Seorang gadis masih mematut diri didepan cermin, memperhatikan penampilannya. Dia masih asyik berdiri didepan cermin kamarnya yang bernuansa luar angkasa dengan lukisan gugusan bintang di dinding. Senyumnya mengembang ketika sudah merasa puas dengan penampilannya kali ini. Walau ia masih mengenakan seragam putih birunya, ia merasa jika dirinya kini sudah beranjak menuju dimana masa yang akan sangat menyenangkan. Lamunannya buyar saat seseorang memanggilnya untuk segera turun.
“Selamat pagi, Ayah.” Sapanya ceria ketika melihat Pak Wijoyo duduk santai di meja makan.
“Ayo sarapan, hari ini semangat sekali ya?”
“Iya dong. Kan, harus semangat. Akhirnya Zeta jadi anak SMA.”
Ya, gadis itu adalah Zeta. Si gadis polos dan selalu ceria. Dia adalah anak tunggal dari keluarga Wijoyo. Kini Zeta hanya tinggal berdua bersama sang Ayah, karena Bundanya sudah pergi meninggalkan mereka ketika Zeta berumur lima tahun. Bunda pergi untuk selamanya, karena sebuah penyakit yang dideritanya.
“Ah iya, besok Ayah akan ditugaskan ke Yogyakarta tiga hari. Nanti Ayah akan meminta Vernon untuk menginap disini selama Ayah pergi.” Kata Pak Wijoyo disela sarapan mereka.
“Beneran, Yah? Tapi, bukannya Kak Vernon masih banyak tugas kampus?”
“Kan, bisa dikerjakan di rumah. Makanya kamu jangan ajak keluar Vernon. Kebiasaan kamu kalo ada temannya suka diajak begadang diatas genteng.”
Zeta mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Pak Wijoyo barusan. Tapi memang benar sih, setiap Vernon atau sepupu yang lain menginap, Zeta pasti mengajak mereka untuk menemaninya memotret keindahan langit malam. Namun yang paling sering menemaninya adalah Vernon, sepupu tertuanya yang kini tengah kuliah disalah satu universitas. Alasan mengapa Vernon yang sering menemani Zeta, karena rumah Vernon yang paling dekat.
“Oh, Vernon?” panggil Pak Wijoyo ketika melihat pria itu memasuki ruang makan.
“Iya, Om.”
“Ayo, sarapan!”
“Ah, Vernon sudah sarapan Om.”
🪐🪐🪐🪐🪐
Zeta duduk dibelakang motor Vernon yang tengah melaju membelah keramaian jalan. Di saat seperti ini pasti banyak juga yang akan berangkat ke kantor atau sekolah. Beberapa menit kemudian mereka sampai didepan gerbang sebuah SMA yang sudah ramai dengan beberapa siswa dan guru yang baru berangkat. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan selama dua minggu. Ya, hari ini hari pertama Zeta menjalani masa orientasi.
“Nanti malam Kak Vernon nginap di rumah?” tanya Zeta sembari dirinya turun dari motor Vernon.
“Iya, tadi malam Om Wijoyo udah nge-chat Kakak.” Jawab Vernon membuka kaca helmnya.
Zeta tersenyum senang, nanti malam ia tidak akan sendiri di rumah. “Kalau gitu Zeta masuk dulu ya?”
“Iya, belajar yang bener ya? Oh iya, nanti Kakak nggak bisa jemput.” Ucap Vernon memberitahu, Zeta hanya mengangguk patuh. “Itu rambutnya dibenerin dulu. Sini Kakak bantuin.”
Zeta mendekat kearah Vernon dan membiarkan Vernon untuk merapikan rambutnya. Tanpa mereka sadari banyak anak- anak yang memperhatikan. Setelah selesai dengan rambutnya, Zeta bergegas masuk karena sebentar lagi bel berbunyi. Zeta terlebih dulu menitipkan helm yang tadi dipakainya.
Kini Zeta sudah memasuki kelasnya, ia duduk bersama gadis cantik bernama Meli. Tadi mereka saling mengenal ketika sedang apel di lapangan. Pengurus OSIS memutuskan untuk melakukan kegiatan di dalam ruangan karena cuaca yang sedang tidak mendukung. Diluar sangat panas, sehingga menyebabkan banyak siswa yang pingsan saat tadi apel.
“Sudah masuk ke kelas semua?” tanya salah satu kakak OSIS yang akan menjadi pembimbing selama dua hari ke depan.
“Sudah, kak.” Koor anak- anak.
“Oke, hmm. Enaknya kita ngapain ya? Kak, kita ngapain nih? Biar nggak bosan.” Tanya kakak pembimbing berambut sepinggang.
“Apa ya? Perkenalan dulu aja ya?” jawab kakak yang lain.
