yang sudah bermasalah dan harus dibantu dengan beberapa ring untuk tetap bekerja memakan biaya pengobatan yang tidak murah setiap kali berobat.
Yah, itulah derita Pak Hamzah. Hari-hari yang harus dilewatinya semakin suram dengan kelakuan Istri yang baru dinikahinya lima tahun lalu dan anak tirinya yang materialistis dan boros itu.
Pak Hamzah melangkah gontai memasuki kamar Lusi yang pintunya tidak terkunci. Dia menatap nanar wajah anak gadisnya yang sudah terbuai dalam mimpi. Rasa iba pun merasuki diri.
Tiap hari gadis itu melewati hari dengan segala cacian dan makian. Bahkan sering kali mendapat tamparan hingga pukulan dari Merry, ibu tirinya yang sadis itu cuma lantaran masalah sepele.
Tapi Pak Hamzah tak punya daya untuk membela putri cantiknya itu. Tubuh rentanya sudah kian lunglai. Kadang dia merasa hidupnya pun tidak lama lagi berakhir.
Mata tua itu mendapati foto berbingkai dengan gambar seorang wanita cantik berambut lurus menjuntai di samping bahu.
Pak Hamzah membelai foto itu. Foto ibu kandung Lusi. Kecantikannya tampak jelas menurun kepada putri semata wayangnya itu.
Ilusiana dengan kulit yang putih, hidung kecil namun tegak, dan bentuk mata yang bulat dengan bulu lentik yang menggemaskan. Bibir kecilnya tampak menawan ketika sedang tersenyum dan tertawa, membingkai deretan gigi putihnya yang rapi.
Sifatnya pun tak jauh berbeda dengan almarhumah Ibunya yang tegar, cerdas, periang dan pekerja keras.
Air mata pak Hamzah yang sedari tadi menggenang di ujung mata pun bergulir, menetes di atas bingkai foto itu.
“Maafkan aku Alisia. Aku ternyata bukan ayah yang baik untuk anak kita. Aku laki-laki yang lemah. Ayah yang penakut dan tak berdaya. Aku ingin sekali menyusulmu ke surga, Lisa. Aku sudah lelah,” sesalnya dalam hati.
Didekapnya bingkai itu lama, lalu dia letakan kembali ke tempat semula di meja samping ranjang yang ditempati Lusi.
“Tidurlah yang nyenyak, Anakku yang cantik. Maafkan ayah yang tidak kuasa melindungimu. Ayah hanya mampu berdoa untukmu, Nak. semoga Tuhan selalu menjagamu dan melindungi dirimu.” Pak Hamzah berbisik lirih di telinga putri cantiknya itu.
Tangan keriputnya membelai sayang kepala putrinya. Tubuh gadis itu berputar membelakangi ayahnya yang duduk di bibir ranjang.
“Semoga kamu tetap kuat, Nak. Putri kecilku.” Pak hamzah mengecup sekilas kepala putrinya, lalu perlahan bangkit dan menjauh dari ruangan itu.
Pak Hamzah geleng-geleng kepala lemah memandangi sekeliling ruangan sempit itu, yang merupakan bekas gudang barang-barang yang tak terpakai.
Bu Merry yang memindahkan Lusi untuk menempati gudang ini sebagai kamar tidurnya lantaran Priska merajuk ingin menepati kamar Lusi yang sangat rapi dan luas di lantai dua.
Lusi sama sekali tidak membantah, justru gadis itu mengalah dan ikhlas menuruti keinginan adik tirinya itu. Priska yang jahat tidak pernah sekali pun berterima kasih.
Gadis itu sebaya dengan Lusi, 21 tahun. Hanya terpaut beberapa bulan saja. Lusi sedikit lebih tua darinya.
Semula Pak Hamzah berharap dia bisa menjadi sahabat dan saudara yang akrab untuk Lusi. Namun kenyataannya justru sangat bertolak belakang.
Priska sangat iri dengan Lusi. Sejak awal pernikahan Ibunya dengan duda kaya yang ditinggal wafat istrinya, dia sudah kesal melihat Lusi, putri semata wayang duda itu.
Lusi lebih cantik dari dirinya. Di sekolah Lusiana sudah menjadi idola murid-murid dan guru-guru. Karena kecantikan dan keramahannya pada semua orang.
Tutur katanya manis, tak pernah berkata kasar walaupun dalam keadaan yang kurang mengenakkan. Karena ibu kandung Lusi selalu mengajarkan tata krama yang baik.
