NovelToon NovelToon

KETIKA AKU JATUH CINTA

Bab 1

Namaku adalah Bento, hanya Bento. Tanpa nama depan atau nama belakang. Entah apa yang memotivasi bapakku, hingga dia menamaiku sama dengan nama seorang bajingan di lagu milik musisi, Iwan Fals. Bukannya aku tak suka dengan nama itu, apa lagi dengan Iwan Fals. Aku ini penggemar nomor satu beliau! Tidak percaya? Kalian boleh tes aku. Sebut judul lagunya, akan kusebut di album mana lagu itu berada. Tapi ... jangan sampai kalian sebut namaku tiga kali, seperti Pak Beni, guru matematika  ketika aku duduk di bangku SMP. Pak Beni selalu menyebut namaku tiga kali ketika dia sedang mengabsenku, dan tentu saja, kawan-kawanku di dalam kelas menyambutnya dengan berteriak, “ASIK!“

Aku tinggal di kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Sebuah kota berkembang, dengan beraneka ragam suku yang ada di dalamnya. Ada Lampung, Batak, Sunda, Jawa, Aceh, Padang, Papua, dan banyak yang lainnya. Umurku 26 tahun. Aku lahir pada tanggal 17 Agustus 1993. Tanggal yang sama dengan hari jadi Bangsa Indonesia.

Aku anak tertua dari dua bersaudara. Adikku bernama Fitri, masih sekolah kelas 12. Hobinya nonton film horor, baca novel horor, dan berdiskusi soal hantu penunggu sekolah bersama teman-temannya yang juga penggemar horor. Fitri pernah bertanya kepadaku, kematian seperti apa yang aku mau? Coba kalian bayangkan, adik seperti apa yang memikirkan cara kematian kakaknya?

Aku lahir di keluarga yang sederhana. Bapakku bernama Supriadi, seorang pria dari Jawa, berumur 55 tahun. Bapakku bekerja sebagai seorang karyawan, di perusahaan air minum dalam kemasan. Sedangkan ibuku, adalah seorang wanita asal Lampung, berumur 52 tahun. Namanya, Meliana. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki keahlian membuat kue kering yang rasanya tidak kalah jika dibandingkan dengan kue kering yang dijual di toko-toko. Karena hal itu, ibuku sering mendapatkan pesanan kue kering dari para tetangga, ataupun kerabat dekat.

Aku memiliki hobby bermain musik. Sebuah hobby yang aku harapkan bisa membuatku kaya raya di masa depan. Namun, apalah daya. Entah karena tidak ada koneksi di dalam industri musik, atau memang aku kurang berbakat? Hobby yang sudah aku geluti sejak SMP itu, tak kunjung memperkaya diriku, dan satu tahun setelah aku lulus SMA, aku menjadikan musik sebagai hobby semata.

Jika berbicara tentang karir bermusikku. Sebenarnya Fitri pernah memberi saran kepadaku, untuk pergi ke sebuah perempatan dan membuat sebuah perjanjian dengan iblis. Menurutnya, cara itu cukup ampuh dan sering digunakan musisi-musisi barat, agar menjadi terkenal. Tapi, masalahnya, jika aku pergi dan berdiri di perempatan jalan dekat rumahku, bukan iblis yang aku temui, tapi maut! Karena satu-satunya perempatan jalan di dekat rumahku adalah jalan lintas Sumatera. Tempatnya bus antar provinsi dan truk kontainer berlalu lalang (setelah satu tahun berlalu, aku merasa saran yang diberikan Fitri kepadaku itu cukup konyol, dan bagian paling konyol dari semua itu adalah? Aku sempat berfikir untuk melakukannya).

Saat ini, aku bekerja sebagai salesman di salah satu distributor tepung kue instan di kotaku. Tugasku sebagai salesman adalah, pergi menghampiri setiap toko penjual bahan-bahan kue, baik toko yang berdiri di pinggir jalan ataupun toko yang berada di dalam pasar tradisional, untuk menawarkan produk-produk yang didistribusikan oleh perusahaan tempat aku bekerja. Bicara soal penghasilanku sebagai salesman? Ya ... lumayan. Setidaknya untuk urusan uang, aku sudah tidak bergantung lagi kepada kedua orang tuaku.