“Oke, setuju ya jika kita kenalan dulu. Kan ada pepatah tuh, tak kenal maka tak sayang.” Ucap kakak itu. “Ayo mulai dari kamu! Sebutkan nama, asal dari sekolah mana, dan cita- citanya apa.”
Seorang anak yang tadi ditunjuk oleh kakak OSIS itu segera berdiri dan mulai memperkenalkan nama. Begitu seterusnya sampai giliran Zeta, dia berdiri dan menarik nafasnya sebelum sebuah senyuman manis menghias wajahnya.
“Nama saya Zeta Orionis Wijoyo, saya dari SMP Cendekia Bangsa. Ehm, cita- cita saya… saya ingin melihat aurora di Greenland.” Ucap Zeta mantap.
Jika kebanyakan anak akan menjawab cita- cita apa yang ingin dicapai, seperti bercita- cita ingin menjadi dokter, guru, atau lain sebagainya. Berbeda dengan Zeta, sedari kelas lima sekolah dasar dirinya sudah memiliki cita- citanya sendiri. Ia sangat ingin mengunjungi Greenland untuk melihat fenomena alam yang sangat indah, yaitu aurora.
Semenjak perkenalan Zeta yang tergolong unik, dirinya cepat dikenal oleh teman- temannya. Bukan pandangan aneh yang ditujukan teman- temannya, melainkan pandangan takjub. Zeta juga memutuskan untuk memilih ekskul fotografi, acara dihari kedua masa orientasi adalah demo ekskul. Zeta dan Meli berada di kantin, tadi Zeta membawa kameranya karena Meli penasaran dengan hasil bidikan Zeta. Meli berdecak kagum melihat bidikan Zeta yang sangat bagus.
“Lo kok bisa jago banget sih?” kagum Meli. Zeta hanya tersenyum menanggapi semua pujian Meli. “Lo dapet tempat dimana deh?”
“Kapan- kapan mau ikut aku? Kadang ada hujan meteor yang bisa kita lihat pakai mata telanjang, tanpa teleskop.”
“Beneran? Kapan- kapan lo ajak gue.”
“Boleh, nanti kita ke Bromo. Disana bisa lihat Milky way.”
“Lo paling suka galaksi apa? Setahu gue ada banyak nama, dikamera lo kebanyakan galaksi bima sakti.” Ucap Meli masih mengutak- atik kamera Zeta.
“Aku suka Galaksi…”
“Jadi lo suka gue?” potong sebuah suara dibelakangnya.
Zeta menoleh ke sumber suara dan mengernyitkan dahi, tanda jika dirinya bingung. Begitu juga dengan Meli, teman baru Zeta di SMA 20 ini.
“Oke, mulai sekarang lo jadi pacar gue.” lanjutnya dan pergi meninggalkan kantin, dimana Zeta dan temannya berada.
“Tadi siapa, Mel?” tanya Zeta pada Meli.
“Nggak tau.” Jawab Meli menggelengkan kepalanya bingung. “Emang dia siapa sih?” tanya Meli menggaruk ujung hidungnya.
🪐🪐🪐🪐🪐
Sementara anak yang bernama Galaksi tadi kini tengah berada didalam kelas, saat ini suasana kelasnya sangat berisik dikarenakan tidak ada guru yang masuk. Kelas 11 IPS 3, kelas yang berisikan anak- anak bandel yang selalu membuat para guru penyakitan. Galaksi memejamkan matanya dengan telinga tersumpal earphone dan kaki naik keatas meja. Namun baru saja ia merasakan ketenangan, seseorang datang mengganggunya.
“Woy! Lo gila ya?” ucap seorang anak menggebrak meja.
“Emang Galaksi ngapain, Le? Kok tadi kayaknya kantin heboh.”
“Lo tau, Go. Dia nembak cewek tadi dikantin!” ucap Leo salah satu sobat Galaksi dengan suara lantang membuat kelas yang tadi ramai mengalahkan pasar mendadak sunyi.
“Sumpah lo?!” kini Virgo yang berteriak histeris.
“Ckck, lo berdua bisa diam nggak sih?!” bentak Galaksi yang merasa sangat terganggu dengan kehadiran dua orang itu.
“Lo kesambet apaan? Bisa- bisanya baru juga masuk udah gaet anak orang lo.” Kata Virgo yang diangguki Leo.
“Ckck, orang dianya ngaku kalo suka gue…”
Bel nyaring menghentikan obrolan mereka, kelas kembali ricuh. Lalu dalam sekejap kelas kembali hening dan hanya menyisakan tiga orang didalam kelas. Bel tadi menandakan jika pembelajaran hari ini diakhiri dan semua anak diperbolehkan pulang.
“Yok, cabut!” ajak Leo.