Prestasi akademisnya pun bagus. Kemampuan otaknya jauh di atas kemampuan berpikir Priska yang hanya seorang anak manja yang tak mau berusaha mengerjakan apapun dengan tangannya sendiri.
Cast Ilusiana {Lusi}
Bimo, seorang bocah laki laki bercelana pendek dan berkaos merah yang sudah hampir kuyup dengan keringatnya menghampiri Lusi yang tengah sibuk menyemprotkan air ke bunga-bunga yang tergeletak di lantai, sebelum dia
memasukan bunga-bunga cantik itu ke bucket.
“Kak Lusi...cepat pulang Kak,” seru bocah itu setengah berteriak. Nafas nya tersengal-sengal tak beraturan. Lusi cepat menghampirinya.
“Kenapa Bim? Ada apa ?” tanya Lusi penuh ikutan panik
“Om Hamzah...om...itu...” gugup suara Bimo sambil mengatur nafasnya.
“Kenapa ayahku ? “ Lusi makin panik ketika disebut nama ayahnya.
“Om Hamzah jatuh di kamar mandi, sekarang kritis, buruan pulang Kak”
Tanpa banyak tanya lagi Lusi dan Bimo berlari kencang menyusuri pinggiran jalan raya menuju rumah nya yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari kios bunga Bu Dahlia tempat nya bekerja. Sekitar 500 meteran saja.
Tampak di kejauahan tetangga sudah berkerumun di depan rumah nya. Kepanikan dan ketakutan makin bergelayut di otaknya, memikirkan sesuatu yang tidak-tidak.
Lusi menerobos masuk rumah nya dengan nafas yang masih tersengal-sengal, diikuti Bimo di belakangnya. Langkahnya terhenti mendapati sesosok tubuh lemah Pak Hamzah yang tergeletak di sofa panjang. Di samping nya
seorang dokter tengah memasang alat bantu pernafasan kepada Pak Hamzah. Lusi langsung berlutut di samping tubuh ayahnya.
“Ayah...” panggilnya lirih di telinga ayahnya.
Yang dipanggil berusaha menggerakkan kepalanya menghadap Lusi, ditatapnya wajah putri cantiknya yang sudah berurai air mata itu. Jemarinya bergerak seprti minta di genggam. Lusi langsung meraih jemari ayahnya dan mengecupnya pelan.
“Nak ku, maaf kan ayah, Nak. Ampuni ayah karena tak kuasa melindungi mu selama ini. “ ucap Pak Hamzah lemah dan terbata-bata. Matanya kosong menatap putrinya. sebulir air mata jatuh di pipi keriput nya.
“Bertahan, Ayah...demi aku,tolong, ayah harus bertahan” pecah tangisan Lusi. Menggenggam erat telapak tangan ayahnya
Pak hamzah seperti menahan sesuatu di dadanya, nafasnya mulai terasa sangat berat dan mencekik.
“Lusi, Nak ku, ayah tak kuat lagi... ayah ingin menyusul ibumu. Jaga dirimu,Nak. Ayah sayang kamu.”
Makin pelan suara Pak Hamzah nyaris tak kedengaran. Makin berat nafas Pak Hamzah, seperti ada tindihan batu besar di dadanya, beberapa kali dadanya turun naik menahan sakit.
“Ayaaaahhh....Jangan tinggalin Lusi, Yah...Lusi gak punya siapa-siapa lagi. Lusi janji akan rawat ayah sampe sembuh” Lusi menggoncang tangan ayahnya yang sudah lemah.
“Laaa Illaha Illallah Muhammadarrosullullah...hhhhh” lepas lah hembusan terakhir nafas Pak Hamzah Setelah mengucapkan kalimat suci itu.
“Ayaaaaahh.....Ayaaaahh....Jangan tinggalin Lusi, Yah...” Lusi mengguncang-guncang tubuh ayah nya. Dokter di samping nya menunduk menempelkan stetoskop ke dada Pak Hamzah. Memeriksa denyut nadi di leher dan pergelangan tangannya. Kedua kelopak mata Pak Hamzah pun dibuka pelan. Lalu menatap Lusi yang memandang dokter itu penuh harap.
“Maaf, ayah anda sudah pergi” lirih suara dokter itu memberitahu Lusi sambil kepalanya menggeleng lemah.