Pekerjaanku menuntutku untuk dapat cakap dalam berbicara dan dapat beradu argumen, ketika produk daganganku dibandingkan dengan produk-produk kompetitor. Ini jelas berbanding kebalik dengan kepribadianku yang cenderung pendiam dan tertutup. Tapi, apa boleh buat? Dalam hidup, terkadang kita harus rela berada dalam kondisi yang sangat tidak nyaman, demi bisa bertahan.

Namun, tidak semua hal yang berhubungan dengan pekerjaanku tidak menyenangkan. Salah satunya, karena pekerjaanku ini, aku bisa bertemu dengan seorang wanita, anak pemilik toko kue terbesar di kotaku, toko Sumber Kue. Namanya Nurlela, aku biasa memanggilnya, Lela. Lela adalah seorang sarjana sastra Inggris yang baru saja diwisuda dan sekarang sedang berjuang mencari pekerjaan.

Mengutip syair dari seorang sufi bernama Jalaluddin Rumi, yang berbunyi: diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kau lempar sembarangan seperti sebutir batu. Maka, sudah kupastikan jika permata milikku akan kuberikan hanya untuk Lela.

Jujur saja, Lela bukanlah gadis tercantik di kotaku atau seorang wanita yang kecantikannya seperti bidadari. Aku tidak perlu mendramatisir bentuk wajahnya hanya untuk disebut seorang pencinta. Lela itu hanya wanita biasa. Wanita biasa yang mampu membuatku rela melakukan apapun, demi melihatnya bahagia.

Bab 2

Sesuatu mengganggu waktu tidurku, ketika seseorang dengan motivasi pembunuhan bayaran profesional, mengetuk pintu kamarku, sambil berteriak, "Bang!" Berkali-kali.

Hal pertama yang aku lakukan ketika terbangun kerena terganggu suara panggilan dan ketukan itu adalah, menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul empat lewat sebelas pagi. Aku sempat berfikir untuk menghiraukan bedebah yang sedang berusaha merusak waktu istirahatku, dan menarik sampai ke dagu selimutku yang bermotif bunga-bunga yang aromanya uuuhhh ...  seperti ada mamalia mati di dalamnya (pukul tulang keringku dengan besi, jika kalian tahan berada di dalam selimutku lebih dari tiga puluh menit).

"Bang!"

Panggilan dari depan pintu masih terus berlangsung (beserta ketukan tiga kali setiap kata "Bang!" terucap). Oh, ya ... sungguh nistanya orang itu! Dan aku, menyerah. Aku beranjak dari tempat tidurku, berjalan menuju pintu, kemudian kubuka pintu kamarku, dan kulihat seorang wanita yang sejak tadi merusak waktu istirahatku sedang berdiri di depan pintu, dia menatapku, dan senyum penuh kemenangan mengembang di bibirnya. Wanita itu tak lain dan tak bukan adalah adikku, Fitri.

"Kenapa Fit? Apakah ada yang mati?" tanyaku kepadanya. Sinis.

"Hahaha ... si Abang. Bangun tidur aja bawa-bawa ajal, sombong amat!" balasnya, lalu tertawa.

"Terus ... kenapa?"

"Pinjem HP dong, Bang? Numpang tethering," jawabnya. Dengan gigih dia memberikan senyuman terbaik agar terlihat menggemaskan.

"Ambil sendiri sana!" balasku, ketus. Lalu aku berjalan kembali ke tempat tidurku, sedangkan Fitri melangkah memasuki kamarku, lalu berjalan ke arah meja di bawah jendela, tempat aku meletakkan handphone milikku.

Sesampainya di atas kasur, aku rebahkan kembali tubuhku, aku jatuhkan kepalaku di atas bantal, lalu kutarik selimutku sampai ke dagu. Kemudian aku melirik Fitri, aku lihat dia sudah mengambil handphone milikku dan sedang berjalan ke arah luar kamar.

Sesampainya Fitri di depan pintu, "Bang?" panggilnya.

Aku lihat saja dia, tanpa berkata-kata. Mau apa lagi dia?

"Itu selimut bau mayat. Cuci napa?" ucapnya, kemudian menutup pintu, lalu dia tertawa-tawa di luar kamarku, dan kalimat *** sudah sampai di ujung lidahku.