Galaksi, Virgo, dan Leo berjalan bersama menuju tempat parkir. Banyak pasang mata yang terus memperhatikan ketiganya. Padahal ketiga orang itu tidak ada yang enak dipandang. Penampilan ketiganya sangat urakan, tapi yang paling parah Galaksi. Dandanan Galaksi sudah tidak seperti siswa SMA pada umumnya. Rambut berantakan, seragam yang keluar masuk, dan celana jeans bewarna biru keabuan seperti warna celana seragam SMA.
“Gue jadi penasaran sama cewek yang lo tembak tadi. Siapa namanya?” tanya Virgo.
“Gue nggak tau nama dia.” Jawab Galaksi tak acuh.
Namun tiba- tiba manik hitamnya menangkap sosok gadis yang tengah berdiri didepan gerbang. Walau dari belakang Galaksi seperti pernah melihat sosok itu.
“Noh! Orangnya berdiri didepan gerbang yang rambutnya kek ekor.” Tunjuk Galaksi.
Serempak kedua temannya mengikuti arah yang ditunjuk Galaksi. “Gila lo! Pinter lo milih cewek. Manis gitu.” Kagum Leo.
Mendengar pujian dari Leo, Galaksi hanya menampilkan smirknya. Tiba- tiba sifat sombongnya keluar tanpa diperintah. Namun semua itu hanya sekejap saat Virgo kembali histeris.
“Dia udah punya cowok, ****! Lo mau jadi PHO?!”
Pandangan Galaksi kembali kearah gadis yang tadi berdiri didepan gerbang, dia sedang bersama seorang cowok. Wajahnya terlihat berseri- seri, tentu senyumnya tak pernah lepas. Gadis dan cowok itu pergi meninggalkan area sekolah.
“Bodo amat dia udah punya cowok atau belum.” Ucap Galaksi dengan wajah datarnya dan pergi meninggalkan kedua temannya.
Zeta mengketuk- ketukkan pensil didagunya, ekspresi bingung jelas terlihat diwajahnya. Besok adalah hari terkhir masa orientasi dan tugas terakhir yang diberikan untuk anak- anak baru adalah membuat surat yang ditujukan kepada kakak- kakak kelas. Memang kali ini tidak harus diberikan kepada kakak pengurus OSIS, tapi bisa ke semua kakak kelas. Zeta menghembuskan nafasnya pasrah, ia memang tidak pandai membuat kata- kata yang indah. Ditatapnya langit- langit kamar yang bertabur bintang.
“Ze, makan dulu yuk.” Ajak Vernon masuk ke kamar bernuansa luar angkasa itu.
Vernon masih menginap di rumah Zeta dan rencananya besok baru ia kembali ke rumah atau sampai Pak Wijoyo kembali dari tugasnya. Vernon melihat Zeta tengah menatap langit- langit kamarnya, ia yakin jika Zeta tak mendengar panggilannya.
“Ze, ayo makan malam dulu.” Ajak Vernon lagi.
Zeta menoleh. “Iya, sebentar lagi.”
“Katanya ada tugas, kok malah tiduran. Udah jadi tugasnya?”
Zeta menggelengkan kepalanya. “Belum, Zeta bingung. Aku kan nggak bisa nulis surat.”
Vernon mengulum senyumnya, tugas yang diberikan masa orientasi yang sangat mainstream. Dulu dirinya juga diberi tugas seperti itu ketika baru masuk SMA.
“Nanti aku bantu. Makan dulu yuk?”
“Beneran, Kak?” tanya Zeta dengan mata berbinar dan mendapat anggukan dari Vernon. “Ayo makan!”
Seperti janjinya tadi, kini Vernon berada di meja belajar Zeta dan tengah memikirkan kata- kata puitis untuk surat Zeta. Sedangkan Zeta tengah menatap ponselnya, dia menscroll ke bawah untuk melihat status yang diposting teman- temannya. Zeta tengah menjelajah akun Instagramnya.
“Ini udah jadi.” Kata Vernon mengalihkan fokus Zeta.
“Mana, aku mau baca.” Jawab Zeta semangat.
“Jangan dibaca dulu! Kalo udah dikasih ke orangnya baru suruh bacain.”
“Kok gitu?”
“Iya harus gitu.” Ucap Vernon tersenyum misterius. “Sekarang tidur sana! Besok kalo kesiangan aku tinggal.”
Vernon keluar dari kamar Zeta meninggalkan Zeta yang tengah menatap amplop berwarna ungu muda dengan gradasi merah muda dan dihiasi titik- titik putih. Namun Zeta hanya menuruti permintaan sepupunya itu untuk tidak membaca surat itu, ia memasukkannya ke dalam tas. Zeta membaringkan tubuhnya setelah tadi menyikat gigi dan mencuci wajah. Lampu ia matikan dan terpampang pemandangan yang tak pernah Zeta merasa bosan. Bintang yang kelap- kelip di langit- langit kamarnya dan dinding kamar banyak lukisan gugusan bintang, lalu banyak juga foto Polaroid yang memang ia bidik sendiri dengan lensa kamera.