Pecah tangisan Lusi di dada ayahnya. Tetangga-tetangga yang sedari tadi menyaksikan berhambur menghampiri gadis itu. Mereka berusaha menenangkan Lusi.
“Ayah, sekarang aku tinggal sendirian, tak ada lagi tempat aku mengadu, Aku sayang ayah, sayang Bunda. Semoga ayah bunda tenang di surga. Doakan aku supaya tetap kuat menjalani hidupku, Ayah Bunda” lirih hati Lusi
Tangisnya pilu, masih memeluk jasad Ayahnya.
“Nak Lusi, biarkan kami urus jenazah Almarhum ya, supaya besok pagi bisa dikubur. Yang sabar ya Nak, ayah nak Lusi sudah tenang di alam sana. “ Pak RT Nurdin mendekati Lusi yang masih memeluk jasad ayahnya, Lusi
mengangguk pelan dan menyeka air mata nya. Lalu bangkit mundur bberapa langkah memberi ruang untuk bapak-bapak tetangganya mengangkat jasad ayahnya untuk di urus dengan baik. Lusi sangat bersyukur
memilik tetangga-tetangga yang baik dan rukun, Pak Hamzah pun dikenal di lingkungan itu sebagai pengusaha yang sangat dermawan dan sering membantu jika ada tetangga nya yang kesulitan hidup.
Pulang dari pemakaman
Gontai langkah Lusi memasuki ruang tamu rumah nya yang masih beraroma duka. Air mata masih menggenangi pelupuk matanya. Sulit sekali dia membendungnya. Sesak hatinya melepas kepergian ayah terkasih nya. Rasanya masih sama sesaknya seperti 5 tahun yang lalu, ketika usia nya baru 16 tahun, Ibu nya meninggalkan dirinya untuk selamanya. Kini dirinya yatim piatu. Tak ada lagi orang -orang terkasih dalam hidupnya, tak ada lagi yang membela dirinya, tak ada lagi yang melindunginya. Keluarga kandung kedua orang tua nya pun hampir semua nya telah meninggal dunia. Cuma ada seorang pamannya yang tinggal di Kanada, dan sudah menjadi warga negara dinegeri
itu. Pamannya Cuma bisa mengucapkan bela sungkawa lewat telepon. Cuma itu.
Bu Merry dan Priska masuk dan menangkap sosok Lusi yang masih terpaku di depan pintu kamar ayahnya. Membelakangi mereka. Senyum sinis tergambar dari ibu anak itu.
“Akhirnya si tua bangka itu mati juga...Ahhh senangnya aku.” Ujar Bu Merry seenaknya sambil merentangkan kedua tangannya seperti dirinya terbebas dari beban berat yang dihadapinya selama ini. Sontak Lusi berbalik. Tatapannya marah sambil mendekati kedua nya.
“Tua bangka yang ibu maksud itu lah yang menafkahi kalian selama ini. Yang memungut kalian dari lingkungan kumuh dan mengangkat derajat kalian menjadi Nyonya besar dan Permaisuri “ Lusi berucap gemas, tangannya mengepal di samping pahanya.
*Flashback on*
“Lusi sayang, kenalin nih ibu baru kamu. Namanya Ibu Merry. Dan ini anak nya Priska.” Sambut Pak Hamzah ketika memperkenalkan Bu Merry dan Priska dihadapannya.
“Ibu ?” gumam Lusi dalam hati keheranan.
Lusi yang terbengong tak mengerti ucapan ayahnya itu berdiri dari duduk nya dan mendekati kedua tamu yang di bawa ayah nya. Menatap nya lama dan memperhatikan penampilan kedua ibu anak itu mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Baju mereka kumuh sekali, dan penampilan mereka jelas tampak bukan dari kalangan orang berada dan berpendidikan. Ibu Merry hanya memakai kemeja lusuh berwarna coklat dan rok panjang kuning dengan warnanya yang sedikit pudar lunturan warna hijau dibeberapa sisinya. Terlebih lagi gadis yang disebut bernama Priska itu. Selalu mengernyitkan dahi setiap menatap dirinya. Tangan dan kaki nya banyak bekas-bekas koreng yang sudah mengering. Dan aroma rambut nya, fiiyuuuhhh... sangat tengik. Entah sudah berapa lama anak itu tak pernah mandi dan bersampo.