🕓🕔🕕

Sinar matahari menembus gorden tipis berwarna merah yang aku pasang untuk menutupi jendela kamarku. Sinarnya tidak menyilaukan, namun cukup bagiku sebagai pertanda, bahwa hari sudah menyambut pagi. Lalu, aku beranjak dari tempat tidur untuk kedua kalinya hari ini—setelah subuh tadi Fitri mengganggu waktu tidurku. Aku berjalan menuju jendela yang kusennya berwarna putih, lalu kubuka gorden, kubuka jendela,  membiarkan sinar matahari dan udara pagi memasuki kamarku. Kemudian aku memutar tubuhku, lalu pandanganku menangkap sebuah poster yang aku tempel di dinding samping pintu kamarku. Poster itu bergambar wajah seorang penyair terkemuka Indonesia, Si Binatang Jalang, Chairil Anwar. Tertulis di bagian bawah poster tersebut sebuah kata: Mampus Kau. Dikoyak koyak Sepi ( "Sia-sia", Februari 1943 ).

"Sayang kau mati muda. Seandainya Tuhan memberimu waktu lebih banyak, mungkin semakin banyak juga karya-karya yang kau wariskan kepada generasi kami. Agar kami bisa menjadi super keren, seperti kau!" ucapku, sambil kupandang poster itu.

Kamarku ini tidaklah besar dan mewah, hanya sebuah ruangan sebesar 3x4 meter yang dinding dan plafonnya di cat warna putih. Terdapat sebuah spring bed ukuran single yang aku letakkan di pojok ruangan. Tak lupa, aku letakkan sebuah meja kayu berwarna natural di bawah jendela, dan ada juga sebuah lemari pakaian dua pintu di pojok kamar—berhadapan dengan pintu. Lalu ...

"Bang!"

Apakah ini semacam dejavu? pikirku, ketika aku mendengar suara Fitri dan ketukan di pintu kamarku persis seperti yang aku dengar tadi subuh. Namun kali ini, Fitri membuka pintu dari luar. Aku ingat, Fitri yang terakhir menutup pintu, dan aku tidak menguncinya. Tak lama setelah pintu terbuka, kepala Fitri menjulur masuk ke dalam kamar dan berkata, "Nih Bang, HP-nya," katanya, sambil menyodorkan handphone milikku yang dia pinjam subuh tadi (hal yang menyadarkanku kalau ini bukan dejavu).

Aku menghampiri Fitri, lalu meraih handphone yang dia kembalikan.

"Makasih ya, Bang?" kata Fitri, setelah aku mengambil handphone yang dia kembalikan.

"Iya ...."

"Bang, kata Ibu kalo sudah mandi sama sarapan. Abang ke toko Sumber Kue, beli tepung lima kilo. "

"Sumber Kue?"

"Iya, toko Sumber Kue. Toko besar yang ada di pasar Bambu Kuning," terang Fitri.

"Iya, Abang tau. Kan Abang sering ke toko itu," kataku. "Ya sudah, nanti Abang ke sana."

Sebenarnya Fitri tidak perlu menjelaskan dimana lokasi toko Sumber Kue kepadaku. Pertama, itu memang toko langganan tempat ibuku belanja bahan-bahan kue, dan akulah yang selalu mengantarkan ibuku berbelanja. Lalu alasan yang kedua, toko Sumber Kue adalah toko kue terbesar di kotaku. Setiap salesman yang menjual produk bahan-bahan kue sepertiku, pasti mengenal toko itu. Kemudian alasan yang ketiga, di toko itulah, aku bertemu pujaan hatiku, Nurlela.

Ngomong-ngomong soal Fitri. Adikku itu sebenarnya memiliki paras wajah yang cantik, warisan dari Ibuku. Matanya besar, dengan bulu mata yang panjang dan lentik. Kulitnya putih bersih, hidung mancung, bibir tipis, bentuk wajah tirus, badan langsing, rambut panjang hitam bergelombang, dan memiliki tinggi badan, 161 Cm. Tapi sayang, anugerah Tuhan yang diberikan kepadanya, dirinya sia-siakan dengan prilakunya yang menyimpang. Kegemarannya dengan cerita dan film horor, ternyata berdampak kepada prilaku, pola pikir, dan seleranya. Contohnya: Fitri selalu memakai minyak wangi beraroma bunga mawar, atau kalau dia bosan, Fitri menggantinya dengan aroma bunga melati. Fitri juga hobby mengoleksi benda-benda yang berkaitan dengan okultisme, bahkan beberapa kali aku memergokinya sedang mencemili kelopak bunga melati di dalam kamarnya. Entah kenapa adikku itu terlihat seperti anggota sekte rahasia penyembah setan.