🪐🪐🪐🪐🪐
Zeta turun dari motor Vernon dan berjalan memasuki kelasnya. Selama tiga hari ini masih belum ada kegiatan belajar mengajar. Jadi walau jam menunjukkan pukul delapan masih banyak siswa- siswi diluar kelas. Entah hanya duduk didepan kelas, berolahraga di lapangan, atau nongkrong di kantin. Kelas Zeta masih heboh dengan tugas akhir masa orientasi mereka.
“Ze, lo udah buat suratnya?” tanya Meli.
“Udah, tapi nggak buat sendiri.” Jawab Zeta jujur.
“Mau dikasih ke siapa? Cowok yang kemarin nembak lo, ya?” tanya Meli semangat. Lalu matanya beralih kesebuah amplop dengan warna yang cantik. “Ini ya?!” lanjut Meli dan merebut amplop itu.
“Aaa, Meli. Jangan dibuka dulu!” teriak Zeta mengejar Meli yang sudah berlari keluar kelas.
BRUKK!!
“Meli! Kembalikan suratku…” teriak Zeta menggantung ketika melihat Meli terjatuh dan… tunggu! Surat itu berada ditangan seseorang.
“Meli, kamu nggak apa- apa?” tanya Zeta mengalihkan perhatiannya pada Meli dan membantunya berdiri.
Sementara orang didepan mereka kini menatap Zeta dengan tatapan datar dan menusuk. Meli membersihkan roknya yang kotor, Zeta juga membantu seolah dia tak merasa aura dingin disekeklilingnya.
“Ini punya lo?” interupsi suara didepan mereka.
Serempak Zeta dan Meli menoleh, Meli terlihat paling syok. Mendadak wajahnya pucat pasi melihat wajah judes anak itu.
Zeta mengangkat tangannya takut. “Punya saya, Kak.”
“Ikut gue!” perintah orang itu.
Orang itu masih terus berjalan dan Zeta mengekor dibelakangnya dengan menundukkan kepalanya. Ia kini mengingat siapa orang didepannya. Dia adalah Galaksi, orang yang saat itu bertemu dengannya di kantin. Pikiran Zeta sudah melayang entah kemana, dia takut jika orang didepannya ini akan memarahinya.
“Aduh…” rintih Zeta ketika dirinya menabrak punggung kokoh Galaksi.
“Nanti tunggu gue di gerbang depan sekolah pas pulang. Mulai sekarang berangkat sama pulang lo sama gue!” perintah Galaksi.
Zeta memberanikan diri untuk menatap cowok didepannya ini. “Uhm, sepertinya kakak salah paham.”
“Salah paham?” tanya Galaksi menaikkan satu alisnya.
“Iya, waktu di kantin itu. Maksud Zeta itu bukan…”
“Lo sendiri kan yang bilang suka gue?”
“Memang nama kakak Galaksi?” tanya Zeta polos.
Galaksi tidak menjawab, dia hanya menunjukkan nametag didada sebelah kanannya. Tertulis ‘Galaksi Sargas Prayoga’, membuat Zeta mengangguk paham.
“Tapi maksudnya, aku itu suka Galaksi Bi…”
“Itu barusan lo ngomong lagi, lo suka gue.” potong Galaksi. “Pokoknya pulang lo tunggu digerbang depan! Gue nggak suka penolakan.”
“Suratnya…” cicit Zeta.
Galaksi masih mendengar ucapan Zeta, dia menunjukkan surat yang ia pegang sedaritadi. Dia menampilkan smirknya dan mulai membuka surat itu. Namun sebuah tangan mencegahnya untuk membuka surat itu.
“Jangan dibuka! Itu bukan buat kakak.” Ucap Zeta takut- takut.
“Bukan buat gue? Terus buat siapa? Pacar lo?” tanya Galaksi tajam. “Tapi pacar lo kan gue.” lanjutnya, kembali membuat Zeta menatap tak percaya pada Galaksi.
Baru saja Zeta ingin membalas, mulutnya kembali terkatup ketika melihat tangan kekar Galaksi dengan cepat membuka surat itu dan membacanya dengan keras.
*Dear, seseorang yang ada disana.
Aku Zeta Orionis, bintang yang akan selalu menyinarimu tanpa lelah. Walau jarakku 800 tahun cahaya dirasi Orion, sinarku akan tetap selalu menemanimu. Aku akan memberikanmu sinar paling terang untukmu agar terbebas dari kegelapan yang membuatmu terpuruk. Maukah kau menerima sinarku?
By: Zeta Orionis Wijoyo*
Mendadak pipi Zeta bersemu merah mendengar Galaksi membacakan isi surat yang Vernon buat tadi malam. Zeta spontan menunduk karena tak mau terlihat oleh Galaksi, karena kini wajahnya bak udang rebus. Beruntung ditempat ini hanya ada mereka berdua. Sedangkan Galaksi yang baru membacanya merasa jijik dengan isi tulisan disurat itu. ia mengalihkan pandangannya pada gadis didepannya yang tengah menunduk itu.