“Hay Lusi, kamu cantik ya, sudah kelas berapa sekarang? “ sapa Bu Merry basa basi mengulurkan tangan nya ke hadapan Lusi. Sadar tangan kerempeng itu terjulur di hadapannya, dia menyambut nya. Dan membalas jabatan tangan Bu Merry.
“Kelas 1 SMA , tante. “ jawabnya singkat
“Ooo, sama dong dengan Priska, nanti Priska bersekolah di sekolah yang sama dengan kamu ya, biar bisa pulang dan pergi sama-sama.” Ujar Bu Merry melirik Priska yang masih mematung di belakangnya. Lusi hanya menggeleng, masih diliputi kebingungan.
“Hmmm, Yah, minta waktu aku mau ngomong sama Ayah,” permisi Lusi sambil menarik tangan Pak Hamzah ke dapur. Pak Hamzah mengikuti langkahnya, meninggalkan kedua ibu anak yang tengah menatap kepergian pak
Hamzah dan Lusi dengan tatapan curiga.
“Dia Ibu baru aku, Yah ? Bener? Ayah becanda kah?“ tanya Lusi minta penjelasan.
Pak Hamzah mengangguk mantap sambil tersenyum menatap kedua bola mata putri nya.
“Kapan Ayah nikah? Kok aku gak di kasih tau? “
“Kemarin, sayang. Nikah secara Agama. Maaf ayah gak kasih tau kamu sebelum nya karena ayah ingin kasih surprise untuk kamu. Ayah tau kamu butuh seorang sosok ibu sejak kepergian Bunda mu.”
“Tapi siapa tante itu, Yah? Kok aku punya perasaan kurang enak ya liat tampangnya dan anaknya itu” sahut Lusi curiga.
Ayah nya tersenyum lembut. Dan mengelus punggung tangan putri kesayangannya itu.
“Bu Merry itu pelayan di kantin samping kantor kita, sayang, Dia janda yang ditinggal mati suaminya. Hidupnya sangat miskin, tinggal di kontrakan yang kumuh. Ayah kasian sama mereka. Mereka juga baik sama Ayah,
sangat perhatian ke Ayah, sering membawakan makanan untuk Ayah tanpa Ayahminta. Dan ini juga Ayah sudah konsultasi dengan Pak Haji Umam pemilik kantin tempat bu Merry bekerja. Kata Pak Haji Umam bu Merry hidup nya menderita, selalu kekurangan. Dia sering pindah-pindah kontrakan karena gak sanggup bayar kontrakan bulanan, Sayang.” Cerita Pak Hamzah.
“Ayah boleh kasian , tapi bukan berarti harus menikahi nya khan , Yah. Kok bisa-bisanya ayah menikahi orang tanpa tau latar belakangnya seperti apa?” Lusi protes, dia tidak percaya apa yang sudah ayahnya lakukan.
Menikah tanpa memberitahunya dulu.
“Ayah yakin Bu Merry dan Priska orang baik-baik, mereka tidak punya kerabat di Jakarta ini. Ayah harap kamu bisa menerima Bu Merry dan anaknya. Anggap bu Merry ibumu dan Priska sebagai adikmu. Dari kemarin dia antusias sekali ingin ketemu anak Ayah, kamu. “
“Tapi Yah....”
“Sudahlah, ayah gak mau berdebat sama kamu, ayah yakin kita akan hidup bahagia bersama-sama mereka” potong Pak Hamzah cepat.
Lusi hanya menghela nafas nya berat. Dia merasa terpaksa untuk menerima keputusan sepihak dari Ayahnya. Dan berdoa dalam hatinya semoga apa yang dikatakan Ayahnya itu benar bahwa kita akan menjadi keluarga yang
bahagia.
*Flashback Off*
Bu Merry tertawa keras mendengar ucapan Lusi. Diikuti dengan Priska yang masih sinis menatapnya.
“Heyyy, anak gak tau diri...Ayah mu itu yang tergila-gila sama aku, tau.” Ketus Bu Merry seraya mentoyor jidat Lusi dengan kasar. Badan Lusi terdorong ke belakang.
“Waktu ayah bawa kalian ke rumah ini aku udah curiga kalian bukan orang baik. Dan memang terbukti. Asal ibu tau ya, Ayah menyesal menikah dengan Ibu. Kalian Cuma memanfaatkan kesedihan ayah yang ditinggal Bunda ku,
Dan asal ibu Tau ya, Ibu ini sama sekali gak sebanding dengan bundaku, bagai bumi dan langit, bu. Makanya aku heran kenapa Ayah mau aja nikah sama perempuan gak jelas asal usul nya“ Lusi tak kalah ketus menantang tatapan Bu Merry.