Bab 3

Sesuai perintah ibuku, sehabis mandi dan sarapan, aku langsung pergi ke toko Sumber Kue yang berada di salah satu pasar tradisional paling legendaris di kotaku, pasar Bambu Kuning. Jarak dari rumahku ke pasar Bambu Kuning cukup dekat, hanya sekitar 10 kilometer. 

Rumahku berada di komplek perumahan Permata Biru. Rumah tipe 36 yang dibeli bapakku waktu beliau baru menikah dengan ibuku. Kata bapakku, jaman dulu masih banyak ular berlalu lalang di jalanan depan rumahku. Maklum, karena dulunya di sekeliling perumahan tempat aku tinggal, masih banyak terdapat area persawahan. Tapi, beda dulu, beda sekarang. Area perumahan tempat rumahku berada sudah mengalami pertumbuhan pembangunan yang sangat pesat. Sudah banyak ruko-ruko atau perumahan-perumahan lain yang didirikan di sekitarnya. Hal yang membuat ular-ular bermigrasi entah kemana, karena tempat tinggal mereka tergerus laju pembangunan. Bukan hanya area perumahan saja yang berkembang. Rumahku juga mengalami perombakan sejak pertama kali dibeli oleh bapakku. Rumah tipe 36 berlantai satu itu, dirombak menjadi berlantai dua. Dimana di lantai duanya, kamarku, kamar Fitri, dan sepetak teras untuk ibuku menjemur pakaian berada.

Aku sampai di tujuanku setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit. Setelah kuparkirkan motorku tepat di depan toko. Aku langsung melangkah masuk ke dalamnya.

"Assalamualaikum," aku memberi salam.

"Waalaikumsalam," balas Pak Selamet, yang nampak sedang sibuk menghitung angka-angka yang tertulis di atas tumpukan nota yang berada dihadapannya (Pak Selamet adalah pemilik toko Sumber Kue, sekaligus Ayah dari Nurlela). "Hey, Bento," kata Pak Selamet. Tatapannya masih tertuju ketumpukan nota di hadapannya. "Ini hari minggu, tidak ada orderan!" candanya, dan aku tertawa setelah mendengarnya.

"Bisa saja, Pak Selamet," balasku.

Toko Sumber Kue memang toko yang paling sering aku kunjungi untuk menawarkan tepung kue instan yang didistribusikan perusahaan tempat aku bekerja. Dalam seminggu, bisa dua sampai tiga kali aku ke toko ini, baik untuk mengambil pesanan, atau menagih pembayaran. Jadi, hubunganku dengan Pak Selamet memang cukup dekat.

Aku melangkah menghampiri meja kasir tempat Pak Selamet sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jika kulihat tumpukan nota yang belum dia hitung, sepertinya pekerjaannya sudah hampir selesai. Jadi aku tunggu saja Pak Selamet menyelesaikan pekerjaannya, sambil kulihat-lihat barang-barang yang terpajang di dekat meja kasir.

Tampilan dalam toko Sumber Kue sama saja dengan toko-toko penjual bahan kue pada umumnya; sebuah ruangan bercat putih, dimana beberapa etalase kaca disusun memanjang di tengah-tengah ruangan untuk memisahkan area konsumen dan area penjual, lalu ada meja kasir yang ukurannya lebih tinggi dari etalase diletakkan di sisi kanan toko—jika dilihat dari luar toko. Beberapa produk-produk disusun rapih di dalam etalase, ada juga yang dipajang menggantung di langit-langitnya.

"Biasanya kamu belanja sama ibumu atau Fitri?" tanya Pak Selamet, setelah kulihat dirinya menekan tombol sama dengan, di kalkulatornya.

"Iya nih, Pak. Ibu lagi sibuk menyiapkan adonan kue, dibantu Fitri. Syukurlah Pak, ibu lagi banyak pesanan kue kering," balasku.

Pak Selamet tersenyum dan menganggukkan kepalanya merespon ucapanku. "Jadi, kau mau beli apa?" tanyanya kemudian.

"Tepung terigu lima kilo," jawabku, jelas dan mantap.

"Baiklah, tunggu sebentar," kata Pak Selamet, lalu dia beranjak dari meja kasir dan mulai menyiapkan pesananku.

Selagi Pak Selamet menyiapkan pesananku, aku meraih handphone-ku di saku celana, membuka Google, dan mengetik di kolom pencarian: fakta tentang nenek sihir.