“Lo yang tulis?” tanya Galaksi. “Receh lo jatuh? Nunduk mulu daritadi.” Sindir Galaksi.
Zeta mendongak dan menggeleng. “Bukan, Kak Vernon yang buat.”
“Vernon?”
Zeta mengangguk semangat. “Dia…”
“Masa bodoh. Pulang tunggu depan gerbang!” potong Galaksi dan langsung pergi darisana meninggalkan Zeta seorang diri. Gadis itu masih menampilkan wajah bingung.
🪐🪐🪐🪐🪐
Zeta duduk di kursinya dan menghembuskan nafas kesal. Baru kali ini dia bertemu dengan orang yang suka seenaknya. Dirinya juga tadi sempat syok ketika mendengar isi surat yang dibuat Vernon. Sepupunya itu sangat pandai merangkai kata- kata, maklum karena Vernon kuliah jurusan sastra. Zeta kembali menghembuskan nafasnya, membuat Meli yang sedaritadi fokus kelayar ponsel menoleh.
“Bete’ banget kayaknya.” Ucap Meli.
“Kenapa tadi kamu nggak bantuin aku sih?”
“Bantuin apa?”
“Tadi waktu Kak Galaksi pegang suratku.”
“Jadi namanya Galaksi? Dia judes banget sih? Lo diapain sama dia?”
Zeta menggeleng. “Kayaknya Kak Galaksi salah paham deh.”
“Salah paham gimana?”
“Kejadian di kantin itu loh. Maksudku kan bukan gitu.”
Meli mengangguk paham, dia juga merasa kasihan pada Zeta yang harus berurusan dengan orang macam Galaksi.
🪐🪐🪐🪐🪐
Zeta tengah menunggu Vernon yang akan menjemputnya. Dia berdiri di depan gerbang dengan menenteng helm yang tadi ia titipkan ke loker dekat pos satpam. Tak berapa lama Zeta melihat motor hitam Vernon mendekat kearah sekolah. Zeta tersenyum senang, cukup pegal juga berdiri menunggu jemputan.Vernon sampai didepan Zeta. Cowok itu membuka kaca helmnya.
“Yuk!” ucap Vernon.
Zeta sudah bersiap untuk naik ke motor Vernon, tapi sebuah tangan segera menarik lengan Zeta. Tentu refleks Zeta menoleh, begitupun Vernon. Orang yang tadi menahan lengan Zeta membuka kaca helmnya.
“Lo tadi ada janji sama gue!” ucap anak itu.
“Siapa, Ze?” tanya Vernon.
“Ehm, dia…” Zeta bingung harus menjelaskan bagaimana pada Vernon.
“Dia pacar gue.” jelas anak itu manatap tajam Vernon.
“Kak Galaksi! Nggak Kak, dia buk…”
“Naik! Gue antar lo pulang!” potong Galaksi. Ya, orang itu adalah Galaksi. Cowok dengan tatapan dingin itu menatap Vernon tak suka.
“Kamu bonceng dia aja nggak apa- apa.” Ucap Vernon.
Setelah mendapat persetujuan Vernon, mau tak mau akhirnya Zeta naik ke motor Galaksi. Tanpa berkata lagi, ia menggas motornya menjauh dari sekolah. Dibelakangnya Vernon juga mengikuti. Vernon masih harus menemani Zeta, karena Pak Wijoyo akan pulang larut.
Selama perjalanan Zeta hanya diam, dia akan menjawab jika ditanya. Sebenarnya Zeta tak terbiasa dibonceng cowok selain Pak Wijoyo, Vernon, atau sepupunya yang lain. Ada perasaan takut ketika ia membonceng Galaksi, walau Galaksi tidak mengendarai motornya dengan ugal- ugalan. Mereka sampai di depan rumah Zeta, dibelakang Vernon juga masih setia mengikuti.
“Makasih, Kak. Tapi lain kali nggak usah antar pulang Zeta.” Ucap Zeta turun dari motor Galaksi.
Galaksi tidak menjawab ucapan Zeta, ia memperhatikan rumah Zeta. Lalu ia menutup kaca helmnya bersiap untuk pergi darisana. Namun sebuah suara membuatnya mengurungkan niatnya.
“Loh? Pacarnya Zeta nggak mampir dulu? Langsung mau pulang?” tanya Vernon mengerling jahil pada Zeta.
“Kenapa lo ngikutin?!” tanya Galaksi kembali membuka kaca helmnya dan menatap Vernon.
“Oh? Gue sepupunya Zeta, kalian baru pacaran ya? Zeta belum cerita?”
Bagai kejatuhan meteor, Galaksi mengepalkan tangannya. Ia segera pamit darisana. Baru kali ini dirinya merasa sangat malu.