Plaaakkk ...! sebuah gamparan keras mendarat di pipinya. Spontan Lusi memegang pipinya yang terasa panas.
Telapak tangan Merry masih menggelantung di udara, siap menamparnya sekali lagi ke pipi Lusi yang satu lagi. Lusi mengelak dan menangkis tangan Ibu Merry di atas kepalanya, mencengkram tangan Bu Merry kuat-kuat.
Priska yang melihat ibunya terdesak begitu langsung berhambur mendorong tubuh Lusi ke lantai. Lusi terjatuh, keningnya pun menabrak sudut meja telpon. Dia merasakan pusing yang sangat. Tangannya menyentuh keningnya, ada bercak darah di jarinya. Dia bangkit dan terhuyung. Membuat Priska dan Bu Merry makin menggila. Kedua orang itu menarik tangan kiri kanan Lusi. Membawa nya ke kamar nya yang terletak di samping dapur, lalu mendorong tubuh masuk ke dalam kamar nya. Lusi jatuh tersungkur di samping tempat tidurnya.
“Rasain Lu, anak jelek...! Jangan macam-macam sama kami” serapah Priska berkacak pinggang di hadapannya.
“Heh, sekarang aku yang berkuasa di rumah ini. Tau. Jadi kalo kamu masih mau hidup di rumah ini kamu harus nurut perintah aku. “ Bu Merry berjongkok menengadahkan wajah Lusi ke depan wajahnya, lalu menempelengnya kasar. Disertai Priska yang tergelak meledek.
Kedua orang bengis itu berlalu dari hadapan Lusi yang masih tertelungkup di lantai. Kepalanya masih pening akibat tertubruk meja tadi. Di pipi kirinya berasa panas dan memerah. Gadis itu meringis kesakitan. Lalu perlahan bangkit bersandar pada tepi ranjang nya. Air mata nya merebak tak tertahan. Ya Allah kuatkan Aku, bathin nya. Dia mulai membayangkan hari-hari kedepannya yang akan di lalui nya di rumah itu akan sangat menyakitkan. Tapi
dia tidak akan meninggalkan rumah itu karena rumah itu adalah satu-satu nya harta yang kedua orang tuanya titipkan untuk dirinya.
Lusi berjalan enteng menyusuri trotoar jalan raya menuju kios bunga Bu Dahlia, tempat kerjanya. Selalu dia menyapa ramah beberapa orang tukang sapu jalanan yang memang dia kenal karena setiap pagi sering bertemu.
Bu Dahlia tampak sibuk mengeluarkan basket-basket yang masih kosong dan di tatanya di atas tatakan kayu yang berjajar di depan kiosnya.
“Assalammualaikum, Bu,” sapa Lusi ramah. Seperti biasa senyum manisnya mengembang tiap kali menyapa siapapun. Membuat yang di sapa olehnya merasa senang dan di hargai.
Bu Dahlia membalikkan badan, dan mendapati Lusi ikut mengangkat basket-basket putih di sampingnya.
“Waalaikumsalam, Sayang....” balas Bu Dahlia lembut.
“Seharusnya kamu gak usah masuk dulu hari ini, Lusi. Kamu kan masih berduka,“ ucap Bu Dahlia.
“Gak papa, Bu, lagipula aku malas ada di rumah, Bu,” jawab Lusi santai.
Bu Dahlia mendekat dan mengamati wajah Lusi yang tampak memar di bawah mata kirinya dan luka gores di keningnya yang masih memerah.
“Kenapa wajahmu, Lusi? Apa ibu mu menghajarmu lagi?" tebak Bu Dahlia. Suaranya penuh keprihatinan.
Dia sudah tahu bagaimana malangnya hidup gadis itu. Bagaimana sehari-hari perlakuan Ibu tiri dan adik tirinya itu yang sangat tak berperi kemanusiaan terhadapnya.
Lusi hanya diam tak menjawab. Dia hanya menunduk sambil menyibukkan diri menata basket-basket itu dengan rapi.
“Laporkan saja pada polisi, Lusi. Mereka itu sudah keterlaluan," ujar Bu Dahlia lagi. Nada suaranya terdengar gemas.
Lusi hanya tersenyum kecut. Dan menggeleng sekilas.