Sesuatu membuatku sedikit gerogi, saat aku sedang membaca tujuh fakta tentang nenek sihir. Ketika sekonyong-konyong terdengar suara merdu seorang wanita mengucapkan, "assalamualaikum." Sontak aku langsung menghadapkan pandanganku kearahnya, dan berkata, "waalaikumsalam." Dan, terpanalah aku ketika mataku menangkap sosok Lela sedang berjalan memasuki toko sambil menenteng kantong plastik berwarna putih yang penuh dengan beragam macam sayur-sayuran.

"Bang Bento, belanja?" tanya Lela.

"Iya, belanja," jawabku, sedikit gugup.

Lela tersenyum menanggapiku—manis sekali, sambil terus melangkah menuju etalase kaca di tengah ruangan. Sesampainya di depan etalase, tangannya yang berkulit putih dan bersih mendorong pelan etalase untuk menciptakan sedikit cela, agar dirinya dapat memasuki area kusus penjual di dalam toko. Tentu saja mataku menyaksikan setiap detik momen yang membuat jantungku berdebar-debar itu.

Saat aku sedang memperhatikan Lela, tiba-tiba ...

"Hoi!" seru seorang wanita sambil menepuk pundakku dari arah belakang. Sontak aku terkejut, lalu pandanganku langsung kuarahkan ke belakang.

Mataku menangkap sosok seorang wanita paruh baya mengenakan daster berwarna merah dan membawa kantung plastik berwarna hitam di tangan kanannya. Wanita itu adalah Ibu Sulistiawati. Aku memanggilnya, Ibu Wati. Istri dari Pak Selamet, yang sekaligus ibu kandung Lela.

"Bu Wati?" sapaku, ramah.

Dia tersenyum kepadaku, lalu berkata, "kok tumben belanja sendirian?" tanyanya, sambil berjalan melewatiku, menuju tempat yang sama dengan yang tadi dituju Lela.

"Iya, Bu. Ibu lagi sibuk bikin kue dibantuin Fitri," jawabku.

Ibu Wati tersenyum menanggapi ucapanku.

Lalu, "Nih, pesananmu Ben," ucap Pak Selamet dari balik etalase, sambil meletakkan sebuah kantung pelastik yang berisi barang pesananku di atas etalase.

Karena pesananku sudah siap, maka segera aku rogoh kantung belakang celanaku untuk mengambil dompet hitamku.

"Ben?" kata Pak Selamet. Aku menengok kearahnya, sambil menyerahkan uang sejumlah harga barang yang aku beli. "Bantulah Lela mencari pekerjaan," pinta Pak Selamet.

"Lela kan, sarjana. Bagaimana kalau coba melamar ke perusahaanku, Pak?" balasku.

"Untuk jabatan apa?" tanya Pak Selamet.

"Ya ... coba kirim lamarannya saja, Pak. Kalau nanti ada posisi yang kosong untuk staff, siapa tau Lela di panggil untuk interview."

"Ah, tidak jelas dong, kalo gitu?"

"Ya, sebenarnya ada jabatan kosong untuk sales kordinator, Pak. Tapi, memang Lela mau kerja di lapangan? Kerjaan sales kordinator itu kan, hampir mirip denganku, hanya saja tanggung jawabnya lebih besar," ucapku.

"Tidak apa kok, Bang Ben," sambar Lela, sambil berjalan menghampiri Pak Selamet, lalu berdiri di sampingnya.

"Nah, sudah dengar sendiri kan, dari orangnya?" sambung Pak Selamet, sambil menunjuk Lela dengan ibu jarinya.

"Baiklah, kalau begitu. Kamu buat saja surat lamaran pekerjaannya. Nanti aku yang mengantarkan ke kantorku," ucapku.

Lela menganggukkan kepalanya, tanda dia setuju dengan usulanku. "Tapi, Bang Ben tunggu, ya? bentar kok. Aku cuma nulis lamarannya saja. Kalau berkas-berkas lainnya, kebetulan aku sudah ada dan disimpan disini," kata Lela, antusias.

"Baiklah, aku tunggu."

Setelah mendengar balasanku, Lela langsung bergegas mempersiapkan lamaran pekerjaannya. Saat aku memandangi Lela yang tampak begitu bersemangat menyiapkan lamaran pekerjaannya, kok, aku merasa sedikit menyesal memberitahu Lela soal info lowongan pekerjaan di kantorku? Jujur, aku jadi ngeri sendiri. Bagaimana kalau Lela tidak di terima? Atau parahnya, bagaimana kalau untuk interview saja, Lela tidak dipanggil? Bukankah itu bisa mengecewakannya?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!