‘Dasar si Virgo! Gue jadi kemakan omongan dia! Awas lo, gue pastiin besok lo nggak bisa nafas lagi!’ batin Galaksi geram mengepalkan tangannya.
Untuk Wawasan:
Sargas berada di rasi bintang Scorpio yang berarti kalajengking dan berasal dari bahasa Sumeria.
Zeta tengah sibuk mencatat tulisan dari papan tulis ke buku catatannya, hari ini sudah dimulai pembelajaran. Zeta sangat menggemari pelajaran IPA, tapi sayangnya dia agak lemah di pelajaran matematika. Memang manusia tidak ada yang sempurna, begitulah pikir Zeta. Zeta mencatat dengan mulutnya yang bersenandung, sementara Meli yang duduk disebelahnya sedang bersantai dengan ponselnya. Memang kelas sedang tidak ada guru, karena sang guru sedang piket pagi. Guru Fisika Zeta juga merupakan guru bagian kesiswaan dan setiap hari Rabu, beliau akan bertugas keliling sekolah untuk mentertibkan siswa- siswi yang melanggar. Beliau akan masuk pada jam kedua.
“Mel, bentar lagi Pak Purwo masuk lho.” Peringat Zeta.
“Iya, catatan gue tinggal sedikit lagi kok.” Jawab Meli tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
Satu lagi yang menarik dari Pak Purwo salah satu guru fisika SMA 20, beliau akan memberi catatan untuk dicatat oleh siswa- siswinya, lalu saat beliau kembali dari tugas piketnya baru beliau akan menerangkan bab- bab yang belum dipahami. Diakhir pembelajaran, beliau akan memberi kuis pada para siswanya.
Akhirnya Meli meletakkan ponselnya didalam tas, tapi tak lupa ia mode silent terlebih dulu. Meli melanjutkan catatannya yang memang tinggal beberapa paragraf. Zeta tersenyum melihat Meli yang kini fokus ke bukunya dan sesekali melihat papan tulis. Zeta kira Meli adalah orang yang selalu bergantung pada ponselnya atau orang yang tidak suka belajar, tapi pemikiran Zeta salah tentang Meli. Meli merupakan gadis yang hebat, dia bisa membagi waktunya antara belajar dan bermain. Walau Meli pernah mengaku, kadang dia juga pernah lalai terhadap tugasnya karena keasyikan nonton idolanya siaran live.
“Akhirnya selesai.” Gumam Meli. Dia meregangkan lengannya yang terasa pegal. “Nanti istirahat mau ke kantin?” tanya Meli menoleh ke Zeta.
“Aku bawa bekal.”
“Yah, ya udah makan di kantin aja. Sekalian temenin gue.”
Zeta tersenyum. “Oke.”
Tak lama Pak Purwo masuk dan menanyakan apakah mereka sudah selesai mencatat, anak- anak dikelas Zeta memang sudah selesai mencatat dari beberapa menit yang lalu. Kemudian Pak Purwo menjelaskan beberapa materi yang akan mereka pelajari selama di SMA dan tentu saja nanti diakhir pelajaran akan ada kuis.
🪐🪐🪐🪐🪐
Bel istirahat berbunyi nyaring, guru yang mengajar sejarah baru saja keluar. Anak- anak di kelas Zeta berhamburan keluar menuju kantin untuk mengisi perut. Tak berbeda dengan Zeta dan Meli, mereka berdua berjalan beriringan menuju kantin. Suasana kantin lumayan ramai.
“Aku nunggu disana ya?” ucap Zeta menunjuk sebuah meja kosong dekat pintu masuk kantin sebelah barat.
“Iya, gue mau pesen makan dulu.” Jawab Meli.
Zeta pun duduk di meja itu dan meletakkan bekal serta botol minum miliknya dan Meli. Zeta memperhatikan sekitarnya dan pandangannya jatuh pada ketiga orang yang hendak masuk ke kantin. Mereka bertiga sedang bercanda tanpa memperdulikan keadaan sekitar.
“Kak Galaksi!” Sapa Zeta dengan senyum menghias bibirnya.
Galaksi yang sedang memiting leher Leo menoleh ke kiri dan mendapati Zeta tengah melambaikan tangan kearahnya. Virgo yang berjalan di belakang mereka juga ikut menoleh, sementara Leo juga berusaha melihat apa yang membuat Galaksi berhenti.
“Pacar lo tuh manggil.” Celetuk Virgo.
Meli mengernyikan dahi bingung saat dilihatnya didepan Zeta duduk tiga orang yang tak diketahui identitasnya karena duduk membelakanginya. Ketika sampai di meja Zeta, hampir saja Meli menumpahkan sepiring batagor hangat kesalah satu diantara tiga orang itu jika salah satu dari mereka tak menahan tangan Meli. Meli benar- benar syok, melihat orang yang selalu ia hindari di sekolah ini.