“Percuma Bu, polisi gak akan percaya. Aku juga gak mau perpanjang urusan. Selama aku masih kuat ya hadapi saja, Bu," sahut Lusi tenang. Di wajah nya tak ada gurat takut sedikitpun karena saking terbiasanya dia menahan derita.
Lusi memang gadis yang kuat, pikir Bu Dahlia dalam hati.
“Tabah ya, Sayang. Jangan sungkan untuk minta bantuan ibu, ya. Kamu sudah ibu anggap seperti anak ibu sendiri." Bu Dahlia membelai pipi Lusi dengan lembut.
Lusi sangat senang bekerja di kios bunga Bu Dahlia. Selain pemiliknya yang sangat baik, juga pikirannya selalu tenang berada di antara bunga-bunga cantik.
Apalagi setiap hari dia berinteraksi dengan para pembeli bunga di kios itu dengan berbagai macam permintaan. Sedikit banyak dia jadi memahami sikap dan pribadi seseorang.
Walaupun Bu Dahlia hanya sanggup menggajinya tak banyak, tapi Lusi tidak permasalahkan hal itu, yang penting hatinya senang dan pikirannya tenang.
“Hai, met pagi...” Suara seorang pria menyapa nya ramah.
Lusi yang sedang berjongkok menata bunga-bunga di lantai spontan mendongak. Di dapatinya persis di hadapannya seorang pria tampan, tinggi dan berbadan atletis, tengah tersenyum manis padanya.
“Iya, Om. Met pagi, silahkan dipilih-pilih," sambut Lusi ceria seraya bangkit dari jongkok nya.
Gadis itu semangat sekali meladeni permintaan pria itu. Ya tentu saja Lusi senang. Karena pria tampan itu adalah salah satu pelanggan toko bunga itu. Hampir tiap minggu pria itu membeli bucket bunga dengan berbagai jenis. Dan setiap membayar selalu melebihkan nominal pembayarannya untuk Lusi. Tentu saja Lusi tidak pernah mengambil kelebihan pembayaran itu karena berapapun pelanggan membayar belanjanya sebesar itu pula yang harus dia setorkan ke Bu Dahlia. Itulah yang membuat Bu Dahlia sayang dengan Lusi, bukan hanya cantik, tapi gadis itu juga sangat pintar melayani pembeli dan juga sangat jujur.
Lusi memperhatikan sosok pria tampan di sampingnya yang tengah sibuk mencium bunga yang di pegangnya satu persatu.
Hmmm, makin hari makin ganteng aja ini cowok, tubuhnya harum pula, pasti parfumnya mahal. Puji Lusi dalam hati. Gadis itu senyum-senyum geli sendiri.
Fokus, Lusiiii...Fokus, jangan khilaf liat mahluk yang bening kinyis -kinyis begini, perintah batinnya lekas membuyarkan keterpanaannya.
“Halo selamat pagi, Mas Ferdian. Apa kabarnya, Mas? Tumben hari rabu ke sini, biasanya hari sabtu?” Tiba-tiba suara Bu Dahlia menyambut hangat pria tampan itu.
Yang di sapa menoleh cepat ke arah Bu Dahlia yang melangkah semangat mendekati nya.
“Eh iya Ibu, lagi pengen aja, Bu. Saya mau ganti bunga di meja kantor saya. Kira kira apa ya yang cocok?“ tanya pria bernama Ferdian itu sambil mengamati satu persatu bunga di basket.
“Ooh ada, Mas. Hmm, Lusi, tolong ambilkan bucket bunga Lily dan Krisan yang barusan ibu Rangkai di meja belakang ya," suruh Ibu Dahlia pada Lusi yang mematung di belakang punggung Ferdian.
“Baik, Bu." Lusi langsung menuruti perintah Bu Dahlia, Dengan langkah cepat gadis itu menuju meja belakang di workshop dimana Ibu Dahlia biasa mengerjakan rangkaian karangan bunga.
Tak lama di tangannya sudah membawa 2 bucket rangkaian bunga cantik.
“Ini, Bu." Lusi menyorongkan 2 bucket bunga di hadapan Ferdian dan Bu Dahlia.
Tampak Ferdian kebingungan menentukan bunga yang cocok untuk ruangan kantornya. Jari nya yang putih bening menempel di bibirnya tanda sedang berpikir. Lusi memperhatikan gerak-gerik pria tampan di samping nya itu. Ada rasa gemas melihat bola mata Ferdian bergerak kiri kanan menekuri dua bucket bunga tersebut. Lucu dan menarik baginya.
“Yang mana menurut kamu yang bagus?” Ferdian membuyarkan keterpesonaan Lusi. Gadis itu sedikit gelagapan di tanya mendadak begitu.
“Oh, ehmm... Menurut saya ya? Hmm, yang ini bagus, Om.” Tunjuk Lusi pada bucket bunga Lily putih dengan rangkaian yang tampak elegan dan sederhana.
Ferdian mengangguk setuju, lalu tersenyum padanya.
“Oke, aku ambil yang ini.“ Tunjuk Ferdian pada rangkaian bunga Lily yang tadi ditunjuk Lusi.
“Baik Om, sebentar saya siapkan packingnya." Lusi membawa bucket bunga itu ke dalam toko untuk di kemas dengan cantik dan rapi.
“Berapa bu harga nya?” Ferdian mengeluarkan dompetnya dari balik saku celananya.
“Tiga ratu Lima puluh ribu, Mas,“ sahut Bu dahlia masih mengembangkan senyum ramahnya.
Lusi kembali membawa pesanan Ferdian yang sudah di kemas dengan cantik. Dan di serahkan pada pria itu.
“Ini bu uangnya empat ratu ribu." Ferdian menyerahkan empat lembar uang kertas merah ke tangan Bu Dahlia.
“Sebentar saya ambil kembaliannya."
“Tak usah Bu, kembaliannya kasihkan untuk adek ini ya. Terima kasih karena sudah bantu memilih,” ucap Ferdian kepada Bu Dahlia dan Lusi. Senyumnya tersungging ramah.
“Terima kasih, Om baik deh... Selamat bekerja ya, Om,” ucap Lusi girang sambil melambai pada Ferdian. Pria itu hanya tersenyum Dan berkedip sebelah mata menjawab ucapan Lusi. Lalu melangkah menuju mobil Mercedes hitam serie terbarunya. Dan menghilang memasuki keramaian jalan raya.
Lusi masih terpaku dan mesem-mesem sendiri mengamati mobil hitam itu sampai tak nampak lagi dari pandangan. Bu Dahlia ikut mengulum senyum melihat tampang sumringah Lusi.
“Hey, kesengsem yah?” Tunjuk Bu Dahlia mencolek pipi Lusi yang tampak merona. Lusi menunduk malu.
“Ah Ibu, gak lah. Cuma kagum aja, Om itu baik banget. Kalo belanja disini gak rewel dan gak pernah nawar,” jawab Lusi polos. Bu Dahlia tertawa kecil sambil menutup bibirnya dengan jari.
“Orang kaya yang baik hati ya begitu, Lusi. Sudah ganteng, ramah, baik, mapan pula. Bener-bener mantu idaman." Gantian Bu Dahlia yang kini terkagum-kagum pada sosok Ferdian.
Lusi hanya tersenyum malu. Masih terbayang-bayang senyum manis pria itu padanya dan Aroma harum tubuhnya yang khas yang tak mungkin Lusi lupa.
“Eh, Lusi, kamu berdoa saja semoga Tuhan menyisakan satu yang seperti dia untuk kamu ya.” Seloroh Bu Dahlia menggoda Lusi. Mereka pun tertawa.
“Mana mungkin ada cowok yang seperti Om itu mau sama Lusi. Mustahil deh, Bu. Apalah diri Lusi ini, Bu? Cuma remahan rengginang,” sahut Lusi disambut gelak tawa Bu Dahlia
“Eehhh, tidak ada sesuatupun yang mustahil buat Allah, Nak. Kalo ternyata suatu hari nanti ada cowok yang seperti itu suka sama kamu, gimana hayoo?“ ledek Bu Dahlia seraya mencubit pelan dagu Lusi.
“Yaa aku terima aja deh, Bu. Hehehe....” Lusi tertawa renyah.
Bu Dahlia geleng-geleng kepala menanggapi. Dalam hatinya tulus mendoakan Lusi semoga mendapatkan pendamping yang baik seperti sosok Ferdian. Dia merasa sangat kasihan terhadap gadis itu, sudah yatim piatu dan selalu diperlakukan buruk oleh ibu tirinya yang tak tau diri itu.
Visual Cast Ferdian Adiwijaya / Ferdian
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!