“Ze, jadi beneran lo pacaran sama Kak Galaksi?” tanya Meli berbisik.
“Nggak, aku sama Kak Galaksi cuma teman.” Jawab Zeta dengan senyum cerianya.
Seketika tawa dua cowok disamping kanan dan kiri Galaksi terdengar membahana di seluruh kantin, membuat pandangan anak- anak mengarah ke meja Zeta.
“Bah, nggak diakui dia.” Semprot Leo masih tertawa ngakak.
“Sakit, men. Cuma teman katanya.” Tambah Virgo.
Sementara Galaksi yang mendengar kedua temannya berceloteh sudah tak bisa menahan emosinya dan segera menonjok keduanya. Tentu setelah itu Leo maupun Virgo langsung menghentikan tawanya, digantikan dengan ringisan karena merasakan sakit.
“Kak Galaksi nggak boleh gitu sama temannya.”
Meli yang mendengar teman barunya ini terlihat santai menghadapi tiga orang cowok ganteng ini hanya melongo. Leo dan Virgo tersenyum menang, sedangkan Galaksi makin memancarakan tatapan dinginnya.
Akhirnya mereka berlima makan bersama dalam satu meja, tentu mereka menjadi pusat perhatian. Sebenarnya hal itu membuat Zeta dan Meli merasa tidak nyaman, tapi sepertinya ketiga orang didepan mereka terlihat tak mneghiraukan keadaan sekitar. Leo dan Virgo sibuk bercanda, Meli mencoba untuk tetap fokus pada batagornya, begitupun Zeta yang juga berusaha fokus pada bekalnya. Namun tetap saja Zeta merasa tidak nyaman, karena bukan hanya para penghuni kantin yang memperhatikannya, tetapi juga makhluk didepannya ini. Zeta memberanikan diri mendongak untuk menatap Galaksi yang sedaritadi memberikan tatapan datarnya.
“Kakak mau?” tawar Zeta menunjuk nasi gorengnya.
“Nggak.” Jawab Galaksi.
Galaksi berdiri dan meninggalkan meja, lalu keluar dari kantin. Sementara Leo dan Virgo hanya memperhatikan sahabatnya itu.
“Loh? Kak Galaksi mau kemana?”
“Tau, mau nyebat kali.” Jawab Leo memainkan ponselnya.
Zeta dan Meli mengernyitkan dahi mendengar jawaban Leo.
Galaksi lebih memilih untuk nongkrong di rooftop sekolah, di rooftop terdapat taman yang lumayan asri. Ia menyender ke sebuah pohon, lalu ia merogoh saku celana jeansnya, mengeluarkan sebatang rokok dan segera menyulutnya. Dipejamkan matanya, menikmati angin yang berhembus semilir. Berkat taman ini, rooftop tak terasa panas. Galaksi kembali mengingat kejadian di kantin tadi.
“Polos sama **** emang kadang nggak ada bedanya.” Gumam Galaksi menghembuskan asap rokok.
Galaksi menghabiskan waktunya di rooftop seorang diri. Seperinya Leo dan Virgo memang tidak berniat mengganggu sahabatnya itu. Mereka bertiga sudah saling kenal sejak SMP. Dan hingga kini mereka dekat.
Suara bel pulang menggema dipendengaran Galaksi, ia membuka matanya. Dilihatnya banyak anak yang berjalan menuju gerbang depan. Dimatikannya rokok yang masih tersisa setengah itu, entah sudah berapa batang rokok yang Galaksi hisap sejak tadi. Netra jernihnya melihat sosok gadis yang juga berjalan seorang diri keluar area sekolah. Galaksi menampilkan senyum miringnya.
“Main- main bentar boleh, kan?” Gumamnya.
🪐🪐🪐🪐🪐
Zeta tengah menunggu angkutan di halte dekat sekolah. Hari ini tidak ada yang menjemputnya, tadi ternyata Vernon ada kelas tambahan. Akhirnya Zeta memutuskan untuk pulang naik angkutan. Dia duduk di halte seorang diri dengan helm dipangkuannya. Matanya terus menoleh ke kanan untuk melihat apakah ada angkutan yang akan membawanya pulang. Namun sudah 30 menit tak ada angkutan yang searah dengan rumahnya.
Sebenarnya bisa saja Zeta berjalan pulang, tapi hari ini sangat panas. Ia tak mau nanti di tengah jalan pingsan. Suara klakson motor membuat Zeta menoleh, dia melihat motor yang berhenti di depan halte. Orang itu memberi tanda agar dirinya mendekat, tapi Zeta malah menoleh ke kanan dan kiri memastikan apakah ada orang lain disekitarnya. Orang itu mendengus kesal, lalu membuka kaca helmnya.
“Lo ****! Cepet kesini!” teriak Galaksi.
Zeta terperanjat dan segera menghampiri Galaksi. “I…iya, Kak?”
“Cepet lo naik!”
“Huh? Nggak usah, Kak. Aku bisa pulang sendiri.”
“Lo lupa? Gue nggak suka penolakan! Cepet naik!”
Akhirnya mau tak mau Zeta menurut, ia juga tidak mau menjadi perhatian orang- orang di halte ini yang mulai merasa terganggu oleh suara Galaksi.
Zeta bingung ketika disuruh turun oleh Galaksi. Namun ini bukan rumahnya, didepannya terdapat bangunan yang sangat besar. Entah rumah milik siapa. Zeta mulai takut dan berbagai pertanyaan mulai muncul dalam kepalanya.
“Ini rumah siapa?” tanya Zeta menatap Galaksi takut.
“Rumah gue, cepet masuk.”
“Nggak, Kak. Aku mau pulang.”
“Ya udah sono lo balik.”
“Ta… tapi…”
“Ckck, nanti gue antar lo balik. Sekarang masuk dulu.”
Galaksi melangkahkan kakinya masuk ke rumah megah itu, bahkan rumahnya kalah besar dari rumah ini. Namun suasana didalam rumah ini seperti suram. Zeta dapat merasa sangat sepi berada didalam bangunan besar ini. Galaksi menyuruh Zeta untuk duduk terlebih dulu di sofa ruang keluarga, sementara Galaksi menghilang diujung tangga.
Zeta terperanjat ketika mendengar suara pintu dibanting keras. Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari sumber suara itu. Tak lama terdengar suara ketukan yang semakin lama mendekat. Dan sosok itu kini berhenti ketika melihat orang asing duduk di ruang tengah. Sosok itu mengernyit memperhatikan Zeta, Zeta yang terkejut spontan berdiri dari duduknya.
“Kamu siapa?” tanya sosok itu, seorang wanita yang diperkirakan berusia 40 tahun dengan pakaian formal dan sepatu hak tingginya.
“Ah, sa… saya Zeta. Sa…”
“Oh? Mama udah pulang?” tanya Galaksi menuruni tangga, membuat dua orang itu menoleh.
“Hmm, dia siapa? Kenapa bawa orang asing ke rumah?”
“Dia bukan orang asing. Zeta namanya dan dia pacar Galaksi.”
Mama Galaksi itu menaikkan satu alisnya mendengar jawaban Galaksi. Lalu ia memperhatikan Zeta dari atas hingga bawah, seperti menilai penampilan Zeta.
“Putuskan sekarang! Besok kamu bisa ketemu Yura.”
Galaksi mengepalkan tangannya, rahangnya mengetat. Lalu ia mendengus kesal dan tertawa sumbang.
“Bahkan siapa pacar Galaksi, Mama juga yang atur?” tanya Galaksi sinis. “Kali ini Mama nggak akan bisa atur Galaksi lagi. Ayo, Ze!”
Galaksi meraih pergelangan tangan Zeta dan segera mengajak gadis itu untuk keluar dari rumah ini. Rumah besar dan megah, tapi menyesakkan bagi Galaksi.
🪐🪐🪐🪐🪐
Langit malam yang bertabur bintang dengan sinar samar menghiasi langit. Zeta termenung seorang diri di atas genteng rumahnya, genteng yang pintu masuknya terhubung dengan kamarnya. Vernon sudah tidak tidur dirumahnya, karena Pak Wijoyo sudah kembali dari tugasnya. Zeta masih teringat kejadian siang tadi di rumah Galaksi. Zeta masih teringat perseteruan antara Galaksi dan Mamanya, seharusnya Zeta tidak boleh mendengar pembicaraan mereka. Tiba- tiba Zeta rindu pada Bundanya.
“Anak ayah kok di genteng sendirian?” sapa suara berat dari belakang Zeta.
Zeta menoleh dan tersenyum mendapati Pak Wijoyo menghampirinya. Pak Wijoyo duduk disamping putri satu- satunya. Zeta menyenderkan kepalanya di bahu Pak Wijoyo sambil menatap langit hitam dengan titik- titik putih, walau terlihat samar Zeta masih dapat melihat beberapa bintang.
“Zeze kangen Bunda, Yah.” Gumam Zeta lirih. Namun masih terdengar oleh telinga Pak Wijoyo. Pria tampan berkacamata itu tersenyum samar.
“Ayah juga kangen. Kapan- kapan kita jenguk Bunda ya?”
Pak Wijoyo merasakan kepala Zeta bergerak naik- turun, Zeta mengangguk dan senyumnya kembali terbit. Pak Wijoyo mengalihkan pandangannya kearah langit, memandang sebuah bintang yang paling terang diantara bintang lainnya.
Untuk Wawasan:
Sirius adalah bintang paling terang di langit malam. Nama Sirius diambil dari kata Yunani, yang berarti "berkilau".
By. Wikipedia
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!